Selasa, 04 April 2023

Bab VI Sri Karang Buncing Madeg Natha Isaka 1246

 

Bab VI

Sri Karang Buncing

Madeg Natha Isaka 1246

T

ransisi pemerintahan Bali Kuna dari kerajaan Batahanar Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) ke Kerajaan Gelgel Sri Kresna Kepakisan Waturenggong, banyak terdapat ceritera tertulis yang menyebutkan perbedaan nama penguasa antara lain, Dalam lontar Piagem Dukuh Gamongan halaman 9b-11a disebutkan, sira Sri Karang Buncing, nyakrawarti, byuh bala, mwang kasung dening wong sarat maring Bangsul, ring yusaning bumi, Retu Sagara Ngaksi Ulan, risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong karesmin lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angastiti Hyang, maring Pura Gaduh, Kahyangan gagaduhan prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing, ri sampun tugtug kasmalanira, metu putra Agung apanjang, tan sasameng wong, iningu inupakaranen, dening bagawanira, sira Pasung Grigis, wetning agung apanjang pangadeg ira, ika marmanyan kasambrat, Walungsingkal, wetning teguh Katong pawakanira, dening kakyang nira, maweha puspata pwa sira Sri Jaya Katong, ri sedeng mengpeng jajaka, nira pinaka dmakdada nira prabhu Bali, sira abhiseka Sri Kbo Taruna, wetning tanana adwe stri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, makweh nama nira wetning yasa nira, sira Sri Kbo Iwa, widagda wijaksana, kukuh angadegaken sastra dresti, hasta kosala kosali, pinagehaken, mwang tan tumamah dening sarwa astra, ika marmanya sira byuh bala, rinatwaken dening sarat, apan akweh yasanira angwangunaken pura pura, mwang empelan empelan, maring desa paradesa, angapti kakertaning jagat Bangsul, arinira Sri Kbo Iwa, apasadnya sira Sri Karang Buncing, apan nira metu lakibi,

[Beliau Sri Karang Buncing menjadi penguasa, sangat kuat, kerta raharja dan sejahtera jagat Bali, dikala itu umur bumi Isaka 1246/ 1324 Masehi, setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada batara yang ada di Pura Gaduh, Tempat Suci pemerintahan Raja Bali, atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri Sri Karang Buncing, setelah cukup umur kandungannya, lahir putra, tinggi besar, tak ada orang menyamai, dirawat, diasuh dan diupacarai oleh kakek beliau Bagawan Sri Pasung Grigis, oleh karena


tinggi besar berotot badan beliau, itu makanya disebut Walungsingkal, karena tegap dan perkasa badannya, oleh kakek beliau dianugrahkan nama sama Sri Jaya Katong, selagi menginjak perjaka, beliau sebagai panglima perang raja Bali, beliau disebut Sri Kebo Taruna, sebab tidak beristri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, banyak nama lain beliau, karena jasa-jasa beliau disebut Kbo Iwa, karena pandai dan bijaksana, taat menjalani aturan-aturan agama, ahli dalam ilmu pembangunan, juga tidak mempan dengan sembarang senjata, dengan demikian banyak lawan yang takut karena kekuatan beliau, karena banyak jasa membangun kembali pura pura, juga bendungan-bendungan, yang ada didesa-desa, menjaga ketentraman jagat Bali, adik beliau Sri Kbo Iwa, bernama Sri Karang Buncing, sebab bliau lahir laki dan perempuan]

Dalam Prasasti Batur Pura Abang disalin oleh R. Goris dan Ketut Ginarsa (1979 : 198) tercatat tahun Isaka 1306/ 1384 Masehi, penguasa yang mengeluarkan aturan resmi pemerintahan era itu bernama Sri Wijaya Rajasa, siapakah Sri Wijaya Rajasa itu, apakah orang Bali atau dari luar Bali?

Dalam Babad, setelah Kebo Iwa kena pengindra jala (prangkap) oleh Gajah Mada di Jawa (Majapahit) akhirnya tahun 1343 Masehi sampai tahun 1352 Masehi di Bali terjadi kekosongan pemerintahan sebelum ditunjuk raja baru yaitu Sri Kresna Kepakisan dengan nama lain Ketut Ngulesir maka diangkat lah seseorang diberi anugrah jabatan yaitu Kyayi Agung Pasek Gelgel.

