Selasa, 04 April 2023

Bab XI Treh Sri Karang Buncing Masa Kini

 Bab XI

Treh Sri Karang Buncing  Masa Kini

T

ransisi pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit, tahun 1343 M sampai tahun 1350 M, telah terjadi 30 (tigapuluh) kali pemberontakan dengan perkataan lain Bali belum sepenuhnya ditundukkan oleh para Arya Majapahit. Dalam menengahi peralihan kekuasaan antara Bali dan Majapahit atau untuk mengisi kekosongan pemerintahan Bali tatkala itu, maka diangkatlah seseorang dan diberi jabatan Kiayi Agung Pasek Gelgel, sebelum ditunjuk raja baru dari Majapahit yaitu Sri Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) Isaka 1272/1350 Masehi.

Peralihan kekuasaan tentunya membawa dampak politik psikologis bagi masyarakat Bali Mula pada umumnya dan keturunan Sri Karang Buncing pada khususnya. Untuk menghindari pergolakan politik kekuasaan pada masa itu, masyarakat Bali menyiasati dengan berbagai cara, antara lain dengan nyineb wangsa (menutup asal usul), menyingkir (mengungsi) ke tempat yang lebih aman dari kejaran musuh, atau diangkat oleh pemerintahan selanjutnya untuk mengisi strukturisasi pemerintahan didalam meredam kemarahan masyarakat Bali Mula. Disamping saling kawin mengawini antar keturunan dua penguasa, atau keluarganya dihaturkan untuk mengabdi dalam kelompok berkasta lebih tinggi, Disamping keberadaan di tempat sekarang karena bencana alam dan alasan lainnya.

Konsep pemujaan Tuhan melalui pura kawitan, tempat suci leluhur warga (klen) belum muncul pada era Bali Kuno. Sistem catur warna masih konsisten diterapkan dalam menata kehidupan sosial di jagat Bali era itu. Catur warna, merupakan empat pembagian guna dan karma yang ditentukan oleh sifat (bakat) dan pekerjaan seseorang, bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh. Mengambil analogi dengan mitos kelahiran warna tersebut, dapat dikatakan setiap orang adalah Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Hanya gradasi pekerjaannya kemudian yang membedakan dia lebih disebut sebagai Brahmana (kaum ulama), Ksatria (pertahanan dan pemerintahan), Waisya (petani dan pedagang), atau Sudra (pelayan dan buruh). Ketaatan warna sudra dengan warna Brahmana, misalnya, seolah-olah terjadi karena perbedaan kelas, bukan dilihat dari fungsi sosialnya di masyarakat Hindu.

Semenjak sistem warna perlahan-lahan berubah menjadi sistem wangsa atau sistem soroh yang dapat disebut sebagai sistem kasta khas Bali, kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Wesya dalam sistem kasta, sedangkan Danghyang Nirartha, kemudian bergelar Pedanda Sakti Wawu Rauh yang datang ke Bali tahun 1550 di zaman pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong dan Danghyang Astapaka, menurunkan wangsa Brahmana, yang kemudian dikelompokkan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan para dang acarya (pendeta sekte siwa), dang upadyaya (pendeta sekte boddha), para brahmana, para Rsi, para pertapa raja-raja Bali Kuno, para senapati, para kubahyan, para samgat, para nayaka, dan masyarakat Bali Mula yang dikalahkan, nyaris tidak berhak menyandang ke tiga kasta tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru, disebut arya, sedangkan yang lain dikelompokkan sebagai sudra yang kemudian menyebut diri sebagai “jaba” (luar), yang berarti diluar kasta Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Apalagi pengelompokkan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberikan hak-hak istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan adanya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun temurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa Catur Warna itu sesungguhnya sama dengan soroh (clan).

Zaman Bali Kuna tempat pertapaan dan perabuan para raja Bali, serta spirit alam sekitarnya yang dicandikan sebagai media penghubung ke para dewa oleh keturunan dan masyarakat Hindu sekitarnya. Karena raja diyakini sebagai titisan dewa. Setelah pemerintahan Sri Masula-Masuli tahun 1324 muncul konsep Sapta Giri yaitu 7 gunung sebagai simbol stana suci para dewa (lontar aji murti siwa sasana). Perkembangan selanjutnya kiblat tujuh gunung tersebut di aplikasikan di desa desa dengan palinggih meru tumpang pitu (tempat suci dengan beratap tujuh) yang terletak di Pura Puseh. Pasca kedatangan Danghyang Nirartta sekitar tahun 1550 muncul konsep pemujaan kawitan, stana suci para leluhur serta konsep istadewata yang berdiri mengitari Pulau Bali. Yang pada akhirnya membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak leluhur mereka yang sudah ada, sebelum kedatangan Danghyang Nirartta di Bali. Dimanakah pura kawitan dan padharman masyarakat Bali Mula itu?

