Cover Buku Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Hasil Buruan 27 tahun,Untuk mengumpulkan data" Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.

Foto Tahun 1992, bekas Pura Penataran Lempuyang

Pura Kuru Baya

Pura Kuru Baya terletak di barat Pura Gaduh, Blahbatuh. Pura ini tempat Ki Kbo Iwa mendapat wangsit bahaya akan terjadi firasat buruk yang akan menimpanya,Tapi karena satya wacana dan mengemban tugas raja beliau akhirnya berangkat juga, maka terjadilah kenyataan pirasat itu dan beliau menemui ajal di tanah Jawa.

Pura Kawitan Blahbatuh

Pura Kawitan Yang terletak di barat daya Kota Gianyar

Bale Panjang Kebo Iwa

Bale Panjang Kebo Iwa di Jaba Pura Puseh Beda Sudimara,Tabanan dikisahkan dalam Prasasti Maospahit bahwa bale ini dibuat untuk Kebo Iwa dimana dulunya sendi akhir berada jauh ke barat sekitar 300 meter

Simbol Penghulu Sri Karang Buncing

Simbol

Pak Made Lagi Jualan Buku

Pak made mempromosikan buku terbitan pertamanya

Pembuatan Tapel Kebo Iwa

Process pembuatan tapel Kebo Iwa berlokasi di gianyar oleh bapak Tjokorda

Rabu, 28 Maret 2012

Pujawali 27/3/2012

PUJAWALI PURA KAWITAN SRI KARANG BUNCING "NYIMPEN"




Om Swastyastu,
Anggarkasih Tambir, 27/3/2012, Pujawali ring Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Blahbatuh, dumogi warih Karang Buncing lan Dukuh ring sajebag Nusantara mangda pedek tangkil hatur ngayah lan bakti. Galah sore, acara mendak ida bhatara Pangulu lan Gaduh kalinggihan ring Tajuk Kawitan. Ida Bhatara nyejer selami 3 hari. Rahajeng

Kebo Iwa di Etalase Toko Buku di Kota Denpasar


Buku Kebo Iwa di Toko Setia Kawan, Jln Letda Made Putra, Denpasar


 

Distribusi buku Kebo Iwa di Toko Toga Mas, Jln Hayam Wuruk, 125, Denpasar, Bali ,,,


Buku Kebo Iwa di Toko Buku Gramedia Jln Sudirman, Denpasar ,,,

Bab IV Pura Gaduh, Tugu Akhir Raja-raja Bali-Kuno

Bab IV
 Pura Gaduh, Tugu Akhir Raja-raja Bali-Kuno


Keberadaan Pura Gaduh di Blahbatuh, Gianyar, dapat diketahui dari Piagem Dukuh Gamongan. Dari piagem tersebut bisa dilacak awal dan perkembangan pura yang menjadi tempat suci raja-raja Bali ini. Di tempat suci inilah Sri Karang Buncing memohon keturunan, yang kemudian berkembang menjadi treh Karang Buncing yang kita kenal sekarang ini.

Pura Gaduh terletak di Jalan Kebo Iwa, Banjar Tengah, Desa Pakraman Blahbatuh, atau perempatan pasar Blahbatuh ke timur,jalan menuju Desa Bona. Pura Gaduh awalnya merupakan satukesatuan dengan beberapa pura yang lain atau satu paleban dengan Pura Batur Sari, Pura Puseh, Palinggih Pangulu, dan Pura Kuru Baya,tepatnya halaman barat Pura Puseh dan di timur Pura Kuru Baya.Arca Pangulu yang terletak di Pura Puseh, merupakan peninggalan dari Sri Jaya Katong maka lingganira hyang wawu dateng, sebagai simbol ajaran baru Sri Jaya Katong pada era itu atau dengan kata lain sebagai simbol suci Tuhan dan pusat konsentrasi di kala melakukan sembah bakti kepada Hyang Widhi/Tuhan.

Para sejarawan menyimpulkan Arca Pangulu merupakan peninggalan sekte Siwa Bhairawa yang ada di Bali pada zaman itu.Kadang-kadang oleh masyarakat sekitarnya Arca Pangulu disebut Palinggih Pangulu Ratu Gede Kebo Iwa. Arca batu Pangulu yang berdiameter sekitar 1 x 1 meter, berwujud kepala bermuka seram,mata melotot, kuping lebar, rambut ikal berperucut, hidung besar,gigi taring menyembul, mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi,karena bagian kepala inilah diharapkan mampu membawa kemajuan spiritual dan material bagi setiap manusia, untuk bisa dicapai karena semua kemampuan itu ada di kepala.

Disamping beberapa arca batu yang lain, seperti, patung Ganesa,
Pura Gaduh Gagaduhan Prabhu Bali.

patung para Resi, yang distanakan di Pura Batur Sari, juga terdapat tujuh arca perunggu yang bermotif primitif sebagai perwujudan bhatara sapta giri atau simbol tujuh gunung yang dipuja saat itu yang di stanakan di Pura Gaduh. Arca-arca bhatara sapta giri ini sangat disucikan oleh pangamong dan pangempon pura.

Karena saling keterkaitan dan saling kawin mengawini dua keluarga penguasa di Wadwasila (Blahbatuh) antara keturunan I Gusti Karang Buncing, treh akhir raja-raja Bali-Kuno dengan keturunan Sri Paduka Agung Made Jambe yang disebut juga Raja Agung Tengah dari dinasti Dalem Kepakisan pada masa transisi pemerintahan Bali dengan Majapahit.Peralihan kekuasaan tentu membawa dampak politik psikologis bagi masyarakat sekitar, sehingga Pura Gaduh yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat suci bagi para raja Bali, berubah status dan fungsinya menjadi Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh.Disamping itu Pura Gaduh mempunyai beberapa sebutan lain,dalam Usana Bali disebut Pura Karang Gaduh. Dalam Prasasti Pura Maospahit disebut Pura Bedugul Gaduh. Dalam salinan purana Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh disebut Pura Puseh Gaduh,karena dalam satu leban ada Pura Puseh dan Pura Gaduh.

Pura Gaduh disamping sebagai momentum kebersamaan dua dinasti, juga sebagai tugu penyatuan Hindu Bali dan Hindu Jawa dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam. Pura Gaduh termasuk situs purbakala yang wajib dilindungi oleh Negara. Pura Gaduh sebagai gagaduhan prabhu Bali atau tugu akhir raja-raja Bali-Kuno dimana keturunan Sri Karang Buncing sebagai treh akhir rajaraja Bali, mengisyaratkan agar kita tidak melupakan bhisama yang telah dikukuhkan oleh Danghyang Nirartha bersama para leluhur terdahulu. Juga agar selalu ingat dengan tiga kahyangan tersebut: Pura Kawitan Karang Buncing, Pura Gaduh (keduanya di Blahbatuh),dan Pura Lempuyang Gamongan, di Karangasem.

Sri Karang Buncing setelah lama hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu memohon anak di Pura Gaduh. Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya istri Sri Karang Buncing ngidam. Setelah kehamilan cukup umur, lahirlah seorang putra bernama Sri Kebo Iwa.

..... sira Sri Jaya Katong, amrajaya ring yusaning bumi, Isakawarsa,Asti Bhaskara Netraning Ulan, Sri Jaya Katong, amukti maring Batahanyar, angamong wadwa sira, amuter maring Batahanyar, kasung kasiwi denira Sri Jaya Katong, hanata Glungkori, ring mahameru, kapolo denira Sri Jaya Katong, maka tunggul ira, ring Barabatu, lingganira hyang wawu dateng, Meru tumpang 5, hana ta kori agung,agelung tumpang lima, maka tungguling Prabhu Bali, araning Pura Gaduh, Gagaduhan Prabhu Bali. maring Bhatahanar .....

(Piagem Dukuh Gamongan, 8a-8b)

[..... Sri Jaya Katong menjadi penguasa, umur bumi, tahun Isaka 1238/1316 Masehi. Sri Jaya Katong yang dimuliakan di Batahanyar, memerintahkan rakyat baginda pusatnya di Batahanyar, tempat persembahyangan baginda Sri Jaya Katong adalah Kori Agung, tempat suci sangat agung, dibangun oleh Sri Jaya Katong, sebagai bukti baginda ada di Blahbatuh, sebagai wujud atau simbol Dewa sesembahan yang baru, Meru tumpang lima, lambang kesatuan para raja Bali, namanya Pura Gaduh, tempat suci para raja Bali,terhadap Bhatahanyar ..... 

..... risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong kresmin, lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angasti hyang, maring Pura Gaduh, kahyangan gagaduhan Prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing...

(Piagem Dukuh Gamongan, 10a)

[ .....setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada Bhatara yang ada di Pura Gaduh, tempat suci para Raja Bali. Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri beliau Sri Karang Buncing .....

Dalam Prasasti Pura Maospahit keberadaan Pura Gaduh dijelaskan: 

Yan asapunapi suwen Ida Arya Karang Buncing merabian, nenten maduwe putra. Punika mawinan sedih pisan pakayunan idane. Rikala wenten dewasa sane becik raris Ida nunas ica ring ida Sanghyang Widhi ring Pura Bedugul Gaduh. Raris wenten suwecan Ida Sanghyang Widhi polih putra lanang asiki. Kasuwen-suwen sampun apongahan yusan ida raris ida mapesengan Kebo Waruga 
(Prasasti Pura Maospahit) 

[Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup bersuami istri, belum juga dikaruniai putra, hati beliau sangat sedih, lalu pada hari yang baik, beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, di Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapatkan seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga.]

Dalam lontar Usana Bali, bhisama setelah wafatnya Ki Kebo Iwa, dijelaskan:

Hana pitekenia Kawitan sira Karang Buncing, kita sentanan ingsun makabehan away kita tan eling ring kawitan anyungsung anyiwi ring Pura Karang Buncing, ring Pura Karang Gaduh, makadi ring Lempuyang, yan kita lali, wastu sira anadi jadma sudra jati, rered pabuktianta, mentik, mentik, punggel.
(Lontar Usana Bali)

 [Ada kewajiban dari leluhur Sri Karang Buncing, kalian keturunanku semuanya, jangan kamu tidak ingat dengan Kawitan (leluhur) menjungjung dan memuja di Pura Karang Buncing,di Pura Karang Gaduh, juga di Pura Lempuyang, jika kamu melupakannya, dikutuk oleh beliau menjadi orang melarat sekali, surut kekayaanmu, bertumbuh, bertumbuh, terpotong.]

Hubungan Kekerabatan Blahbatuh dengan Gamongan 

Hubungan sosial spiritual antara Sri Karang Buncing yang bertempat tingal di Blahbatuh dengan para raja yang melakukan hidup suci menjadi pertapa di Gunung Lempuyang, Gamongan, adalah sama-sama berasal dari Sri Jayasakti/Sri Gnijaya Sakti. Hal ini terlihat jelas mulai dari Raja Sri Gnijaya Sakti menjadi raja Bali tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang merintis keberadaan Pura Lempuyang Gamongan serta dilanjutkan oleh putra kandung yang pertama bernama Sri Gnijaya, nama sama dengan ayah kandung tanpa ident ‘sakti’ di belakang namanya. Setelah Sri Gnijaya pedharman (pertapaan) dilanjutkan oleh adik kandung Sri Gnijaya bernama Sri Maha Sidhimantradewa, dilanjutkan oleh keturunannya yaitu Sri Indracakru, Sri Pasung Grigis, Sri Rigis, Sri Pasung Giri, Dukuh Sakti Gamongan dan keturunan dukuh lainnya yang ada di Desa Adat Gamongan.

Konsepsi Tri Hita Karana hubungan antara parahyangan, pawongan, palemahan sekiranya berawal dari sistem yang dibangun oleh Sri Gnijaya. Pura Lempuyang sebagai kiblat hubungan manusia dengan Tuhan/dewa tertinggi jagat Bali, sedangkan Blahbatuh/ Batahanar bagian pawongan yang mengurus hubungan kepemerintahan dengan rakyatnya, dan jagat Bali sebagai palemahan,hubungan antar manusia dengan alam Bali. Hal ini tersurat dalam Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dan Lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem. Ke dua lontar itu saling menceritakan keterkaitan antara Pura Gaduh, Blahbatuh dengan Pura Lempuyang Gamongan.


…. ki sira Arya Rigis, amukti ring Lempuyang maka miwah wenang amongmong batara ring Lempuyang, maka uloning bumi,maka siwaning bumi kasisya dening Hyang Gnijaya sanagareng Bali,unggwaning suka lawan duka, pati lawan urip, swarga lawan papa,sekala niskala, amerta lawan dagdi, sama lawan arine, sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu, sama wirasane, iki amongmong gelung agunge ring Bali, ki batara Gde ring Gaduh miwah ta kori agung, kamong mong denira Arya Karang Buncing, pangeka mukti, kawarahnugraha denira batara ring Lempuyang, maka miwah batara ring Gaduh, minaka Gagaduhan jagat kabeh, awanana Lempuyang maka siwan bumi, awanana Gaduh, maka tunggul i bumi, hana bwana rwa, agung mwah alit, bwana alit 
Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, halaman 4a-5a:

 [....beliau arya Rigis bertempat di Lempuyang, lagi pula wajib dan berhak mengabdi pada batara di Lempuyang, sebagai kepalanya di bumi, sebagai Siwa/ Guru di bumi dijadikan sisya/ murid oleh Hyang Gnijaya, dan seluruh Bali, tempat pada saat senang atau sedih, mati atau hidup, sorga atau neraka, nyata atau gaib, berhasiat atau racun, sama dengan adiknya beliau Arya Karang Buncing bertempat di Blahbatuh, sama tanggung jawabnya, ini di pelihara pintu gerbang kebesaran di Bali, batara Gde di Gaduh dan pintu gerbang itu, di pelihara oleh beliau Arya Karang Buncing, yang bertanggung jawab, sebagai anugrah batara ring Lempuyang, dan juga oleh batara di Gaduh sebagai pemujaan seluruh jagat,  makanya Lempuyang sebagai guru di bumi, dan Gaduh sebagai pelindung di bumi, ada dunia mendua, dunia diluar diri (makrokosmos) dan dunia dalam diri (mikrokosmos) ….