Dalam Prasasti Dalem Sagening disebutkan, kekosongan pemimpin setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dua pendeta Bali yaitu; Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening memohon raja ke Jawa (Majapahit) untuk mengirimkan utusan menjadi raja di Bali. Pada saat itu yang didatangkan ke Bali adalah Dalem Sagening. Dimana Dalem Sagening nantinya mensetarakan kedudukkan Dukuh Sagening dan Dukuh Sakti yang datang ke Jawa sebagai penghormatan ditambah kata Dalem. Dimana sebelumnya istilah Dukuh itu sudah ada tetapi gelar Dukuh Dalem itu muncul pada era Dalem Sagening sebagai bentuk penghormatan atas jasa yang diberikan pada ke dua Dukuh tersebut.

Dalam Usana Jawa oleh Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Daerah Tingkat I Bali (1986:95-97) disebutkan, Setelah selesai perjanjian Baginda Raja Majapahit dengan patih andalan Arya Damar, Gajah Mada dan dibantu Arya Sentong, Arya Bleteng, Sang Arya Waringin, Sang Arya Belog, Sang Arya Kepakisan dan Sang Arya Binculuk dibagi dalam lima kelompok. Masing-masing kelompok membawa limabelas ribu prajurit menyerang Bali dari tiga arah. Dikisahkan dalam perjalanan menempuh waktu setengan bulan dan Arya Damar menyerang dari Bali Utara yang dijaga oleh Ki Pasung Giri dari Ularan. Terjadi pertempuran yang sengit dari kedua belah pihak, antara Arya Damar dengan Ki Pasung Giri samasama gagah berani dan hanya dengan tudingan kepada Ki Pasung Giri oleh Arya Damar lalu badan Ki Pasung Giri mengigil mengucapkan kata-kata dengan bersujud, akhirnya lehernya dicekik oleh Arya Damar kemudian ditikam dengan keris tembus ke punggung, Ki Pasung Giri pun gugur.

Dalam pamancangah yang ada di Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu (Batahanar) antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung

Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut.

Dari beberapa data acuan tersebut di atas dapat menimbulkan berbagai macam asumsi dan kekaburan sejarah Bali setelah Kebo Iwa dipecundangi oleh Gajah Mada di era kekuasaan Sri Astasura Ratna Bumi Banten dengan kerajaanya bernama Batahanar. Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten mengeluarkan prasasti terakhir disebut Prasasti Langgahan tahun Isaka 1259/ 1337 Masehi, setelah itu muncul prasasti Batur Pura Abang tahun Isaka 1306/ 1384 Masehi dengan rajanya bergelar Sri Wijaya Rajasa. Dengan adanya dua prasasti tersebut, antara Prasasti Langgahan dengan Prasasti Batur Pura Abang tenggang waktu selama 47 tahun siapakah yang menjadi penguasa selama tenggang waktu yang cukup lama itu, mungkinkah Sri Karang Buncing, didalam Babad disebut Prabhu Buncing? Jikalau raja Sri Wijaya Rajasa menjadi raja setelah Sri Astasura Ratna Bumi Banten, yang menjadi pertanyaan, dimanakah letak kerajaan Bliau dan siapakah nama Mahapatih nya, adakah situs- situs yang ditinggalkan?

Begitu pun dengan pustaka lain yang menyebutkan Dalem Samprangan apakah nama lain Dalem Ketut Ngulesir atau pun Dalem Sagening yang memegang kekuasaan setelah Sri Astasura Ratna Bumi Banten, dengan pertanyaan yang sama, siapa nama mahapatih Raja Samprangan itu dan ketidak jelasnya angka tahun berkuasa secara pasti. Jika para Arya Majapahit yang memenangi pertempuran tentu tidak mungkin mengutus orang- orang Bali untuk untuk datang ke Majapahit memohon raja untuk di Bali. Lalu apa hubungannya antara Sri Wijaya Rajasa yang muncul dalam Prasasti Batur Pura Abang tahun 1384 Masehi dengan Sri Kresna Kepakisan juga dengan Prasasti Penataran Besakih tahun Isaka 1366/ 1474 Masehi yang tidak jelas tertulis nama penguasa yang mengeluarkan aturan resmi pemerintahan era itu.