Kebingungan bagi keturunan Sri Karang Buncing dan keturunan Dukuh dalam menentukan asal usul leluhurnya didapat dari cerita yang diceritakan oleh orang tua, maupun kerabat dekat, ada pula mendapat petunjuk dari ‘niskala’ dan sebagainya. Sehingga beberapa kelompok keluarga keturunan Sri Karang Buncing dan keturunan Dukuh masuk clan/warga pasek, beberapa kelompok keluarga masuk warga dalem (arya), beberapa kelompok keluarga masuk warga bendesa, bahkan ada yang masih tetap menyandang turunan dukuh dan soroh karang.

Penyebaran mereka dalam satu kabupaten di Bali terjadi dalam periode yang berbeda beda. Beberapa kelompok penyebarannya melalui darat dan beberapa kelompok penyebarannya melalui laut. Materi yang penulis kumpulkan dari beberapa pengurus maupun dari para panglingsir warga, beberapa merupakan hasil wawancara, maupun dari catatan tertulis yang telah ada di beberapa Pura Dadiya yang ada di desa tertentu. Inventarisasi dilakukan khususnya bagi kelompok warga yang memiliki pura dadya, artinya kelompok keluarga yang jumlah populasinya melebihi 20 KK. Dari pengumpulan data tersebut terdapat berbeda-beda identitas yang dijadikan momentum didalam mengenang roh suci leluhur mereka dimasa lalu, ada memakai identitas prabali karang buncing, arya karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, sri arya karang buncing, dukuh karang, si karang, kryan karang buncing, pasek karang buncing dan soroh karang lainnya.

Kemungkinan munculnya perbedaan identitas tersebut berdasarkan guna karma, atau tugas dan fungsi keturunan beliau saat itu. Tatkala keturunannya menjabat sebagai kepala desa, bendesa karang buncing sebutannya. Tatkala keturunannya mendapat tugas pemerintahan Dalem (Majapahit), arya karang buncing sebutannya. Sedangkan keturunan yang berasal dari pertapa raja raja Bali Kuno di Desa Gamongan, persebaranya warga dukuh sebutannya. Tatkala ada pengelompokan dalam penulisan babad antara nak jawa dan nak bali atau keturunan berasal dari Jawa dan orang Bali, prabali karang buncing disebutnya. Jika keturunannya mamarekan (mengabdi) di keluarga dalem atau yang berkasta lebih tinggi, pasek karang buncing disebutnya, dan sebagainya. Sesungguhnya katakata Karang Buncing yang berbeda itu berasal dari Sri Karang Buncing adik kandung Sri Kebo Iwa yang hidup pada masa peralihan pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit. Beliau berdua adalah keturunan akhir raja-raja Bali Kuno dan misan mindon (sepupu) dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Disamping kesepakatan warga dalam Mahasaba, nama Sri Karang Buncing yang dipakai momentum oleh keturunannya masa kini di dalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi/ Tuhan.

Jika yang menjadi acuan awal keberadaan dalam menentukan pura kawitan pasca pemerintahan Arya Majapahit, semestinya keturunan Sri Kesari Warmadewa masa kini memiliki 5 pura kawitan yaitu (1) Pura Kawitan Warga Dukuh berhulu di Desa Gamongan persebarannya ke desa desa di Bali masa kini. (2) Kawitan Sri Karang Buncing yang berhulu di Blahbatuh menjadi watek karang yang ada masa kini. (3) Pura Kawitan keturunan Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) di Batahanar (Bedulu) tidak jelas keturunannya masa kini. (4) Pura Kawitan Dalem Petak Jingga di Jimbaran putra kandung Sri Batu Putih juga tidak jelas siapakah keturunannya masa kini. (5) Pura Kawitan Jaya Katwang putra Sri Maha Sidhimantra Dewa di Jawa, juga tidak jelas siapa keturunannya masa kini.

