Cover Buku Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Hasil Buruan 27 tahun,Untuk mengumpulkan data" Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.

Foto Tahun 1992, bekas Pura Penataran Lempuyang

Pura Kuru Baya

Pura Kuru Baya terletak di barat Pura Gaduh, Blahbatuh. Pura ini tempat Ki Kbo Iwa mendapat wangsit bahaya akan terjadi firasat buruk yang akan menimpanya,Tapi karena satya wacana dan mengemban tugas raja beliau akhirnya berangkat juga, maka terjadilah kenyataan pirasat itu dan beliau menemui ajal di tanah Jawa.

Pura Kawitan Blahbatuh

Pura Kawitan Yang terletak di barat daya Kota Gianyar

Bale Panjang Kebo Iwa

Bale Panjang Kebo Iwa di Jaba Pura Puseh Beda Sudimara,Tabanan dikisahkan dalam Prasasti Maospahit bahwa bale ini dibuat untuk Kebo Iwa dimana dulunya sendi akhir berada jauh ke barat sekitar 300 meter

Simbol Penghulu Sri Karang Buncing

Simbol

Pak Made Lagi Jualan Buku

Pak made mempromosikan buku terbitan pertamanya

Pembuatan Tapel Kebo Iwa

Process pembuatan tapel Kebo Iwa berlokasi di gianyar oleh bapak Tjokorda

Sabtu, 30 Oktober 2010

Tentang Kami

 Om Swastyastu

WEBsite ini adalah Sebuah Informasi yg kami tujukan kepada masyarakat khususnya untuk masyarakat Bali dengan tujuan untuk melestarikan budaya Bali dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah budaya bali sebanyak mungkin,yang mungkin nantinya bisa di jadikan pedoman oleh beberapa masyarakat Bali yang memerlukan dan ingin tahu tentang sejarah.Semua yg kami tampilkan website ini adalah suatu bahan diskusi agar isi dari web ini bisa kita koreksi jika ada suatu kesalahan dalam penulisan tentang isi web ini mari bersama-sama kita perbaiki dengan cara memberikan comentar agar kita bisa mendapatkan informasi yg benar dan berguna bagi anak cucu kita nantinya.Terimakasih

Om Shanti Shanti Shanti Om
      
    WATU KEMBAR
Mank Adi Karang














Jika anda butuh informasi lebih lanjut bisa hubungi kami 

 Pendiri Website :

1.DeGlung Watu Kembar    email; watukembar@yahoo.com
2.Mank adi  Jimbaran          email: lm_hariadi@yahoo.com



           

VERSI LAIN TENTANG RAJA SRI TAPA ULUNG

 Versi Lain Kehidupan Raja Sri Tapa Ulung, oleh Mandala Wisata Samuan Tiga, Bedahulu, Gianyar, Bali 1981.

           Syahdan setelah para Dewa, khususnya Bhatara Indra berhasil menewaskan Raja Mayadenawa, Pulau Bali menjadi aman, tentram dan teratur disegala bidang tidak terkecuali dibidang keagamaan. Meskipun para Dewa telah mengalahkan Raja Mayadenawa tersebut, namun para Dewa tidak pernah melupakan kegagahan keberanian Raja tersebut, sebagai seorang kesatria dimedan laga yang sangat dahsyat. Terkesan dengan hal-hal tersebut diatas, maka para Dewa mengadakan perundingan dimana diputuskan bahwa roh Raja Mayadenawa hendaknya dihargai dan dimuliakan.

           Berdasarkan kebijaksanaan tersebut maka abu jenazah Raja Mayadenawa diupacarakan di Pura Besakih. Pada hari yang dianggap baik oleh para Dewa, abu jenazah Raja Mayadenawa yang ditempatkan di buah kelapa gading diusung ke Besakih. Setiba di Besakih dimana upacara besar-besaran dilakukan, tepat upacara selesai, terjadilah suatu kejadian yang penuh mukjisat dan mengagumkan. Buah kelapa gading dimana abu jenazah raja Mayadenawa ditempatkan, Pecah !. Dari dalamnya muncullah dua anak: 1 laki-laki dan 1 perempuan, kedua anak tersebut kemudian diberi nama Masula-Masuli. Bertahun-tahun kemudian kedua anak tersebut telah dewasa, dan disaat itu keadaan Pulau Bali sedang luang, dimana tidak ada seorang Raja pun yang bertahta, oleh karena itu atas persetujuan para Dewa, Masula – Masuli dinobatkan menjadi Raja di pulau Bali.

             Sebetulnya keputusan para Dewa untuk menobatkan Massula-masuli sebagai Raja itu bertentangan dengan keinginan hati keduanya, karena Masula-Masuli berminat untuk hidup di sorga. Akan tetapi Sanghyang Pasupati tidak mengijinkan, maka Masula-Masuli menduduki singasananya di Batahanyar. Setelah keduanya menjabat sebagai Raja, keadaan Pulau Bali sangat tentram dan damai, karena kebijaksanaan beliau dalam memerintah, Kesuburan dan kemakmuran mereka dimana-mana, rakyat benar-benar menikmati kehidupan yang tenang, lebih-lebih dalam hal-hal keagamaan, beliau sangat taat. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat kuat. Demikian juga ke Pura Besakih beliau sangat rajin beribadat. Kebiasaan-kebiasaan yang baik dari Raja ini juga berpengaruh terhadap rakyatnya sehingga seluruh rakyat Bali pada waktu itu juga sangat taat menjalankan perintah keagamaan.

            Setelah beberapa lama memangku jabatan, beliau kemudian menikah. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra yang bernama Sri Tapa Ulung, setelah beliau meningkat dewasa, Sri Tapa Ulung dinobatkan sebagai Raja menggantikan ayahnya dengan nama Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten, yang artinya keturunan ke 8 dari leluhur Sri Mayadenawa. Dibawah pemerintahan beliau yang tak banyak berbeda dengan pemerintahan ayahnya, segala sesuatunya berjalan lancar tanpa kurang suatu apa, lebih-lebih dengan didampingi oleh seorang mahapatih yang gagah perkasa bernama Ki Pasung Gerigis tinggal di Tengkulak dan seorang pembantunya Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di desa Blahbatuh. Selain itu banyak lagi bawahan-bawahan beliau yang semuanya bijaksana dan pemberani dalam melaksanakan roda pemerintahan.

             Pada suatu hari bertahun-tahun kemudian beliau mengambil suatu keputusan untuk melakukan yoga semadi di Pucak Penulisan di Sukawana, Kintamani. Beliau berangkat dengan diiringi oleh  Patih Ki Pasung Gerigis, karena ketekunan beliau dalam melakukan semadi tersebut, maka para Dewa mengabulkan keinginan beliau agar menjadi seorang yang sakti, menguasai kekuatan gaib, tidak mempan dengan senjata apapun. Diantara kesaktian anugrah dari para Dewa itu ialah Raja Tapa Ulung bisa menghilangkan kepala beliau sewaktu-waktu bila ingin pergi ke sorga. Pada suatu saat yang tak terduga, ketika kepala beliau tak kembali lagi sebagai mana biasanya, maka sang patih Ki Pasung Gerigis menjadi sangat kaget dan cemas tak tahu apa yang mesti dilakukan. Namun Ki Pasung Gerigis masih mencoba menunggu dengan tenang, tapi malang kepala sang raja tetap tidak muncul kembali sebagai biasanya.

            Patih Ki Pasung Gerigis menjadi kehilangan akal, tidak selang berapa lama ada orang membawa seekor babi lewat dihadapanya, tanpa berpikir panjang, babi itu kemudian diminta olehnya dan kepalanya dipotong. Segera kepala babi tersebut dipasang dileher Sri Tapa Ulung. Syukurlah beliau hidup kembali, tapi berkepala babi. Beliau kemudian berkemas-kemas dengan patihnya untuk kembali pulang ke Bataanyar. Sesampai di pinggir danau Batur, tanpa sengaja beliau melihat bayangannya di air danau itu. Betapa kecewanya setelah tahu bahwa kepala beliau adalah kepala seekor babi. Perasaan putus asa dan menyesal menyebabkan beliau enggan kembali ke Bataanyar. Tetapi sang patih Pasung Gerigis tak henti-hentinya membujuk dan menghibur beliau agar mau kembali ke Istana di Bataanyar. Dan di Istana nanti akan dibuatkan suatu tempat yang tinggi, dimana manusia tidak akan bisa memandangnya. Atas bujukan tersebut, akhirnya beliau bersedia kembali ke Bataanyar dengan diiringi oleh patih Ki Pasung Gerigis. (Besar perkiraan bahwa sejak saat itu desa Bataanyar diberi julukan desa Bedaulu, sebab Rajanya berbeda kepala). Disanalah di tempat yang tinggi itu beliau bertempat tinggal tanpa seorang manusiapun yang bisa memandangnya.Selain itu disebarkan pula suatu pengumuman keseluruh Bali, bahwa barang siapa yang berani memandang wajah sang raja Sri Tapa Ulung, pasti akan dibunuh. Demikianlah beliau bertahta di Istana Bedaulu.

            Oleh karena beliau merasa mendapat anugrah kesaktian yang tidak ada seorangpun yang menandinginya dan juga melihat kenyataan bahwa seluruh rakyat Bali begitu patuh dan taat selama ini, maka timbulah sifat-sifat keangkaramurkaan dan sifat takabur beliau. Rakyat dilarang melakukan ibadah keagamaan, dan beliau tidak mau patuh lagi pada perintah Majapahit. Baginda ingin terlepas dari kekuasaan Majapahit. Lama kelamaan Majapahit merasa bahwa sikap Sri Tapa Ulung telah berubah. Akhirnya sikap Sri Tapa Ulung yang membangkang itu sampai ke telinga Raja Majapahit yang lalu itu diperintah oleh Raja Sri Kala Gemet. Karena itu di Majapahit diadakan rapat yang dihadiri oleh mentri-mentri, hulubalang-hulubalang, dan pemuka-pemuka rakyat. Dalam rapat itu diputuskan “perang” dengan Raja Sri Tapa Ulung. Pada waktu itu Majapahit mempunyai seorang patih yang terkenal yaitu Patih Gajah Mada. Dibawah pimpinan Patih Gajah Mada diaturlah siasat untuk dapat menaklukkan Pulau Bali dan membunuh Raja Sri Tapa Ulung yang berkhianat tersebut. Siasat perang ini harus betul-betul cermat, karena disamping Raja Sri Tapa Ulung adalah raja yang terkenal kesaktiannya, juga Raja Sri Tapa Ulung mempunyai patih yang sakti dan gagah berani, yaitu Kebo Iwa. Disebutkan kemudian bahwa Patih Gajah Mada menghadap Sri Tapa Ulung, untuk memohon Ki Kebo Iwa yang hendak dikawinkan dengan seorang putri.

              Ini termasuk salah satu siasat perang dari Patih Gajah Mada. Dalam perjalanan ke Bali, Gajah Mada dan pasukannya sampai didesa Blahbatuh yang dipegang oleh Ki Pasung Gerigis. Disana diperkenalkan dengan Ki Karang Buncing dan Ki Kebo Iwa.Atas ikhtiar Ki Pasung Gerigis, maka Gajah Mada akhirnya diperkenankan untuk menghadap Sri Tapa Ulung, tapi dengan syarat agar Gajah Mada tidak melihat dan memandang wajah Raja Tapa Ulung. Dan Patih Gajah Mada juga mengajukan suatu permohonan yaitu agar diperkenankan menerima suguhan makanan berupa sayur paku liking, nasi sengauk (aron) dan minum air dengan kele. Semuanya ini akan diatur oleh Ki Pasung Gerigis. Sesampainya Gajah Mada di istana dengan segala hormat sebagai mana layaknya seorang bawahan yang menghadap Raja, begitu pulalah sikap sikap Patih Gajah Mada dalam menghadap Raja Sri Tapa Ulung. Dan didalam kesempatan itulah Gajah Mada menghaturkan niatnya untuk memohon Ki Kebo Iwa yang hendak dikawinkan dengan seorang puteri (Lemah Tulis yang sudah terkenal cantiknya). Dengan alasan agar hubungan Majapahit dengan Bali lebih erat lagi.