sira Pasung Giri, asentana limang diri, kang panwa apasadnyan sira Dukuh Gamongan, panugrahan nira Danghyang Bawurawuh, manenggekin, mwang manisyanin, maring Gunung Lempuyang, wetning treh nira Hyang Sidhimantra, amuja parikrama, maring kahyangan nira Hyang Gnijaya ., (Piagem Dukuh Gamongan, 21a)

[beliau Pasung Giri berputra lima orang, yang tertua bernama Dukuh Gamongan, panugrahan beliau Danghyang Bawurawuh, yang mengepalai dan sebagai orang suci di Gunung Lempuyang, memang asal keturunan Hyang Sidhimantra, memuja dan mendoakan haturan umatnya yang ada di tempat suci Hyang Gnijaya]

Dari uraian Piagem diatas pemberian gelar Dukuh oleh Danghyang Nirarta sebagai bagawanta pemerintahan Kresna Kepakisan Baturenggong sekitar tahun 1550 Masehi kepada putra Pasung Giri. Jadi tidak akurat yang menyebutkan bahwa Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening pergi ke Jawa menjadi utusan memohon raja untuk di Bali, sebab tahun 1343 masuknya para Arya ke Bali dengan keberadaan Kerajaan Gelgel tahun 1550 mempunyai perbedaan masa yang sangat jauh sekali yaitu 107 tahun. Beitupun dalam Usana Jawa yang disebutkan Arya Damar bertempur melawan patih andalan Bali Ki Pasung Giri sebab dalam piagem diatas Ki Pasung Giri adalah cucu dari Sri Pasung Grigis yang lahir dari anak angkat Sri Rigis.

Juga pertanyaan penulis yang belum mendapat jawaban secara faktual adalah apabila penyerangan Bali oleh para Arya Majapahit secara besarbesaran dengan membawa tujuh puluh lima ribu pasukan, kemudian Bali kalah, lalu pertanyaannya, sisa prajurit Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali masuk soroh (klen) apakah mereka, di manakah Pura Kawitan mereka? Yang selama ini tercatat hanya para senapati atau para Arya Majapaht seperti disebukan di atas, lalu prajurit Bliau pada kemana? Dalam pertempuran antara Bali dengan Majapahit tentu banyak prajurit Majapahit dan Bali yang gugur, lalu, di manakah kuburan massal dari kedua belah pihak atau monumen sebagai lambang untuk mengenang jasa- jasa mereka? Masak sih, tidak dibuatkan pura atau tempat suci untuk mengenang jasa- jasa arwah prajurit itu? Pertanyaan yang lain jika Bali kalah oleh Majapahit tentu yang menjadi pemucuk desa atau Bendesa di Bali adalah orang- orang Majapahit tetapi fakta di lapangan yang menjadi pemucuk desa adalah orang- orang Bali.

Analisis lain dari penulis, penyerangan Bali oleh Majapahit bukan melalui pertempuran secara besar-besaran dengan mengadu fisik. Yang diserang adalah agama atau spiritual orang- orang Bali, yang dulunya orang Bali pemuja alam semesta di mana mereka berada atau pemuja tempat dan kini pemuja sifat- sifat Tuhan. Dari kekuasaan Dalem Sagening sampai Dalem Baturenggong masyarakat Bali masih waspada dan menungu komando dari Ki Pasung Grigis yang menjadi andalan Bali setelah wafatnya Kebo Iwa di Jawa. Para Arya Majapahit mempunyai upaya mempengaruhi rakyat Bali dengan mendekati Ki Pasung Grigis dan berhasil, terjadi kesepakatan untuk mengangkat Sri Giri Ularan (Gusti Ularan) menjadi Mahapatih Agung di kerajaan Dalem Baturenggong. Pengangkatan putra Sri Rigis dari Desa Gamongan ini untuk meredam kemarahan masyarakat Bali, pasca transisi pemerintahan Bali ke Jawa.

