Bab VI
Sri Karang Buncing
Madeg Natha Isaka 1246
T |
ransisi pemerintahan Bali Kuna dari
kerajaan Batahanar Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) ke Kerajaan
Gelgel Sri Kresna Kepakisan Waturenggong, banyak terdapat ceritera tertulis
yang menyebutkan perbedaan nama penguasa antara lain, Dalam lontar Piagem Dukuh
Gamongan halaman 9b-11a disebutkan, sira
Sri Karang Buncing, nyakrawarti, byuh bala, mwang kasung dening wong sarat
maring Bangsul, ring yusaning bumi, Retu Sagara Ngaksi Ulan, risampun makudang
kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong karesmin lawan arinira, nora
hana adwe putra, neher sira angastiti Hyang, maring Pura Gaduh, Kahyangan
gagaduhan prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri
nira Sri Karang Buncing, ri sampun tugtug kasmalanira, metu putra Agung
apanjang, tan sasameng wong, iningu inupakaranen, dening bagawanira, sira
Pasung Grigis, wetning agung apanjang pangadeg ira, ika marmanyan kasambrat,
Walungsingkal, wetning teguh Katong
pawakanira, dening kakyang nira, maweha puspata pwa sira Sri Jaya Katong, ri sedeng mengpeng jajaka, nira pinaka dmakdada nira
prabhu Bali, sira abhiseka Sri Kbo Taruna, wetning tanana adwe stri, Kbo
Wayura, Kbo Tarung Dangkal, makweh nama nira wetning yasa nira, sira Sri Kbo
Iwa, widagda wijaksana, kukuh angadegaken sastra dresti, hasta kosala kosali,
pinagehaken, mwang tan tumamah dening sarwa astra, ika marmanya sira byuh bala,
rinatwaken dening sarat, apan akweh yasanira angwangunaken pura pura, mwang
empelan empelan, maring desa paradesa, angapti kakertaning jagat Bangsul,
arinira Sri Kbo Iwa, apasadnya sira Sri Karang Buncing, apan nira metu lakibi,
[Beliau Sri Karang Buncing menjadi penguasa, sangat kuat,
kerta raharja dan sejahtera jagat Bali, dikala itu umur bumi Isaka 1246/ 1324
Masehi, setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan
adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada batara yang ada
di Pura Gaduh, Tempat Suci pemerintahan Raja Bali, atas rahmat Ida Bhatara
Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam
istri Sri Karang Buncing, setelah cukup umur kandungannya, lahir putra,
tinggi besar, tak ada orang menyamai, dirawat, diasuh dan diupacarai oleh kakek
beliau Bagawan Sri Pasung Grigis, oleh karena
tinggi besar berotot badan beliau, itu makanya disebut Walungsingkal, karena
tegap dan perkasa badannya, oleh kakek beliau dianugrahkan nama sama Sri Jaya Katong, selagi
menginjak perjaka, beliau sebagai panglima perang raja Bali, beliau disebut Sri Kebo Taruna, sebab
tidak beristri, Kbo
Wayura, Kbo
Tarung Dangkal, banyak
nama lain beliau, karena jasa-jasa beliau disebut Kbo Iwa, karena
pandai dan bijaksana, taat menjalani aturan-aturan agama, ahli dalam ilmu
pembangunan, juga tidak mempan dengan sembarang senjata, dengan demikian banyak
lawan yang takut karena kekuatan beliau, karena banyak jasa membangun kembali
pura pura, juga bendungan-bendungan, yang ada didesa-desa, menjaga ketentraman
jagat Bali, adik beliau Sri Kbo Iwa, bernama Sri Karang Buncing, sebab bliau lahir laki dan
perempuan]
Dalam Prasasti Batur Pura Abang disalin oleh R. Goris dan
Ketut Ginarsa (1979 : 198) tercatat tahun Isaka 1306/ 1384 Masehi, penguasa
yang mengeluarkan aturan resmi pemerintahan era itu bernama Sri Wijaya Rajasa,
siapakah Sri Wijaya Rajasa itu, apakah orang Bali atau dari luar Bali?