Dalam Purana Puseh Gaduh juga dijelaskan pengganti dari Sri pasung Gerigis di Lempuyang, karena beliau hidup anyukla brahmacarya (tidak kawin seumur hidup) maka diangkatlah keponakannya yaitu Sri Rigis sebagai orang suci di Lempuyang. Sri Rigis adalah putra dari Sri Jaya Katong. Disamping itu dalam Purana Puseh Gaduh dijelaskan tentang bhisama bagi yang tidak  mengindahkan aturan tersebut. Bagi warga yang saking lamanya berpisah karena nyineb wangsa (menutup asal usul) dan baru mengetahui tentang keberadaanya diwajibkan amungkah lori lawang agunge ring Gaduh tur kaupa saksiyang karamanya ring pura gaduh, wus ana ring Pura Gaduh raju denira ring karang buncing” arti bebas, membuka pintu gerbang kori agunge di Gaduh lagi pula disaksikan oleh warganya di Pura Gaduh, setelah itu dilanjutkandi P ra Karang Buncing.]


Dalam Lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, juga dijelaskan:

Iki Raja Purana palugrane sira Hyang Gnijaya, maka tunggul sira Pasung Grigis amukti maring Lempuyang, anisyanin apan kasantana denikang Sanhyang Sidhimantra, sapuja palikrama, yogya anisyanin maring gunung Lempuyang, Sanghyang Sidhimantra, sareng ring sira Mpu Kuturan, asentana sira Pasung Grigis, sira Jaya Katong, sira Jaya Katong amukti ring Blahbatuh, angamong wadwa sira, panugrahane,bhatara Hyang bawu dateng, amuter ring Blahbatuh, kasiwi dening sira Jaya Katong, arine sira Pasung Grigis, arane sira Jaya Katong,amukti ring Blahbatuh, hana ta gelung korine ring mahameru, kapolo dening sira Jaya Katong .

[Ini Raja Purana pemberian Bhatara Hyang Gnijaya, sebagai bukti Pasung Grigis, bertempat tinggal digunung Lempuyang, mengamong karena keturunan Sanghyang Sidhimantra, menjalani hidup suci, memuja haturan umat yang datang, sekaligus mengempon di Gunung lempuyang, Sanghyang Sidhimantra, bersama beliau Mpu Kuturan, keturunan Pasung Grigis, beliau Jaya Katong,beliau Jaya Katong tinggal di Blahbatuh yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, pemberian yang baru datang, bertempat di Balabatuh, beliau Jaya Katong, dikuasai oleh beliau Jaya Katong, adiknya beliau Pasung Girigis, namanya beliau Jaya Katong,bertempat tinggal di Blahbatuh, ada sebuah pintu gerbang pura yang luas, dibentuk oleh beliau Jaya Katong]

Salinan Purana Pura Puseh Gaduh 

Salinan purana Pura Puseh Gaduh, yang ada di Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh, Gianyar, menjelaskan hal-hal berikut:

.....Om awignamastu nama sidham, tumurun kipamastu iki. Awignamastu nama swaha, tumurun kinawa Pasupati duk sira Arya Pasung Giri, sira Jaya Katong, amurti kerti ring batara, hana mijil swalita, karsen ira sira Jaya Katong, minta sih Arya Pasung Giri, andika ta sira Pasung Giri, ring sira Jaya Katong, wali kang ari, aminta sih ring batara Hyang Gnijaya, ju.....

.....mujug batara ring parihyangan, parihyangan hana ring Gaduh, aminta sih sira malih Jaya Katong, tumurun ki batara Hyang Tugu, lumaris hana ring pariangan, angregep ta sira Jaya Katong, tumurun ki batara Wisnu, angeregepta sira malih, tumurun batara Hyang Watukaru, angeregep ta sira malih batara Mahadewa amanca resi unggwaning batara, tumurun ki batara.....

..... Dewi Danuh, batara Hyang Pasupati, anyapta buwana unggwaning batara, tinurun ring pasamuan, enak ta batara malinggih,angeregep angeka pada ki sira Pasung Giri, mwah ta sira Jaya Katong,pakulun wara nugraha, hana ta andika batara, makabehan, angeka ta Hyang Gnijaya maka hyang hyang bwana kabeh tumurun ki batara batara surya candra, bata .....

..... ri ulan lintang tranggana, agunem ring pasamuan, angeka ta sumende sira Pasung Giri, sumende sira Jaya Katong, wijil ta sira, sanak ta sira, ki araka rai, kang sa roro, aran eki sumende sira Pasung Giri sira Arya Rigis, arane ki sumende sira Jaya Katong sira Arya Karang Buncing, wijileng sira Jaya Katong sanak roro, warah kang nugraha denira batara Hyang Gnijaya, angeka kang sumende.....

..... denira batara sami, batara angeka kang sumende arane sira Arya Rigis sumende ki sira Pasung Giri, amukti ring Lempuyang, sumende Jaya Katong arane sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu, Iki panugrahan Batara Hyang Gnijaya, miwah ta batara kabeh, sagunung saptane Bali, awarahnugraha, Arya Pasung Giri, Ar .....

..... ya Jaya Katong, Arya Rigis, Arya Karang Buncing, mwah yan hana kang sumende, amukti ring Lempuyang, ring Balahbatu, mwah yan hana ngentosin, santanane sira Arya Rigis, mwah sira AryaKarang Buncing, moga kapastu dening batara Gde malinggih ring Lempuyang, moga kapastu dening batara kabeh sajumeneng ring Gunung Saptaning Bali, maka mwah batara Surya Candra, Batari Ulan, Lintang Tranggana, mwah Batara Gde malinggih ring.....

..... Gaduh, mwah batara Gde malinggih ring Karang Buncing, wastu gring tan waras, pejah tan pejah, nginum tan nginum, sakolo putrakanya tan hana manggih rahayu, mwah ta sira Arya Rigis, mwah ta sira Arya Karang Buncing, iki ta sumende sira Pasung Giri sira Jaya Katong, ki sira Arya Rigis, amukti ring Lempuyang maka miwah wenang amongmong batara ring Lempuyang, maka uloning bumi, maka siwaning bumi kasisya dening Hyang .....

..... Gnijaya sanagareng Bali, unggwaning suka lawan duka, pati lawan urip, swarga lawan papa, sekala niskala, amerta lawan dagdi, sama lawan arine, sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu,sama wirasane, iki amongmong gelung agunge ring Bali, ki batara Gde ring Gaduh miwah ta kori agung, kamong mong denira Arya Karang Buncing, pangeka mukti, kawarahnugraha denira batara ring Lempuyang, maka miwah batara ring Gaduh,.....

..... minaka Gagaduhan jagat kabeh, awanana Lempuyang maka siwan bumi, awanana Gaduh, maka tunggul i bumi, hana bwana rwa, agung mwah alit, bwana alit, hana ta sira Arya Rigis, hana ta sira Arya Karang Buncing, Arya Rigis, minaka kembang, catur jadma, Arya Karang Buncing, bungkahing catur jadma, saika panugrahan batara Hyang Gnijaya, batara Hyang warah kadi arep, batara warah nugraha kang sumende, roro, kna kahug katindih.....

..... sumende roro, sang catur katri wangsan, ala king ya mamopes angalapana laki, aywa ngalap kembanging bumi, amepes hana sawa, aywa kembang bumi, angalapana laki aywa bungkahing bumi, tan wenang genah, samudra anunggang ukir, nga, panten capala denira batara kang munggwing arep, tan wenang alaki ibu aranya, suratma panten capala, nga, sumungsang, de.....

..... nya, nga, kembang miwah pancer, maka panyeceg gumi, panugrahan iki tiwakana, ring Arya Rigis, ring Arya Karang Buncing, kang ping arep, denya amukti, masiwa, matunggul, denya pageh sira,mwah yan hana tan tindih sira mukti kamuktiang doning kadang warganya, tan anut palanya ring sang amukti roro, tan tindih sakadi ne kocap ring arep, moga kadanda dening batara Gde kocap ring arep,knaha saupadrawa,.....

..... dening batara kabeh, tan ana tindih palanya, mwah yan hana iki santana nya kahilya hilya tinggal ring karamannya amukti, iki sentanan sira Arya Rigis, Arya Karang Buncing, miwah salawase tinggal ring Lempuyang ring Balahbatu, kramanya wenang, sira kasinahang, de nira sang amukti ring Lempuyang ring Balahbatu, aywa ta sira tar mukti karura sinahang, wenang ta sira kahilya hilya tingkahing amuk.....

..... ti, ring Lempuyang ring Balahbatu, wenang sira anyinahang ring Pura Gaduh tur amungkah lori lawang kori agunge ring Gaduh tur kaupasaksiyang keramanya ring Pura Gaduh, wus ana ring Pura Gaduh raju denira ring Karang Buncing, sakrama pura wisesa denira Arya Karang Buncing, wenang sira anyinahang dewek mwah sasantananya, gunane tan atep, wenang kapayu denira denya kabeh kna atiwakna, dening tirta panyinahan, tiwak akna wenang saiki.....

..... kang kahilya hilya atinggal ring sang amukti sakolo putra putraka nya kabeh, tiwaking adnyanan batara panugrahan batara Hyang Gnijaya, awarah batara umungguh pamastu miwah batarane kocap ring arep, lugra pamastu, kagaduh denira Arya Rigis, Arya Karang Buncing, ka angga gagaduhan, denya sira mukti, katemu temu tkeng sentananya satenggek papayuk belahe sera mukti ring Lempuyang, ring Balahbatu .....

..... aniwakana pasaksi ring kahilya hilya tiwakana winjana pasupati ning pamastu iki. Iki tumurun Hyang Pasupati pramana Sanghyang Sidhi anurun adnyana dadya wetu kipamastu nawa sanga, ma, iki, ma pamastu sidhi, ma, Ang Ung Mang, Yang Mang Bang, Ong Ong Ong, Brahma Wisnu Iswara Mahadewa, Ong Ang Mang Yang, aricandana,winastu sidhi dening Hyang, kramun tuhu kita hilya hilya, aninggal mula wit santana ne sira .....

..... Arya Karang Buncing, sah ring Blahbatuh, sah ring Lempuyang,mangke tumurun batara alingga ring Gunung Saptane ring Bali,batara Surya Candra Batari Ulan Lintang Trenggana, dulur hana ring rahayu salampah lakunya, batara ring Pura Gaduh batara ring Pura Karang Buncing, mapaweh kasidya rahayu karaman tan tuhu mula wit santanan sira Arya Karang Buncing, saha sakeng Balahbatu,sah ring Lempuyang, tan tuhu mala wit santa .....

..... na sira Arya Karang Buncing, tan tuhu sah ring Balahbatu, sah ring Lempuyang, moga kapastu ring batara ring Saptane ring Bali,batara Surya Batari Ulan Lintang Trenggana, Batara Gde malinggih ring Karang Buncing, Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Iswara,amastu sidhi, moga agring gring tan waras, kneng pastu dening batara kabe, pejah tan pejah, urip tan urip, mangan tan mangan, nginum tan nginum .....

..... moga ta santana, kari ya urip katemu tekeng payuk belahnya,tan hana manggih sadya rahayu tan hana karwat dening BrahmanaBuda Siwa Buda, pamastu sidhi, Ung Ang Ung Mang, sidhi rastu namaswaha, tlas, pamastu iki panugrahan Bhatara Hyang Gnijaya,manuting dina, tang, pang, sasi, rah, tenggek, isaka .....

(Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh)

[..... Semoga Tuhan menjauhkan dari rintangan serta berhasil,turunlah kutukan ini, turunlah yang mulia dewa pasupati ketika arya pasung giri, beiau Jaya Katong, memuja kepada batara, munculah sinar suci, dikabulkan beliau Jaya Katong, mohon dikasihi kepada arya Pasung Giri, bersabdalah beliau pasung Giri kepada beliau Jaya Katong kembali adikku, mohon pada bhatara Hyang Gnijaya, ...

..... turunlah batara di tempat suci, tempat suci yang ada di Gaduh, memohon lagi beliau Jaya Katong, turunlah batara Hyang Tugu, kemudian turun di tempat suci, berdoalah beliau Jaya Katong turunlah batara Wisnu, berdoa beliau lagi, turun batara Hyang Watukaru, berdoa beliau lagi, turunlah Hyang Mahadewa, amanca resi keberadaan batara, turunlah batara Dewi Danuh ….

..... batara Hyang Pasupati, tujuh penjuru kedudukan batara,turun di persidangan, bahagialah berada di pura, mendoa dengan sikap satu kaki beliau Pasung Giri, dan juga beliau Jaya Katong,yang di hormati menganugrahkan, ada sabda batara semua, hadirilah Hyang Gnijaya sebagai yang di puja semua umat turunlah batara Surya,

..... Bhatari Ulan Lintang Tranggana, bermusyawarah di tempat pertemuan, menyepakati sebagai pengganti beliau Pasung Giri,menggantikan beliau Jaya Katong, munculah beliau, anaknya beliau itu, sebagai kakak dan adik, keduanya, namanya ini pengganti Pasung Giri,

..... beliau arya Rigis namanya yang menggantikan beliau Jaya Katong beliau arya Karang Buncing, lahir dari Jaya Katong anaknya dua, di anugrahi oleh beliau Hyang Gnijaya membuat pengganti,

..... oleh beliau batara sami, batara membuat, yang mengganti namanya beliau arya Rigis menggantikan beliau Pasung Giri, bertempat di Lempuyang, pengganti Jaya Katong namanya beliau arya Karang Buncing, tinggal di Blahbatuh, Ini anugrah batara Hyang Gnijaya, dan batara semuanya, yang ada di tujuh gunung di Bali, menganugrahi arya Pasung Giri,

..... arya Jaya Katong, arya Rigis, arya Karang Buncing, dan bila ada yang mengganti, tinggal di Lempuyang, di Blahbatuh, dan jika ada mengganti keturunannya beliau arya Rigis, beliau arya Karang Buncing, supaya di kutuk oleh batara Gde yang ada di Lempuyang,supaya di kutuk oleh batara semuanya yang ada pada tujuh gunung di Bali termasuk juga batara Surya Candra, batari Ulan Bintang Tranggana, dan batara gede bertempat di .....