Dari kumpulan naskah yang ditemukan hanya 2 (dua) cabang keturunan Sri Kesari Warmmadewa yang kelihatan sangat jelas yaitu bermuara ke Gamongan menurunkan para Dukuh persebarannya masih ada masa kini. Dan yang bermuara ke Blahbatuh, Sri Karang Buncing yang menurunkan watek karang. Konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman pemerintahan era Bali Pertengahan, dimana Desa Gamongan yang membidangi parahyangan jagat bali diberikan kekuasaan penuh mengurus hubungan umat dengan Tuhannya (uloning jagat bali atau siwaning jagat bali) Sedangkan bagian pawongan hubungan kerajaan dan masyarakatnya adalah Batahanar (Blahbatuh), maka tunggul i jagat bali artinya Blahbatuh merupakan pusat pemerintahan di Bali pada era itu. Dan Pura Gaduh maka gagaduhan prabhu bali, artinya Pura Gaduh merupakan tempat suci kerajaan Batahanar saat itu. Pura Gaduh merupakan pusat pemujaan Dewa Sapta Giri di stanakan pada palinggih meru tumpang 7 (stana suci beratap tujuh), kalau boleh dikatakan Pura Jagat Natha masa itu. Sedangkan masa pemerintahan Dalem Gelgel, yang menjadi kiblat adalah Gunung Agung, Pura Besakih maka uloning jagat bali, dan Kerajaan Gelgel sebagai pusat pemerintahan.

Mengacu dari transkrip Lontar Purana Pura Puseh Gaduh, Lontar Raja Purana Pura Lempuyang dan Piagem Dukuh Gamongan, Warga Sri Karang Buncing dan masyarakat Bali Mula yang hendak madiksa atau menapaki hidup suci semestinya mengikuti jejak leluhur terdahulu yaitu melakukan hidup suci (wanaprasta) ke Gunung Lempuyang, Desa Gamongan, karena Pura Lempuyang Gamongan maka siwaning jagat bali, sebagai simbolis lahirnya istilah maguru siwa yang dirintis oleh Hyang Gnijaya khususnya bagi umat yang ingin menapaki hidup kesucian menjadi dukuh (pendeta). Dengan perkataan lain setidaknya sang calon diksita treh Sri Karang Buncing wajib nunas tirta atau mohon restu ke Desa Gamongan. Disamping bhisama yang telah dicetuskan para leluhur dalam lontar usana bali milik pura kawitan dan Piagem Dukuh Gamongan untuk tidak melupakan tiga kahyangan yaitu Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Pura Gaduh dan Pura Lempuyang Gamongan, Karangasem.

Karena keterbatasan waktu, penulis hanya mencantumkan beber apa kelompok keluarga yang memiliki pura dadya yang ada di desa tertentu, sebagai penanda bahwa keturunan raja raja Bali Kuno khususnya keturunan Sri Karang Buncing dan Keturunan Dukuh masih tetap eksis dan jelas keberadaannya masa kini. Penulis tidak menelusuri dimana letak pura dadya itu, serta benda arkeologi yang ditinggalkan, adakah kahyangan desa yang di-mong oleh warga Karang Buncing selain pura dadya milik warga. Yang terkadang catatan tertulis berada jauh dari letak pura. Maka, tentu hasilnya tidak memuaskan di dalam menguraikan perjalanan leluhur mereka sebelumnya. Tidak ditemukan catatan pasti menguraikan persebarannya, maka tidak semua pura dadya diunggah dalam naskah ini. Sesungguhnya penulis hanya memfokuskan materi sampai di Sri Karang Buncing dan Dukuh saja. Untuk mengetahui lebih jelas tentang nama dan alamat keturunan Sri Karang Buncing dan Dukuh persebarannya masa kini tercatat di Buku Besar Pasemetonan Sri Karang Buncing di Pura Kawitan, Blahbatuh, Gianyar.

Penjelasan awal tentang nama, alamat anggota warga berasal dari Sekretaris Warga Sri Karang Buncing, I Nyoman Sudana SH, yang mengatakan jumlah anggota yang terdaftar dalam Buku Besar Pasemetonan di Pura Kawitan berkisar 1.800 KK. Disamping dalam buku kecil yang disusun oleh Pak Wul dengan judul Ngingetang Kadang Warga khusus warga Karang Buncing tertera nama dan alamat dusun persebarannya di beberapa desa di Bali. Berikut beberapa persebaran keturunan Sri Karang Buncing dan Dukuh yang ada di Bali:

Kabupaten Karangasem

Pura Lempuyang, Desa Adat Gamongan, Perbekel Tiyingtali

I Gede Wira, tetua warga, mengungkapkan, sebelum peng ambilalihan Pura Lempuyang yang sekarang disebut Pura Lempuyang Madya, warga Desa Adat Gamongan pangamong beberapa pura yaitu Pura Pucak Bisbis, Pura Penataran Lempuyang, Pura Telaga Sawang, Pura Pajenengan Sri pasung Grigis, Merajan Sri Rigis, Merajan Dukuh Karang, Merajan Karang Semadi, Pura Pesimpenan. Jumlah pangamong yang ada di Desa Adat Gamongan 38 KK dan pengempon sebanyak 18 dadiya yang tersebar di luar Desa Gamongan.