Dalam Babad, setelah Kebo Iwa kena pengindra jala (prangkap) oleh Gajah
Mada di Jawa (Majapahit) akhirnya tahun 1343 Masehi sampai tahun 1352 Masehi di
Bali terjadi kekosongan pemerintahan sebelum ditunjuk raja baru yaitu Sri
Kresna Kepakisan dengan nama lain Ketut Ngulesir maka diangkat lah seseorang diberi
anugrah jabatan yaitu Kyayi Agung Pasek Gelgel.
Dalam Prasasti Dalem Sagening disebutkan, kekosongan
pemimpin setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dua pendeta Bali yaitu; Dukuh
Sakti dan Dukuh Sagening memohon raja ke Jawa (Majapahit) untuk mengirimkan
utusan menjadi raja di Bali. Pada saat itu yang didatangkan ke Bali adalah
Dalem Sagening. Dimana Dalem Sagening nantinya mensetarakan kedudukkan Dukuh
Sagening dan Dukuh Sakti yang datang ke Jawa sebagai penghormatan ditambah kata
Dalem. Dimana sebelumnya istilah Dukuh itu sudah ada tetapi gelar Dukuh Dalem
itu muncul pada era Dalem Sagening sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang
diberikan pada ke dua Dukuh tersebut.
Dalam Usana Jawa oleh Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan
Propinsi Daerah Tingkat I Bali (1986:95-97) disebutkan, Setelah selesai
perjanjian Baginda Raja Majapahit dengan patih andalan Arya Damar, Gajah Mada
dan dibantu Arya Sentong, Arya Bleteng, Sang Arya Waringin, Sang Arya Belog,
Sang Arya Kepakisan dan Sang Arya Binculuk dibagi dalam lima kelompok.
Masing-masing kelompok membawa limabelas ribu prajurit menyerang Bali dari tiga
arah. Dikisahkan dalam perjalanan menempuh waktu setengan bulan dan Arya Damar
menyerang dari Bali Utara yang dijaga oleh Ki Pasung Giri dari Ularan. Terjadi pertempuran
yang sengit dari kedua belah pihak, antara Arya Damar dengan Ki Pasung Giri
samasama gagah berani dan hanya dengan tudingan kepada Ki Pasung Giri oleh Arya Damar lalu badan
Ki Pasung Giri mengigil mengucapkan kata-kata dengan bersujud, akhirnya
lehernya dicekik oleh Arya Damar kemudian ditikam dengan keris tembus ke
punggung, Ki Pasung Giri pun gugur.
Dalam pamancangah yang ada di Bali, setelah wafatnya Mahapatih
Kebo Iwa oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya
Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih
kerajaan Bhadahulu (Batahanar) antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si
Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si
Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran,
Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung
Pemacekan sebagai Demung
Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan
Mahapatih Gajah Mada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para
Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya
Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya
Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta.
Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut.
Dari beberapa data acuan tersebut di atas dapat menimbulkan
berbagai macam asumsi dan kekaburan sejarah Bali setelah Kebo Iwa dipecundangi
oleh Gajah Mada di era kekuasaan Sri Astasura Ratna Bumi Banten dengan
kerajaanya bernama Batahanar. Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten mengeluarkan
prasasti terakhir disebut Prasasti Langgahan tahun Isaka 1259/ 1337 Masehi,
setelah itu muncul prasasti Batur Pura Abang tahun Isaka 1306/ 1384 Masehi
dengan rajanya bergelar Sri Wijaya Rajasa. Dengan adanya dua prasasti tersebut,
antara Prasasti Langgahan dengan Prasasti Batur Pura Abang tenggang waktu
selama 47 tahun siapakah yang menjadi penguasa selama tenggang waktu yang cukup
lama itu, mungkinkah Sri Karang Buncing, didalam Babad disebut Prabhu Buncing?
Jikalau raja Sri Wijaya Rajasa menjadi raja setelah Sri Astasura Ratna Bumi
Banten, yang menjadi pertanyaan, dimanakah letak kerajaan Bliau dan siapakah
nama Mahapatih nya, adakah situs- situs yang ditinggalkan?