..... Gaduh, dan batara Gde bertempat di Karang Buncing, di kutuk supaya sakit tidak wajar, mati tidak mati, minum tidak minum, seluruh keturunannya tidak ada yang selamat, lagi pula beliau arya Rigis, beliau arya Karang Buncing, inilah pengganti beliau Pasung Giri, beliau Jaya Katong, beliau arya Rigis bertempat di Lempuyang, lagi pula wajib dan berhak mengabdi pada batara di Lempuyang, sebagai kepalanya di bumi, sebagai Siwa di bumi dijadikan sisya oleh Hyang .....

..... Gnijaya, seluruh Bali, tempat pada saat senang atau sedih, mati atau hidup, sorga atau neraka, nyata atau gaib, berhasiat atau racun, sama dengan adiknya beliau Karang Buncing bertempat di Blahbatuh, sama tanggung jawabnya, ini di pelihara pintu gerbang kebesaran di Bali, batara Gde di Gaduh dan pintu gerbang itu,di pelihara oleh beliau arya Karang Buncing, yang bertanggung jawab, sebagai anugrah oleh batara ring Lempuyang, dan juga oleh batara di Gaduh .....

..... sebagai pemujaan seluruh jagat, makanya Lempuyang sebagai guru di bumi, makanya Gaduh, sebab pelindung di bumi, ada dunia mendua, besar dan kecil, ada beliau arya Rigis, ada beliau arya Karang Buncing, arya Rigis sebagai kembang catur jadma, arya Karang Buncing mengawali catur jadma, demikian di anugrahkan oleh batara Hyang Gnijaya, batara yang mulia bersabda seperti di depan, batara menganugrahi .....

..... yang mengganti, keduanya, dalam kerusakan saling membantu keduanya, golongan catur katri wangsan, bersuami beliau, sering mencari laki, jangan mengambil kembang di bumi, sering ada paruman, jangan kembangi bumi, mengambil laki laki bungkahing bumi, tidak pada tempatnya, samudra menaiki gunung, namanya, ternoda dan di kutuk oleh batara yang ada di depan, tidak boleh ibu mencari lelaki, namanya, suratma panten capala, namanya,terbalik .....

..... olehnya, namanya kembang dan pancer, sebagai pedoman di masyarakat, anugrah ini ditujukan, kepada arya Rigis, kepada arya Karang Buncing, yang pertama oleh beliau menerima, berguru,berlindung, oleh kesungguhan beliau, dan bila ada tidak mematuhi beliau menerima kemudian diserahkan oleh karena berkeluarga tidak sesuai hasilnyadengan kedua yang menerima, tidak sesuai yang dikatakan di depan, semuanya dihukum oleh batara gde tersebut di muka, kena kutukan .....

..... oleh batara semua, tidak ada yang mematuhi hasilnya, dan bila ada begini keturunannya tidak pasti keberadaanya, tinggal dalam masyarakat, ini keturunan beliau arya Rigis, arya Karang Buncing, dan, selamanya berada di Lempuyang, di Blahbatuh,pelaksaannya harus beliau dinyatakan, oleh beliau yang tinggal di Lempuyang, di Blahbatuh, janganlah kamu tidak menerima kehebatan dalam membuktikan, pantaslah mereka tak menentu yang dilakukan sampai ada .....

..... di Lempuyang, di Blahbatuh, wajib mereka membuktikan di pura Gaduh dengan membuka pintu gerbang kori agungnya di Gaduh lagi pula di saksikan oleh pelaksana di pura Gaduh, setelah di pura Gaduh dilanjutkan olehnya di Karang Buncing, sesuai dengan kewajiban berlaku di pura oleh beliau Karang Buncing, harus beliau membuktikan dirinya sendiri dan semua keturunannya, apabila tidak mau, harus di sucikan beliau beliau semuanya diperciki dengan tirta pesaksian, percikan dengan begini .....

..... yang tidak mengetahui meninggalkan yang memelihara sanak keluarganya semua diperciki tirta yang di anugrahi batara hyang gnijaya, sabda batara berisi kutukan juga betara yang disebut di muka, memberi kutukan, dipuja oleh beliau arya rigis, arya Karang Buncing, dipakai pemujaan pleh beliau yang menerima, diketahui sampai pada keturunannya selamanya masih ada, di Lempuyang, di Blahbatuh .....

..... memerciki tirta pasaksi pada orang yang mengaku warga percikan tirta suci pemastu yang di pasupatikan ini, turun hyang Pasupati berwujudkan suatu keberhasilan menurunkan anugrah jadinya keluar kutukan para dewa, mantra, ini, mantra, kutukanyang  berhasil, mantra, Ang Ung Mang, Yang Mang Bang, Ong Ong Ong, Brahma Wisnu Iswara Mahadewa, Ong Yang Mung Yang, aricandana, semoga berhasil oleh Hyang, apabila kamu bingung, pergi memang berasal dari keturunannya beliau ….

..... arya Karang Buncing, pergi dari Blahbatuh, pergi dari Lempuyang,sekarang turun batara yang berstana di tujuh gunung yang ada di Bali, batara Surya Candra, batari Ulan Lintang Tranggana,bersama dengan kesucian segala tindakannya, batara di Gaduh,batara di Karang Buncing, menganugrahkan keberhasilan yang gemilang apabila tidak benar memang berasal dari keturunan....

..... beliau arya Karang Buncing, berpisah dari Blahbatuh, berpisah dari Lempuyang, tidak benar berpisah dari Blahbatuh, berpisah dari Lempuyang, supaya di kutuk oleh batara di ketujuh gunung di Bali, batara Surya batari Ulan Lintang Trenggana, batara yang berstana di pura Gaduh, yang berstana di Karang Buncing, batara Brahma, batara Wisnu, batara Iswara, mengutuk dengan berhasil,supaya menderita kesakitan tak waras kena kutukan oleh batara semua mati tidak mati, hidup tidak hidup, makan tidak makan, minum tidak minum ....

..... semoga tidak selamat, masih dia hidup diwarisi seluruh keturunannya tidak menemui kesuksesan baik yang tidak terobati oleh mantra suci, tidak terhapuskan oleh brahmana Buda Siwa Buda, kutukan yang berhasil, Ung Ang Ung Mang, mudahmudahan berhasil, habis kutukan ini panugrahan Bhatara Hyang Gnijaya, sesuai dengan hari, tanggal, bulan, tahun ....

‘Aedan piodalan’ di Pura Gaduh 

Pemangku Pura Gaduh, Jro Mangku I Made Sutardja dan Pangemong Pura Gaduh, I Wayan Karang, mengatakan hari Piodalan di Pura Gaduh jatuh pada hari Selasa Keliwon, wuku Medangsia (Anggara Kasih Medangsia), setiap enam bulan kalender Bali dengan runutan acara sebagai berikut:

 Pada hari Kamis wuku Sungsang (Sugiyan Jawa) acara nyuciang pralingga Ida Bhatara Gaduh (Arca Sapta Giri), dimana air suci mesiram ini dipergunakan untuk persiapan tirtha piodalan di Pura Kawitan dan piodalan di Pura Gaduh serta untuk umat se-dharma lainnya.

 Sepuluh hari sebelum piodalan tepatnya Sabtu Kliwon Kuningan (Hari Raya Kuningan) adalah acara nuasen odalan.


.
Pura Gaduh termasuk situs cagar budaya nasional, kini menjadi Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh.


Sembilan hari sebelum hari piodalan para pemedek lan pangayah membuat sanganan (nyacal jajan).

Delapan hari sebelum piodalan membuat jajahitan.

Lima hari sebelum piodalan persiapan membuat tataring, penjor,masang ider-ider dan lain sebagainya.

Empat hari sebelum piodalan pamedek nampah bebek, membuat banten caru dan malam hari nanding caru.

Tiga hari sebelum piodalan adalah acara macaru, nanding sanganan tebasan agung, netegan sampai selesai.

Dua hari sebelum hari piodalan adalah acara ngingsah, netegan dan lainnya.

Sehari sebelum hari piodalan acara munggah bhatara katur ring penjor ring jaba pamedal agung.

Puncak piodalan hari Selasa wuku Medangsia atau Anggara Kasih Medangsia. Acara piodalan dimulai pada sore hari dengan mamendak Ida Bhatara ring Batur Sari, Ida Bhatara ring Puseh, Ida Bhatara Pangulu dan nyutri dilakukan sebelum Ida Bhatara katuran malinggih ring payogan. Acara piodalan selalu dipimpin oleh Jero  Mangku Pura Gaduh bersama Pemangku Pura lainnya. Puncak piodalan diiring dengan wayang lemah, topeng, nyutri, mapaselang, maprani dan terakhir dilakukan pawintenan bagi pangayah dan pamedek yang ingin mawinten.

Sehari setelah piodalan yang disebut umanis odalan atau hari Rabu Umanis Medangsia acara nganyarin yang diikuti nyutri, mapaselang, dan pawintenan.

Dua hari setelah piodalan yang disebut pahing odalan acara nganyarin, dengan runutan nyutri, mapaselang, dan pawintenan.

Tiga hari setelah piodalan atau tepatnya hari Jumat Medangsia yang disebut hari panyineban acara nganyarin, nyutri, pendet, matajen taluh, ngaturan tebasan pamurna ring palinggih Taksu Agung, ngaturan pangeluaran ring pura, mudalang Ida Bhatara Puseh, Ida Bhatara Batur Sari lan Pangulu serta mudalang Bhatara Katuran ring Penjor Jaba, setelah itu katuran panyineban ring Gedong, selesai.

Arca Sapta Giri Simbol Pengikat Persaudaraan


 Arca Sapta Giri distanakan di Pura Gaduh merupakan lambang para dewa yang bersemayam di tujuh gunung yang ada di Bali,yaitu Gunung Lempuyang, Agung, Batur, Pucak Mangu, Batukaru,Andakasa Dan Gunung Tulukbyu. Disamping itu Arca Sapta Giri merupakan pusat konsentrasi keturunanya dikala melakukan persembahyangan dari luar pura, misalnya, dari kamar suci atau merajan (rumah tangga warga) atau dengan perkataan lain jika ngayat ida bhatara pura gaduh arca ini sebagai titik fokus dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Disamping itu juga, arca sapta giri merupakan lambang pengikat
persaudaraan keturunan para raja Bali lainnya, hal ini dijelaskan dalam Piagem Dukuh Gamongan, hal, 18a-18b, berikut:

..... angamong paryangan ingaranan Pura Gaduh, apan nguni kala ri sapalarasan nira sakeng Batahanyar, ngawa batur kalawasan arupa lingga sila abebed maka rumaketang pasanakan, mwang maka pangiket kawangsanira sedaya maring Batahanyar, moga riastu sira tan kahili-hilya sawarihta maring kahyangan nira Pura Gaduh kayeng kawekas wekas .....

[…. mempunyai kewajiban memelihara bangunan suci namanya Pura Gaduh, demikian dari dahulu sepenanggungan dengan yang ada di Batahanyar, mengurus peninggalan yang sudah tua berupa beberapa arca, sebagai pengikat persaudaraan, disamping sebagai simbul kesatuan kewangsaan kita semuanya, terhadap di Batahanyar, semoga dikemudian hari tidak sampai terpisahkan seketurunan terhadap pemujaan beliau di Pura Gaduh untuk selama-lamanya…]

Model dan bentuk Arca Sapta Giri sangat primitf seperti model mesopotania zaman mesir kuno, tetapi kenapa disebut arca sapta giri? Kemungkinan dari karakter masing-masing arca itu berbedabeda, ada berwujud orang tua jenggotan entah kaitan ke gunung mana arca itu, ada bentuk seperti anak muda gelung janger, arca ini entah kaitannya ke gunung mana. Ada berupa dewi yang berperawakan tinggi sikap tangan menunjuk kedepan. Bentuk mahkota arca satu dengan yang lain berbeda. Begitupun sikap tangan berlainan arca satu dengan yang lain, kemungkinan sikap dan bentuk seperti itu semuanya mengandung makna tertentu. Bentuk mahkota kemungkinan menandakan jabatan masing-masing, ada mahkota menyerupai jukung (perahu), ada mahkota menyerupai gelung janger, ada menyerupai gelung raja, ada mahkota menyerupai udeng biasa, ada menyerupai arca catur muka, empat muka dengan empat tangan.

Setiap Sugiyan Jawa, hari Kamis Sungsang, Arca Sapta Giri masucian (masiram) dipimpin oleh Jro Mangku Pura Gaduh, disaksikan para pangamong dan pangempon Pura Gaduh, serta umat Hindu sekitarnya. Pujawali di Pura Gaduh jatuh pada hari Selasa Kliwon, wuku Medangsia, duapuluh enam hari setelah hari masucian dilaksanakan.



Arca-arca purbakala dari tembaga dengan motif primitif, sebagai simbol Bhatara Sapta
Giri yang distanakan di Pura Gaduh, Blahbatuh.