              Oleh Baginda Raja Sri Tapa Ulung sedikitpun tidak menduga bahwa itu hanya tipu muslihat belaka, karena itu segera beliau mengabulkan permohonan Gajah Mada dengan ikhlas. Setelah acara pokok selesai, Gajah Mada kemudian bersantap dengan suguhan yang telah dimintanya. Dengan sendirinya untuk bersantap hidangan tersebut, wajah harus ditengadahkan sehingga terlihat jelas wajah Sri Tapa Ulung oleh Gajah Mada. Betapa kecewanya, marah dan malu baginda raja Sri Tapa Ulung mengetahui bahwa dengan akalnya Gajah Mada telah berhasil memandang wajah beliau.

              Pada waktu itu sebetulnya Baginda ingin segera membunuh Gajah Mada, namun peraturan yang berlaku yaitu membunuh utusan suatu kerajaan adalah dilarang keras apalagi utusan itu sedang makan. Karena itulah Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa. Selanjutnya atas perkenan Baginda Raja, Patih Gajah Mada membawa serta Ki Kebo Iwa ke Jawa. Pada akhirnya tercapailah tujuan Patih Gajah Mada untuk mengurangi kekuatan kerajaan Bali (Bedaulu), karena sampai di Pulau Jawa Ki Kebo Iwa terbunuh. Betapa sedih dan duka Baginda Sri Tapa Ulung mendengar nasib yang menimpa patih kesayangannya, selain itu perasaan tertekan karena sangat malu sesudah Patih Gajah Mada berhasil memandang wajah Baginda. Segera beliau mengambil keputusan untuk melenyapkan diri dari muka bumi dengan jalan Moksa. Itulah riwayat Baginda Raja Sri Tapa Ulung yang bertahta di kerajaan Bedaulu, Bali. 

JEJAK-JEJAK DALEM KEMBAR MENJADI NAMA-NAMA DESA DI BALI

Purana Pura Luhur Pucak Kembar, Babad Dalem Batu Kuub, Babad Batu Aji, Prasasti Dalem Putih Jimbaran, Purana Pura Natar Bolong, Dalem Putih dan Dalem Selem adalah Saudara Kembar dan Jejak-Jejak Perjalanan Dalem Putih dan Dalem Selem Menjadi Nama-Nama Desa di Bali.

Purana-purana tersebut diatas isinya hampir sama, yang berbeda adalah judul dan bahasa yang dipakai, ada memakai Bahasa Jawa kuno, Jawa Tengahan, Bahasa Bali kekinian dan Bahasa Indonesia. Salah satu Purana Pura Luhur Pucak Kembar disalin dan diterjemahkan oleh I Ketut Sudarsana dan I Gusti Ngurah Oka Anom, Desa Adat Pacung, Baturiti, Tabanan, dalam Bahasa Indonesia berikut:

Tersebutlah pada jaman dahulu saka 135 atau tahun 213 Masehi, Sanghyang Pasupati beryoga di Gunung Rajya, setelah yoganya mencapai tingkat kesempurnaan, makanya yoganya dilemparkan ke sebuah sungai yang berbatu, menyebabkan gempa yang sangat dahsyat secara terus menerus, kemudian dari batu yang ada di sungai lahirlah anak kecil kulitnya hitam legam, dan dari riak air yang mendidih lahir pula seorang bayi warna kulitnya putih. Menurut purana peristiwa tersebut terjadi di sungai Limpar dan menurut Kunalini Tattwa sungai Limpar adalah sungai Unda, disanalah bayi itu berdua hidup menikmati keindahan sungai dan semak belukarnya. Saking asyiknya bermain tidak dirasakan menyusup sampai ketengah semak belukar, yang dihuni oleh seekor Lembhu, seraya menyapa: Ya tuanku berdua, siapakah gerangan orang tuamu? Anak kecil itu lalu menjawab, maafkan aku Lembhu, aku tidak tahu dengan bapak dan ibuku, aku tidak tahu dari mana asal usulku, demikian jawabnya. Ki Lembhu akhirnya memberikan penjelasan, bahwasannya tuanku adalah putra Sanghyang Pasupati, tuanku bernama Dalem Kembar (Dalem Ireng dan Dalem Sweta), kisah tentang kelahiran tuanku berdua yaitu tuanku yang lahir dari batu disebut Dhalem Ireng, dan tuanku yang lahir dari buihnya air sungai disebut Dalem Sweta, itulah sebabnya paduka disebut Dalem Ireng dan Dalem Sweta, namun ijinkan saya memberikan nasehat kehadapan paduka berdua bahwasannya paduka berdua tidak seyoyanya memerintah bersama-sama, yang patut memegang tapuk pemerintahan adalah paduka Dalem Ireng, sebab paduka adalah penjelmaan Sanghyang Wisnu sudah sewajarnya memegang pemerintahan, demikian petuah Ki Lembhu. Kedua Dalem itu bertanya, dimanakah seharusnya saya memegang tapuk pemerintahan? Ki Lembhu memberikan penjelasan: sebab paduka lahir dari batu, apabila ada batu berwarna mengkilap saat diterpa sinar matahari, disanalah seharusnya paduka mendirikan pemerintahan, kemudian tempat itu berilah nama Batu Maklep, demikian hatur Ki Lembhu kehadapan Batu Ireng.

             Sekarang diceritrakan Dalem Selem bersama Ki Lembhu berjalan menuju arah barat daya, dalam perjalanan Ki Lembu tak henti-hentinya memberikan petunjuk, bahwa pada saatnya nanti sudah sampai pada tujuan ayahnda akan hadir, dan tempat itu berilah nama Taro dan sesungguhnya saya ini adalah Ki Lembhu Nandini, setelah demikian bertutur kata secara kasat mata Ki Lembu tidak tampak lagi dari pandangan.

              Setelah matahari tepat berada diatas khatulistiwa (tajeg surya) Dhalem Kembar secara tiba-tiba mendengar suara sayup-sayup(sabda mantra) yang mengisyaratkan: Hai anakku Dhalem Sweta engkau tidak patut memegang pemerintahan, hanya engkau Dhalem Ireng yang seyogyanya memegang pemerintahan. Setelah Dhalem mendengar sabda yang demikian itu, lalu keduanya saling membuat perjanjian dengan berintikan yaitu: sebab aku dan engkau lahir menjadi saudara kembar, semoga tidak pernah berpisah dan semoga dikemudian hari bisa bertemu kembali, demikian perjanjian antara Dhalem Sweta dan Dhalem Ireng. Hal kian Dhalem Sweta mohon pamit dan melanjutkan perjalanan kea rah barat daya, menelusuri hutan rimba yang lebat, ditengah hutan belantara rasa haus, lapar dan dahaga tidak tertahankan, menyebabkan jasmaninya lemah lunglai tidak mampu lagi melanjutkan perjalanan, hingga Dhalem Sweta terduduk istirahat, seolah-olah ingat akan pesan Ki Lembhu, bahwa dirinya putra Hyang Pasupati, namun secara tiba-tiba pada tempat istirahat tersebut tersembur air jernih, dengan sigap air tersebut segera diminumnya, sehingga tenaganya pulih kembali, karena keluarnya air tersebut dari batu selagi mengenang Sanghyang Pasupati, maka tempat itupun diberi nama Batu Hyang, mulai saat itulah banyak orang-orang Bali menghambakan diri pada Dhalem, lalu Dhalem bersabda: Hai kamu orang-orang Bali, karena kamu bhakti padaku dan karena engkau telah memahami hakekat bhakti kepadaku, maka sepantasnya tempat ini aku beri nama Batu Aji, setelah demikian akhirnya Dhalem melanjutkan perjalanan menuju arah barat, setelah sampai ditempat tujuan, disanalah beliau melepaskan lelah bersenang-senang, kemudian disana beliau mendirikan tempat pemukiman, lalu Dhalem bersabda: Hai kamu para hamba sahajaku sekalian, mulai saat ini tempat ini aku beri nama Antiga, dirasakan tempat itu sangat indah diterangi oleh sinarnya rembulan, yang menyebabkan hati beliau terpesona dengan keindahan alamnya, kemudian nama Antiga diganti oleh beliau menjadi Batu Bulan, kemudian beliau melanjutkan perjalanan menuju barat daya, dalam perjalanan yang sangat melelahkan itu, beliau melihat serumpun bambu yang menjulang tinggi bagaikan menyundul langit, pohon bambu itulalu  dikutuk menjadi tempat yang luhur (tinggi), yang dikemudian hari akan terwujud sebuah kahyangan bernama Ulu watu (nama watu disesuaikan dari kelahiran Dhalem berasal dari watu).

           Sekarang kembali diceritrakan Dhalem Ireng, karena terlalu lama beliau memimpin pemerintahan, tiba-tiba beliau teringat dengan saudaranya Dhalem Sweta, kata lubuk hatinya, apakah gunanya aku memegang pemerintahan, bila tidak mengetahui keberadaan saudaraku, niscaya kekuasaan tidak ada artinya, demikian kata hati beliau, sehingga hasrat dalam pikirannya memutuskan untuk pergi mencari kakaknya Dhalem Sweta, sehingga beliau menuju arah barat. Tidak diceritrakan dalam perjalanan, akhirnya beliau tiba pada suatu tempat dan bertemu dengan orang-orang desa, lalu Dhalem Ireng bertanya: apakah gerangan nama tempat ini ?, orang desa tersebut menjawab, ya tempat ini bernama Batu Hyang, dulunya atas kutukan Dhalem Sweta, demikian jawaban orang-orang desa tersebut, dimanakah Dhalem Sweta sekarang, demikian pertanyaan Dhalem Ireng, kalau tidak salah Dhalem Sweta berada di Batu Aji, demikian jawabannya. Setelah mendengar jawaban yang demikian itu, dengan tergesa-gesa pergi menuju desa Batu Aji, dengan harapan dapat bertemu dengannya Dhalem Sweta, entah berapa lama perjalanan beliau, sampailah pada tempat yang dituju, dengan segera beliau lalu bertanya: dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta, tuanku kiranya Dhalem Sweta kini berada di desa Batu Bulan, demikian jawaban yang diperolehnya, akhirnya dari desa Batu Aji beliau menuju desa Batu Bulan, namun sayang sekali Dhalem Sweta sudah meninggalkan desa Batu Bulan, dan dari desa Batu Bulan terbetik berita bahwa Dhalem Sweta berada di desa Sakyamuni (sekarang Sakenan), setelah sampai di Sakenan beliau bertemu dengan Ki Dhukuh, lalu bertanya, ya paman Dhukuh, dimanakah gerangan keberadaan Dhalem Sweta?, ya tuanku Dhalem Sweta sekarang berada di desa Jimbaran, demikian jawaban Ki Dhukuh. 

            Sekarang diceritrakan Dhalem Ireng dengan segera menuju desa Jimbaran, pada saat yang baik itu beliau bertemu dengan hamba sahaja (dayang) Dhalem Sweta, dimana dayang tersebut sedang mempersiapkan santapan yang akan disuguhkan kepada majikannya Dhalem Sweta, dengan melihat santapan tersebut tiada tertahan nafsunya untuk menikmati, maka dengan lahapnya Dhalem Ireng menyantap hidangan tersebut, terkejutlah si dayang yang bernama Ni Pring Gading, lalu bertanya: siapakah gerangan tuan, hamba tidak mengenal tuan sebelumnya, mengapa tuan berani memakan santapan yang akan kami hidangkan untuk tuan hamba Dhalem Sweta, mendengar kata Ni Pring Gading yang demikian itu, mendadak Dhalem Ireng berhenti menyantapnya, lalu beliau bertanya: Hai dayang dimanakah kini berada Dhalem Sweta, ya tuanku beliau kini berada di tempat pagagan (ladang padi gaga), demikian jawab si dayang, dengan segera Dhalem Ireng berjalan menuju tempat pagagan, namun Dhalem Sweta tidak pula dijumpai, sebab Dhalem Sweta sudah kembali menuju desa Jimbaran, dalam perjalanan pulang beliau sempat menyinggahi ladang orang-orang kampung, namun setelah tibanya Dhalem Sweta di istana, dengan sangat hormat dayang Ni Pring Gading humatur, maafkan tuanku Bhatara Dhalem Sweta, ijinkan hamba melaporkan kehadapan duli tuanku, bahwasanya ada seorang yang datang dengan bentuk tubuh besar, tinggi kekar rupanya bagaikan setan, orang tersebut telah berani lancang membuka langsung menyantap santapan tuanku raja, tiada tertahan takut hamba, dan lagi pula orang tersebut menanyakan paduka tuanku raja, mendengar hatur si dayang yang demikian itu, sungguh tiada tertahan murkanya Bhatara Dhalem Sweta dan dengan segera kembali lagi ketempat pagagan, hal kian sampailah pada tempat pagagan dan bertemu dengan Dhalem Ireng, karena saking emosionalnya pertempuran kedua belah pihak tidak dapat dihindari, perang tandingpun terjadi, sama-sama bersenjata keris, salik tusuk, namun keduanya tidak ada terlukai karena sama-sama kebal, karena tiada yang terkalahkan, akhirnya kedua belah pihak sama-sama kepayahan, dalam pada itu beliau berdua saling tegur sapa, Siapakah gerangan anda, aku bernama Dhalem Ireng, aku Dhalem Sweta, setelah bertegur sapa, barulah menyadari tentang asal usul dan pesan Ki Lembhu  Sanghyang Pasupati yang masing-masing membawa senjata yaitu: Dhalem Sweta bersenjatakan Keris Kala Katenggeng, dan Dhalem Ireng bersenjatakan Keris Miring Agung, barulah beliau menyadari bahwa yang diajak perang tanding adalah saudaranya sendiri, sehingga suasana berubah dari tegang menjadi terharu, sama-sama meceritrakan pengalaman masing-masing. Akhirnya Dhalem Ireng berkata kepada kakaknya Dhalem Sweta. Ya kakakku Dhalem Sweta, banyak sekali kakanda memberikan nama desa dan yang terakhir kanda berada di desa Jimbaran, sudah seyogyanya kanda disebut Dhalem Putih Jimbaran, sekarang ijinkanlah saya mohon pamit, sayapun juga berniat memberikan nama suatu tempat atau desa yang bercirikan watu, yang merupakan ciri bahwa aku pernah melintasi daerah tersebut. Dan ijinkan adinda menuju kearah utara, kalau demikian baiklah, namun kanda mohon tempat kita berperang tadi kita namakan Bukit Kali.