Begitu pun dengan pustaka lain yang menyebutkan Dalem
Samprangan apakah nama lain Dalem Ketut Ngulesir atau pun Dalem Sagening yang
memegang kekuasaan setelah Sri Astasura Ratna Bumi Banten, dengan pertanyaan
yang sama, siapa nama mahapatih Raja Samprangan itu dan ketidak jelasnya angka
tahun berkuasa secara pasti. Jika para Arya Majapahit yang memenangi
pertempuran tentu tidak mungkin mengutus orang- orang Bali untuk untuk datang
ke Majapahit memohon raja untuk di Bali. Lalu apa hubungannya antara Sri Wijaya
Rajasa yang muncul dalam Prasasti Batur Pura Abang tahun 1384 Masehi dengan Sri
Kresna Kepakisan juga dengan Prasasti Penataran Besakih tahun Isaka 1366/ 1474
Masehi yang tidak jelas tertulis nama penguasa yang mengeluarkan aturan resmi
pemerintahan era itu.
sira
Pasung Giri, asentana limang diri, kang panwa apasadnyan sira Dukuh Gamongan, panugrahan nira Danghyang Bawurawuh,
manenggekin, mwang manisyanin, maring Gunung Lempuyang, wetning treh nira Hyang
Sidhimantra, amuja parikrama, maring kahyangan nira Hyang Gnijaya ., (Piagem
Dukuh Gamongan, 21a)
[beliau Pasung Giri berputra lima orang, yang tertua bernama Dukuh Gamongan,
panugrahan beliau Danghyang Bawurawuh, yang mengepalai dan sebagai orang suci
di Gunung Lempuyang, memang asal keturunan Hyang Sidhimantra, memuja dan
mendoakan haturan umatnya yang ada di tempat suci Hyang Gnijaya]
Dari uraian Piagem diatas pemberian gelar Dukuh oleh
Danghyang Nirarta sebagai bagawanta pemerintahan Kresna Kepakisan Baturenggong
sekitar tahun 1550 Masehi kepada putra Pasung Giri. Jadi tidak akurat yang
menyebutkan bahwa Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening pergi ke Jawa menjadi utusan
memohon raja untuk di Bali, sebab tahun 1343 masuknya para Arya ke Bali dengan
keberadaan Kerajaan Gelgel tahun 1550 mempunyai perbedaan masa yang sangat jauh
sekali yaitu 107 tahun. Beitupun dalam Usana Jawa yang disebutkan Arya Damar
bertempur melawan patih andalan Bali Ki Pasung Giri sebab dalam piagem diatas
Ki Pasung Giri adalah cucu dari Sri Pasung Grigis yang lahir dari anak angkat
Sri Rigis.
Juga pertanyaan penulis yang belum mendapat jawaban secara
faktual adalah apabila penyerangan Bali oleh para Arya Majapahit secara
besarbesaran dengan membawa tujuh puluh lima ribu pasukan, kemudian Bali kalah,
lalu pertanyaannya, sisa prajurit Majapahit yang masih hidup dan menetap di
Bali masuk soroh (klen)
apakah mereka, di manakah Pura Kawitan mereka? Yang selama ini tercatat hanya
para senapati atau para Arya Majapaht seperti disebukan di atas, lalu prajurit
Bliau pada kemana? Dalam pertempuran antara Bali dengan Majapahit tentu banyak
prajurit Majapahit dan Bali yang gugur, lalu, di manakah kuburan massal dari
kedua belah pihak atau monumen sebagai lambang untuk mengenang jasa- jasa
mereka? Masak sih, tidak dibuatkan pura atau tempat suci untuk mengenang jasa-
jasa arwah prajurit itu? Pertanyaan yang lain jika Bali kalah oleh Majapahit
tentu yang menjadi pemucuk desa atau Bendesa di Bali adalah orang- orang
Majapahit tetapi fakta di lapangan yang menjadi pemucuk desa adalah orang-
orang Bali.
Analisis lain dari penulis, penyerangan Bali oleh Majapahit
bukan melalui pertempuran secara besar-besaran dengan mengadu fisik. Yang
diserang adalah agama atau spiritual orang- orang Bali, yang dulunya orang Bali
pemuja alam semesta di mana mereka berada atau pemuja tempat dan kini pemuja
sifat- sifat Tuhan. Dari kekuasaan Dalem Sagening sampai Dalem Baturenggong
masyarakat Bali masih waspada dan menungu komando dari Ki Pasung Grigis yang
menjadi andalan Bali setelah wafatnya Kebo Iwa di Jawa. Para Arya Majapahit
mempunyai upaya mempengaruhi rakyat Bali dengan mendekati Ki Pasung Grigis dan
berhasil, terjadi kesepakatan untuk mengangkat Sri Giri Ularan (Gusti Ularan)
menjadi Mahapatih Agung di kerajaan Dalem Baturenggong. Pengangkatan putra Sri
Rigis dari Desa Gamongan ini untuk meredam kemarahan masyarakat Bali, pasca
transisi pemerintahan Bali ke Jawa.