Sabtu, 24 Maret 2012

HUJAN DERAS MELASTI PUN TETAP SUKSES





















Bab III Prasasti dan Purana Treh Sri Karang Buncing


Bab III
Prasasti dan Purana
Treh Sri Karang Buncing


Perjalanan silsilah warga (genealogy tree) dari Sri Karang Buncing berhulu dari Sri Ksari Warmadewa dan bermuara menjadi lima cabang, setelah Sri Jaya Sakti menurunkan lima orang putra. Cabang yang kesatu, Sri Maha Sidhimatra beristrikan dengan adik Kbo Ijo, menurunkan Jaya Katwang di Jawa. Cabang yang kedua dari Sri Gnijaya menurunkan Sri Jaya Pangus, Sri Hekajaya dan Sri Adi Kuti Ketana (putus). Cabang yang ketiga dari Sri Maha Sidhimantradewa beristrikan dari Desa Gamongan,menurunkan Sri Dewa Lancana, Sri Taruna Jaya, Sri Masula Masuli menurunkan Sri Astasura Ratna Bumi Banten sebagai raja kerajaan di Badhahulu. Cabang yang keempat menurunkan para Dukuh yang ada di Gamongan dan keturunannya. Cabang yang kelima Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, di Blahbatuh, menurunkan watek
karang buncing yang tersebar di seluruh nusantara. Yang menjadi pertanyaan, putra kandung yang lain dari Sri Jaya Sakti yaitu, Sri Mahadewa Pu Withadarma, Sri Maha Kulya Kulputih, dan Ratu di Jawa, Madura, tidak jelas kisah peristiwa apa yang terjadi padanya dan siapa keturunannya masa kini.

Kisah peristiwa yang akan disajikan di bawah ini terdapat nama yang sama tetapi berbeda sumber dan isi teks, yang pada intinya salah satu dari naskah itu, hanyalah sebagai pedukung dari isi naskah yang lain. 

Berikut teks serta uraian yang mengisahkan peristiwa atau asal usul dari leluhur Sri Karang Buncing, serta data sejarah penunjang berupa prasasti-prasasti yang dikeluarkan pada zamannya

Purana Pura Luhur Batukaru

Sri Kesari Warmadewa menurunkan Putra Sri Ugrasena, menurunkan Putra Sri Candrabhaya SinghaWarmadewa, menurunkan Putra Sri Dharmma Udayana, menurunkan 3 Putra: Sri Aji Erlangga, Sri Marakata, Sri Anak Wungsu.

Warnnanen ri prapteng aryeng Hindu anakrawerti ring Bali juga agwangun ndan anabdab kahyangan bhuwana titanem makadi sira Abhiseka Sri Wira Dalem Kesari wangunakna kang Pura Sad Kahyangan kwirya: ring Pura Penataran Besakih, ring Pura Bukit Gamongan, ring Pura Watukaru, ring pura Uluwatu, ring Pura Erjeruk,ring Pura Penataran Pejeng. Mwang yanana sawonging Bali tanmelinganga bhakti kadi arep, sinapakna buwat hupadrawan mwah asuduk lawan rowangnya. Nimita samwa sidha anunggalaken hyun lawan para hulu, khabayan, paraning wwang ngawiwit kahyangan kalano.Lwir ring Pura Luhur Watukaru samana anabdab kahyangan lawan pada khubayan ing kana. Risampun puput punang pura-pura kabeh,mahyun ta sira angaci, ngwit aci ring; Bu, Ka, Sinta, praya angaci gelar Pagerwesi ngaranya. Wus ta ngaci gelar, kaci sikep ayuddha, ring Sa, Ka,Landep. Tumpek Landep haranya. Ring: Sa, Ka, Wariga, malar kaci maharam Tumpek Uduh, apan sira mahyun angaci Widhi mwang para dewatha kang lina ajurit, ring Bu, Ka, Dungulan, mawasta Galungan. Pamupulan sarin tahun saking duranagara, Makasar, Sumbhawa, Sasak, mwang Blambangan, kang kawawa olih Sri Maha Raja Bali.Wre, Wa, Sungsang, anama Sugyan Jawa, Punang Bali Dwipa, ring Su,Ka, Sungsang anama SugyanBali. Punang aci Galungan ika ngawit,Bu, Ka, Dungulan, sasih ka-catur, tang dina 15, Isaka warsaning bumi 804. Bangun Indrabhawana ikang Bali rajya, atabuhan awanti-wanti siyang latri, makadinya gending laluwangan, salonding, pada ngastiti Widhi lan dewa-dewatha. Gemah ripah punang nagara sawengkoning Bali rajya kang sinengguh murddharning para Bhatara ika Abhiseka Sri Kesari Warmadewa.


Pinten warsa kala, apan sampun kalingsiran lina Sri Aji Bali Isaka 837, Anakira gumanti angraksa rajya kadatwan, tan pendah kadi sang wus humoring acintya, tegeg bhaktinya ring Hyang Widhi angarcana pura purana. Sri Ugrasena Warmadewa bhisekanira sang natha, prahiwakasubheng bhumi sira anakradhala, sutrepti punang Balidwipa. Para wiku Siwa Kasogatan mwang Rsi lan Mpu paragama  kang datang saking Yawadwipa lan saking Hindu, prasama atunggalan, apan sama-sama astiti bhakti ring Hyang Widhi mwang para dewadewatha anghing anut desa kala patra ika matangnyan kaharan Bhineka Tunggal Ika. Mangke warnnanen mwah, kang anakradala ring Bali-dwipa kang abhiseka Sri Ugrasena, pragina kasubuhengrat, sutrepti punang Bhumi Bali-dwipa, pintan dinakala malawas Sri Aji Ugrasena angraksa Rajya Kadatwan, mantuka sira ring tahya, rawuh di Saka Warsaningloka 864, sira lumah ring Ermadatu tlas. 


Candrabhaya SinghaWarmadewa putram, Ratuwibhuh kretajnanam,Udyana Er Mpul Siddhakaryam, Gunasadhu wiryyanam. Gumanti mangke kang angrajya kadatwan ring Bali-dwipa kang abhiseka sira Sri Candrabhaya Singha, sira angwangun ikang Hyang mwang udyana sireng Er Mpul di Saka Warsaningrat 884, Tirttha ika kahucap kang sidha angurip para Dewatha nguni. Pinten warsa kala lami Bathara Maharaja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa mawengrat sampun kalingsiran muliheng sunyatmaka, gumanti de wijanira mawengrat,abhiseka Sri Dharmma Udayana Warmadewa, sira juga anugrahakna tang tambra prasasti Isaka 911. Kunang riyadheg ira bhupalakengrat,stata kinabihan denira para Mpukwing, Kacewan, Kasogatan, Rsi Maha Brahmana, tan lempas inabih de para wadwa saselikan samasama mabikal awaknya. Mwah sira juga angadegakem kwehing para kasenapatyan dadyakna pakiran-piran ijro makabehan Riyadhegira bhupalakengrat mawuwuh-wuwuh wibhawanira, apan strinira sang abhiseka Ratu Mahendradata Gunapriya Dharmmapatni. Apan kalingsiran Sri Aji, sira lumah ring Er Wka, aningalana wija katrini,lwirnya, Sri Aji Erlanggya, kang ari Paduka Aji Sri Dharmmawangsa Wardhana Marakata Pangkaja Sthana Utanggadewa, ngakreng rat ring Bali ri pantaraning Isaka 944, kang ari apuspata Sri Aji Anak Wungsu 
(Purana Pura Luhur Batukaru) 

[Diceritakan ketika datangnya arya-arya Hindu yang menguasai bumi Bali juga ikut membangun dan memperbaiki kahyangan jagat. Seperti yang bernama Sri Wira Dalem Kesari kembali memperbaiki Pura Sad Kahyangan, antara lain: Pura Penataran Besakih, Pura Bukit Gamongan, Pura Batukaru, Pura Uluwatu,Pura Erjeruk, Pura Penataran Pejeng. Dan lagi kalau ada orang Bali tidak ingat dan bakti seperti tersebut di atas dikutuk kena pastu, dan  ribut dengan saudara. Itulah sebabnya semua mampu menyatakan pikiran bersama para pemimpin, kubayan, yang sebagai warga yang mengawali kahyangan tersebut, seperti di Pura Batukaru bersama menata kahyangan dengan para kubayan disana.

Setelah selesai memperbaiki semua pura, ia berkeinginan pada bakti pemujaan, dimulai aci pada Buda/Rabu/Kliwon Sinta,dinamakan hari suci Pagewesi, setelah selesai kemudian diupacarai.Para prajurit pada Sabtu Kliwon Landep, dinamakan Tumpek Landep, di hari Sabtu Kliwon Wariga dinamakan Tumpek Uduh,karena ingin memuja Sanghyang Widhi sekalian para dewa yang gugur saat perang, di hari Buda Kliwon Dungulan dinamakan Galungan. Dikumpulkan upeti (sarin tahun) dari berbagai Negara (kerajaan) Makasar, Sumbawa, Sasak dan Blambangan, yang dikuasai oleh Raja Bali.

Wrespati Wage Sungsang dinamai Sugian Jawa. Pada hari Sukra Kliwon Sungsang dinamakan Sugian Bali. Saat itulah aci Galungan dimulai. Hari Buda Kliwon Dungulan bulan keempat tanggal 15 tahun Isaka 804/882 Masehi dimulainya pembenahan penataran kerajaan Bali, suara gamelan bersahutan siang malam,seperti gending lahwangan, salonding, semua bersujud kehadapan Sanghyang Widhi dan dewa-dewa. Berkelebihan, sentosa pulau Bali dan yang menjadi pimpinan raja-raja adalah Sri Kesari Warmadewa.

Beberapa tahun kemudian, karena sudah tua mangkatlah Sri Aji Bali pada tahun Saka 837/915 Masehi. Putra beliau yang menggantikan tahta, tidak beda dengan beliau yang sudah menyatu dalam Sunya, selalu taat berbakti ke hadapan Sanghyang Widhi dengan bersembahyang di pura-pura. Sri Ugrasena Warmadewa nama beliau sang Prabu, bijaksana dan termasyur di dunia beliau memerintah, aman sentosa pulau Bali. Para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra. Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika.

Sekarang diceritakan, yang berkuasa di Pulau Bali bernama Sri Ugrasena, berwibawa terkenal aman sentosa Kerajaan Bali-dwipa.Sesudah beberapa lama Sri Aji Ugrasena bertahta di istana kerajaan, akhirnya beliau wafat kembali kealam Sunya, pada tahun Saka 864/942 Masehi, beliau dicandikan di Ermadatu, habis.

Putra beliau Candrabhaya Singha Warmadewa, raja yang berkuasa, makmur dan berbudi luhur, membangun Taman Er Empul (Pura Tirta Empul) yang dapat menghidupkan kembali para dewa dahulu. Bergantilah sekarang yang menjadi Raja di istana Bali bernama Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, beliau membangun parahyangan dan Taman Er Empul pada tahun Saka 884/962 Masehi. Air suci itu dijelaskan dapat menghidupkan kembali para dewa dahulu.

Sudah beberapa lama Maharaja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa berkuasa, sesudah tua akhirnya beliau kembali ke alam Sunya, digantikan oleh putra beliau dengan nama Sri Dharmma Udayana Warmadewa, beliau juga menganugrahkan prasasti pada tahun Saka 911/999 Masehi. Pada saat berkuasa, selalu didampingi oleh para pendeta Siwa, Budha, Rsi, Maha Brahmana, dan lagi diiringi oleh para pengikut pilihan yang gagah perawakannya.Lagi mengangkat banyak para senapati sebagai Pakiran-kiraning Jro makabehan.

Pada saat itu beliau bertahta bertambah besar kewibawaannya karena permaisuri yang bernama Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni. Karena sudah tua Sri Raja, beliau wafat di sungai Wka, meninggalkan tiga orang putra, diantaranya Sri Aji Erlangga,adiknya Sri Dharmawangsa Wardana Marakata Pangkaja Stana Utunggadewa, berkuasa di Bali antara tahun Saka 944/1022 Masehi. Adik terkecil bernama Sri Aji Anak Wungsu.]

Purana Bali Dwipa 

Sri Kesari Warmadewa Menurunkan Putra Sri Ugrasena, menurunkan Putra Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, Menurunkan putra Sri Dharma Udayana Warmadewa, Menurunkan 3 putra, Sri Erlangga,Sri Wardana Marakata, Sri Aji Hungsu

 ..... Mangke tucapa punang Bali-Pulina, kahyangan-kahyangan basmi rapuh, anghing kari bebaturanya kewala. Mangke tucapa Aryya Hindu anabdab akarddi kahyangan kang sampun rusak pareng lan wong Bali-aga. Kang sinengguh murdhaning para Bhatara ika abhiseka Sri Kesari Warmadewa. Sa-sampun puput punang pura-pura kabeh,mahyun ta sira angaci, ngawit aci ring: Bu, Ka, Sinta, angaci gelar Pager-wesi ngaranya. Wus ta ngaci gelar, sikep ayuddha, ring: Sa, Ka,Landep. Tumpek Landep haranya Ring: Sa, Ka, Wariga, malar ka-aci maharani Tumpek Uduh, apan sira mahyun angaci widhi mwang para dewatha kang lina ajurit, ring: Bu, Ka, Dungulan, mawasta Galungan.

Pamupulan sarin tahun saking dura nagara, Makasar, Sumbawa,Sasak, mwang Blambangan, kang kawawa olih maharaja Bali. Wr,Wa, Sungsang anama Sugyan Jawa. Punang Bali-dwipa, ring Su, Ka,Sungsang anama Sugyan Bali. Punang aci Galungan ika ngawit Bu,Ka, Dungulan, Sasih ka-catur, tanggal 15, Isaka 804. Bangun Indrabwana ikang Bali rajya, atabuhan awanti-wanti siyang latri angastiti widhi lan dewa dewatha. Gemah ripah punang nagara sawengkoning Bali rajya sapandirinya kang kapuji Bhatara Maharaja Sri KesariWarmadewa.