Para Arya Majapahit melakukan pendekatan kepada tetua lokal Bali melalui utusan yang telah direkrut untuk disampaikan ke desa-desa yang disebut Pasek yang artinya paek, parek (orang biasa) yaitu masyarakat Bali yang dekat dengan penguasa. Dalam Buku Custodians of the Sacred Mountains (Thomas Reuter, 2005: 268) penyunting Drs. I Nyoman Dharma Putra disebutkan Pasek ada dua faksi yaitu Pasek yang loyal terhadap Kerajaan Gelgel dan Pasek yang loyal dengan Bali Mula. Pasek yang masih loyal dengan Bali Mula yang berpusat di Blahbatuh (Pura Gaduh) misalnya, Pasek Gaduh, Tampuryang, Celagi, Kayuselem dan lainnya. Karena dalam Pujawali di Pura Gaduh banyak warga Pasek Gaduh yang tangkil hatur sembah disamping warga lainnya. Pemujaan Kawitan semestinya nama leluhur (nama orang) yang pernah hidup pada zamannya dan mempunyai jasa untuk dikenang pada masa kini. Bendesa, Penyarikan, Kubayan, Pande, Dukuh, Juru Alas, Senapati, Juru Bahu, Jero Mangku dan lainnya adalah nama kelompok pekerjaan atau tugas yang diemban, bukan nama orang (kawitan).

Sebelum era Majapahit umat Hindu di Bali masih menyembah alam secara langsung dalam arti belum ada bentuk palinggih dan nama dewa yang distanakan, begitu pula dengan nama suatu pura tidak seperti sekarang ini. Tinggalan kuna di Bali berupa tempat perabuaan dan pertapaan raja- raja Bali kuna banyak tersebar di Bali, seperti, Candi Gunung Kawi, Pura Durga Kutri, Pura Pucak Penulisan, Pura Balingkang, Pura Lempuyang Madya, Pura Sarin Bwana, Jimbaran dan yang lain sebagai bentuk penghormatan kepada rajanya, sebab pada zaman dahulu raja dianggap sebagi titisan dewa. Dengan perkataan lain kemana pun raja pergi, rakyat selalu mengiringi, sebagai media menuju ke Hyang Widhi.

Disamping bekas pertapaan dan perabuan para raja Bali Kuna yang tadinya hanya sebuah “gagumukan” tempat penanaman abu atau tempat pembakaran jenazah, setelah kekuasaan era Majapahit dibangun palinggih baru dengan runutannya sebagai simbol penyatuan Hindu Bali dan Hindu Jawa. Begitu pun dengan setatus pura tersebut, yang awalnya pertapaan raja setelah dibangun pura oleh penguasa Majapahit berubah status menjadi pura Kahyangan Jagat atau menjadi pura Dang Kahyangan termasuk perubahan sejarah terbentuknya, misalnya, Pura Ulun Swi Jimbaran yang tadinya tempat pengayatan pertemuan saudara kembar Sri Batu Putih dengan Sri Batu Ireng berubah status dan fungsinya menjadi Pura Ulun Carik. Juga dengan pura Luhur Uluwatu sebagai “luhuring” jagat Jimbaran berubah menjadi tempat moksah Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Pura Gaduh Blahbatuh yang dulunya merupakan tempat suci Sri Jaya Katong di era treh Kepakisan dipecah menjadi dua yaitu menjadi Pura Puseh dan Pura Gaduh, dan banyak pura lain seperti itu keberadaanya kini, yang tidak perlu penulis sebutkan satu persatu yang ada di Bali.

Istilah Pura muncul belakangan setelah kekuasaan Dalem Waturenggong dari Kerajaan Gelgel, di mana sebelumnya tempat suci pada awal sejarah Bali disebut satra, padmak, katyagan, panglumbyagan, sala, sma, vihara, kaklungan, salunglung yang kemungkinan satra menjadi Setra atau tempat suci kuburan, padmak menjadi Padma, katyagan menjadi Kahyangan, Sma artinya Semadi, Karangasem asal kata Karang Sma (tempat semadi), Salunglung menjadi sanggah selumbung, vihara tempat suci umat Budha, sala patung kecil yang menjadi objek sesembahan.