             Kini diceritrakan Dhalem Ireng berjalan menuju kearah utara, setelah lama berjalan, lalu beliau menjumpai areal kebun kelapa, namun tiba-tiba air lautan menyemburkan gelombang, menyebabkan hatinya sangat marah. Dhalem Ireng, lalu tempat itu dikutuk diberi nama Seseh, dari Seseh beliau melihat kearah timur, terlihat warna tanah yang putih, tanah itu diungsikan oleh beliau, sampailah beliau pada tanah yang berwarna putih dan beliau terkejut pada saat menginjakkan kakinya pada sebuah batu, tiba-tiba batu tersebut berlobang, sehingga tempat itu beliau kutuk bernama Batu Nyorong atau Batu Bolong, dari Batu Bolong Dhalem Ireng lagi melanjutkan perjalanan menuju kearah timur, dalam perjalanan beliau melalui batu yang licin sehingga kakinya terpeleset ke dalam air, dengan segera pula memberikan kutukan, bahwa pada tempat beliau terjatuh diberi nama Batu Belig, dari Batu Belig lagi beliau melanjutkan perjalanan kearah timur, ditengah perjalanan yang melelahkan tiba-tiba beliau terjatuh terkulai (ulung=Bhs. Bali). Maka tempat itu diberi nama Batu Tulung.

Dari Batu Tulung beliau menempuh perjalanan yang cukup jauh sehingga rasa haus dan dahaga tiada tertahankan, akhirnya beliau memuja kebesaran Tuhan memohon karunianya, seketika itu tersemburlah air, lalu diminumnya, sehingga rasa haus dan dahaganya hilang, maka tempat itu diberi nama Batu Bedak (sekarang lebih dikenal Batu Bidak). Sekarang dikisahkan beliau Dhalem Ireng dari Batu Bedak melanjutkan perjalanan menuju ke utara dan sampailah beliau di wilayah Bukit Asah, dari ketinggian bukit itu melihat jurang yang dalam melihat dari mata batinnya, tempat itu sangat religius, disanalah beliau beryoga semadi, dalam alam yoganya muncullah Dhalem Bali, Panca Wisnu, Panca Dewata, lalu terdengar sabdha mantra yang sayup-sayup bunyinya: Hai, anakku Dhalem Ireng, aku ini adalah ayahmu Sanghyang Pasupati, aku juga disebut Sanghyang Lingga Bhuwana, ayahndamu ini berstana di Pucak Candi Purusada, tempat ini aku beri nama Batu Pucak Kembar, semoga sepanjang jaman menjadi kahyangan, sebagai sarana umat manusia menghaturkan rasa syukur dan bhaktinya melakoni kehidupannya. Hai, anakku Dhalem Ireng aku juga berkahyangan di Gunung Agung (Tohlangkir). Apabila aku berkahyangan di Gunung Watukaru, aku disebut Hyang Jaya Netra, apabila aku berkahyangan di Bukit Jati aku disebut Hyang Siwa Pasupati, bila aku berkahyangan di Gunung Trate Bang (trate= tunjung) dan (Bang=merah), maka aku disebut Hyang Besa Warna, apabila aku berstana di Gunung Bratan aku disebut Hyang Danawa, demikianlah agar kamu mengingat selalu, lalu Dhalem Ireng bertanya: Maafkan paduka Bhatara, apakah sebabnya tempat ini disebut Batu Pucak Kembar? Demikian pertanyaan Dalem Ireng, kemudian dijawab oleh Paduka Hyang Lingga Bhuwana, yang berstana di Pucak Candi Purusada yang berlokasi di desa Kapal, hai anakku Dhalem Ireng, karena engkau dilahirkan kembar, disini telah terwujud suatu bukti saksi dua buah batu, itulah sebabnya dinamakan Batu Pucak Kembar (batu tersebut kini berada di Taman Cakra. Pent). Demikian konon sabdha Sanghyang Pasupati kepada anaknya Bhatara Dhalem Ireng, pada saat itu menunjukkan tahun saka 322 atau tahun 400 Masehi, mulainya keberadaan Batu Pucak Kembar atas wara nugraha Sanghyang Lingga Bhuwana/Hyang Pasupati kepada Dhalem Ireng, pada saat itu kembali Sanghyang Pasupati memberikan titah kepada anaknya Dhalem Ireng, anakku Dhalem Ireng, berangkatlah dengan segera ke Bukit Uluwatu, setelah kamu sampai disana berkemaslah untuk menyatukan pikiran dengan sarana beryoga semadhi, biar kamu cepat menyatu kehadapan Sang Pencipta, setelah mendengar petunjuk Sanghyang Pasupati yang demikian itu, lalu beliau bergegas pergi menuju Bukit Uluwatu, disana Dhalem Ireng berkonsentrasi menyatukan bayu sabdha idhep dengan yoga semadhi, tiada diceritakan yoganya berhasil, akhirnya Dhalem Ireng moksah menyatu kehadapan Sanghyang Acintya, Demikian Purana Batu Pucak Kembar, keberadaanya di Bukit Asah.

DALEM PETAK JINGGA MEMBANGUN 3 PURA DI JIMBARAN

Prasasti Dalem Putih Jimbaran, Dalem Putih (Sri Batu Putih), Menurunkan Putra Dalem Petak Jingga, Membangun Pura Ulunswi, Pura Kahyangan Pangulun Setra, dan Pura Dukuh.

. . . riwawu mangkana sumawur Dalem Bedahulu, duh ah ah ih ih yan mangkana asanak pwa kita lawan ulun apan sira wijil sakeng watu sira wijil sakeng toya, sumawur sang Dalem Putih Jimbaran yan tuhu mangkana kadi wuwus ta dalan mangke sira mareng pakubwan nira, anuli ta sidra atuntunan tangan pepareng lumaris ta sira ngranjing ring pakubon, jumujug sira maring genahe soda rayunan nira tumuli sira sareng alungguh sama nadah, antyan ta pada suka nira kalih, ri wus sira nadah mojar pwa sira Dalem Bedahulu, duh sira yayi Putih Jimbaran pakaryan ta sira ring pakubon ring kene kakanta mangke amwit ring sira mantuka ring Bedahulu, agelis matinggal sira sang dalem, tanucapan sira ring awan, tucapa mangke sira Dalem Putih Jimbaran, garjita sira ring pakubon kunang stri nira meteng wus liwar ring wolu lakwaning prataya mijil pwa ikang rare jalu paripurna ingaranan sira Dalem Petak Jingga. . . .
. . . mwah wuwus ta sira Dalem Petak Jingga, apan sira kaping singgih dening wang Jimbaran sira angwangun paryangan setanan bhatara meru tumpang welas ingaranan ta ya Ulun Swi, hana pwa sentanan nira anglurah Tegeh Kori samawita ring Dalem Petak Jingga sira ta amangkui malinggih Bhatara ring Ulun Swi mwah ta Dalem Petak Jingga angwangun ta sira Kahyangan Pangulun Setra, hana ta Santana nira I Gusti Anglurah Celuk ring Tabanan sira ta sumawita ring Dalem Petak Jingga sira ta kinon nira mangku ring palungguh nira ring bhatara ring kahyangan pangulun setra, mwah ta sira Dalem Petak Jingga angwangun sentana Bhatara Meru Tumpang 3 saha paibon ingaranan pwa ya Pura Dukuh, hana ta ya Pasek Saking Samba kasiasih aninggali pradesa nia angungsi desa Jimbaran sumawita maring Dalem Petak Jingga sira ta kinon nira Mangku I palinggihan nira bhtara ring Pura Dukuh . . .
(Prasasti Dalem Putih Jimbaran).

Arti Bebas:

. . . kemudian berkata Dalem Bedahulu, duh ah ah ih ih jika begitu bersaudara kita berdua karena beliau lahir dari batu dan juga beliau lahir dari air, berkata Dalem Putih Jimbaran, tahu demikian seperti apa yang dikatakan lantas mengajak berjalan menuju ke pakubwan (pondok), saling berpegangan tangan, langsung menuju ke pondok beliau, menuju ketempat hidangan dan duduk bersama-sama menikmati hidangan, berbahagilah mereka berdua, sehabis menikmati hidangan berkata beliau Dalem Bedahulu, duh adikku Putih Jimbaran berkaryalah di pakubwan, sekarang kakak akan meninggalkanmu dan kembali ke Bedahulu, lantas berjalan beliau sang dalem menghilang dari bayangan, dikisahkan sekarang beliau Dalem Putih Jimbaran berbahagia sekali di pondok, apalagi istri beliau setelah lewat delapan bulan lahir seorang anak laki-laki yang sangat rupawan bernama Dalem Petak Jingga . . .
. . . . serta dikisahkan beliau Dalem Petak Jingga, karena beliau sangat dihormati oleh masyarakat Jimbaran beliau membangun tempat suci stana bhatara Meru tumpang 11 yang diberi nama Ulun Swi, adalah keturunan beliau Anglurah Tegeh Kori sepenanggungan terhadap Dalem Petak Jingga beliau memangku di tempat suci bhatara Ulun Swi, juga beliau Dalem Petak Jingga membangun Kahyangan Pangulun Setra, adalah keturunan beliau I Gusti Anglurah Celuk dari Tabanan beliau juga sepenanggungan kepada Dalem Petak Jingga , beliau ditugaskan memangku di tempat suci beliau Bhatara Kahyangan Pangulun Setra, dan juga beliau Dalem Petak Jingga membangun stana bhatara Meru tumpang 3 serta Paibon bernama Pura Dukuh, adalah Pasek dari Samba meninggalkan desanya dan mengungsi ke Jimbaran, beliau ditugaskan memangku tempat suci bhatara di Dukuh . . .
Pura Dukuh Awalnya Pura Paibon Dalem Putih dan Dalem Petak

DALEM KEMBAR & MUNCULNYA NAMA TEMPAT & PURA DI JIMBARAN

Piagem Dukuh Gamongan, Sri Batu Putih, (Dalem Putih, Dalem Petak, Dalem Sweta), Kakak Kandung Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) dan Sejarah Munculnya Nama-Nama Tempat dan Nama-Nama Pura Di Jimbaran, Kuta-Selatan