Pinten warsa kala lami, apan sampun kalingsiran lina Sri Aji Bali,Isaka 837. Anak ira gumanti angraksa rajya, tan pendah kadi sang wus humoring acintya, tegeg bhaktinya ring Hyang Widhi angarchana pura purana. Sri Ugrasena Warmadewa bhisekan ira sang natha, pragiwaka subheng bumi sira anakra dhala, sutrepti punang Bali-dwipa. Para wiku Siwa Budha mwang Rsi lan Mpu para agama kang dating saking Yawadwipa lan saking Hindu, prasama anunggalan, apan sama-sama astiti ring Hyang Widhi mwang para dewa dewata, anghing anut desa kala patra. Ika matangnya kaharan Bhineka-tunggal-ika, apan prasama angapti tata tentrem krtta raharjja sakala mwang niskala. Pinten dina kala lami Sri Ugrasena Warmadewa ngraksa rajya, mantuk sira ring taya apan sampun kalingsiran, Isaka 864, kang layon kapendem ring Ermadatu.

Mangke tucapa anak ira gumanti anakra dhala abhiseka Bhatara Maharaja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, sira awangun pura lan taman Tirttha Empul, ring Tampaksiring Isaka 882. Tirttha ika kang siddha angurip para dewa nguni kang sampun olih lina saking tiksna racun Sri Mayadanawa.


Pinten warsa kala lami Bhatara Maharaja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa angraksa rajya, mantuk sira ring taya Isaka 913. Anak ira gumanti angraksa rajya abhiseka Bhatara Maharaja Sri Dharmma Udayana Warmadewa. Sira subaga wiryya siniwi kahalem para wiku lan para ratu prasama angalem, Sri bhupati raweh ka Jawa-dwipa. Ika matemahan sira arabi ring putri prabhu Jawa mottama, maka sutanya Sri Makutawangsa Warddhani ratu istri arabi lawan Sri Makutawangsa Warddhana, sira asuta karo stri sama hayu-hayu rupanya. Kang kantun ring Jawi aswami lawan prabhu Kadhiri, kang parab Sri Dharmmawangsa Guh Ananta Wikrama Tunggadewa. Kunang kang aswami maring Bali anama Ratu Mahindradatta Gunapriya Dharmmapatni, sira kang siniwi ring Bali-dwipa.


Tucapa Bhatara Maharaja Sri Dharmma Udhayana Warmadewa angraksa rajya pareng lan rabi mwah mawuwuh malih wibhawan ira, apan Ratu Mahindradatta Gunapriya Dharmapatni wicaksana kasubheng bumi. Wenten malih maka tabeng wijang nrpati kang kapaccharya anama Senapati Wrsabha, Senapati PanSakala,Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Dandha, Senapati Wit,Senapati Byut, Senapati kapaccharya Senapati Kuturan, Senapati Maniringin, mwang Senapati Sarbhwa. Sawelas wijya Senapatinya tumut angraksa rajya Bali pulina, sira prasama aweha bhukti labha carik. Punang Senapati Kuturan labhanya agenah ring pawatesan mangke Batwan. Sutrepti punang Bali pulina tan hana wyadi tiling manahnya agagitayan, punang para pandita Siwa Buddha lan para Rsi mwang Mpu satata akarya homa nguncaraken wedanya mwang seha humung kang swaraning genta ngastiti Hyang Widhi mwang para dewa dewatha. Tatabuhan maler maswara sadesa-desa, siyang latri, angaci ring pura-pura tan papegatan. Kadulurin kidung kakawin.


 Wus alami Sri Dharmma Udhayana Warmadewa angraksa rajya, mantuk sira ring taya, Isaka 940, kang layon kapendem ring Banu
Wka. Tucapa mangke kang rabi anakradhala pareng lan sutanya sira anama Sri Wardhana Marakata Pangkaja Tunggadewa, nguni sira asanak katrini kakung pwa sira, kang panuha anama Sri Hairlangghya
sampun ka Jawa-dwipa; sira kaputra mantu olih prabhu mottama Yawa kang abhiseka Sri Dharmmawangsa Guh Ananta Wikrama Tunggadewa, ring Kadhiri, kadatwanya. Wawu mayusa 16 masa apan sira amijil anrsiti 913. Punang sang harihungsunya anama Sri Aji Hungsu, kantun cili pwa sira. Pinten warsa lawas ira sang kalih anakradhala Isaka 971. Sri Aji Hungsu angraksa Rajya apan sang kalih ibunya mwang kang-ira sampun humor-ing acintya. Layon sang ibu Ratu Mahindradatta Gunapriya Dharmmapatni kapendem ring bukit Bhurwan, tampek ring banuweka. Punang Layon Sri Warddhana Markata Pangkaja Tunggadewa kapendem ring Gunung Kawi Tampaksiring. Tucapa mangke Sri Aji Hungsu, angraksa rajya tan 




Prasasti Batu Manuk Aja dikeluarkan zaman Raja Sri Candrabhayasingha W. Saka 884
pendah kadi sang sampun lina satata bhakti ring Hyang Widhi, mwang para dewa dewata, gemah ripah punang nagara Bali pulina malih dirgghayusa sang ankradhala mwang para kula warga nagara luput tan keneng jara marana, malih balan nane tan hana acengilan, sami manut rama sasana mwah putra sasana. 
(Purana Bali Dwipa, 1b-5a) 


[Kini dikisahkan keadaan Pulau Bali, semua pura rusak terbakar,yang masih tertinggal hanya dasar bangunan saja. Dikisahkan para Arrya Hindu memugar dan membangun kembali semua pura yang sudah rusak bersama masyarakat Bali-Aga. Adapun yang diberi gelar awatara dewata ialah Baginda Sri Kesari Warmadewa. Sesudah selesai membangun semua pura, baginda bermaksud melaksanakan upacara. Upacara itu dimulai pada hari Rabu Kliwon Sinta, yang bermakna mengupacarakan benteng pertahanan,selanjutnya mengadakan untuk segala perlengkapan senjata perang yang jatuh pada hari Sabtu Kliwon Landep, selanjutnya disebut Hari Raya Tumpek Landep.

Pada hari Sabtu Kliwon Wariga, juga melaksanakan upacara yang disebut Tumpek Uduh, Baginda juga bermaksud melaksanakan upacara dewa yadnya serta upacara para dewata yang gugur di medan perang, yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Dungulan, yang disebut Hari Raya Galungan. Pemasukan pajak hasil bumi dari luar Pulau Bali yakni, Makasar, Sumbawa, Sasak, dan Blambangan, yang dibawah kekuasaan Baginda Raja di Bali, diupacarakan pada hari Kamis Wage Sungsang yang selanjutnya disebut Hari Raya Sugian Jawa. Khusus bagi penduduk Bali-Mula upacara itu dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon Sungsang, selanjutnya bernama Hari Raya Sugian Bali.

Adapun pelaksanaan Hari Raya Galungan bermula pada hari Rabu Kliwon Dungulan, sekitar bulan Oktober saat bulan purnama,pada tahun Saka 804/882 Masehi. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indraloka, menyuarakan bunyi-bunyian yang tak henti-hentinya siang malam memuja Sang Hyang Widhi dan para dewata. Pulau Bali aman dan makmur sejak Maharaja Sri Kesari Warmadewa sebagai penguasa tunggal yang diberi gelar awatara Dewata.

Entah berselang beberapa tahun Baginda bertahta, karena sudah lanjut usia, Baginda Raja lalu wafat pada tahun Saka 837/915 Masehi. Selanjutnya digantikan oleh putra Baginda, tidak ubahnya seperti almahum ayahanda. Baginda teguh iman taat memuja Sang Hyang Widhi melaksanakan persembahyangan di pura. Baginda bergelar Sri Ugrasena Warmadewa, sangat bijaksana masyur di Nusantara sebagai penguasa tunggal, Pulau Bali aman dan tentram. Para pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para ahli/mpu, yang merupakan pemuka agama yang datang dari Pulau Jawa dan dari India, semuanya sudah menyatu, karena sama-sama memuja kebesaran Sang Hyang Widhi dan para dewata. Maka itu disebut Bhinneka Tunggal Ika, karena semua menghendaki terwujudnya masyarakat tata tentram kerta raharja sekala niskala. Entah beberapa lama Sri Ugrasena sebagai penguasa tunggal, baginda lalu wafat karena sudah lanjut usia, pada tahun Saka 864/942 Masehi.Jenazah Baginda dimakamkan di Airmadatu.

Kini dikisahkan putra Baginda yang bertahta menjadi Raja bergelar Bhatara Maharaja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa.Baginda yang membangun pura dan Taman Tirtha Empul di Tampaksiring pada tahun Saka 882/960 Masehi. Tirtha Empul itu yang berhasil menghidupkan kembali para dewata yang sudah wafat akibat terkena keganasan racun Sang Mayadanawa. Entah beberapa lama Baginda Maha Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa sebagai penguasa tunggal Baginda lalu wafat pada tahun Saka 913/991 Masehi. Digantikan oleh putra Baginda menjadi raja yang bergelar Bhatara Maharaja Sri Dharmma Udhayana Warmadewa.Termasyur kebesaran Baginda sebagai penguasa tunggal,dipuji dan dihormati oleh para pendeta dan para raja, sampai ke Pulau Jawa. Maka dari itu Baginda mempersunting putri raja dari Pulau Jawa yang sangat utama, putri Sri Makuta Wangsa Wardhani raja wanita yang bersuamikan Sri Makuta Wangsa Wardhana,Baginda berputra dua orang yang berparas cantik. Yang tinggal di Jawa kawin dengan raja Kediri, yang bergelar Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa. Dan yang menikah ke Bali bergelar Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, Baginda yang menjadi jungjungan rakyat Bali.

Dikisahkan Baginda Maha Raja Sri Dharma Udhayana Warmadewa memerintah Pulau Bali bersama permaisuri, makin bertambah kewibawaan Baginda, oleh karena Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni bijaksana masyur di Nusantara. Adapula yang merupakan perisai pengawal Baginda yang sudah dipercaya bernama Senapati Wrasaba, Senapati PanSakala, Senapati Waranasi, Senapati Tira, Senapati Danda, Senapati Wit, Senapati Byut,Senapati Kalabaksa, Senapati Kuturan, Senapati Maniringin,Senapati Sarbwa. Sebelas orang Senapati Baginda yang besamasama mengatur dan mengayomi Pulau Bali, kesebelas senapati itu diberikan imbalan sawah bukti. Adapun Senapati Kuturan, sawah bukti yang dihasilinya bertempat di perbatasan daerah Batuan.

Pulau Bali aman dan sejahtera tidak ada perselisihan, semua umat menekuni nyanyian keagamaan, demikian pula para pendeta Siwa, Budha, Rsi dan para Ahli (Mpu), selalu melaksanakan api kurban (homa), mengucapkan weda mantra. Suara genta mengalun memuja kebesaran Sang Hyang Widhi serta para dewata. Demikian pula bunyi-bunyian dibunyikan siang malam di tiap-tiap desa, dalam rangka upacara dewa yadnya pada masing-masing pura tak henti-hentinya. Dilengkapi dengan kidung dan membaca lontar kekawin.

Setelah lama Sri Dharmma Udhayana Warmadewa sebagai penguasa tunggal, akhirnya Baginda wafat, pada tahun Saka 940/1018 Masehi. Jenazah Baginda dikebumikan di Banyuweka.Kini dikisahkan permaisuri Baginda bersama putra mahkota yang bergelar Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa sebagai penguasa. Baginda bersaudara tiga yang ketiganya pria,yang sulung bernama Sri Hairlangga sudah ke Pulau Jawa. Baginda dijadikan anak menantu oleh Sri Dharmawangsa Teguh Ananta Wikrama Tunggadewa di kerajaan Kediri. Ketika itu Sri Hairlangga baru berusia 16 tahun, karena Baginda lahir pada tahun Saka 915/991 Masehi. Adik bungsu Baginda bernama Sri Aji Hungsu, masih dalam usia kanak-kanak. Entah beberapa tahun lamanya Baginda berdua sebagai penguasa, pada tahun Saka 971/1049 Masehi, Sri Aji Hungsu yang bertahta menjadi raja oleh karena Ibunda dan kakaknya sudah wafat.

Jenazah Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni dikebumikan di Bukit Bhurwan, dekat dengan Banyuweka. Adapun jenazah Sri Wardhana Markata Pangkaja Tunggadewa dikebumikan di Gunung Kawi daerah Tampaksiring.

Kini dikisahkan Sri Aji Hungsu yang bertahta menjadi raja, tak ubahnya seperti almarhum Ibunda, selalu sujud bakti ke hadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata. Pulau Bali aman dan sejahtera demikian juga Raja dalam keadaan selamat dan panjang umur, serta seluruh rakyat terhindar dari segala wabah penyakit. Lagi pula rakyat Baginda tak ada yang bertikai, semua mematuhi kewajiban sebagai seorang ayah dan kewajiban sebagai seorang anak.]


Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja tersebut di atas antara lain:Sukawana Saka 8o4, Bebetin Saka 818, Trunyan Saka 813, Trunyan B1 Saka 833, Gobleg Saka 836, Srokodan Saka 837, Babahan Saka 839, Sembiran Saka 844, Pengotan A1 Saka 846, Batunya Saka 855, Dausa Pura Bukit Indrakila Saka 857, Serai A1 Saka 888, Sembiran B1 Saka 873, Manukaya Saka 884, Bebetin Saka 911, Serai A2 Saka 915, Sading A Saka 923, Batur Pura Abang Saka 933, Sembiran A3 Saka 938, Batuan Saka 944, Sawan Saka 945, Kesihan Saka 945, Bwahan Saka 947, Prasasti Bangli, Pr. Kehen B, Prasasti Ujung Saka 962

Purana Pura Pucak Bukit Gede 

Sri Aji Hungsu Menurunkan 3 Putra dan Putri, Sri Sakalindu Kirana,Sri Sura Dhipa, Sri Jayasakti.