Para Arya Majapahit melakukan pendekatan kepada tetua lokal
Bali melalui utusan yang telah direkrut untuk disampaikan ke desa-desa yang
disebut Pasek yang
artinya paek, parek (orang
biasa) yaitu masyarakat
Bali yang dekat dengan penguasa. Dalam Buku Custodians of the Sacred Mountains
(Thomas Reuter, 2005: 268) penyunting Drs. I Nyoman Dharma Putra disebutkan
Pasek ada dua faksi yaitu Pasek yang loyal terhadap Kerajaan Gelgel dan Pasek
yang loyal dengan Bali Mula. Pasek yang masih loyal dengan Bali Mula yang
berpusat di Blahbatuh (Pura Gaduh) misalnya, Pasek Gaduh, Tampuryang, Celagi,
Kayuselem dan lainnya. Karena dalam Pujawali di Pura Gaduh banyak warga Pasek Gaduh
yang tangkil hatur sembah disamping warga lainnya. Pemujaan Kawitan semestinya
nama leluhur (nama orang) yang pernah hidup pada zamannya dan mempunyai jasa
untuk dikenang pada masa kini. Bendesa, Penyarikan, Kubayan, Pande, Dukuh, Juru Alas, Senapati, Juru
Bahu, Jero Mangku dan lainnya adalah nama kelompok pekerjaan atau
tugas yang diemban, bukan nama orang (kawitan).
Sebelum era Majapahit umat Hindu di Bali masih menyembah
alam secara langsung dalam arti belum ada bentuk palinggih dan nama dewa yang distanakan,
begitu pula dengan nama suatu pura tidak seperti sekarang ini. Tinggalan kuna
di Bali berupa tempat perabuaan dan pertapaan raja- raja Bali kuna banyak
tersebar di Bali, seperti, Candi Gunung Kawi, Pura Durga Kutri, Pura Pucak
Penulisan, Pura Balingkang, Pura Lempuyang Madya, Pura Sarin Bwana, Jimbaran
dan yang lain sebagai bentuk penghormatan kepada rajanya, sebab pada zaman
dahulu raja dianggap sebagi titisan dewa. Dengan perkataan lain kemana pun raja
pergi, rakyat selalu mengiringi, sebagai media menuju ke Hyang Widhi.
Disamping bekas pertapaan dan perabuan para raja Bali Kuna
yang tadinya hanya sebuah “gagumukan” tempat penanaman abu atau tempat
pembakaran jenazah, setelah kekuasaan era Majapahit dibangun palinggih baru
dengan runutannya sebagai simbol penyatuan Hindu Bali dan Hindu Jawa. Begitu
pun dengan setatus pura tersebut, yang awalnya pertapaan raja setelah dibangun
pura oleh penguasa Majapahit berubah status menjadi pura Kahyangan Jagat atau
menjadi pura Dang Kahyangan termasuk perubahan sejarah terbentuknya, misalnya,
Pura Ulun Swi Jimbaran yang tadinya tempat pengayatan pertemuan saudara kembar
Sri Batu Putih dengan Sri Batu Ireng berubah status dan fungsinya menjadi Pura
Ulun Carik. Juga dengan pura Luhur Uluwatu sebagai “luhuring” jagat Jimbaran
berubah menjadi tempat moksah Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Pura Gaduh Blahbatuh
yang dulunya merupakan tempat suci Sri Jaya Katong di era treh Kepakisan
dipecah menjadi dua yaitu menjadi Pura Puseh dan Pura Gaduh, dan banyak pura
lain seperti itu keberadaanya kini, yang tidak perlu penulis sebutkan satu
persatu yang ada di Bali.