Pura Penataran Gamongan, Desa Pakraman Muncan

Dalam buku Inventarisasi Pura Penataran Gamongan yang disusun oleh Jro Mangku Sugiri, dkk (2010:11) dijelaskan tentang sejarah Pura Penataran Gamongan di Desa Pakraman Muncan. Sebelum dipindah atau magingsir ke Dusun Pamuhunan di tempat sekarang, dulu berlokasi di Bukit Kucet/Dukuh dan diperkirakan pendiriannya setelah runtuhnya Kerajaan Batahanar. Berdasarkan Raja Purana Besakih dan Tata Ruang Kawasan Suci Pura Besakih, Desa Muncan termasuk kawasan suci Pura Besakih sampai Pura Pasar Agung di Gunung Agung, karena Desa Muncan sebagai pewaregan (dapur, lumbung) Pura Besakih dan di Desa Muncan juga terdapat tempat pamelastian dan nunas tirta ida bhatara-bhatari Pura Besakih dan Pura Pasar Agung, yaitu Pura Yeh Sah.

Dengan adanya penataan pemukiman penduduk Desa Muncan saat itu oleh Kerajaan Karangasem, maka panglingsir (tetua) yang dulu berada di Dukuh juga pindah ke tempat sekarang yaitu Dusun Pamuhunan. Menurut cerita tetua, bahwa Dusun Pamuhunan dulunya adalah tempat pembakaran jenazah atau tunon sehingga diberi nama Pamuhunan. Perpindahan pemukiman ini diperkuat adanya kemungkinan pola pertukaran kepemilikan lahan antara lahan yang ditempati sebagai pemukiman sekarang (Dusun Pamuhunan) dengan lokasi kuburan desa yang sekarang. Mengingat lahan-lahan yang berada disekitar kuburan desa sekarang, baik sebelah utara, timur maupun sebelah barat atau sekitar Pura Dalem banyak dimiliki oleh panglingsir sejak jaman dahulu, yang mempunyai akses kedekatan lokasi Bukit Kucet.

Menurut tetua warga, lokasi Pura Penataran Gamongan sekarang memakai lahan bekas pekarangan Kumpi Kayun dan Kumpi Karang yang ahli warisnya tidak ada lagi atau camput. Disamping itu juga didasarkan atas posisi tanah untuk pembangunan tempat suci dipandang cukup baik. Pengempon Pura Penataran Gamongan adalah keluarga Sri Karang Buncing yang berada di Dusun Pamuhunan, Desa Muncan yang jumlahnya saat kini (2009) adalah sebanyak 85 KK, baik yang mengempon Pura Penataran Gamongan maupun Pura Dadya.

Pura Paibon Hyang Batuh, Desa Lusuh

Menurut tetua warga I Wayan Bawa asal usul persebaran warga yang ada di Desa Lusuh yang diceritakan oleh para tetua sebelumnya berawal dari tiga orang menetap di Desa Selat, di Prasana dan tetua Wayan Bawa sebagai pengempon paibon Hyang Batuh berkembang menjadi 45 KK. Awalnya semua kepengurusan pura dipegang oleh warga baleran (utara) pura, sedangkan keluarga tetua Bpk. Wayan Bawa yang tinggal satu pakarangan dengan Pura Paibon hanya sebagai pelaksana bila ada upacara di Paibon Hyang Batuh.

Pada suatu hari karena keadaan pura sangat rusak dan tetua Wayan Bawa bermaksud memperbaiki pura sehingga keluarga yang tinggal di utara pura pun diminta untuk membantu mengeluarkan iuran dalam memperbaiki pura tetapi apa yang terjadi mereka hanya bisa membayar dengan batu slebingkah (pecahan grabah) hal ini membuat ketegangan antar dua kelompok keluarga itu, sehingga terjadi pemisahan dengan mendirikan Paibon baru di keluarga yang bertempat tinggal di utara. Semenjak itu masing-masing kelompok warga memiliki pura tempat suci sebagai pemujaan leluhur. Dari seluruh kelompok keluarga yang bertempat tinggal di Desa Lusuh tetap datang menghaturkan sembah bakti maupun membayar iuran wajib ke Blahbatuh jika ada odalan di Pura kawitan demikian di informasikan oleh Ketua Paibon Hyang Batuh I Wayan Bawa.