. . . risapamadeganira Sri Astasura Ratna Bumi Banten maring Bhadahulu, kertharaharja ikang panagara Bangsul, apan sira stata angambekaken tapa Brata semadhi sangkan rare, ika marmanyan sira abhiseka Sri Tapahulung, kadi sanghyang wisnu nyalantara, teguh kukuh ambekira ngamong jagat, ika matangnyan sira apasadnyan Sri Batu Ireng, mwang kakangira ta sira Sri Batu Putih, apan suci nirmala ambekira, amupu maring Jimbarwana, anangun tapa brata semadhi, angulati ambek kaparamarthan, samangkana subal, mangke caritanan sira Sri Batu Putih, swe pasaha lawan sanakira, sang amrajaya maring Bhadahulu, risampun swe ngamong rajya kadaton, menget pwa sira Sri Batu Ireng maring kakangira, sang apasadnyan Sri Batu Putih, maring Jimbarwana, ika matangnyan ngetut uri lampah sira kaka, neher jumujug maring Jimbarwana, nanging sira maka rwa, pada tatan wruha, maring tata wedana nira sang kalih, apan sangkan lawas palas makarwa, risampun Sri Batu Ireng, prapta maring purinira Sri Batu Putih, matemu lawan Stri nira Sri Batu Putih, mwang jumujug maring parantenan, amungkah ikang bogapasajinira katur maring sira Sri Batu Putih, risampun mangkana raris mapajar sira Sri Batu Ireng ring wang pawastri, Ah, Ah, Kita wang pawestri, ulun atanya ring kita, ring ndhi kakangku Sri Batu Putih mangke, dak warahen sangulun, apan sampun malawas ulun arep atemu, sumawur sang pawestri, singgih sang wawu prapta, sira Sri Batu Putih, hana maring mal anuriksakna punang tatanduran, riwawu samangkana, tan pasamadana sira Sri Batu Ireng, neher jumujug maring Mal, ri sampun sira nureksakna punang Mal, angob sira tumon punang tatanduran, asing tinandur sarwa mupu, mwang masari, ika matangnyan, ri genah nira Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, ingaranan Sarining Bwana, apan sakeng irika pangastitinira meletik ikang Sarin Bwana, mangkana ujar ira Sri Batu Ireng, rehning tan katemu kakangira maring Mal, pastika sira nungsang palaku, apan tan aswe Sri Batu Ireng medal sakeng puri, sira Sri Batu Putih sampun prapta maring Puri nira, raris matur stri nira saha tawan tawan tangis, majaraken ri polah sang tamwi, agung aluhur, ireng warnanira, krurakara kadi trapning danawa, amungkah ikang boga pasaji nira maring prantenan, risamangkana atur nira sang pawestri, tan lingen krodanira Sri Batu Putih, ngagem Gandewa ngetut uri lampah sira Sri Batu Ireng, sang kasengguh danawa, apan busananira ocak-ocakan, prapta maring jimbar wana, tan panantara aprang sira kalih, aruket, pada pada jayeng rana, saling sudat, pada tumitih, nanging tanana kacurnan, apan pada sakti pwa sira kalih, asing malayu binuru, makliwesan sira Sri Batu Ireng, prapta maring lwah, jenek sira ingkana, apan maring abing sira manyineb, mojar sira, mogiriastu lwah iki ingaranan Batumabing, tan aswe kaburu sira dening Sri Batu Putih, aprang tan pegatan, melayu pwa sira danawa, nyineb maring batu magwa, tan aswe prapta Sri Batu Putih, melayu sira Sri Batu Ireng, mojar pwa sira Sri Batu Putih, mogariastu ingke riwekasan kawangun pura mangaran Pura Batumagwung, risampun mangkana, rinebut sira Sang Danawa, dening kula nira Sri Batu Putih, nanging prasida denya makilesan, mojar sira Sri Batu Putih, mogariastu genah iki riwekasan  mangaran Sekhang, mapan sira Sri Batu Ireng rinebut dening wadwanira Sri Batu Putih Jimbaran, nyutirupa sira Sri Danawa nanging Sri Batu Putih tatan keneng ingapus, wruh pwa sira ring rupanya, ujar nira, mogariastu ing kene kawangun pura ingaranan Pura Muaya, ri wus mangkana kroda sira Sri Batu Ireng mwali prang tanding sira makarwa aprang ocak-ocakan, saling sudat dada, cidra cinidra, aburburan punang lemah, pada prawira ngantos lumah ngulasah maka rwa tanana alah, pada pada makilesan, rehning prang tanding ika kadi pacepukaning sanghyang kala kali, ri wekasan mogariastu genah iki mangaran Kali, risampun matutupan sanghyang bayu maring angga sariranira Sri Batu Putih, dauhaken punang bala nira, nambakaken laju nira sang danawa, raris katemu pwa sira sedeng amungkah cecepan, malih kaburu sira danawa, malayu maring lisikaning awan, lesu angswol angswol ngunggahang, risampun katemu genah masineb gaing gaingan angusap usap ikang pupu, mojar sira Sri Batu Putih, jatasmat mogiriastu riwekasan, genah nambakaken danawa manadi gumi mangaran Tambak, genah sira amungkah cecepan mangaran Sesepan, ring angswol angswol munggahang ingaran unggah unggahan, mwah ri genah angusap pupu ingaranan Gaing-gaingan, risampun lesu pwa sira maka rwa alungguh pwa maring lemah mwang silihujar pwa sang kalih, ujarira Sri Batu Putih, ih ta kita danawa, siapa kita, sakeng ndhi, sakti tan paingan, tan kaprajayeng pwa ta kita, apa arep ta dateng marengke, dhak warahen ulun, Om, Om, Om, sang maha sakti, ulun abhiseka Sri Batu Ireng, sakeng Badhahulu, dateng marengke, arep atemu lawang kakangku sang abhiseka Sri Batu Putih, Om, Om, Om, Uduh Yayingku, ulun Sri Batu Putih, risamangkana, kagyat nira kalih, apelukan magulingan maring lemah, apan tan lingan garjita nira maka rwa, raris kasiwi pahulunan de balapeka sedaya, maka rwa mojar pwa sira, mogariastu ingkene kawangun pura ingaranan Ulun Swi, apan pahulunan maswi lawan wang sanak, mangkana subal . . .
(Piagem Dukuh Gamongan, 12a-17b).

Arti Bebas:
           Pada zaman pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten di Badhahulu, selamat sejahtera Negara Bali, sebab beliau selalu menjalani tapa Brata semadhi sejak kecil, maka dari itu beliau disebut Sri Tapa Hulung, bagaikan sanghyang wisnu kenyataan, kuat dan taat dalam memerintah, itu sebabnya beliau diberi sebutan Sri Batu Ireng, juga kakak beliau bernama Sri Batu Putih, karena beliau selalu menjalani hidup suci, bertempat tinggal di Jimbarwana, menjalani tapa berata semadhi, mencari kebenaran sesungguhnya, demikian selesai, selanjutnya diceritakan beliau Sri Batu Putih, yang telah lama berpisah dengan saudaranya, yang menjadi raja di Badhahulu, setelah lama memegang tahta kerajaan, ingat beliau Sri Batu Ireng dengan kakaknya, yang bernama Sri Batu Putih, di Jimbarwana (hutan luas), oleh sebab itu mengikuti jejak perjalanan kakaknya, lantas menuju ke Jimbarwana, namun beliau berdua sama-sama tidak tahu akan rupa wajahnya, karena saking lamanya beliau berpisah, setelah Sri Batu Ireng sampai di Puri Sri Batu Putih, bertemu dengan istri beliau Sri Batu putih, dan langsung menuju dapur, membuka persiapan hidangan untuk beliau Sri Batu Putih, jadi setelah itu berkata Sri Batu Ireng dengan seorang istri, Ah, Ah, kamu seorang istri, saya bertanya kepadamu, dimana kakakku Sri Batu Putih sekarang, silahkan beritahu aku, karena sudah lama aku tidak bertemu, menjawab sang istri, baiklah yang baru datang, beliau Sri Batu Putih, ada di kebun sedang memeriksa tetanaman, baru demikian, tanpa berterima kasih beliau Sri Batu Ireng, terus menuju kebun, setelah melihat-lihat kebun itu, kagum beliau dengan tanaman disana, setiap tanaman tumbuh dengan subur, lebat, itu sebabnya, di tempat beliau Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, bernama Sarining Bwana, karena dari tempat memohon beliau muncul Sarin Bwana (isi dunia), begitu ujar beliau Sri Batu Ireng, karena tidak bertemu dengan kakak beliau di kebun, pastilah beliau lewat berlainan arah, tidak lama setelah Sri Batu Ireng keluar dari Puri, beliau Sri Batu Putih sudah tiba di Purinya, lantas berkata istri beliau sambil nangis “sigsigan”, memberitahukan tingkah polah sang tamu, tinggi besar, hitam warna kulitnya, acak-acakan bagaikan seorang raksasa, membuka hidangan baginda di dapur, demikian diberitahukan oleh sang istri, tak disangka marah besar beliau Sri Batu Putih, seraya mengambil Gandawa (busur) dan mencari Sri Batu Ireng, yang disebut raksasa itu, karena pakaiannya urak-urakan, datang ke Jimbarwana, tak berapa lama berkelahi beliau berdua, berkelahi habis-habisan, sama-sama tangguh dalam perkelahian, saling seruduk, saling menekan, namun tak ada sampai berdarah, karena sama-sama sakti beliau berdua, saling kejar, menyelinap beliau Sri Batu Ireng, tiba di sungai, mengaso sekejap disana, karena di tebing beliau bersembunyi, berkata beliau, semoga sungai ini kelak bernama Batumabing, tak begitu lama dikejar oleh Sri Batu Putih, lagi berkelahi tak henti-hentinya, lari beliau si raksasa sembunyi di goa batu, tak begitu lama datang Sri Batu Putih, lari beliau Sri Batu Ireng, berujar beliau Sri Batu Putih, semoga kelak disini dibangun pura bernama Pura Batumagwung, kemudian direbut sang raksasa itu, oleh rakyat beliau Sri Batu Putih, namun berhasil beliau menyelinap, berkata beliau Sri Batu Putih, semoga kelak tempat ini dikemudian hari bernama Sekhang, artinya beliau Sri Batu Ireng direbut oleh rakyatnya Sri Batu Putih Jimbaran, menghilang wajah beliau sang danawa namun Sri Batu Putih tidak bisa dihapus, ketahuan wajahnya, berkata beliau, semoga kelak di tempat ini dibangun pura bernama Pura Muaya, seketika itu marah beliau Sri Batu Ireng, kembali perang tanding mereka berdua, dengan sangat dahsyat sekali, saling pukul dada, sama-sama memakai tipuan, berhamburan tanahnya, sama-sama perkasa sampai lemah lunglai mereka berdua, tak ada yang kalah, sama-sama menyelinap, karena perang tanding itu bagaikan pergumulan sanghyang kala-kali, dikemudian hari semoga tempat ini bernama Kali, setelah dapat bernafas sejenak, beliau Sri Batu Putih, memerintahkan pasukannya untuk menghadang langkahnya sang raksasa, akhirnya ketemu beliau sedang membuka cecepan (tempat mako), lagi dikejar raksasa itu berjalan ke tengah kabut, lesu berhangsur-hangsur nafasnya naik, setelah ketemu di tempat dimana bersembunyi memijit dan mengusap-usap kakinya, berkata beliau Sri Batu Putih, kelak semoga dikemudian hari, tempat menghadang  si raksasa menjadi tempat bernama Tambak, tempat dimana beliau membuka tembakau bernama Sesepan, di tempat nafas tertatih-tatih keatas bernama Unggah-unggahan, dan ditempat mengusap-usap kaki bernama Gaing-gaingan, setelah payah mereka berdua dan duduk di tanah serta berujar salah satunya, berkata Sri Batu Putih, Hai kamu raksasa, siapa kamu, dari mana, sakti tak tertandingi, tak bisa dikalahkan kamu, apa maksud kamu datang kemari, kasih tahu aku, Om, Om, Om, sang maha sakti, aku bergelar Sri Batu Ireng, dari Badhahulu, datang kemari, hendak bertemu dengan kakakku, yang bernama Sri Batu Putih, Om, Om, Om, aduh adikku aku Sri Batu Putih, seketika itu, kaget beliau berdua, berpelukan, bergulingan di tanah, karena saking bahagianya beliau berdua, dan disambut oleh seluruh pasukan dan rakyatnya, berujarlah mereka berdua, semoga kelak disini dibangun pura bernama Ulun Swi, sebagai tonggak pertemuan dengan sanak saudara, demikian selesai.
Arca-Arca Peninggalan Sri Batu Putih (Dalem Putih) di Pura

SRI JAYASUNU MENURUNKAN RAJA SRI MASULA-MASULI, MENURUNKAN SRI BATU IRENG (SRI ASTASURA RATNA BUMI BANTEN)

Purana Bali Dwipa, Sri Jayasunu (Sri Taruna Jaya), Menurunkan Kembar Buncing Sri Masula-Masuli, Menurunkan Putra Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Sri Batu Ireng, Sri Gajah Waktra, Sri Gajah Wahana, Sri Tapa Hulung, Dalem Selem, Dalem Bedahulu, Dalem Beda Muka).