..... Giri Antapsari kahyanganira Bhatara Pasupati, Giri Pangelengan mwang Giri Silanjana kahyangan nira Hyang Nagaloka, Giri Watukaru kahyangan nira Hyang Lumanglang. Wukit Gede kahyanganku Bhatara Siwa, Giri Padang Dawa kahyangan Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat,Giri Pucak Kembar kahyangan nira Bhatara Gede Sakti Amurbeng Rat, Wukit Rangda kahyangan nira Bhatara Ludra, mareng Trate Bang kahyangan nira 
Hyang Besa Warna, Giri Mangu kahyangan nira
Prasasti Batu Pura Gunung Penulisan. (Sumber Photo Goris,R. Prasasti Bali, 1954).
Hyang Danawa, Giri Pucak Rsi kahyangan nira juga Hyang Pasupati,Giri Andakasa kahyangan nira Bhatara Hyang Tugu, ih kita ranak Ku, hana pawekas ingsun, ikang Wukit Gede kalawan Giri Padang Dawa mwang Pucak Kembar, ika wit sangkyeng Wukit Gede, hana supataninghulun ri wwang kabeh,mogha rikaswenia kawinangun kahyangan make lingganKu Hyang Siwa tar hana waneh, genah ikang wwang manusha anuhun pada kalawan ngku. Warnenen ripangentosing masha, ri tatwania tucapa Pulina Bangsul cinakra de Sri Aji Hungsu,sira adrewya suta katrini kwehnya, kang anama Sri Sakalindu Kirana,Shri Sura Dhipa, mwang ari apenelah Sri Jaya Sakti. Pinten warsha Shri Aji Hungsu anakradhala mantuk sira haneng taya, gumantya de ranakira apenelah Sri Sakalindu Kirana. Sira anakra watara 20 masha, manke manggala ikang linggihira, kang ari anama Shri Sura Dhipa, tar pendah kadi kakangira, malartar aswe sira anakradhala watara 15 masha, mur pwa sira mareng sunyaloka, marmania kang ari angraksa rajya abhiseka Shri Jaya Sakti, sira sring anangun tapa brata Samadhi, ngastiti Hyang Bhatara, punang wong Bali Pulina tar hana tulak ri sira sang anakradhala, hana pwa sutanira kasumbung wicaksana anama Shri Jaya Pangus, sira gumantya kang yayah kang sampun ndewata sira kweh nggawe caciren, ikang kadatwania hana mareng Balingkang

(Purana Pura Pucak Bukit Gede, hal 4b-6a)


[Gunung Antapsari kahyangan Bhatara Pasupati, Gunung Pangelengan serta Gunung Silanjana kahyangan Nagaloka, Gunung Watukaru kahyangan Hyang Lumanglang, Bukit Gede kahyangan Bhatara Siwa, Giri Padang Dawa kahyangan Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat, Giri pucak Kembar kahyangan beliau Bhatara Gede Sakti Amurbeng Rat, Bukit Rangda kahyangan beliau Bhatara Ludra, di Trate Bang kahyangan beliau Besa Warna, Giri Mangu kahyangan beliau Hyang Danawa, Giri Pucak Rsi kahyangan beliau juga Hyang Pasupati, Gunung Andakasa kahyangan beliau Bhatara Hyang Tugu, ih kamu anak-Ku semuanya, ini adalah nasehatku,adalah Bukit Gede bersama Gunung Padang Dawa dan Pucak Kembar itu berasal dari Bukit Gede, ada sumpah dan kutukan bagi kamu semua orang, semoga untuk selanjutnya dibangun tempat suci sebagai simbol-Ku Hyang Siwa tak ada yang lain dan tempat semua orang memohon Tirtha Suci bersama pinandita.

Dikatakan setelah alih zaman, dalam ceritra yang sebenarnya, dikisahkan Pulau Bali diperintah oleh Sri Aji Hungsu, beliau mempunyai anak laki dan perempuan banyaknya, yang bernama Sri Sakalindu Kirana, Shri Sura Dhipa, dan adiknya bernama Sri Jaya Sakti. Setelah beberapa tahun Sri Aji Hungsu memerintah berpulanglah beliau ke Sunya Loka, menggantikan anaknya yang sulung bernama Sakalindu Kirana, beliau memerintah selama 20 tahun setelah itu pemerintahan oleh adiknya yang bernama Sri Sura Dhipa, tidak beda jauh dengan kakaknya, menurut lamanya beliau memerintah sekitar 15 tahun moksah beliau pergi ke sunya loka,dengan demikian adiknya yang dinobatkan menjadi Raja bernama Sri Jaya Sakti, beliau taat menjalani tapa brata Samadhi menyebah Hyang Bhatara. Begitupun rakyat Pulau Bali tidak ada yang tertindas pada masa pemerintahanya, adalah putranya yang kesohor adil bijaksana bernama Sri Jaya Pangus, yang menggantikan ayahnya yang sudah meninggal, beliau banyak meninggalkan jasa, salah satunya adalah yang ada di Balingkang.]

Purana Bali Dwipa

Sri Aji Hungsu Menurunkan 3 Putra Putri, Ratu Sakalindu Kirana,
Sri Sura Dhipa, Sri Jaya Sakti,


Tucapa sang natha Sri Aji Hungsu sutanya katrini kwehnya, wijiling babecik, stri pwa sira anama Ratu Sakalindu Kirana, kang saking panawing karo wijya kakung, kang panuwa anama Sri Sura Dhipa, arinya apenelah Sri Jaya Sakti. Pinten warsa lawas Ira Sri Aji Hungsu anakradhala mantuk sira ring taya, apan sampun kalingsiran, kang layon kapendem ring Gunung Kawi, Isaka 999. Mangke tucapa Ratu Sakalindu Kirana kang anakradhala ring Bali-dwipa, apan sira mijiling babecik, lan sira nyukla-brahmacarya, manggala Ratu Istri ring Bali kasumbung dharma wicaksana angraksa rajya kasumbung tekeng dura Negara. Pinten dinakala lami rati istri anakradhala, sutrpti punang nagara, anghing watara 20 masa, mantuk sira ring taya Isaka 1023.Mangke manggala ikang linggih Sri Sura Dhipa anakradhala, tan pendah kadi kang-ira stri sang sampun ndewata, malar tan aswe sira anakradhala, watara 15 masa, mantuk sira maring taya, Isaka 1041,marmanya kang ari angraksa rajya abhiseka Sri Jaya Sakti, sira asering nangun tapa brata Samadhi ngastiti Hyang Widhi, mwah tan lali ring Bhatara Dewatha. Punang wong Bali Pulina tan hana atulak bhakti ring sira sang anakradhala, wus alami Sri Jaya Sakti angraksa rajya mantuk sira amor ing acintya Isaka 1072.
(Purana Bali Dwipa, hal 5a-5b).

[Dikisahkan Baginda Raja Sri Aji Hungsu berputra tiga orang,ber-ibu keturunan bangsawan, seorang wanita bernama Ratu Sakalindhu Kirana, dua orang pria beribu orang kebanyakan (selir), yang sulung bernama Sri Suradhipa dan yang bungsu bernama Sri Jaya Sakti. Entah berapa tahun lamanya Baginda Sri Aji Hungsu bertahta, akhirnya Baginda wafat karena sudah lanjut usia, jenazah Baginda dikebumikan di Gunung Kawi, pada tahun Isaka 999/1077 Masehi. Selanjutnya dikisahkan Ratu Sakalindhu Kirana yang bertahta di Bali, karena Baginda Ratu beribu bangsawan,lagi pula Baginda Ratu tidak menikah, merupakan Ratu yang kepertama di Bali mashur menghayati dharma serta bijaksana sebagai penguasa tunggal, terkenal sampai keluar pulau.

Entah berapa lama Baginda Ratu bertahta, pulau Bali aman sejahtera, lebih kurang 20 tahun, Baginda Ratu lalu mangkat pada tahun Saka 1023/1101 Masehi. Selanjutnya Sri Suradhipa yang bertahta, tidak ubahnya seperti kakanda Baginda almarhum.Juga tiada lama Baginda bertahta, kira-kira 15 tahun, Baginda lalu wafat pada tahun Saka 1041/1119 Masehi. Maka itu adik Baginda bertahta bergelar Sri Jaya Sakti. Baginda sering melaksanakan tapa, brata, semadhi, memuja kehadapan Sang Hyang Widhi, juga Baginda tidak lupa memuja kepada para leluhur. Rakyat pulau Bali tidak ada yang berani menentang, setia dan bakti kehadapan Baginda Raja. Sesudah lama Sri Jaya Sakti bertahta, Baginda lalu mangkat pada tahun Saka 1072/1150 Masehi.

Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja tersebut antara lain: Prasasti Dawan Saka 975, Prasasti Trunyan Saka 971, Prasasti Bebetin Saka 972, Prasasti Sukawana Saka 976, Prasasti Blantih Saka 980, Prasasti Batunya Saka 977, Prasasti Dausa Pura Bukit Indrakila Saka 983, Prasasti Sembiran Saka 987, Prasasti Pengotan Saka 991, Prasasti Pandak Badung Saka 993, Prasasti Kelungkung C Saka 994, Prasasti Srokodan Saka 999, Prasasti Pengotan Saka 1010, Prasasti Tjampetan Saka 1071, dan lain-lain. 

Piagem Dukuh Gamongan 

Sri Jaya Sakti Menurunkan 5 Putra, Sri Gnijaya, Sri Maha Sidhimantra Dewa, Sri Mahadewa Pu Withadharma, Sri Maha Kulya Kulputih, Ratu di Yawa-Madura

..... sira Sri Gnijaya Sakti gumaweyana dharma rikang Gunung Lempuyang, iniring dening watek mpungku, sewa, sogata mwang bata mantri makabehan, sira Sri Gnijaya Sakti, jaya jayeng wiragya, silawan, punyawan, sudengcita, tarcala mapageh, anamtamaken Brahmana binwating Bangsul, de Sri Gnijaya Sakti, sira gumawya werdyaning desa-desa, makabehan, lwirning simakrama, denapageh, umaweh kaywaning rat trilokam, pinujinam, tekeng dlaha, mawirya sabalanya makabehan tan kurang kaywanan, kalawan yasa sang prabhu, tinut kang sabala, nahan pakertya nira, pura darmmah utamam, risampun dasa temwang sira anakradhala biniseka pwanakira matuha, madeg rajyakadaton, apenengeran sira Gnijaya juga, Isakawarsaning rat,ekanindrya sunyeku, risampun punang pali pali, garjita twas nira Sri Gnijaya Sakti, apan prasidha donira, amrih kasukan, nira nangun Brata mwang Samadhi, hyun nira aneher, anyujur Gunung Hyang,atemu lawan yayahnira nguni, asewaka guru guna widya, lawan pandita sewa sogata, ika matangnya, sira mengejawa Bangsul, setata nangun tapa, brata, semadhi, tegeg angatiti Widhi, mwang tan lupeng maring dewata, mangkana subal. Caritanen mangke, Sri Gnijaya wangsanak nira karwa mangaran nira, Sri Maha Sidhimantradewa, katiganya apasadnya Sri Mahadewa Pu Withadharmma, kapat mangaran nira Sri Maha Kulya Kulputih, kalimania sira ratu Yawamadura.

(Piagem Dukuh Gamongan, hal 2b-4b).

[. . . Baginda Sri Gnijaya Sakti yang membangun pertapaan suci di Gunung Lempuyang diiringi oleh para ahli (mpu), pendeta siwa, pendeta budha, juga para mentri semuanya, beliau Sri Gnijaya Sakti, seorang yang gagah berani, berbudi luhur, dermawan,berpikiran suci, teguh kokoh pendiriannya, para pendeta selalu diutamakan dan diajak dalam menata pemerintahan di Bali. Beliau Sri Gnijaya Sakti, sebagai panutan dalam pengembangan desa desa, termasuk menemui para warga, taat dan setia, oleh karena ketaatan itu ketenaran beliau sampai kebelahan tiga dunia, untuk dipuja seterusnya dimasa depan, gagah berani prajurit semuanya tidak kurang kebaikkan, dan sang prabhu selalu dituruti oleh seluruh rakyatnya, begitulah laksana Baginda, tempat suci selalu diutamakan.

Setelah 10 tahun Baginda memerintah lalu dinobatkanlah anaknya, menjadi raja bernama sama Sri Gnijaya juga, tahun Isaka 1051/1129 Masehi, setelah selesai acara penobatan, sangat bahagia hati Baginda Sri Gnijaya Sakti, karena sudah terkabulkan keinginannya, melaksanakan Brata dan Semadhi, lalu berkeinginan  menuju ke Gunung Hyang mengikuti jejak ayahnya dari dahulu, meminta pelajaran yang berguna dalam kehidupan ini, juga kepada para pendeta siwa budha, dengan demikian beliau sering keluar Istana (ngajawa Bangsul), taat menjalani tapa brata semadhi dan memuja Sang Hyang Widhi, serta tidak lupa memuja para leluhur, demikianlah titik. Sekarang diceritakan, Sri Gnijaya bersanak saudara yang nomor dua bernama Sri Maha Sidhimatradewa, yang ketiga bernama Sri Mahadewa Pu Withadharma yang keempat bernama Sri Maha Kulya Kulputih, yang kelima menjadi Ratu di Jawa Madura.]