Persebaran warga ke Dusun (Banjar, Br.) yang ada di Kabupaten Karangasem: Br. Gede Muncan Selat, Banjar Yang Api Muncan Selat, Banjar Lusuh Selat Duda, Banjar Saren Nongan Rendang, Br. Sengkidu Nyuh Tebel, Banjar Jasi Bugbug, Br Asak Kanginan, Desa Timbrah, Desa Bungaya, Br. Bukian Nongan, Br. Perasi Bugbug, Br Buitan Apit Yeh, Br.

Kastala Ngis Manggis, Br. Yeh Pah Manggis, Br. Ngis Kelod, Br. Simpar Kawan Pidpid, Br. Lebuh Pura Ayu Abang, Br Perayu Tista Abang, Br. Tista Gede, Br. Kemuda, Br. Lingga Manik Tumbu, Br. Siladumi, Br Cucut Ban Kayu, Br. Kubu Karangasem, Br Bungkulan Seraya, Br. Kecicang, Br. Lebah Culik, Br. Gambang Seraya, Br. Peladung Tengah,   

Kabupaten Bangli

Kecamatan Tembuku ada Tiga Pura Dadya

1) Dalem Karang Buncing sebagai panglingsir Jero Mangku Gede. Pura Dalem Gaduh sebagai panglingsir Jero Mangku Gaduh. Puri Karang dengan anggotanya dari Sukawana sebagai panglingsir Jro Gede Karang. 2) Pura Dadya Karang Kubu sebagai panglingsir Jero Guru. 3) Pura Dadya Karang Bunutin dan Guliang sebagai panglingsir Guru Bratha. Mrajan Ageng Karang Buncing Penatahan sebagai panglingsir Jro Mangku Puseh. Dadya Gaduh Karang Manuk sebagai panglingsir Guru Logam.

Di Desa Undisan jumlah kepala keluarga adalah 75 KK penyebaranya melalui Desa Gamongan sampai sekarang nunas tirta dan kajang ka Desa Gamongan. Panglingsir Jro Dasaran I Made Wijasa dan Jro Mangku Dadya: Dr Jro Mangku Ketut Dinamika, S.Sos. Nama Pura : Dalem Gaduh Sri Karang Buncing. Penyebaran dari Undisan ka Kintamani, Sukawana dan Bunutin Kintamani.

Pura dadya di Bunutin panglingsir Guru Beratha penyebaranya dari Lebih Gianyar. Jumlah anggota 10 KK. Dari Bunutin ada ke Guliang Kawan dan Kubu Bangli. Nama Pura : Dadya Karang Buncing. Dadya Manuk nama panglingsir Guru Wayan Logam. Penyebarannya dari Blahbatuh karena panglingsir di sana bernama Kaki Gaduh. Jumlah Anggota 10 KK. Dadya Karang Penatahan berjumlah KK 35 KK, 5 KK di Bengkulu, 2 KK di Negara. Penyebarannya mungkin melalui gamongan karena berdasarkan pralingga yang disungsung berupa dukuh. Tetapi salah satu panglingsir diberi nama panggilan pekak batuh karena dulu waktu mapinton siapa yang bisa membuka gelung kori di Pura Gaduh dia warih Karang Buncing. dan beliau lolos. Semeton Desa Penatahan dan Desa Undisan mulai pengabenan dan upacara dewa yadnya sudah memakai Ida Pandita Dukuh sebagai pamuput (pemimpin upacara) dari dulu sampai sekarang antara semeton Desa Penatahan dan Desa Undisan sudah terjalin ikatan keakraban. Peninggalan para pendahulu berupa benda sakral banyak tersimpan di Penatahan, Balean di Undisan Klian subak di Manuk. Demikian diinformasikan oleh Gede Karang.

Persebaran warga di Kabupaten Bangli: Banjar Guliang Kawan, Banjar Bunutin, Banjar Penatahan, Banjar Undisan Tembuku, Banjar Kuwum Sukawana Kintamani, Banjar Kutuh Kintamani, Banjar Manuk Susut, Banjar Jaya Maruti Kintamani.

Kabupaten Klungkung

Pura Gaduh, Dusun Losan, Takmung

Tetua warga dari Banjar Losan, I Nyoman Wijana, mengatakan, dimana sebelum masuknya para Arya Majapahit ke Bali, leluhur mereka bertempat tinggal di Desa Takmung. Setelah pengambilalihan, leluhurnya pindah ke Desa Blega. Suatu saat terjadi konflik di Alas Blatung dan mereka lolos dalam pertikaian, karena lolos maka lama kelamaan tempat mereka tinggal diberi nama Losan, karena lolos dari pertikaian itu. Jumlah kepala keluarga 35 KK yang mengampu Pura Gaduh yang ada di Banjar Losan, Kelungkung.