Istilah Pura muncul belakangan setelah kekuasaan Dalem
Waturenggong dari Kerajaan Gelgel, di mana sebelumnya tempat suci pada awal
sejarah Bali disebut satra, padmak, katyagan, panglumbyagan, sala, sma, vihara, kaklungan,
salunglung yang kemungkinan satra menjadi Setra atau tempat suci kuburan, padmak menjadi
Padma, katyagan menjadi
Kahyangan, Sma artinya
Semadi, Karangasem asal kata Karang Sma (tempat semadi), Salunglung menjadi sanggah
selumbung, vihara tempat suci umat Budha, sala patung kecil yang menjadi objek
sesembahan.
Beberapa Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuno
tertulis supata atau
di-pasupati dihadapan
Hyang Danawa (Dewa
Danau), Hyang Gunung (Dewa
Gunung), Hyang Api (Dewa
Api), Hyang Tegeh
(Pura Penulisan) dan Hyang-hyang lainnya. Ini artinya awal sejarah Bali belum
muncul bentuk palinggih
dan nama pura, begitu pun nama dewa yang berstana seperti sekarang
ini. Di Bali di mana kaki dipijak di sana ada dewa, bila penduduk yang berada
di pinggir danau misalnya, umat Hindu akan membuat asagan (bale upakara sementara) di
pinggir danau dan seluruh sembah, puja puji dan haturan langsung ditujukan ke Air
Danau, karena danau itu adalah linggih atau wujud Hyang Danawa (Dewa Danau), jadi tidak perlu dibuatkan
tempat suci lagi. Begitu pun yang tinggal di pinggir laut akan memuja langsung
ke air laut sebagai perwujudan Hyang Segara (Dewa Laut) dan yang tinggal di gunung membuat
bale upakara ke arah gunung sebagai stana Hyang Gunung (Dewa Gunung), begitu pun yang tinggal di Desa
ada Pura Desa yang dipuja Hyang Kemulan Desa artinya seluruh prasanak/ hyang-hyang warga desa
distanakan di Bale Agung Desa, di tegalan ada Pura Tegal Suci, sawah ada Pura
Subak dan lainnya. Setelah masuknya para Arya Majapahit dibangun bentuk tempat
suci dan nama dewa sebagai lambang penyatuan Bali dan Majapahit yaitu adanya palinggih Gunung
Agung, Gunung Lebah, Uluwatu dan lainnya adalah konsep teologi Bali dan palinggih
maospahit, palinggih menjang sluwang, parerepan, palinggih prasanak, palinggih
ratu bagus dan sebagainya yang di analogikan para dewa itu seperti
kehidupan manusia.
Dengan pengangkatan tetua lokal menjadikan mereka sebagai
penguasa di wilayah masing-masing, diangkat sebagai bendesa untuk desanya masingmasing,
Kemudian wilayah Jimbaran setelah wafatnya Ki Tambyak seperti yang tertulis
dalam Piagem Dukuh Gamongan halaman 17b -18a, diceritakan treh Sri Karang
Buncing, di zaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, menganugrahkan
kepada Bandesa Karang Buncing Kuta, sebagai pucuk pimpinan mewilayahi sampai di
Jimbaran, serta Bandesa Silabumi, Bandesa Seraya, Bandesa Sege, Bandesa
Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa
Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, juga Bandesa Sibetan, memang keturunan
Karang Buncing, merupakan wakil dari Kerajaan Batahanar (Badhahulu).
Begitu pula dengan pengangkatan keturunan Karang Buncing di
wilayah Pejeng untuk dijadikan Bendesa yang dianugrahi oleh Ida Dalem Bali
Tengah yang berkedudukan di Pejeng yang bernama I Dewa Pemayun seperti tertulis
dalam Prasasti Bendesa Karang Buncing dijelaskan, keturunan I Gede Bendesa
Karang Buncing yang pindah dari Blahbatuh menuju Pejeng mengambil tempat di
seputaran Jero Kuta yaitu sebelah timur Pura Penataran Sasih dan disana Beliau
menurunkan keturunan yang banyak. Dengan pengangkatan keturunan para penguasa
sebelumnya merupakan salah satu indikasi mempengaruhi atau simbol taklukan
Majapahit. Begitu pun dengan keturunan Karang Buncing yang ada di Blahbatuh
dengan saling meminang putra putri dari kedua penguasa antara keturunan treh
Kresna Kepakisan dengan Karang Buncing merupakan simbul taklukan.