Prasasti Pura Puseh Sading

Sri Maharaja Jaya Sakti Menurunkan 5 Putra, Sri Gnijaya, Sanghyang
Sidhimantra Dewa, Sri Mahadewa Mpu Withadarma, Sang Kulputih,
Ratu Jawa di Madura

..... Isaka 1072 cetramasa titi dwadasi suklapaksa, tang, ping, 12, waraning Julungpujut, irika diwasa nira Paduka Sri Maharaja Jaya Sakti umaha mana para senapati makadi rakyan apatih imingsor I tanda rakyan ri pakiran-kiran nira kahyuna lunga maring banwa ing Bangsul, kalawan stri nira akadatwana pwa sira haneng Gununggunung Adri Karang, sangkaning turuna sira apan hana pakawaning yayahnira Sanghyang Guru donia gumawyana Dharma rikang Gunung Lempuyang, maka kerahayuaning jagat Bangsul, karuhun iniringaning sewatek Mpuku, Sewa, Sogata, Bata mantri tumut irika Sang Sri Jaya Sakti kinaratwaken dening sarat tan kapingging pwa sira, rinatwaken, apan sira bawa laksana tekeng aji, tan akerwan pwa sira dening mohang murkeng cita, muang lobeng ambek rikang rat,kabretyania tuhu matowang, apan sira ratu cakrawati, apan sira ratu jayeng barata, paramarta sira 


. . . Ajarakna ri hawanirang Sri Jaya Sakti kalawan bretya carania brahmam pakiran kiran sira haneng banwa Bantiran prasama gawyana ya werdyaning desa-desa makabehan. Nahan pakertya sewatek tanda bata mantrya ri Bantiran, pura dharmah utamam,lwirning tanda rakyan apatih sama prasanaking brahma nurunaken putra semadi astawa ni Sri Mahadewata Maharaja Dewa Lingganing Gunung Hyang, sanakira sri putra malawas-lawas bipraya anjujug nagareng Jawa Bangsul Banwa Bantiran tekeng Pura Karang mantrya putraning bhatara anakira matwa Sri Gnijaya juga inaranan teher akadatwan ring warani Karang tumemwa tekeng mangke yogyanana inistis dening wang kang hana wangsania ta wekasan de ya atiti ta apan sira lwih utama puniawan silawan tan pade sudania munggwa sari rani, ping rwa anakira ngaran Sanghyang Sidhimantra Dewa,katigania Sri Mahadewa Mpu Witadharma, subaga ring rat, kapat nira Sang Kulputih, kalimania Ratu ing Yawa Madura . . .
(Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal).

[Pada tahun Saka 1072/1150 Masehi, bulan Hindu kesembilan,pada tanggal duabelas bulan paro terang, wuku julungpujut, pada hari itulah saatnya Sri Paduka Sri Maharaja Jayasakti, menyidangkan para senapati, terutama para rakyan mahapatih dan para Tanda Mantri di balai istana raja untuk memperbicangkan hasrat baginda Sri Maharaja Jaya Sakti bersama permaisurinda, hendak beranjangsana ke desa-desa di Bali yang ada di Gunung Karang. Adapun minat baginda datang kesana, oleh karena melaksanakan tugas perentah dari ayahnda yaitu Sanghyang Guru, yang hendaknya supaya mendirikan tempat suci (pedharman) di Gunung Lempuyang, demi untuk keselamatan Negara Bali ini. Baginda diiringi oleh para pendeta Siwa maupun Buda dan para Bata mantri.Dimana baginda Sri Jaya Sakti lalu dinobatkan menjadi raja oleh rakyat Bali itu. Baginda sangat tepat dinobatkan, karena baginda sangat berpengaruh dan pandai dalam segala ilmu. Baginda tiada akan mundur menghadapi orang-orang yang durhaka. Rakyat baginda sungguh-sungguh takut dan hormat kepada baginda, karena baginda sungguh-sungguh Raja Cakrawarti dan raja yang menang dalam peperangan, sangat unggul dan sangat bijaksana. Kini diceritakan perjalanan Sri Baginda Raja Jaya Sakti bersama para Brahmana.

 Setelah baginda tiba di desa Bantiran, maka serempak rakyat baginda memperluas daerah-daerahnya. Demikian tugas-tugas para Tanda Mantri baginda di luar desa Bantiran. Mereka membangun pura tempat persembahyangan dan juga Pedarman-pedarman yang sangat diutamakan. Sekalian para Tanda Mantri dan rakyan-apatih itu kesemuanya dari keturunan wangsa brahmana, menurunkan putra, berkat hasil semadi dan doa Ida Bhatara Mahadewa yang bersemayam di Gunung Hyang. Dari saat itu putra-putra baginda itu terpencar, kian kemari, pulang pergi dari Pulau Jawa ke Pulau Bali desa Bantiran sampai ke Pura Karang (Lempuyang). Adapun putra-putra Sri Maharaja yang roh kudusnya sudah disemayamkan di Gunung Hyang, sebagai berikut: putra yang tertua nama sama dengan orang tua Sri Gnijaya juga, beristana di Gunung Karang,yang kita warisi hingga dewasa ini dan yang patut dipuja oleh sekalian penduduk hingga sekarang, harus kita taat memujanya,karena mendiang sangat utama, dermawan dan sangat susila,serta kesucian baginda tiada taranya, putra yang kedua bernama Sanghyang Sidhimantra Dewa, putra yang ketiga bernama Sri MahadewaM pu Witadharma yang sangat terkenal di Negara, putra
Prasasti Srokodan yang terbuat dari bahan tembaga, tahan sampai ribuan tahun
yang keempat bernama Sang Kulputih dan putra yang kelima Ratu di Jawa-Madura.

Prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja di atas: Prasasti Campetan Saka 1071, Prasasti Manik Liu Saka 1055, Prasasti Bwahan Saka 1068,Prasasti Prasi Saka 1070, Prasasti Sading B Saka 1072, Prasasti Dausa, Prasasti Pemecutan B, Prasasti Sibang Kaja, Prasasti Depa A, Prasasti Bebandem,Prasasti Landih A, Prasasti Tampakgangsul, dan lain-lain.

Piagem Dukuh Gamongan
dan Purana Bali Dwipa


Sri Gnijaya Sakti (Sri Jayasakti) Menurunkan Putra Sri Gnijaya,
Menurunkan Putra Sri Jaya Pangus, Menurunkan Dua Putra, Sri
Hekajaya dan Sri Dhanadhiraja (Sri Adi Kuti Ketana)

..... de Sri Gnijaya Sakti, sira gumawya werdyaning desa-desa,makabehan, lwirning simakrama, denapageh, umaweh kaywaning rat trilokam, pinujinam, tkeng dhala, mawirya sabalanya makabehan tan kurang kaywanan, kalawan yasa sang prabhu, tinut kang sabala,nahan pakertya nira, pura dharmah utamam, risampun dasa temwang sira anakradhala biniseka pwanakira matuha, madeg rajyakadaton, apenengeran sira Sri Gnijaya juga, Isakawarsaning rat, ekanindrya sunyeku . .. 

(Piagem Dukuh Gamongan).

[.....Baginda Sri Gnijaya Sakti, sebagai panutan dalam pengembangan desa-desa, termasuk menemui para warga, kukuh dan taat, oleh karena ketaatan itu ketenaran beliau sampai kebelahan tiga dunia, untuk dipuja seterusnya dimasa depan, gagah berani perajurit semuanya tidak kurang kebaikan, dan perintah sang prabhu selalu dituruti oleh seluruh rakyatnya, begitulah laksana Baginda, tempat suci selalu diutamakan, setelah 10 tahun Baginda memerintah lalu dinobatkanlah putra beliau, menjadi Raja, bernama sama Sri Gnijaya juga, tahun menjadi raja Isaka 1051/1129 Masehi.....]

.....Wus alami Sri Jaya Sakti/Sri Gnijaya, angraksa rajya mantuk sira amor ing acintya, hana sutanya sawiji laki kasumbung wicaksana anama Sri Jaya Pangus, sira gumanti angraksa rajya ring Bali-dwipa, tan pendah kadi sang yayah kang sampun ndewatha. Pinten warsa Sri Jaya Pangus angraksa rajya, tan hana musuh angusak-asik Bali pulina, para pandita Siwa Sogata lan para Rsi mwang Mpu akaryya Dharmma-dharmmamwang tan acengilan, para catur-wangsa malar pada angelingi lungguh akaryya papantyan genah mabhakti ring para kawitanya, anghing tan hana lali mulanya tunggal saking Hindhu.Patunggalan agama-agama lan atunggalan catur-wangsa ika kaharan Bhineka Tunggal Ika ring Bali-dwipa, tan hana aceda-cineda malih amuji-pinuji, apan prasama amrih tata tentrem krtta raharjja. Watara 30 masa, Sri Jaya Pangus angraksa rajya mantuk sira ring taya, anak ira gumanti anakradhala, Isaka 1103.Punang layon kapendem ring patapan Dharmma-anar. Tucapa sira atinggal putra karo saking wijiling babecik,kang panua anama Sri Hekajaya, kang ari apanelah Sri Dhanadhiraja, karwa kari anom-anom, sama-sama apekik, rupanya tan pendah kadi Sang Nakula Sahadewa anurun. Mangke Sri Hekajaya angraksa rajya Bali pulina, wus apula-pali abhiseka Sri Maharaja Hekajaya. Sira tan heling angaci-aci pura-pura, lali ring acining nagara Bali pulina,lamakanna tan aswe anakradhala watara 19 masa, mantuk sira ring taya Isaka 1122, lamakanna sang ari gumanti angraksa rajya abhiseka Sri Dhanadiraja. Sira sering aweh adana punya ring para pandita Siwa Buddha Sogata lan masiha ring para de kula sagotra, anghing malar tan lingu ring acining nagara Bali pulina, lamakanna maler tan aswe sira angraksa rajya, watara 4 masa, mantuk sira ring taya Isaka 1126.
(Purana Bali Dwipa, hal. 6a-7a).

[.....Sesudah lama Sri Jaya Sakti bertahta, Baginda lalu mangkat,berputra seorang pria mashur bijaksana yang bernama Sri Jaya Pangus, Sri Jaya Pangus selanjutnya yang bertahta menjadi Raja di pulau Bali, tidak ubahnya seperti ayahnda Baginda yang sudah mangkat. Entah berapa tahun Sri Jaya Pangus bertahta, tidak ada musuh yang menyerang serta mengganggu Pulau Bali, demikian pula para Pendeta Siwa, Budha, para Rsi, para Ahli (Mpu) masing-masing membangun pura pedharman dan tidak ada yang bertikai, lagi pula sang catur wangsa, brahmana, ksatrya, wesya,sudra, sama-sama menyadari tugas dan kedudukan, membangun Panti memuja para roh leluhur, mereka tidak pernah lupa memang berasal dari satu sumber sejak dari India. Kerukunan hidup beragama dan kerukunan hidup antar catur-wangsa, brahmana,ksatrya, wesya, sudra, itu yang disebut Bhinneka Tunggal Ika di Pulau Bali, tidak ada yang saling menghina malah saling puji,karena mereka mengusahakan terwujudnya tata tentrem kerta raharja. Kira-kira 30 tahun Sri Jaya Pangus bertahta Baginda lalu mangkat dan diganti oleh putra Baginda yang bertahta tahun Saka 1103/1181 Masehi. Jenazah Baginda dimakamkan di Pertapaan Dharmma Anyar. Dikisahkan Baginda meninggalkan dua putra yang beribu bangsawan, yang sulung bernama Sri Hekajaya, adik beliau bernama Sri Dhanadhiraja, keduanya perjaka, sama-sama berwajah tampan, wajah beliau tak ubahnya seperti Sang Nakula Sahadewa.

 Sri Hekajaya yang bertahta di Pulau Bali, setelah usai upacara penobatan Baginda bergelar Sri Maha Raja Hekajaya. Baginda tidak menghiraukan upacara pada semua pura dan tidak menghiraukan segala upacara di Pulau Bali, maka dari itu tidak lama Baginda bertahta, lebih kurang 19 tahun Baginda pun wafat pada tahun Saka 1122/1220 Masehi. Maka itu adik Baginda lalu bertahta bergelar Sri Dhanadhiraja, Baginda sering memberikan dana punia kepada para pendeta Siwa, Budha, juga Baginda mengasihani sanak keluarga dan masyarakat, namun Baginda juga tidak menghiraukan untuk melaksanakan upacara pada masing-masing pura dan upacara Pulau Bali, maka itu Baginda tidak lama bertahta lebih kurang 4 tahun lamanya. Baginda lalu mangkat pada tahun Saka 1126/1204 Masehi.]

Dalam prasasti nama lain dari Sri Dhanadiraja adalah Sri Adi Kuti Ketana. Hal ini terlihat jelas dalam Prasasti Bangli Pura Kehen,Tahun Isaka 1126/1204 Masehi, Bhatara Guru Adi Kuti Ketana disebut Sri Dhanadhiraja, karena raja muda ini jarang menghiraukan upacara keagamaan dan kepemerintahan, lebih banyak hidupnya melakukan berderma kepada para pendeta, fakir miskin, disamping kegiatan sosial lainnya. Sedangkan dalam Purana Bali Dwipa nama Sri Adi Kuti Ketana tidak kelihatan, dan siapa keturunannya masa kini.

Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja tersebut antara lain, Prasasti Bwahan Saka 1103, Prasasti Penida Kaja Saka 1103, Prasasti Batur Pura Abang Saka 1103, Prasasti Sembiran Saka 1103, Prasasti Kediri Saka 1103, Prasasti Sukawana Saka 1103, Prasasti Selat Saka 1103, Prasasti Pengotan Saka 1103, Prasasti Batunya Saka 1103, Prasasti Landih Saka 1103, PrasastiC empaga Saka 1103, Prasasti Sukawati Saka 1103, Prasasti Peguyangan Saka 1103, Prasasti Jagaraga Saka 1103.


Piagem Dukuh Gamongan

Sri Maha Sidhimantra Dewa Menurunkan Dua Putra,
Sri Maha Dewa Lancana dan Sri Maha Dewa Indra Cakru.