Beberapa Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuno tertulis supata atau di-pasupati dihadapan Hyang Danawa (Dewa Danau), Hyang Gunung (Dewa Gunung), Hyang Api (Dewa Api), Hyang Tegeh (Pura Penulisan) dan Hyang-hyang lainnya. Ini artinya awal sejarah Bali belum muncul bentuk palinggih dan nama pura, begitu pun nama dewa yang berstana seperti sekarang ini. Di Bali di mana kaki dipijak di sana ada dewa, bila penduduk yang berada di pinggir danau misalnya, umat Hindu akan membuat asagan (bale upakara sementara) di pinggir danau dan seluruh sembah, puja puji dan haturan langsung ditujukan ke Air Danau, karena danau itu adalah linggih atau wujud Hyang Danawa (Dewa Danau), jadi tidak perlu dibuatkan tempat suci lagi. Begitu pun yang tinggal di pinggir laut akan memuja langsung ke air laut sebagai perwujudan Hyang Segara (Dewa Laut) dan yang tinggal di gunung membuat bale upakara ke arah gunung sebagai stana Hyang Gunung (Dewa Gunung), begitu pun yang tinggal di Desa ada Pura Desa yang dipuja Hyang Kemulan Desa artinya seluruh prasanak/ hyang-hyang warga desa distanakan di Bale Agung Desa, di tegalan ada Pura Tegal Suci, sawah ada Pura Subak dan lainnya. Setelah masuknya para Arya Majapahit dibangun bentuk tempat suci dan nama dewa sebagai lambang penyatuan Bali dan Majapahit yaitu adanya palinggih Gunung Agung, Gunung Lebah, Uluwatu dan lainnya adalah konsep teologi Bali dan palinggih maospahit, palinggih menjang sluwang, parerepan, palinggih prasanak, palinggih ratu bagus dan sebagainya yang di analogikan para dewa itu seperti kehidupan manusia.

Dengan pengangkatan tetua lokal menjadikan mereka sebagai penguasa di wilayah masing-masing, diangkat sebagai bendesa untuk desanya masingmasing, Kemudian wilayah Jimbaran setelah wafatnya Ki Tambyak seperti yang tertulis dalam Piagem Dukuh Gamongan halaman 17b -18a, diceritakan treh Sri Karang Buncing, di zaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, menganugrahkan kepada Bandesa Karang Buncing Kuta, sebagai pucuk pimpinan mewilayahi sampai di Jimbaran, serta Bandesa Silabumi, Bandesa Seraya, Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, juga Bandesa Sibetan, memang keturunan Karang Buncing, merupakan wakil dari Kerajaan Batahanar (Badhahulu).

Begitu pula dengan pengangkatan keturunan Karang Buncing di wilayah Pejeng untuk dijadikan Bendesa yang dianugrahi oleh Ida Dalem Bali Tengah yang berkedudukan di Pejeng yang bernama I Dewa Pemayun seperti tertulis dalam Prasasti Bendesa Karang Buncing dijelaskan, keturunan I Gede Bendesa Karang Buncing yang pindah dari Blahbatuh menuju Pejeng mengambil tempat di seputaran Jero Kuta yaitu sebelah timur Pura Penataran Sasih dan disana Beliau menurunkan keturunan yang banyak. Dengan pengangkatan keturunan para penguasa sebelumnya merupakan salah satu indikasi mempengaruhi atau simbol taklukan Majapahit. Begitu pun dengan keturunan Karang Buncing yang ada di Blahbatuh dengan saling meminang putra putri dari kedua penguasa antara keturunan treh Kresna Kepakisan dengan Karang Buncing merupakan simbul taklukan.

Pura Dalem Karang Buncing, Pejeng

Pura Dalem Karang Buncing yang berada di sebelah timur Pura Penataran Sasih, Pejeng merupakan satu-satu tempat suci yang ada kata Dalem selain Pura Dalem Tengaling letaknya sekitar satu kilometer ke arah baratlaut dari Penataran Sasih yang merupakan pura sungsungan masyarakat Pejeng yang berkaitan dengan setra (kuburan). Di mana Pura Dalem sebelumnya berada di perempatan Pura Samuan Tiga ke barat atau depan jalan Yeh Pulu Bedulu.