Sri Jayasunu sampun mahayun anakradala, wus apulapali abhiseka Bhatara Sri Parameswara, Pinten dina kala lami Bhatara Sri Parameswara anakradala hana sutanya mijil buncing anama Sri Masula kang laki, hari stri Sri Masuli namanya, apan Bhatara Sri Parameswara sampun lina, mangke sutanya manggalihi kang linggih Sri Masula-masuli, kapuji praya angraksa rajya Bali-pulina, wus apula-pali abhiseka Bhatara Mahaguru Dharmma Hutungga Warmmadewa, punang kutanya anama Batahanyar. Malih krtta raharjja punang Bali-pulina apan tan hana satru malih, punang Kebo Parud lan wadwanya tan kari ring Bali, mangke aci-aci ringBali tan hana angusak-asik malih ketambeh purana Batur kalawasan namanya yan hana wong sudra amanak buncing. Pinten warsa kala lami Bhatara Mahaguru anakradala ring Bali-dwipa, hana sutanya sawiji mijil Sri Tapohulung namanya. Wus alami Bhatara Mahaguru Dharmma Hutunggadewa Warmmadewa anakradala, mantuk sira ring taya apan sampun kalingsiran, Isaka 1250. Mangke anak ira gumanti angraksa rajya, wus apula-pali Sri Tapohulung abhiseka Bhatara Astasura Ratna Bumi Banten. Sira kasumbung wibhawanya raweh ring Yawa-dwipa, apan sira sang natha Bali sakti angubar-abir, kalud adwe senapati-senapati malar prasama sakti-sakti, maler hana teguh tan tumamah wara sanjata. Senapati-senapatinya kang sampun kaparccahaya anama: Si Pangeran Tambyak ring Jimbaran, Si Pangeran Kalung Singkal ring Taro, Si Pangeran Tunjung Tutur ring Tenganan, Si Pangeran Tunjung Biru ring Tianyar, Si Pangeran Kopang ring Sraya, Si Pangeran Bwahan ring Batur, Si Pangeran Girimana ring Ularan Kulopaksa, wenten malih Pangeran Tangkas, mwang Pangeran Mas namanya. Kang sinengguh adining Senapati, Patih adheg ira anama Si Patih Pasung Grigih, ring Tengkulak kutanya. Si Patih Kebowaruya, ring Blahbatuh unggawanya, anak Sri Karang Buncing, saking astiti yoga Mpu Sidhimantra.
(Purana Bali Dwipa).

Arti Bebas: 
Sri Jayasunu sudah bersedia untuk bertahta, setelah usai penobatan Baginda bergelar Bhatara Sri Parameswara, entah berapa lama Baginda bertahta, Baginda berputra kembar buncing laki dan perempuan, yang sulung bernama Sri Masula dan adiknya bernama Sri Masuli. Karena Sri Parameswara sudah wafat, lalu digantikan oleh putra Baginda Sri Masula-Masuli yang bertahta. Baginda sangat mashur sebagai penguasa pulau Bali, sesudah usai upacara penobatan Baginda bergelar Bhatara Mahaguru Dharmma Hutungga Warmadewa, kerajaan Baginda bernama Bata Anyar, pulau Bali kembali aman dan sejahtra karena tidak lagi ada musuh, adapun Kebo Parud dan para pengikutnya tidak lagi tinggal di Bali. Segala upacara dan upakara di Bali tidak ada yang mengganggu lagi dikuatkan oleh catatan yang disebut Batur Kalawasan, tentang orang kebanyakan yang melahirkan anak kembar pria dan wanita (Buncing). Entah berapa tahun lamanya Sri Mahaguru bertahta di Bali, Baginda berputra seorang pria bernama Sri Tapohulung. Setelah cukup lama Sri Mahaguru Dharma Hutungga Warmmadewa bertahta, karena sudah lanjut usia Baginda lalu mangkat pada tahun Saka 1250/1328 Masehi. Selanjutnya putra Baginda yang bertahta, setelah usai upacara penobatan Baginda bergelar Bhatara Asta Asura Ratna Bumi Banten, Baginda mashur berwibawa sampai ke Pulau Jawa, karena Baginda Raja yang sangat sakti tiada bandingnya, lagi pula Baginda mempunyai Perdana Mentri maupun Papatih yang sakti, diantaranya ada yang kebal dengan senjata. Adapun para Senapati yang sudah diandalkan yakni, Si Pangeran Tambyak yang bertempat tinggal di Jimbaran, Si Pangeran Kalung Singkal bertempat tinggal di Taro, Si Pangeran Tunjung Tutur bertempat tinggal di Tenganan, Si Pangeran Tunjung Biru bertempat tinggal di Tianyar, Si Pangeran Kopang bertempat tinggal di Seraya, Si Pangeran Bwahan bertempat tinggal di Batur, Si Pangeran Girimana bertempat tinggal di Ularan Kalopaksa, ada lagi Pangeran Tangkas dan Pangeran Mas.Yang merupakan Senapati, dengan pangkat Patih yakni Pasung Gerigis yang bertempat tinggal di Tengkulak, Ki Patih Kebo Waruya bertempat tinggal di Blahbatuh, menurunkan Ki Karang Buncing berkat keberhasilan yoga Mpu Sidhimantra. 


 Raja Sri Jayasunu Nama Lain dari Raja Sri Taruna Jaya

           Sedikit argumentasi lain, tentang raja Sri Jayasunu, dalam lontar Aji Murti Siwa Sasana ning Bwana Rwa, merupakan lontar yang lebih dahulu ada dari lontar-lontar lain, menjadi pedoman milik Desa Adat Gamongan, dialih aksara oleh Kantor Dukumentasi Budaya Bali, 1995, menjadi Babad Karang Buncing, berbunyi:

1b. Iti aji murti siwasasana ning bhuwana rwa, dharma sasana ning dalem, sri jayakasunu duk agunem ring wilwatikta, papareng ring sira sang gnijaya . . .

Arti Bebas:
Ini Aji Murti Siwasasana Ning Bwana Rwa, kewajiban atau aturan yang menjadi pedoman raja Sri Jayakasunu ketika rapat besar di Majapahit, bersama dengannya beliau Sang Gnijaya . . .

Salinan lontar tersebut diatas tidak secara tegas disebutkan tahun berapa babad itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayakasunu itu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan jaya. Sri Jayasunu (turunan Jaya versi lontar) identik dengan Sri Taruna Jaya (turunan Jaya versi prasasti Srokodan dan piagem Dukuh Gamongan).

          Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali Kuno. Yang dimaksud keturunan Jaya disini adalah turunan dari raja Sri Jayasakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 masehi, yang menurunkan 5 putra, yang tertua bernama Sri Gnijaya, menurunkan putra Sri Jayapangus, menurunkan putra Sri Hekajaya. Jadi raja Sri Hekajaya ini tiga generasi dibawah Sri Jayasakti atau dengan perkataan lain Sri Jayasakti adalah kumpyang dari Sri Hekajaya. Sedangkan Sri Taruna Jaya adalah turunan dari Sri Jayasakti putra yang ke dua bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lencana, menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah dari Sri Jayasakti.   

Dalam salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, berbunyi:

. . . Sri Maha Dewa Lencana, risampun mawerdha pwa sira, metu putra sanunggal, apuspa ta sira Sri Taruna Jaya . . .

Arti Bebas:
. . . Sri Maha Dewa Lencana, setelah tua lahir seorang putra yang bernama Sri Taruna Jaya . . .

Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru), menyebutkan;

Isaka 1246 crawanamasa, tithi dwaci cuklapaksa, ma, wa, bu, waraning madangkungan, irika diwasa adnya Paduka Bhatara Guru kalih putunira sira Paduka Aji Cri Taruna Jaya, dumauh i para senapati umingsor itanda rakyan ri pakiran-kiran i jero makabehan, karuhan mpungku sewasogata resi brahmana, ipingsornya ajnya paduka cri maharaja, ajarn sirakabeh, ri kaditopaya nikanang karaman I Hyang Putih . .

Artinya,
Pada tahun Saka 1246/1324 Masehi bulan crawana, hari ke 12 menuju bulan terang, maulu, wage, buda, wuku medangkungan, pada waktu itulah saatnya Paduka Bhatara Guru serta putra beliau yang bernama Paduka Raja Cri Taruna Jaya, bersabda kepada para senapati untuk dilanjutkan kepada para tanda rakyan yang hadir pada sidang lengkap di istana terutama para Mpu Ciwa Budha para Resi dan Brahmana, adapun isi dan maksud paduka raja bersabda kepada mereka semua, sebab telah mendengar kesusahan desa Hyang Putih sewilayahnya.

(Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja tersebut diatas, Prasasti Srokodan Caka 1246, Prasasti Tumbu Caka 1247, Prasasti Selumbung Caka 1250, Prasasti Gunung Penulisan Caka 1254, Prasasti Langgahan Caka 1259)

PURA LEMPUYANG GAMONGAN, SEJARAH-MU KINI

Pura Lempuyang Gamongan, Sejarahmu Kini

          Di Bali, banyak pura tidak jelas status dan fungsi pura tersebut sebagai pura apa? Apakah Pura Swagina, Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, Pura Dadia atau Pura Panti atau Pura bekas tempat pertapaan dari para leluhur terdahulu, atau Pura tempat abu para raja yang dicandikan atau munculnya Pura itu atas kehendak dari segelintir orang atau Pura napak tilas para leluhur yang pernah datang ke tempat itu atau berdirinya pura bersumber dari kerauhan, atau berdirinya pura karena pawisik dan siapa yang membisiki. Tiba-tiba saja, yang dulunya hanya sebuah pohon dan didandani kain poleng, lalu dibuatkan sebuah palinggih berkembang menjadi pura dengan tri mandalanya yang sangat megah sekali, atau yang awalnya dari Kahyangan Desa berubah status dan fungsinya menjadi Kahyangan Jagat. Tetapi tak jelas siapa yang dimuliakan di pura itu, bagaimana awal mula berdirinya pura itu, siapa pengemong dan pengemponya, bagaimana kita mengetahui bahwa dewa/bhatara merestui tempat suci yang kita bangun itu, dan bagaimana status pura itu untuk selanjutnya.

           Selama ini berdirinya suatu pura umumnya memiliki prasasti dan purana yang sangat jelas dan di stanakan di pura setempat atau prasasti yang ada di lain tempat menjelaskan tentang keberadaan pura tersebut. Prasasti adalah ketetapan resmi terbuat dari tembaga yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa saat itu dan disaksikan oleh jabatan bawahannya, juga nama tetua desa tercantum di dalamnya. Sebelum prasasti itu disosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu di-pasupati terlebih dahulu, memohon spirit/roh kekuatan alam yang ada disekitarnya untuk menyatu dengan benda (prasasti) yang akan disucikan. Acara pasupati ini dilakukan kehadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu tempat, misalnya: tempat suci yang ada di daerah danau disebut Hyang Danawa (dewa danau), Hyang Gunung (dewa gunung), Hyang Api (dewa api), Punta Hyang (dewa resi) dan sebagainya sesuai manifestasi Tuhan yang dipuja di tempat itu. Dalam prasasti berisi kutukan dan sumpah bagi masyarakat yang tidak mengindahkannya yang dimohonkan kutukan datangnya dari segala arah. Dan kutukan ini lah yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitarnya.

           Perkembangan selanjutnya, untuk mengenang kisah peristiwa para raja, istri, anaknya selama memerintah terdahulu dan dikaitkan mithos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya oleh pemerintahan selanjutnya, termasuk para leluhur warga yang ikut merintis pura itu, maka menjadi sebuah catatan tertulis yang disebut purana yang terbuat dari daun lontar dan tentunya di stanakan di pura. Purana sebagai simbol kebersamaan dan pedoman bagi para pangamong dan pangempon pura di dalam menjalani kelanjutan dari perkembangan pura tersebut.

           Pada zaman Bali pertengahan pura pura Jagat umumnya memiliki Raja Purana yang menjadi pedoman umatnya. Dari purana turunannya menjadi babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan, disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain sehingga terjadi silang sengketa, nama sama belum tentu orangnya sama, akhirnya terjadi saling klaim.