Persebaran warga di Dusun (Banjar) yang ada di Kabupaten Kelungkung: Banjar Sengguan, Banjar Cempaka Pikat Dawa, Banjar Tusan, Banjar Angkan, Banjar Selat, Dusun Kangin Bakas, Banjar Kutampi Nusa, Dusun Tegal Besar, Banjar Losan Takmung. Kabupaten Gianyar

Prakempa Pura Dalem, Desa Celuk

Hatur sembah kehadapan Sanghyang Bumipati, semoga memberikan keselamatan kepada kita semua dan semoga rahayu semua keturunan dan jagat. Sanghyang Atma (Sanghyang Widhi) beryoga lahir 6 (enam) orang putra yaitu Bhatara Uma, Bhatara Iswara, Bhatara Brahma, Bhatara Mahadewa, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa. Beryoga Sanghyang Brahma lahir putra yang tertua bernama Sanghyang Agnijaya, yang nomor dua Sanghyang Sidimantra, nomor tiga Sanghyang Mahadewa, nomor empat Mpu Kul Putih..

Diceritakan Sanghyang Sidimantra beryoga menggelarkan ajian kama tantra mengharapkan putra yang utama dari sidhi adnyana (kekuatan batin) lahir seorang putra bernama Bagawan Indra Cakru. Bagawan Indra Cakru berputra dua orang bernama Sang Wijaya Katong dan adiknya bernama Sira Arya Pasung Grigis. Sang Wijaya Katong berputra Arya Karang Buncing. Sira Arya Karang Buncing berputra Sira Kebo Waruga adiknya bernama Arya Pra Bali Karang Buncing, dan Arya Pra Bali Karang Buncing berputra Watek Karang.

Ini Raja Purana, Puranya di Gunung Lempuyang sebagai tempat suci Wijaya Katong dan Pasung Grigis. Sang Wijaya Katong dianugrahi tempat di Blahbatuh mempunyai rakyat pemberian dari Sang Wawu Dateng, ada pintu gerbang yang sangat tinggi kapolo dibangun oleh Sang Wijaya Katong sebagai tempat suci Wijaya Katong di Blahbatuh dan ada meru tumpang 5 (lima) stana Sang Wawu Dateng namanya Pura Gaduh. Pura Gaduh sebagai tempat mabawosan (rapat) yang bertempat tinggal di Blahbatuh namanya Sang Wijaya Katong tempat suci bhatara sad kahyangan Bali. Dikala Wijaya Katong bertempat di Blahbatuh anugrah Sanghyang Gnijaya ikut adiknya bertempat tinggal di Desa Tengkulak mengabdi pada raja Masula Masuli tahun bumi gajah apit lawang (Saka 928/1006 Masehi).

Sekarang diceritakan Arya Karang Buncing di Blahbatuh mempunyai dua orang putra yaitu tertua bernama Kriyan Kebo Waruga dan adiknya bernama Arya Pra Bali Karang Buncing. Adiknya Arya Pra Bali Karang Buncing kembali ke Gunung Lempuyang menghadap di pertapaan ida bhatara yang berstana di Lempuyang. Arya Pra Bali Karang Buncing berputra I Watek Karang keberadaannya di Gunung Lempuyang. Dan yang menjaga Blahbatuh Sira Arya Kebo Waruga (Kebo Taruna) tatkala itu tahun candra sangkala tangan brahmana candra bumi (Saka 1182/1260 Masehi).

Ada seorang siluman sakti bertaring, berkulit hitam seperti raksasa, menakutkan, serakah dan tidak percaya sastra agama, tidak senang berbuat kebajikan, semua sastra kuno dihina, maka dari itu, raksasa Mayadenawa dibunuh oleh Dewa Indra dengan senjata cakra. Setelah semua sumber malapetaka di bumi dibersihkan, Dewa Indra kembali ke Sorga. Setelah selesai upacara di jagat sekala lalu Sang Roh (Mayadanawa) di utus kembali ke dunia diberi anugrah menjadi ardhanariswari (laki perempuan) lahir di dunia melalui buah kelapa. Setelah selesai upacara lalu dibersihkan beliau di pertapaan Gunung Tolangkir (Gunung Agung). Dari sana beliau memuja dan mengawali memimpin jagat Bali diberi nama Sri Masula Masuli. Bersama memimpin jagat Bali dengan adiknya. Setelah cukup umur berkuasa lalu mereka berdua kembali ke alam sunyi dan penggantinya bernama Sri Tapa Ulung lahir di zaman Kaliyuga dan beliau disebut juga Raja Beda Muka.