Pura Dalem Karang Buncing di among oleh warga Karang Buncing yang ada di wilayah Pejeng dan sekitarnya, kemungkinan pura ini sebagai bentuk penghormatan untuk Raja Bali yang pernah berkuasa sebelumnya dan tidak dijadikan satu dengan pura taklukan. Sedangkan Pura Penataran Sasih merupakan pura Jagat Bali dan diperkirakan merupakan pusat Kerajaan Batahanar yang ada pada zaman Bali pertengahan. Di sisi sebelah barat Pura Penataran Sasih terdapat Pura Ibu yang menjadi pangemong warga pungakan, di sisi sebelah utara terdapat Pura Pasek dan Pura Merta Sari. Di sisi timur Pura Penataran Sasih terdapat Pura Taman Sari atau

berada di depan Pura Dalem Karang Buncing. Pura sekitar ini merupakan pura pengibeh (penjaga) dari pura jagat Penataran Sasih. (Informasi Jero Mangku Ketut Merta)

Sebutan kata Dalem muncul belakangan setelah kekuasaan Raja Dalem Waturenggong, dimana kata Dalem artinya Raja atau keluarga raja, misalnya, Dalem Sagening, Dalem Bedaulu, Dalem Selem, Dalem Putih, Dalem Ketut Ngulesir, Dalem Klungkung dan sebagainya. Juga Dalem artinya Ida Bhatara misalnya Dalem Kahyangan, Dalem Puseh, Dalem Desa dan sebagainya. terakhir kata Dalem artinya tak terjangkau (achintya) artinya Hyang Widhi/ Tuhan sesuai alih aksara dan terjemahan lontar Gong Besi, oleh Dinas kebudayaan Propinsi Bali, dijelaskan secara ringkas persembahan bakti yang utama, tidak lain kehadapan Bhatara Dalem. Beliulah yang seharusnya dipuja, namun harus engkau ketahui nama lain Bhatara Dalem, Ketika beliau berstana di Pura Puseh, Sanghyang Tri Yodadasa Sakti nama beliau, pergi dari puseh berstana di Pura Desa, Sanghyang Tri Upasedhana nama beliau, pergi beliau dari desa dan berstana di Bale Agung, Sanghyang Bhagawati nama beliau, pergi dari bale agung, berstana di perepatan jalan, Sanghyang Catur Bhuwana nama beliau, pergi beliau dari perepatan jalan, berstana beliau di pertigaan jalan, menjadilah beliau Sanghyang Sapuh Jagat, pergi beliau dari pertigaan, berstana beliau dikuburan, menjadilah beliau Bhatara Durga, dan seterusnya.

 Beberapa sumber yang menjadi rujukan dalam penulisan awal sejarah Pura atau Desa di Bali yaitu, 1) Bersumber dari catatan tertulis berupa prasasti, purana, piagem, prakempa dan babad yang menjadi milik pura atau catatan tertulis yang terdapat di lain tempat yang menerangkan asal usul desa atau tempat suci itu dan seluruh data tersebut mempunyai nilai yang berbeda. 2) Berdasarkan Tri Hita Karana yaitu tentang tata letak tempat antara parahyangan, pawongan dan palemahan atau dengan perkataan lain batas antara kawasan suci (parhyangan, ulu desa), kawasan pemerintahan/ penduduk (pawongan) dan kawasan kuburan (palemahan). Penduduk yang tinggal paling dekat dengan Pura Desa atau pura Jagat biasanya mempunyai hubungan historis langsung. Pada zaman dahulu tempat tinggal para penguasa di sekitarnya berdiri Pura Desa, Pura Puseh, Sekolah, Banjar, Pasar, dan fasilitas umum, maupun pura pengibeh lainnya. Hubungan manusia dengan manusia (pawongan) yaitu hubungan manusia dengan kelompok pekerjaan muncul Bale Banjar, sekaa dan kelompok pekerjaan lainnya. Hubungan manusia dengan palemahan (kuburan) akan kelihatan di sisi sebelah mana keluarganya di kuburkan apakah di luwan atau di teben, sang penguasa posisi kuburannya umumnya berada di luwanan atau mempunyai tradisi khusus bila keluarganya meninggal. Disamping itu, para penguasa umumnya memiliki tanah yang sangat luas dari rakyat biasa. 3) Berdasarkan nama-nama palinggih yang ada di halaman utama pura misalnya, di halaman pura berdiri palinggih atas nama leluhurnya atau di pura ada nama pura pasimpangan pura lain. 4) Berdasarkan pemangku yang secara turun temurun mengabdi di pura itu, kemungkinan tanah pura berasal dari keluarganya, atau leluhurnya sebagai penguasa awal di tempat itu. 5) Berdasarkan ragam hias atau relief yang menjadi ornament pura dan tinggalan artefak lain. 6) Berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK), jumlah KK dalam merajan gede paling banyak tentu mereka yang lebih dahulu berada di tempat itu. 7) Berdasarkan hubungan abstrak ke pura yang lebih tinggi kedudukkannya dalam nunas tirta jika ada upacara pujawali, atau yang menjadi sadeg desa berasal dari keluarga leluhur pendiri tempat itu. 8) Berdasarkan tradisi yang dilakukan oleh pangemong dan pangempon pura dikala pujawali pura setempat dengan pura pengibeh yang ada di wilayah sekitarnya.