           Mengutip Pura dan Purana dalam majalah Hindu Raditya, edisi Juni 2010 oleh Budi Adnyana menjelaskan dalam setiap Purana unsur sargah, pratisarga, wamsa, wamsanucarita, manvantara, adalah sangat jelas. Sargah adalah penciptaan, dalam konteks ini bukan hanya penciptaan dunia ini, namun juga cikal bakal berdirinya pura tersebut. Pratisarga akan menuntun kita pada kelanjutan pura ini setelah ada, sebagai kahyangan apa. Setelah itu diikuti Wamsa dari garis keturunan siapa dan pendeta siapa, danghyang siapa yang menjadi pemrakarsa. Kemudian Wamsanucarita, kelak pura ini disungsung oleh keturunan siapa atau garis keturunan yang mana. Yang terakhir adalah Manvantara atau periode waktu, siapa yang di puja serta upakara dan hari piodalan pura tersebut. Dimana catatan ini akan menjadi acuan dan pedoman bagi para penyungsungnya untuk selanjutnya. Mengacu dari uraian tersebut, Pura Lempuyang Gamongan rasanya telah memenuhi seluruh persyaratan tersebut diatas.

           Karena perkembangan konstelasi politik pemerintahan yang berkuasa pada masa kini, yang dulunya Pura Lempuyang di-mong oleh Desa Adat Gamongan, dan di-mpon oleh desa-desa diluar lingkungan Desa Adat Gamongan, sejak tanggal 11 April 2003 diambil alih dengan prosesi nedunang, nuhur prasasti dan pretima, dalam rangka Aci purnamaning ke dasa tanggal 16 April 2003 di Pura Lempuyang Madya, dijaga satu peleton Pasukan Dalmas Polres Karangasem, penjagaan itu karena belum ada kesepakatan menyangkut status dan pelaksanaan Aci di pura itu antara MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dengan pangemong pihak Desa Adat Gamongan. (Bali Post 12 April 2003).

           Menurut penglingsir Desa Adat Gamongan, Jro Mangku Komang Putra mengatakan permasalahan ini mulai muncul setelah pihak Warga Pasek Kecamatan Abang, mengklaim bahwa Pura Lempuyang Madya dinyatakan Linggih Bhatara Mpu Gnijaya sebagai Kawitan Warga Pasek, sehingga muncul Keputusan Maha Saba IV MGPSSR di Besakih tanggal 29 Juli 1989, Nomor: VII/MS/IV/MGPSSR/1989 tentang Program Kerja tahun 1989-1994, dengan berlanjut Keputusan Pengurus Pusat MGPSSR tanggal 25 Nopember 1989 Nomor: 19/PP/MGPSSR/1989, tentang Pembentukan Panitia Pemugaran Pura Lempuyang Madya di Kabupaten Karangasem. Dan implementasi dari surat keputusan tersebut, sehingga terjadi pemugaran secara sepihak oleh warga yang mengatasnamakan warga Pasek Kecamatan Abang. Karena belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak sehingga terjadi perselisihan dan dimediasi oleh aparat setempat, sehingga muncul Surat Pernyataan Kesepakatan pada tanggal 29 Maret 2000.

           Sedangkan warga Desa Adat Gamongan menyatakan saat kini bahwa Pura Lempuyang Madya yang berstana Ida Bhatara Hyang Gnijaya adalah bekas pertapaan Sri Gnijaya Sakti, menjadi raja Bali tahun 1119 Masehi, setelah habis masa memerintah melakukan wanaprasta menjalani hidup suci, akhirnya beliau sampai di Gunung Lempuyang, sesuai dengan catatan tertulis yang ada diatas. Tidak tertulis adanya Pura Lempuyang Dasar, Lempuyang Madya, Lempuyang Luhur, serta Pura Lempuyang lainnya. Disamping itu Jro Mangku Komang Putra merasa heran, “Kenapa baru menemukan Kawitan, sebelumnya dimanakah Kawitan MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi)” dengan penuh nada heran.

           Warga Desa Adat Gamongan belakangan ini melakukan ngastiti bhakti dari Pura Penyimpenan Bhatara Hyang Gnijaya, dengan membuat asagan/bale tempat haturan yang terbuat dari bambu seadanya sebagai wujud bakti pengayatan untuk Palinggih Telaga Sawang, bale pengayatan untuk Pura Penataran Lempuyang, bale pengayatan untuk Pura Pucak Bisbis.

           Jro Mangku Komang Putra mengharapkan kepada Pemerintah atau Kepala Daerah, agar membimbing dan mengawasi pelaksanaan penyebaran agama dan ibadah agar tidak menimbulkan perpecahan diantara sesama umatnya dan tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan, atau ancaman dalam segala bentuknya, yang bisa menimbulkan ketidak harmonisan diantara sesama umat Hindu yang ada di Bali yaitu dengan jalan meluruskan Sejarah Keberadaan Pura Lempuyang untuk generasi selanjutnya, sesuai dengan komitmen yang telah di dengung-dengungkan di media massa yaitu AJeg Bali?

SENAPATI KUTURAN DALAM BERBAGAI ZAMAN

Dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan raja-raja Bali Kuno, Senapati Kuturan muncul dalam berbagai zaman pemerintahan, yaitu mulai zaman pemerintahan Sri Dharmmodayana Warmadewa (Prasasti Serai Caka 915/993 Masehi) sampai akhir pemerintahan Bali Kuno, Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi). Selama 344 tahun terdapat 18 (delapanbelas) jabatan Senapati Kuturan dengan berbagai nama yang menjabat berikut:



  1. De Senapati Kuturan Dyah Kuting (Prasasti Serai Caka 915/993 Masehi, Raja Sri Udayana).
  2. De Senapati Kuturan Dyah Kayop (Prasasti Batur Pura Abang Caka 933/1011 Masehi, Raja Sri Udayana).
  3.  De Senapati Kuturan Pu Gawaksa (Prasasti Sembiran Caka 938/1016 Masehi, Raja Sri Ajnadewi).
  4. Sang Senapati Kuturan Mpu Angdona Menang (Raja Sri Ragajaya).
  5. Sang Senapati Kuturan Pu Angurucuk (Prasasti Depa, dan Prasasti Bwahan Caka 1068/1146, Raja Sri Jayasakti).
  6. Sang Senapati Kuturan Wirika Raga (Prasasti Tjampetan Caka 1071/1159 Masehi, Prasasti Sading B Caka 1072/1160 Masehi, Raja Sri Jayasakti).
  7. Sang Senapati Kuturan Pu Jagahita (Prasasti Babandem, Raja Sri Jayasakti).
  8. Sang Senapati Kuturan Pu Angga Menang (Prasasti Dausa, Raja Sri Jayasakti).
  9. Senapati Kuturan Pu Nirjanma (Prasasti Sembiran, Prasasti Kediri, Prasasti Bwahan, Prasasti Sukawana, Prasasti Selat, Prasasti Batunya, Prasasti Cempaga, Prasasti Sukawati, Prasasti Serai, Prasasti Tonja, dll, Caka 1103/1181 Masehi, Raja Jayapangus).
10.  Senapati Kuturan Pu Wahita (Prasasti Pengotan).
11.  Senapati Kuturan Pu Waning Tengah (Prasasti Kintamani D).
12.  Senapati Kuturan Pu Jita Yoga (Prasasti Pengotan D Caka 1103/1181 Maswehi, Raja Sri Jaya Pangus).
13.  Senapati Kuturan Pu Nijasa (Prasasti Pengotan D Caka 1103/1181 Masehi),
14.  Senapati Kuturan Pu Raga Dira (Prasasti Pangsan).
15.  Sang Senapati Kuturan Pu Kandara (Prasasti Pura Kehen B).
16.  Sang Senapati Kuturan Pu Bodhisatwa (Prasasti Pengotan A II dan Prasasti Ubung A, Raja Anak Hungsu).
17.  Senapati Kuturan Makakasir Dalang Camok (Prasasti Cempaga Caka 1246/1324 Masehi, dan Prasasti Tumbu Caka 1247/1325 Masehi, Prasasti Selumbung Caka 12501328 Masehi).
18.  Senapati Kuturan Makakasir Mabasa Sinom (Prasasti Langgahan Caka 1259/1337 Masehi, Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten).

           Interelasi dari dua versi tersebut diatas, Sang Senapati Kuturan sebuah istilah, jabatan mahapatih kerajaan Bali Kuno secara stuktural langsung dibawah raja dan berkewajiban memelihara tempat suci paduka raja yang ada di wilayah Kuturan/Kutur. Para Senapati bertugas mengimplementasikan perintah raja ke rakyatnya dalam pembangunan di segala bidang, termasuk pembangunan tempat-tempat suci. Pada era itu sebutan atau gelar seorang pendeta bukan Mpu. Kata-kata Mpu, Pu, Umpu, Mpukwing, dipakai bagi setiap orang yang mempunyai keahlian pada bidangnya/para ahli, misalnya: Mpu Gandring seorang akhli di bidang keris dan persenjataan lain, Mpu Tantular akhli dalam bidang kesusastraan. Mpu Prapanca akhli dalam bidang politik pemerintahan. Juga kata-kata Mpu untuk sebutan terhormat pada awal penyebutan nama seseorang. Kemungkinan kata Mpu ini menajdi kata Ipun dalam bahasa Bali sekarang. Karena data sejarah belum mendukung atau kurang lengkap sehingga Senapati Kuturan ini di asumsikan oleh masyarakat awam identik dengan Mpu Kuturan, seorang pendeta dari Jawa yang diceritakan banyak membangun tempat-tempat suci yang ada di Bali.


KONTOVERSI ANTARA MPU KUTURAN & SENAPATI KUTURAN

Kontroversi antara Mpu Kuturan dengan Senapati Kuturan

           Argumentasi lain yang menyebutkan Mpu Kuturan datang di Bali pada zaman pemerintahan Sri Dharmmodayana Warmadewa, dan beliau banyak membangun tempat suci (pura) yang ada di Bali, juga terdapat beberapa silang interpretasi yang berbeda-beda terhadap argumentasi tersebut, sedikit komparasi antara:

Versi Jawa, menyebutkan Mpu Kuturan:
adalah seorang pendeta atau rohaniawan berasal dari Majapahit (Usana Bali) dan referensi lain menyebutkan keberadaan beliau Mpu Kuturan yang bersaudara kandung dengan Mpu Genijaya, Mpu Ghana, Mpu Semeru, Mpu Bharadah yang hidup pada zaman pemerintahan Airlangga tahun 1019. Mungkinkah seorang resi membangun pura pura yang ada di Bali? Karena seorang resi (pertapa) berusaha hidup melepaskan keterikatan duniawi dan hidup dari hasil pajak kerajaan. Mengapa konsep yang dibuat oleh Mpu Kuturan dalam penataan tempat suci (pura) yang ada di Bali tidak lazim terdapat di Jawa, seperti ada Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Panti, Pura Segara, Pura Tambak Kurung atau dengan perkataan lain, terdapat pemujaan berdasarkan atas karakteristik atau sifat kekhasan dari pura tersebut, yaitu ada Pura Umum (Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat), Pura Teritorial (Kahyangan Desa), Pura Fungsional (Pura Subak, Pura Melanting, Pura Sagara, dll), Pura Kawitan (Sanggah Kamulan, Pura Ibu, Pura Panti, Pura Dadya).
           Pada zaman pemerintahan raja-raja Bali Kuno, pertapaan para pendeta hidup dari tunjangan hasil pajak yang diberikan oleh raja. Para pendeta kerajaan diangkat dan diberikan wewenang untuk mengurus pertapaan dan tempat pemujaan raja oleh raja yang berkuasa pada saat itu, begitupun sebaliknya seorang raja akan diangkat dan disahkan serta diberikan gelar ke-dewa-an oleh para pendeta kerajaan. Raja Bali Kuno pada akhir pemerintahan bersifat konsisten menjalani kehidupan wanaprasta yaitu melepaskan keterikatan dunia materi, dengan hidup menyepi atau pergi ke tempat yang lebih tinggi (gunung) untuk mencari keagungan Tuhan. Sedangkan Mpu Kuturan banyak disebut-sebut dalam Usana Bali yang ditulis setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit.
           Menurut Prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa, alih aksara lontar Kantor Dokumentasi Budaya Bali tahun 1998, menjelaskan, dari Batara Brahma lahir seorang putra bernama Brahmana Pandita nama lain Mpu Witadharma menurunkan seorang putra bernama Mpu Wiradharma menurunkan tiga orang putra, yang sulung bernama Mpu Lampita, yang menengah Mpu Adnyana, paling bungsu bernama Mpu Pastika. Mpu Lampita melahirkan dua orang putra, yang sulung bernama Mpu Pakuturan dan adiknya bernama Mpu Pradah. Jadi Prasasti ini bertentangan dengan Bancangan Pasek Gelgel diatas, dimana Mpu Lampita menurunkan lima orang putra yaitu Brahmana Pandita (Mpu Gnijaya), Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah, sedangkan dalam prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa menurunkan dua putra, Mpu Pakuturan dan Mpu Pradah, tidak muncul nama Mpu Ghana, Mpu Semeru, dan Mpu Gnijaya.
           Dalam Babad Pasek yang disusun oleh Jro Mangku Ketut Soebandi (2004:20,36), Mpu Kuturan muncul dua periode yaitu zaman pemerintahan Raja Sri Udayana Warmmadewa tahun Caka 923/1001 Masehi dan pada zaman pemerintahan Raja Sri Masula Masuli tahun Caka 1246/1324 Masehi. 
           Dalam lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, muncul Mpu Kuturan bersama keturunan Sri Pasung Grigis dan Sri Jaya Katong sekitar tahun 1324 Masehi, dan banyak opini masyarakat Mpu Kuturan identik dengan Senapati Kuturan (Versi Bali).
           Dalam dongeng serat calon arang yang digubah tahun 1540 menceritakan kejadian lima ratus tahun yang lalu, Mpu Baradah diutus oleh raja Erlangga datang ke Bali untuk menawarkan salah satu anaknya menjadi raja di Bali, karena anak beliau mempunyai hak waris menjadi raja Bali. Sebelum Mpu Baradah menemui sang raja, secara protokoler, seorang tamu wajib mengikuti aturan-aturan yang ditentukan oleh penguasa Bali saat itu. Proses Mpu Baradah sebelum menemui sang raja diwajibkan menghadap sang senapati (mahapatih) sebagai panglima perang saat itu. Yang pada saat itu diterima oleh sang Senapati Kuturan. Tidak secara tegas menyebutkan siapa nama pejabat Senapati Kuturan saat itu.
           Dalam buku Sejarah Bali Dwipa oleh ND. Pandit Shasri (1963:53) tertulis, Hal yang perlu diingat ialah bahwa prasasti-prasasti yang berhubungan dengan diri Mpu Bharada yang dihubungkan dengan diri Mpu Kuturan, tidak ada dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri. Prasasti yang didapatkan di Jawa Timur (Aksobyah) ber-angka tahun 1289 Masehi bertentangan dengan keterangan yang menyatakan bahwa beliau itu datang pada zaman pemerintahan raja Sri Udayana.       
           Kalau ditarik periode tahun kedatangan Mpu Kuturan tiba di Bali, Isaka 923/1001 Masehi dan dihubungkan dengan kedatangan Mpu Gnijaya pada tahun Isaka 971/1049 Masehi, terdapat tenggang waktu yang sangat mencolok sekali selama 48 tahun. Mungkinkah periode selama 48 tahun pendeta Mpu Gnijaya baru tiba di Bali?
           Sedangkan dalam bagan silsilah MGPSSR, Mpu Bharadah yang datang ke Bali pada era keberadaan Mpu Kuturan tahun Isaka 923/1001 Masehi, menurunkan putra Mpu Bahula, menurunkan putra Mpu Tantular (Mpu Wiranatha), menurunkan putra Danghyang Smaranatha, menurunkan putra Mpu Nirarta yang tiba di Bali tahun Isaka 1382/1460 Masehi. Jadi interval waktu selama 460 tahun, mungkinkah Mpu Baradah hanya menurunkan empat generasi saja?
           Dalam catatan prasasti raja-raja Bali-Kuno, penulis belum menemukan Mpu Kuturan menjadi pendeta kerajaan Sri Dharmma Udayana Warmmadewa yang berkuasa pada era itu. Jabatan pendeta hanya dikeluarkan oleh para sekte/agama yang berkembang pada zaman itu, misalnya: pengikut Sekte Siwa pendetanya disebut dang acharya, Sekte Budha pedetanya disebut dang upadyaya, Sekte Waisnawa pendetanya disebut rsi bhujangga dan lain sebagainya. Disamping itu, untuk menjadi orang suci berdasarkan garis keturunan (Sapinda) misalnya, raja Sri Gnijaya setelah memerintah melakukan hidup suci (wanaprasta) di Lempuyang tetap memakai nama Gnijaya, begitu pun yang melanjutkan pertapaan setelahnya yaitu Sri Maha Sidhimantra Dewa, Sri Indracakru, Sri Pasung Grigis, Sri Rigis, Sri Pasung Giri tanpa amari aran atau berganti nama..

Versi Bali menyebutkan Senapati Kuturan:
 adalah sebuah jabatan mahapatih kerajaan (bukan nama yang menjabat, pejabat), secara stuktural langsung dibawah raja dan bertanggung-jawab atas tempat pemujaan raja yang ada di wilayah Kuturan / Kutur.

Kata senapati berasal dari bahasa sanskerta sena dan pati. Sena berarti tentara sedangkan Pati berarti raja. Jadi senapati berarti raja atau pemimpin tentara. Terdapat beberapa jabatan senapati yang dikenal pada masa pemerintahan Bali Kuno antara lain, Senapati Balembunut, Senapati Dinganga, Senapati Denda, Senapati Mahiringin, Senapati Sarbwa, Senapati Kuturan, Senapati Waransi, Senapati Wrasanten.

Beberapa Kutipan Prasasti yang Menjelaskan Kuturan adalah Nama Tempat/ Wilayah, berikut:

Dalam Prasasti Bwahan dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra pada kelompok III A4 tahun caka 1068/1146 Masehi yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayacakti, berbunyi;

. . . lawan karaman i wikang ranu maser Kedisan, Bwahan, Air Hawang, tan ategen wilwangharepa salwiran i pamuja nira Sri Maha Raja mare Kutur mwangngi Turunan, apan . . .

Arti Bebas:
. . . selanjutnya krama desa-desa di tepi danau yaitu Kedisan, Bwahan, Air Abang, tidak dipaksa untuk ikut melakukan penghormatan terhadap pemujaan paduka Sri Maha Raja yang ada di Kutur maupun di Turunan karena ..

Dalam Prasasti Pengotan Caka 1103/1181 Masehi, dikeluarkan pada zaman pemerintahan Sri Jayapangus, berbunyi:

. . . mangkana yan hana kapamwatan ri tani karaman i udanapatya tan parabyaparan denira ri padecyannya, makadi sirakmitan Kuturan tan kna pabharu, lawan wnanga yanawunga . .

Arti Bebas
. . demikian pula apabila ada yang membebani penduduk desa di udanapatya tidak boleh mengganggu penduduk desa seperti umpamanya mereka menjaga di Kuturan tidak dikenakan pabharu (iuran) dan diperkenankan mengadakan sabungan ayam . .

Dalam Prasasti Selat, Caka 1103/1181 Masehi dikeluarkan oleh Raja Sri Jaya Pangus, halaman 4 b berbunyi:

. . . ngawineh wnang wiku rsi momah sumlaping ring karaman tan katempahana denda waci ring Kuturan . . .

Arti Bebas
 . . alasan diijinkan seorang resi berumah samping krama tidak dikenakan iuran (kewajiban) yang tinggal di Kuturan . . .

Dalam Prasasti Selumbung, Caka 1250/1328 Masehi dikeluarkan oleh Raja Sri Maha Guru, halaman II a 4 berbunyi:

. . . tan kna padeci ring Kuturan, lawan karaman ing Salumbung . . .

Arti Bebas
. . . tidak kena iuran (kewajiban) tinggal di Kuturan, juga warga di Selumbung . . .

Dalam Prasasti Batuan, tahun Caka 944/1022 Masehi, dikeluarkan oleh raja Sri Marakata Pangkaja Tunggadewa, dikatakan: 

bahwa untuk kesejahteraan penduduk desa, terdapat sawah paduka raja yang tidak ada yang mengerjakan, itulah sebabnya sawah tersebut diberikan (punya) kepada salah satunya untuk Sang Senapati yang ada di Kuturan, dijadikan pelaba pura, yang terletak di perbatasan Batuan.

           Ada dua Senapati Kuturan yang muncul pada zaman pemerintahan Sri Dharmodayana yaitu: dalam Prasasti Serai tahun Caka 915/993 Masehi, muncul De Senapati Kuturan Dyah Kuting dan Prasasti Batur Pura Abang tahun Caka 933/1011 Masehi muncul De Senapati Kuturan Dyah Kayop (Goris, R,1954:82, 89).

          Dengan demikian kalau dihubungkan Mpu Kuturan (versi Jawa) adalah seorang Brahmana, yang datang dari Jawa dan mendapat jabatan menjadi Senapati Kuturan (versi Bali) dalam pemerintahan Raja Sri Dharmodayana atau menjadi seorang ksatria Bali, lalu yang manakah nama beliau satu di antara dua nama tersebut diatas?

KONTROVERSI, ANTARA MPU GNIJAYA & SRI GNIJAYA

Kontroversi Pendiri Pura Lempuyang, antara Mpu Gnijaya dengan Sri Gnijaya

           Kadang-kadang seseorang kesulitan untuk mengetahui tahun berapa prasasti tersebut ditulis dan di zaman pemerintahan siapa prasasti tersebut dikeluarkan, maka seseorang kemudian cuma menebak-nebak dengan memainkan perasaan dan akal sehat, memainkan huruf perhuruf dalam kata, memainkan kata perkata dalam kalimat, sehingga hasil perenungan seseorang memunculkan banyak dugaan, banyak nama samar, banyak nama tempat sama, banyak nama pura sama, semua mengaku paling jitu dan sah. Tapi, karena pendapat itu tidak didukung oleh data sejarah, orang cendrung meragukan dan mengabaikannya, karena tiada data sejarah itulah muncul kemudian nama-nama samar yang belum tentu orangnya sama, riwayat berdasarkan Babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan, disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain, sehingga terjadi silang sengketa beberapa versi, beda judul isi sama, atau tergantung dari aspek batiniah si penulis.
           Disamping melalui konsepsi Tri Hita Karana atau konsep tata letak tempat dalam suatu wilayah atau desa, yang telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu, yaitu tentang parahyangan, pawongan, palemahan. Dimana pangemong dan pangempon (penanggung dan pemelihara) pasti hidup di lingkungan terdekat dari pura tersebut. Bagaimana mungkin menghaturkan yadnya sehari-hari dengan lancar dan khusuk, sedangkan pengamong bertempat tinggal jauh dari letak wilayah administratif desa. Analogi ini kita ambil contoh; sanggar kamulan (tempat suci rumah tangga) dimana pemuja dan pemelihara pasti hidup berdampingan atau menyatu di dalam rumah tangga, tidak mungkin sanggar kemulan itu dipuja oleh tetangga sebelah kecuali hidup dalam satu batih keluarga di satu pekarangan rumah, dan Pura Desa Kuta misalnya, tidak mungkin di-mong dan di-mpon oleh masyarakat Desa Jimbaran dan selanjutnya.

           Argumentasi yang menyatakan bahwa Pura Lempuyang yang terletak di Desa Adat Gamongan, Desa Tiyingtali, umumnya disebut Pura Lempuyang Madya adalah stana Mpu Gnijaya “perlu ditinjau lebih lanjut” Ada dua versi yang menyebutkan tentang penggunaan nama Gnijaya sebagai pemancang tonggak sejarah berdirinya Pura Lempuyang dalam versi Jawa dan versi Bali, berikut komparasi antara:

Versi Jawa, Mpu Gnijaya,
Dalam Bancangan Pasek Gelgel, alih aksara lontar Kantor Dokumentasi Budaya Bali menjelaskan ….kemudian Mpu Lampita berputra 5 orang laki-laki, lahir dari panca bayu, susunan namanya, yang tertua, sang Brahmana Pandita, saudara yang kedua Mpu Semeru, yang ketiga Mpu Ghana, yang keempat Mpu Kuturan, yang bungsu Mpu Bradah, selanjutnya beliau Mpu Brahmana Pandita, beristrikan dengan putri Sang Hyang Putrajaya yang bergelar Bhatari Manik Gni, disitu beliau Mpu Brahmana Pandita ganti nama, Mpu Gnijaya sebutan beliau.