Pura Dalem Karang Buncing, Pejeng
Pura Dalem Karang Buncing yang berada di sebelah timur Pura
Penataran Sasih, Pejeng merupakan satu-satu tempat suci yang ada kata Dalem
selain Pura Dalem Tengaling letaknya sekitar satu kilometer ke arah baratlaut
dari Penataran Sasih yang merupakan pura sungsungan masyarakat Pejeng yang
berkaitan dengan setra
(kuburan). Di mana Pura Dalem sebelumnya berada di perempatan Pura Samuan Tiga
ke barat atau depan jalan Yeh Pulu Bedulu.
Pura Dalem Karang Buncing di among oleh warga Karang Buncing
yang ada di wilayah Pejeng dan sekitarnya, kemungkinan pura ini sebagai bentuk
penghormatan untuk Raja Bali yang pernah berkuasa sebelumnya dan tidak
dijadikan satu dengan pura taklukan. Sedangkan Pura Penataran Sasih merupakan
pura Jagat Bali dan diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Batahanar yang ada
pada zaman Bali pertengahan. Di sisi sebelah barat Pura Penataran Sasih
terdapat Pura Ibu yang menjadi pangemong warga pungakan, di sisi sebelah utara terdapat Pura Pasek dan
Pura Merta Sari. Di sisi timur Pura Penataran Sasih terdapat Pura Taman Sari
atau
berada di depan Pura Dalem Karang Buncing. Pura sekitar ini
merupakan pura pengibeh
(penjaga) dari pura jagat Penataran Sasih. (Informasi Jero Mangku Ketut Merta)
Sebutan kata Dalem muncul belakangan setelah kekuasaan Raja Dalem
Waturenggong, dimana kata Dalem artinya Raja atau keluarga raja, misalnya, Dalem
Sagening, Dalem Bedaulu, Dalem Selem, Dalem Putih, Dalem Ketut Ngulesir, Dalem
Klungkung dan sebagainya. Juga Dalem artinya Ida Bhatara misalnya Dalem Kahyangan, Dalem Puseh, Dalem
Desa dan sebagainya. terakhir kata Dalem artinya tak terjangkau (achintya) artinya Hyang Widhi/ Tuhan
sesuai alih aksara dan terjemahan lontar Gong Besi, oleh Dinas kebudayaan Propinsi Bali,
dijelaskan secara ringkas persembahan bakti yang utama, tidak lain kehadapan Bhatara Dalem.
Beliulah yang seharusnya dipuja, namun harus engkau ketahui nama lain Bhatara Dalem,
Ketika beliau berstana di Pura Puseh, Sanghyang Tri Yodadasa Sakti nama beliau,
pergi dari puseh berstana di Pura Desa, Sanghyang Tri Upasedhana nama beliau,
pergi beliau dari desa dan berstana di Bale Agung, Sanghyang Bhagawati nama
beliau, pergi dari bale agung, berstana di perepatan jalan, Sanghyang Catur
Bhuwana nama beliau, pergi beliau dari perepatan jalan, berstana beliau di
pertigaan jalan, menjadilah beliau Sanghyang Sapuh Jagat, pergi beliau dari
pertigaan, berstana beliau dikuburan, menjadilah beliau Bhatara Durga, dan
seterusnya.