Sekilas dapat disimpulkan, bila penulisan awal sejarah Bali hanya bersumber dari prasasti prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang bersangkutan, akan terlihat mereka berkuasa sangat pendek, ini terlihat berdasarkan awal dan akhir tahun prasasti yang dikeluarkan. Dalam prasasti tidak tertulis hubungan kekerabatan raja satu dengan raja yang lainnya, dan tidak kelihatan kisah kehidupan mereka. Sedangkan dalam purana kadang-kadang mereka berkuasa melebihi dari tahun prasastiprasasti yang dikeluarkan, serta asal asul dan kisah peristiwa yang terjadi kepadanya sangat jelas. Sedangkan apabila hanya purana, piagem, babad, prakempa, pemancangah milik kelompok warga yang dipakai pedoman dalam penulisan awal sejarah tanpa didukung data sejarah yang dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri maka teks itu akan mengambang dalam arti masih diragukan kebenarannya. Hanya orang-orang penting yang berkuasa pada zamannya akan tercatat dalam buku sejarah Bali.

Tinggalan arkeologi berupa 2 buah Arca Gana yang cukup besar

Selain tinggalan Prasasti Bendesa Karang Buncing atas anugrah dari Ida Dalem Bali Tengah yang berkedudukan di Pejeng yang bernama I Dewa Pemayun. Juga bisa diketahui dari tradisi terhadap Pura Dalem Karang Buncing Pejeng, dimana setiap pujawali di Pura Penataran Sasih selalu ada dari pihak pangemong pura menghaturkan banten suci kepada Pura Dalem Karang Buncing walaupun di Pura Dalem Karang Buncing tidak sedang hari piodalan. Hanya Pura Dalem Karang Buncing yang mendapatkan banten suci dari pangemong Pura Penataran Sasih di luar pura pengibeh sekitarnya. Dan sebaliknya jika Pura Dalem Karang Buncing melaksanakan pujawali dari pihak pangemong pura tidak ada menghaturkan “sesuatu” ke Pura Penataran Sasih. Disamping yang menjadi pemangku pura jagat di sekitaran Pejeng berasal dari treh Karang Buncing termasuk pemangku di Pura Penataran Sasih.

Tinggalan arkeologi yang terdapat di Pura Dalem Karang Buncing berupa dua buah Arca Makhluk Gana yang cukup besar yang lazim terdapat pada bagian kaki Candi Budhis, menurut informasi dari petugas Balai Arkeologi bahwa arca ini berfungsi solah- olah sebagai penyangga badan candi. Arca Gana ini sangat besar melebihi dari Arca Gana yang ada di Pura Pegulingan Tampaksiring, ini mengindikasikan bahwa bangunan yang disangganya cukup besar. Disamping tinggalan Arca Tri Lingga yang cukup besar dan pragmen kecil lainnya sebagai bukti bahwa pura ini merupakan pura kuno.

Pujawali di Pura Dalem Karang Buncing bertepatan dengan hari Anggarkasih Dukut, di emong oleh Jero Mangku I Ketut Merta dengan jumlah pemaksan lebih dari 50 kepala keluarga (KK) yang tersebar di wilayah Pejeng, Tarukan, Batubulan, Denpasar, Pemaron dan Badung.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More