           Dalam prasasti tembaga Pasek Gelgel Caka 1749/1827 Masehi, disimpan di desa Tampekan, Banjar, Buleleng, dialih aksara oleh Putu Budiastra, tahun 1979 .menjelaskan, dari ketiga  belas lembar tembaga yang tebalnya tidak kurang dari 1 melimeter itu pada tiap-tiap halamannya digoresi enam baris huruf Bali lumrah serta bahasa Bali yang diselingi bahasa Jawa tengahan belakangan, tergolong kelompok paling muda, yaitu kelompok prasasti kelas tiga yang dapat disejajarkan dengan kelompok babad atau pun pamancangah lainnya, berikut:

1a. Iti kawitan i pasek gelgel, bhatara brahma mayoga, hana sang ratu sareng ring sang bhujangga, nga, mpu wittadharma, mabatur ring kuntuliku, mpu wittadharma mahanak mpu wiradharma, mabatur ring kuntuliku, ki mpu wiradharma, mahanak wayah, nga, maharan ki mpu lampita, ne manngah, ki mpu adnyana, pamuruju, ki mpu pastika, sira anukla brahmacari, ki mpu lampita mahanak ki mpu kuturan, ari mpu baradah . . .

Arti Bebas: 
           Ini kawitan i pasek gelgel, bhatara brahma mayoga, lahir sang ratu bersama sang bujangga, bernama, mpu wittadharma, bertempat tinggal di kuntuliku mpu wittadharma menurunkan putra mpu wiradharma, bertempat tinggal di kuntuliku, mpu wiradharma menurunkan putra yang sulung bernama ki mpu lampita, yang menengah, ki mpu adnyana, yang bungsu, ki mpu pastika, beliau tidak menikah, ki mpu lampita menurunkan putra ki mpu kuturan, ari mpu baradah . . .
(Jadi dalam prasasti ini tidak muncul nama Mpu Semeru, Mpu Ghana, dan Mpu Gnijaya). 
           Sedangkan dalam Babad Pasek menyatakan Mpu Gnijaya bersanak saudara sama seperti tersebut diatas berasal dari desa Lemah Tulis, Jawa Timur, tiba di Bali tahun Caka 971/1049 Masehi berasal dari keturunan Mpu Lampita, dan Mpu Lampita berasal dari keturunan Mpu Wiradharma, dan Mpu Wiradharma berasal dari keturunan Mpu Withadharma.
           Menurut Prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa, alih aksara lontar Kantor Dokumentasi Budaya Bali tahun 1998, menjelaskan, dari Batara Brahma lahir seorang putra bernama Brahmana Pandita nama lain Mpu Witadharma menurunkan seorang putra bernama Mpu Wiradharma menurunkan tiga orang putra, yang sulung bernama Mpu Lampita, yang menengah Mpu Adnyana, paling bungsu bernama Mpu Pastika. Mpu Lampita melahirkan dua orang putra, yang sulung bernama Mpu Pakuturan dan adiknya bernama Mpu Pradah. Jadi Prasasti ini bertentangan dengan Bancangan Pasek Gelgel diatas, dimana Mpu Lampita menurunkan lima orang putra yaitu Brahmana Pandita (Mpu Gnijaya), Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah, sedangkan dalam prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa tidak muncul nama Mpu Ghana, Mpu Semeru, dan Mpu Gnijaya. Dalam Prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa Mpu Witadharma (Brahmana Pandita) adalah kumpi dari Mpu Kuturan dan Mpu Pradah, bukan saudara kandung Mpu Gnijaya (Brahmana Pandita) seperti dalam Bancangan Pasek Gelgel. Jadi Brahmana Pandita mempunyai dua nama lain, dalam Bancangan pasek Gelgel beliau disebut Mpu Gnijaya sedangkan dalam Dadya Prasasti Pajenegan dan Prasasti Pasek Bandesa beliau disebut Mpu Witadharma. Mpu Lampita dalam Bancangan Pasek Gelgel menurunkan lima orang putra, sedangkan dalam Prasasti Dadya Pajenengan dan Prasasti Pasek Bandesa Mpu Lampita menurunkan dua orang putra.
           Oleh para penekun sastra Mpu Wthadharma ini di-identik-kan dengan Sri Mahadewa Pu Withadarma saudara kandung Sri Gnijaya (versi Bali) yang menjadi raja Bali tahun 1150. Terdapat perbedaan tahun yang sangat bertentangan antara Mpu Withadharma leluhur dari Panca Resi berasal dari Bali, keberadaan menjadi sekitar abad ke 8, sedangkan Sri Mahadewa Pu Withadarma adik kandung Sri Gnijaya keberadaanya abad ke 11. Tahun kedatangan Mpu Gnijaya Isaka 971/1049 Masehi adalah zaman pemerintahan raja Sri Haji Hungsu yang dicandikan di Pura Gunung Kawi.
        Sistem pemerintahan raja-raja Bali Kuno, apabila sang raja wafat dikala menjalani roda pemerintahan, tradisi pengangkatan seorang raja biasanya langsung ke putra kandung atau ahli waris. Tapi bila putra kandung masih kecil dalam arti belum cukup umur untuk memerintah biasanya akan diganti oleh adik sang raja, atau kerabat dekat raja yang lain. Dalam hal ini, seandainya Mpu Withadharma (versi Jawa) saudara kandung dengan Sri Gnijaya (versi Bali) seharusnya keturunan beliau setidaknya pernah menduduki tapuk pemerintahan Bali Kuno. Mungkinkah Mpu Gnijaya setelah membangun Pura Lempuyang beliau langsung balik ke Jawa, dan keturunan beliau Sang Sapta Rsi hidup di Jawa, dan siapakah keturunan beliau yang melanjutkan di Lempuyang? Dalam buku tafsir sejarah Nagara Kretagama ditulis oleh Slamet Muljana (2006:26) secara tegas menyebutkan tidak muncul pendeta Kuturan saudara kandung Mpu Gnijaya dalam dinasti Dharmodayana Warmmadewa. Disamping itu periode kedatangan Mpu Gnijaya ke Bali tahun Isaka 971/1049 Masehi dengan adik kandung Mpu Kuturan yang tiba lebih awal tahun Isaka 923/1001 Masehi, terdapat tenggang waktu selama 48 tahun, Apakah saat itu sang pendeta belum uzur dan apa yang terjadi pada kedua Brahmana Agung itu selama tenggang waktu 48 tahun, sehingga sang kakak baru tiba di Bali.

Versi Bali, Sri Gnijaya
Dalam Piagem Dukuh Gamongan, juga dalam Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, Badung, menyebutkan Sri Gnijaya bersanak saudara yang nomor dua bernama Sri Maha Sidhimantra Dewa, yang ke tiga Sri Mahadewa Pu Withadarma, yang ke empat Sri Maha Kulya Kulputih, yang ke lima Ratu di Jawa, Madura.
           Pura Lempuyang yang terletak di Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, sekarang umumnya disebut Pura Lempuyang Madya adalah bekas tempat pertapaan raja Sri Jaya Sakti, menjadi raja Bali tahun Caka 1055/1133 Masehi, setelah akhir masa pemerintahan, melakukan wanaprasta atau mendirikan pedharman (tempat suci) di Gunung Lempuyang sesuai tertulis dalam Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, Badung, dan didukung oleh salinan Lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Padanda Gede Jelantik Sugata dari Griya Tegeh Budakeling, Karangasem, alih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, yang menyebutkan: pada tahun Caka 1072/1150 Masehi, bulan Hindu ke sembilan, pada tanggal duabelas bulan paro terang, wuku julungpujut, pada hari itulah saatnya Sri Paduka Sri Maharaja Jayasakti, menyidangkan para senapati, terutama para rakyan Mahapatih dan para Tandra Mantri di balai istana raja untuk memperbincangkan hasrat baginda Sri Maharaja Jayasakti bersama permaisurinda, hendak beranjangsana ke desa-desa di Bali yang ada di Gunung Karang, adapun minat baginda datang kesana, oleh karena melaksanakan tugas perintah dari ayahanda yaitu Sanghyang Guru, yang hendaknya supaya mendirikan Tempat Suci (Pedharman) di Gunung Lempuyang, dan setelah itu, pertapaan dilanjutkan oleh anaknya yang pertama yaitu Sri Gnijaya, menjadi raja di Bali tahun 1150-1155 dan dilanjutkan oleh adiknya Sri Gnijaya yaitu Sri Maha Sidhimantra Dewa dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Sidhimantra Dewa yaitu Sri Indra Cakru, menjadi raja Bali tahun 1250 dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Indra Cakru yaitu Sri Pasung Grigis, karena beliau tidak menikah (nyukla brahmacari) dan tidak mempunyai keturunan, lalu diangkatlah keponakan beliau yaitu Sri Rigis (anak Sri Jaya Katong) untuk ngamong (bertanggung jawab) di desa Gamongan, Gunung Lempuyang, selanjutnya diganti oleh anaknya Sri Rigis yaitu Sri Pasung Giri dilanjutkan oleh anaknya Sri pasung Giri yaitu Dukuh Sakti Gamongan dan keturunannya. Raja Sri Gnijaya menurunkan seorang putra bernama Sri Jaya Pangus, menjadi raja Bali pada tahun 1177 Masehi, bertentangan menurunkan Sapta Resi yang ada di Jawa. 
           Pada zaman pemeritahan raja-raja Bali-Kuno jabatan seorang pendeta disebut dang acaryya untuk pendeta sekte Siwa dan dang upadhyaya untuk pendeta sekte Buddha, bhujangga sebutan pendeta untuk sekte Waisnawa, pitamaha sebutan pendeta sekte Brahma, bhagawan sebutan pendeta untuk sekte Bhairawa, kalau boleh dikatakan masing-masing sekte/agama yang ada di Bali saat itu mempunyai pendeta dengan gelar atau sebutan dan idenditas diri masing-masing. Kata-kata Pu, Mpu, Umpu, Mpungkwing selalu mengikuti pada awal penyebutan nama seseorang, tuan, para ahli, misalnya, mpungkwing binor dang acaryya rsi taruna (tuanku yang terhormat di binor pendeta siwa rsi taruna), mpungkwing kutihanar dang upadhyaya antaraga (tuanku yang terhormat di kutihanyar pendeta budha bernama antaraga) atau sang senapati balembunut pu anakas (sang mahapatih di balembunut yang terhormat bernama anakas), sang senapati kuturan mpu wahita (sang mahapatih di kuturan yang terhormat bernama wahita), dan sebagainnya.
           Dalam Purana Pura Pucak Bukit Gede, Purana Bali Dwipa, dikisahkan beliau Sri Jayasakti/Sri Gnijaya Sakti adalah seorang raja Bali, yang membangun pertapaan suci di gunung Lempuyang, raja yang gagah berani, berbudi luhur, dermawan, berpikiran suci, para pendeta selalu diutamakan dan diajak menata pemerintahan di Bali. Beliau taat melakukan tapa, brata, semadhi memuja Hyang Widhi dan tak lupa memuja para leluhur. Sri Gnijaya Sakti sebagai panutan dalam pemgebangan desa-desa termasuk menemui para warga dan sang prabhu selalu dituruti oleh rakyatnya.
           Setelah berakhirnya pemerintahan Bali-Kuno, terjadi penataan pemerintahan baru, yang dulunya seorang pendeta mewakili dari agama/sekte yang dianut, walaupun dari kelompok keturunan manapun beliau, sekarang seorang pendeta mewakili masing-masing kelompok warga (Gotra) misalnya, Ida Padanda sebutan Pendeta bagi warga Ida Bagus, Sri Mpu sebutan Pendeta untuk warga Pasek, Dukuh sebutan Pendeta bagi warga Bali Kuno, Rsi Bhagawan sebutan Pendeta untuk warga para Gusti, Rsi Bhujangga sebutan Pendeta untuk warga Sengguhu, Sira Mpu sebutan Pendeta untuk warga Pande, dan lain sebagainya. Sedangkan Sri Jaya Sakti sebagai pencetus pertapaan di Gunung Lempuyang, dilanjutkan oleh keturunan beliau yaitu Sri Gnijaya, Sri Maha Sidhimantra Dewa, Sri Indracakru, Sri Pasung Grigis, Sri Rigis, Sri Pasung Giri, Dukuh Sakti Gamongan, menjadi orang suci di lempuyang tanpa amari aran (ganti nama) yang diberikan oleh Guru Nabe dalam acara madiksa (Pentahbisan).

           Berdasarkan uraian tersebut diatas yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang merintis dari awal sejarah keberadaan Pura Lempuyang Gamongan, antara Mpu Gnijaya dan Sri Gnijaya, yang manakah nama beliau satu diantara dua nama tersebut?

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More