Sangat terkenal di desa desa bernama Sri Gajah Wahana yang memimpin jagat Bali didampingi oleh para Catur Tanda Mantrinya bernama Pasung Giri bertempat di Desa Tengkulak, Arya Kebo Taruna menjaga Desa Blahbatuh, Sang Kalung Singkal menjaga di Desa Taro, Ki Tambyak menjaga di Kuta Mimba. Mereka berempat sama pengabdiannya dengan raja Bali Dalem Bedaulu, makanya tidak ada kerusuhan karena kesaktian pada saat Raja Beda Muka berkuasa dengan didampingi oleh para senapatinya berempat. Entah berapa lama berkuasa Beda Muka menjadi penguasa di bumi Bali ini. Karena zaman Kaliyuga tentang keruntuhan Beda Muka berasal dari tipu daya Mahapatih Gajah Mada dengan menggunakan ajian Danarjana tak ada yang menandingi kesaktiannya sama dengan kesaktian Kebo Taruna terdahulu, juga dengan Pasung Gerigis kena tertipu yang bertempat tinggal di Tengkulak. Maka dari itu wafat Sang Beda Muka karena kesaktiannya Arya Damar yang berasal dari Majapahit.

Diceritakan setelah kalahnya jagat Bali oleh Majapahit, kini cerita Arya Pra Bali Karang Buncing bertempat di Lempuyang mempunyai seorang putra namanya I Watek Karang. Sira Arya Pra Bali Karang Buncing telah mengetahui tewasnya sang kakak Kebo Taruna kena tipu daya oleh mahapatih Majapahit, lalu beliau kembali ke Desa Blahbatuh menggantikan kakaknya. Kebo Waruya meninggal Caksu Bhuta Sukuning Wong (Saka 1252/1330 Masehi).

Setelah tewasnya Kebo Taruna, diceritakan Arya Pra Bali Karang Buncing yang menjadi penguasa di Blahbatuh, berputra 3 (tiga) orang yaitu putra yang pertama lahir di Desa Gamongan, setelah menikah dan hidup suci disebut Dukuh Gamongan, putra yang ke dua lahir di Blahbatuh bernama Jero Gede Kadulu, dan adiknya yang bungsu bernama Jro Nyoman Karang Samping Jeruk. Diceritakan Jro Gede Kadulu menggantikan ayahnya dengan sebutan sama dengan sang ayah yaitu Arya Pra Bali Karang Buncing, lalu diceritakan sang ayah sudah kembali ke alam sunyi dan di upacarai sesuai Tanda Mantri utama

Sekarang diceritakan Jro Nyoman Karang Samping Jeruk yang akhli asta kosala kosali suka segala pekerjaan, orangnya tinggi besar, beliau dimohon untuk membangun jembatan di Tukad Pakerisan (Sungai Pakerisan), sebelah barat Desa Bitra, utara Desa Tegallinggah. Juga dimohonkan Jro Nyoman Karang Samping Jeruk untuk meninggikan air Tukad Pakerisan dimohonkan di utara Desa Blahbatuh dan berhasil. Juga dimohonkan untuk membangun aungan (terowongan) di Desa Pering timur Desa Getasan namun aungan tersebut nungkak (mangkrak) karena pengingu (perencanaan) tidak tetap terhadap Jro Nyoman Karang Samping Jeruk, lalu dikutuk aungan tersebut oleh Jro Nyoman Karang Samping Jeruk disebut Aungan Nungkak (Terowongan Mangkrak) supaya airnya jernih. Setelah mengalir airnya dengan jernih, lalu Jro Nyoman Karang Samping Jeruk membangun pura namanya Pura Kumanak stana Sanghyang Wawu Rawuh.

Diceritakan, Desa Camenggaon yang tinggal disana bernama Jro Gede Bangbang Biaung bersama Jro Gede Tewel mendengar kesaktian Jro Nyoman Karang Samping Jeruk mereka berdua berkeinginan membangun empelan (bendungan)  dan titi (jembatan) karena beliau treh Kebo Waruga sakti sidi inucap (selalu berhasil). Lalu diundang Jro Nyoman Karang Samping Jeruk oleh Jro Gede Nyoman Biaung dan beliau Jro Nyoman Karang Samping Jeruk menyanggupi namun menunggu hari yang baik untuk mohon pamit dengan sang kakak Jro Gede Kadulu atau Arya Prabali Karang Buncing dan parahyangan Pangulu dan pura yang lain, lalu ngungsi menuju Desa Camenggon.