Sri Maha Sidhimantra, tojarang manke, ri sedeng mendra guna, sira asering mangejawa Bangsul, ngetutaken lampah sirang yayah nguni,angulati ikang haji aguron-guron, ring madyaning gunung Hyanging,yawa Negara, ri sampun swe jneking gunung Hyang, neher, jumujug maring gunung Katong, angwangun tapa, semadhi, sasareng lawan sira Ki Kbo Ijo, mwang atemu tangan ta sira Sri Maha Sidhimantra Dewa, lawan arin nira Ki Kbo Ijo, anurunaken putra, apesadnya sira Ki Jaya Katwang, binresihan, pinalipali, kapuja kapratista, dening rama renanira, ri sampun tugtug yuganira, sira Sri Maha Sidhimantra Dewa, neher kajagat Bangsul, jumujug maring paryangan nira Hyang Gnijaya, maring Gunung Lempuyang, amuja palikrama, ngastiti Sanghyang Iswara, angarepaken apwi Padipan, maring Kahyangan nira Hyang Gnijaya maring Gamongan, tan lingen tedun widyadari sanunggal, sakeng Kahyangan, angaturaken Bawarupa ring sira Sri Maha Sidhimatra Dewa, ri sampun atemutangan lawan sira, tanaswe matu putra rwang siki, kang panwa, apasadnya, sira Sri Maha Dewa Lancana, mwang kang ari apenelah sira Sri Maha Dewa Indracakru,Sri Sidhimantra nama nira waneh, sama nama nira lawan matwa,Sri Maha Dewa Lancana anyakradala maring banwa ing Bangsul ring yusaning bumi Isaka warsa, rasa netra nyuryaning wulan,risapamadegan nira Sri Maha Dewa Lancana, landuh ikang panegaran Bangsul, murah sandang, mwang pangan, sira sang prabu, stata astiti bhakti, ring dewa-dewa, mwang tarlupeng pitra puja, para pandita Siwa Sogata lan para Rsi, mwang Mpu, akweh akarya yadnya, mwang tan hana acengilan, tan hana singsal, prasama anuhun sajnya Sri Maha Dewa Lancana, risampun mawerdha pwa sira, metu putra sanunggal,apuspa ta sira Sri Taruna Jaya.

(Piagem Dukuh Gamongan, hal. 4b-7a)

[..... Sri Maha Sidhimantra, sekarang dikisahkan, di saat lagi jejaka,beliau sering melakukan perjalanan keluar Bali, mengikuti perjalanan ayahnda yang lalu, mencari ilmu pengetahuan suci hidup sampai dilereng gunung Hyang (dieng) di Jawa, setelah lama tinggal di gunung hyang, juga, ke gunung Katong, melaksanakan
tapa, semadhi bersama dengan Ki Kbo Ijo, lalu menikahlah beliau Sri Maha Sidhimantra Dewa dengan adik Ki Kbo Ijo, melahirkan seorang putra bernama Ki Jaya Katwang, dirawat dan diajari tentang hakekat kehidupan, diupacarai dan diberkati oleh orang tua mereka,setelah cukup umurnya, beliau Sri Maha Sidhimantra Dewa, lalu balik ke jagat Bali, menuju kepertapaan Hyang Gnijaya di Gunung Lempuyang, melaksanakan pemujaan, menyembah Sanghyang Iswara, dihadapan api pemujaan, di tempat suci Hyang Gnijaya di desa Gamongan, tanpa diketahui turun Bidadari seorang diri dari Kahyangan, seolah-olah menyerahkan kecantikkannya kepada Sri Maha Sidhimantra Dewa, setelah beliau menikah, tak lama lahir
dua orang putra, yang sulung bernama Sri Maha Dewa Lancana,dan adiknya yang bungsu bernama Sri Maha Dewa Indracakru, Sri Sidhimantra nama beliau, sama nama beliau dengan orang tua. Sri Maha Dewa Lancana memerintah di jagat Bali pada umur bumi tahun Isaka 1126/1204 Masehi. Pada waktu pemerintahan Sri Maha Dewa Lancana, makmur nagara Bali ini, murah sandang dan pangan, Baginda sang prabhu selalu sembah bhakti kepada para dewa, juga tak lupa memuja para leluhur, para Pendeta Siwa Budha dan para Rsi, serta para Mpu, banyak mengadakan upacara yadnya, tak ada pertikaian, tak ada yang terlupakan, bersama menjungjung kehendak Sri Maha Dewa Lancana, setelah tua lahir seorang putra
bernama Sri Taruna Jaya.]

(Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja tersebut yaitu: Sri Maha Dewa Lancana, Prasasti Kintamani tahun Saka 1122, Kintamani F Saka 1122,Raja Adi Kutiketana, Bangli Pura Kehen Saka 1126, Sri Taruna Jaya prasasti Srokodan B Saka 1246, Cempaga Saka 1246, Tumbu Saka 1247)

Piagem Dukuh Gamongan

Sri Indracakru Menurunkan Dua Putra, Sri Pasung Grigis
dan Sri Jaya Katong




....prasama anuhun sajnya Sri Maha Dewa Lancana, risampun mawerdha pwa sira, metu putra sanunggal, apuspa ta sira Sri Taruna Jaya, risampun tugtug ikang kasmalan, mantuk pwa sira Sri Maha Dewa Lancana maring antralaya, wetning Sri Taruna Jaya rare pwa sira,manggala arinira, Sri Maha Dewa Indracakru anyakradhala, yusaning bumi isakawarsa, Netraning Rsi Nyuryaning Ulan, risapemadegan nira Sri Indracakru, tan madoh lawan kakanira, satru tan wani lumihat,para pandita Siwa Sogata, mwang Bhujangga sutrepti ngastiti Widhi,angaturaken yadnya, anangun tapa Samadhi, maring paryangan nira,Mal, Tegalan, mwang Subak, sutrepti angambekaken gagaduhan nira, risampun swe nira ngamong rajya kadaton, metu putra kalih diri, kang wayah apuspata Sri Pasung Grigis, kang ari apasadnyan,sira Sri Jaya Katong amupu maring Batahanyar, risampun tugtug pagosananira, sira Sri Pasung Grigis, Nyukla Bramacarya, tan adwe stri, mwang anisyanin maring Gunung Lempuyang, panugrahan, sira Hyang Sidhimantra, sira Sri Jaya Katong, amrajaya ring yusaning bumi, Isakawarsa, Asti Bhaskara Netraning Ulan, Sri Jaya Katong, amukti maring Batahanyar, angamong wadwa sira, amuter maring Batahanyar, kasung kasiwi denira Sri Jaya Katong, hanata Glungkori, ring maha meru, kapolo denira, Sri Jaya Katong maka tunggul ira,ring Barabatu, lingganira hyang wawudateng, Meru tumpang 5, hana ta kori agung, agelung tumpang lima, maka tungguling Prabhu Bali araning Pura Gaduh, gagaduhan Prabhu Bali, Gagaduhan sira Sri Jaya Katong, maring Batahanyar, sira Sri Jaya Katong, awerdhi putra,rwang siki, kang wayah apuspata sira Sri Rigis, arinira apanengeran ira, Sri Karang Buncing, apan pametwanira Lanang stri pwa sira,.....

(Piagem Dukuh Gamongan, hal. 6b-9a)

[.....semua menjunjung jasa Sri Maha Dewa Lancana, setelah umur tua, lahir seorang putra yang bernama Sri Taruna Jaya. Ketika Sro Taruna masih bayi, wafat Sri Maha Dewa Lancana kembali ke alam sunya.Karena Sri Taruna Jaya masih kecil, memerintahlah sang adik, Baginda Sri Maha Dewa Indracakru yang menjadi pimpinan pemerintahan, umur bumi tahun Isaka 1172/1250 Masehi. Pada waktu pemerintahan Sri Indracakru, tidak beda jauh dengan kakak Baginda, musuh tak berani berhadapan.

Para pendeta Siwa Budha, dan Bhujangga dengan khusuk memuja Ida Sanghyang Widhi, dengan tulus ikhlas menghaturkan upacara, menjalankan tapa semadhi, di tempat suci Baginda, kebun, tegalan,dan subak, dengan taat memelihara tempat pemujaan Baginda.Setelah lama Baginda menjadi raja, lahir dua orang putra, yang sulung bernama Sri Pasung Grigis, adik Baginda bernama Sri Jaya Katong, bertempat tinggal di Batahanyar.

Setelah cukup umur memerintah, Sri Pasung Grigis mengikuti kehidupan nyukla brahmacarya tidak menikah, menjadi orang suci di Gunung Lempuyang, diberkati oleh Hyang Sidhimantra. Sri Jaya Katong menjadi raja patih, umur bumi, tahun Isaka 1238/1316 Masehi. Sri Jaya Katong yang dimuliakan di Batahanyar,memerintahkan rakyat Baginda, pusatnya di Batahanyar.Tempat persembahyangan Baginda Sri Jaya Katong adalah Kori Agung, tempat suci sangat luas, dibentuk oleh Sri Jaya Katong, sebagai bukti Baginda yang ada di Blahbatuh sebagai wujud atau simbol dewa sesembahan yang baru, meru tumpang lima, juga ada kori agung, berundag dan bertingkat lima, lambang kesatuan para raja Bali, namanya Pura Gaduh, tempat suci para raja Bali, tempat suci Baginda Sri Jaya Katong, terhadap Batahanyar.

Sri Jaya Katong mempunyai putra dua orang, yang sulung bernama Sri Rigis, adiknya diberi nama Sri Karang Buncing,karena beliau kelahiran laki dan perempuan.]

‘Palinggih Pangulu’

Masa kini keberadaan arca pangulu (patung kepala) terletak di halaman Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh, satu halaman dengan Gedong Puseh, Pura Batur Sari, Palinggih Pasimpangan Gaduh, disamping terdapat beberapa palinggih lainnya.

Sebelum kalahnya kerajaan Badhahulu oleh kerajaan Majapahit,Pura Puseh merupakan satu kesatuan dengan Pura Gaduh, dengan kata lain satu kori agung (pintu masuk) dengan Pura Gaduh, hal ini terlihat jelas dengan adanya palinggih gaduh berada dibelakang palinggih pangulu, sebagai bukti keterkaitan Pura Puseh kepada Pura Gaduh. Disamping teks tertulis yang dimiliki pura disebut Purana Pura Puseh Gaduh dan sekarang keberadaanya menjadi dua pura yaitu Pura Puseh dan Pura Gaduh. Pura Puseh menjadi jungjungan Desa Pakraman Blahbatuh, sedangkan Pura Gaduh masih menjadi tanggungan Warga Karang Buncing dan beberapa umat Hindu sekitarnya. Disamping itu setiap pujawali di Pura Puseh pangemong selalu nunas tirta ke Pura Gaduh. Arca pangulu yang berada di halaman Pura Puseh dibentuk oleh Sri Jaya Katong sebagai penguasa Bali sekitar tahun 1316 Masehi, dengan nama kerajaan disebut Batahanyar. Dalam Piagem Dukuh Gamongan, dijelaskan,maka lingganira hyang wawudateng, tempat persembahyangan yang baru meru tumpang lima.

Arca pangulu oleh umat Hindu sekitar kadang-kadang disebut Pangulu Ratu Gede Kebo Iwa (kepala Kebo Iwa) karena dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan, Sri Kebo Iwa diupacarai dan dibesarkan oleh sang kakek Sri Jaya Katong, sehingga sang kakek memberi julukan sama Jaya Katong kepada Kebo Iwa,karena menyamai kedigjayaan sang kakek. Secara tidak langsung arca pangulu dikaitkan dengan Kebo Iwa yang namanya terkenal sebagai benteng ketahanan kerajaan Badhahulu pada zaman Bali pertengahan.

Setelah Sri Jaya Katong, Pura Gaduh dilanjutkan pemujaannya oleh raja Bali selanjutnya, yaitu, Raja Sri Taruna Jaya alias Sri Jaya Kasunu, Raja Sri Masula-Masuli, dan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, dengan pusat pemerintahannya disebut Batahanyar

 Pura Puseh merupakan situs sejarah yang mendapat perlindungan
Arca peninggalan Sri Jaya Katong sebagai ‘Pangulu’ Sri Kebo Iwa, di-stanakan di PuraPuseh,Blahbatuh, Gianyar. 




pemerintah, tentunya atas dasar penelitian para akhli dibidangnya tentang syarat peninggalan sejarah yang wajib dilindungi oleh Negara. Yang menjadi pertanyaan, mengapa hanya Pura Puseh mendapat pengakuan, sedangkan Pura Gaduh tidak mendapat perlindungan dari pemerintah? Bukankah asalnya dua pura ini dahulu namanya Pura Gaduh, sebagai gagaduhan prabhu Bali, tempat suci raja Bali.

Peninggalan sejarah yang terdapat di Pura Gaduh, berupa tujuh arca perunggu yang bermotif primitif, sebagai lambang bhatara sapta giri, tujuh gunung stana suci para dewa pada era itu, yaitu,Gunung Lempuyang, Agung, Batur, Batukaru, Andakasa, Pucak Mangu, Tulukbyu. Arca sapta giri merupakan inti peninggalan dari Pura Gaduh karena arca arca ini disimpan sangat rapat dengan pengamanan super tinggi dibandingkan dengan arca pangulu yang
mendapat pengakuan dari pemerintah, sangat gampang disentuh oleh orang-orang jahil. Disamping itu juga arca sapta giri merupakan lambang pengikat persaudaraan keturunan para raja Bali lainnya,hal ini terlihat jelas dalam Piagem Dukuh Gamongan. Arca sapta giri disucikan (masiram) di hari Sugiyan Jawa duapuluh enam hari sebelum pujawali, ini menandakan tidak sembarang orang boleh melihat atau mengambil gambar arca itu. Sebagaimana umumnya pratima di pura lain, acara masucian dilakukan menjelang puncak acara. Arca-arca sapta giri sangat disucikan oleh para pangamong dan pangempon Pura Gaduh.

 Setelah beralih kekuasaan, sebagai mana tertulis dalam Usana Bali, atas keinginan Sri Paduka Agung Made Jambe, dinasti Kresna Kepakisan kepada Jero Karang Dimade, treh akhir raja Bali Kuna, agar membangun Pura Batur Sari, sebagai tempat berstananya Bhatara Sri Srengga, terletak di sebelah utara Gedong Puseh, pelaksanaan
upacaranya dilakukan oleh keluarga panglingsir warga Sri Karang Buncing yang ada di Blahbatuh sebagai simbol kekerabatan ke dua dinasti tersebut. Arca pangulu yang berada di Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh disucikan (masiram) setiap enam bulan sekali,tepatnya hari Minggu, wuku Pahang dan diteruskan katur pujawali,empat hari setelah masucian, yaitu hari Kamis Pahang, bersamaandengan palinggih lain yang ada di halaman Pura Puseh.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More