Beberapa sumber yang
menjadi rujukan dalam penulisan awal sejarah Pura atau Desa di Bali yaitu, 1)
Bersumber dari catatan tertulis berupa prasasti, purana, piagem, prakempa dan babad yang menjadi milik pura atau
catatan tertulis yang terdapat di lain tempat yang menerangkan asal usul desa
atau tempat suci itu dan seluruh data tersebut mempunyai nilai yang berbeda. 2)
Berdasarkan Tri
Hita Karana yaitu tentang tata letak tempat antara parahyangan,
pawongan dan palemahan atau dengan perkataan lain batas antara kawasan
suci (parhyangan, ulu desa),
kawasan pemerintahan/ penduduk (pawongan) dan kawasan kuburan (palemahan). Penduduk yang tinggal
paling dekat dengan Pura Desa atau pura Jagat biasanya mempunyai hubungan
historis langsung. Pada zaman dahulu tempat tinggal para penguasa di sekitarnya
berdiri Pura Desa, Pura Puseh, Sekolah, Banjar, Pasar, dan fasilitas umum,
maupun pura pengibeh
lainnya. Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) yaitu hubungan manusia dengan kelompok pekerjaan
muncul Bale Banjar, sekaa dan kelompok pekerjaan lainnya. Hubungan manusia
dengan palemahan (kuburan)
akan kelihatan di sisi sebelah mana keluarganya di kuburkan apakah di luwan atau
di teben, sang
penguasa posisi kuburannya umumnya berada di luwanan atau mempunyai tradisi khusus
bila keluarganya meninggal. Disamping itu, para penguasa umumnya memiliki tanah
yang sangat luas dari rakyat biasa. 3) Berdasarkan nama-nama palinggih yang ada
di halaman utama pura misalnya, di halaman pura berdiri palinggih atas nama leluhurnya atau di
pura ada nama pura pasimpangan pura lain. 4) Berdasarkan pemangku yang secara
turun temurun mengabdi di pura itu, kemungkinan tanah pura berasal dari
keluarganya, atau leluhurnya sebagai penguasa awal di tempat itu. 5)
Berdasarkan ragam hias atau relief yang menjadi ornament pura dan tinggalan
artefak lain. 6) Berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK), jumlah KK dalam merajan gede paling
banyak tentu mereka yang lebih dahulu berada di tempat itu. 7) Berdasarkan
hubungan abstrak ke pura yang lebih tinggi kedudukkannya dalam nunas tirta jika
ada upacara pujawali, atau yang menjadi sadeg desa berasal dari keluarga leluhur pendiri tempat
itu. 8) Berdasarkan tradisi yang dilakukan oleh pangemong dan pangempon pura dikala pujawali pura
setempat dengan pura pengibeh yang ada di wilayah sekitarnya.
Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali
hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang
bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini terlihat
berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti
tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak
kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa
melebihi dari tahun prasastiprasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan
kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem,
babad, prakempa, pemancangah milik kelompok warga yang dipakai
pedoman dalam penulisan awal sejarah tanpa didukung data sejarah yang
dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam
arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada
zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.
Tinggalan arkeologi berupa 2 buah Arca Gana yang
cukup besar
Selain tinggalan Prasasti Bendesa Karang Buncing atas
anugrah dari Ida Dalem Bali Tengah yang berkedudukan di Pejeng yang bernama I
Dewa Pemayun. Juga bisa diketahui dari tradisi terhadap Pura Dalem Karang
Buncing Pejeng, dimana setiap pujawali di Pura Penataran Sasih selalu ada dari pihak pangemong
pura menghaturkan banten
suci
kepada Pura Dalem Karang Buncing walaupun di Pura Dalem Karang Buncing tidak
sedang hari piodalan.
Hanya Pura Dalem Karang Buncing yang mendapatkan banten suci dari pangemong
Pura Penataran Sasih di luar pura pengibeh sekitarnya. Dan sebaliknya jika Pura Dalem Karang
Buncing melaksanakan pujawali dari pihak pangemong pura tidak ada menghaturkan
“sesuatu” ke Pura Penataran Sasih. Disamping yang menjadi pemangku pura jagat
di sekitaran Pejeng berasal dari treh Karang Buncing termasuk pemangku di Pura
Penataran Sasih.
Tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Dalem Karang
Buncing berupa dua buah Arca Makhluk Gana yang cukup besar yang lazim terdapat
pada bagian kaki Candi Budhis, menurut informasi dari petugas Balai Arkeologi
bahwa arca ini berfungsi solah- olah sebagai penyangga badan candi. Arca Gana
ini sangat besar melebihi dari Arca Gana yang ada di Pura Pegulingan
Tampaksiring, ini mengindikasikan bahwa bangunan yang disangganya cukup besar.
Disamping tinggalan Arca Tri Lingga yang cukup besar dan pragmen kecil lainnya
sebagai bukti bahwa pura ini merupakan pura kuno.
Pujawali di Pura Dalem Karang Buncing bertepatan dengan hari
Anggarkasih Dukut, di emong oleh Jero Mangku I Ketut Merta dengan jumlah pemaksan
lebih dari 50 kepala keluarga (KK) yang tersebar di wilayah Pejeng, Tarukan,
Batubulan, Denpasar, Pemaron dan Badung.
0 komentar:
Posting Komentar