Setelah sampai di Camenggon dan membangun pondok di barat Desa Camenggon bernama Desa Celuk Mantri di hari Anggarkasih Medangsia, sasih ka lima, Saka Marga Sunya Geni Rupa (1035/1113M) disitu Jro Nyoman Karang Samping Jeruk memohon kehadapan Hyang Widhi supaya air naik dan diberkati, airnya menjadi besar, banyak batu hanyut dari hilir, juga kayu besar dan kecil hanyut sampai ditempat bendungan, tidak diceritakan berapa lama beliau membuat bendungan, pada suatu pagi beliau mandi di hilir tempat bekerja, lalu ada kayu mundeh hanyut dan menabrak tubuhnya dan kayu itu dihanyutkan kembali. Tidak berapa lama, lagi datang kayu mundeh dari hilir dan menabrak badannya, lalu kayu mundeh diambil dan ditanam di pinggir sungai ditempat mana beliau nunas ica sebelumnya. Lama kelamaan hidup kayu mundeh itu yang daunnya dipakai membendung air sungai, juga atas kemurahan Ida Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa, kemudian Jro Nyoman Karang Samping Jeruk membangun tempat suci di pinggir sungai di tempat awal menanam kayu mundeh bernama Pura Astawa, sekarang disebut Pura Tawa, dan beliau membangun taman yang disebut Taman Bidadari tempat ida bhatara masucian (sumber air suci). Dikutuk air itu oleh Hyang Widhi supaya tak tercemarkan dikemudian hari. Kemudian dari tempat itu jagat Camenggon dan Subak mendirikan Pura Pangulun Sri di Cengcengan, Isaka Gana rupa dahana bumi (1316/1394M). Juga membangun Pura Brahmana di Desa Batu Aji.

Setelah beberapa lama Jro Nyoman Karang Samping Jeruk menetap di Desa Celuk Mantri dan berputra tiga orang, yang tertua bernama Ni Luh Karang Tangguli, yang menengah bernama Jro Made Karang Ngenjung, yang bungsu bernama Jro Nyoman Karang Tambak. Ni Luh Karang Tengguli diperistri oleh Dalem Patemon, Pejeng, melahirkan seorang putra bernama Ida Cokorda Karang. Adik nomor dua Jro Made Karang Ngenjung mengungsi dan hidup di Desa Kapal Penarungan dan adik Jro Nyoman Karang Tambak masih menetap di Desa Celuk Mantri, beliau akhli sastra dan hukum agama (Kutara Mandawa). Sangat murah hati Ida Cokorda Karang yang tinggal di Tapesan. Entah berapa lama Jro Nyoman Karang Tambak nyadpada sama Ida Cokorda Karang menyatakan kemurahan hatinya keluar perselisihan Ida Dewa Kaleran di Sangsi supaya juga berbakti ke Puri Jagaraga, lalu Jro Nyoman Karang Tambak tidak mau tunduk dengan Cokorda Karang, lalu Cokorda Karang membuat peraturan tidak boleh ke setra kahyangan dan ayah-ayahan Desa Celuk dan tidak boleh lewat Bale Malang.

Kemudian Jro Nyoman Karang Tambak nunas ica memohon petunjuk di Pura Tawa, didengar sabda supaya membangun Palinggih Giri Putri di Desa Celuk dan ada sabda lagi tidak boleh bermusuhan dengan I Dewa Sangsi. Kemudian Jro Nyoman Karang Tambak meninggalkan Pura Tawa sambil memetik sehelai daun mundeh dibawa ke Pura Dalem Sangsi hendak mengambil tanah pura. Diceritakan dalam perjalanan menuju Pura Dalem Sangsi bertemu burung Sikep (burung elang) peliharaan Idewa Kaleran membawa senjata dan tinggal di pinggir kuburan. Melihat hal itu terhambat jalan Jro Nyoman Karang Tambak di samping Bale Malang sambil memohon kehadapan Ida Hyang Widhi lalu suasana menjadi gelap gulita diiringi hujan dan halilintar, lalu beliau menuju pajenengan ngaturan bakti ring Dalem memuja Hyang Giri Putri mohon dijauhkan dari halangan, panjang umur seketurunannya di Desa Celuk dan semoga rahayu Desa Celuk, demikian permohonannya Jro Nyoman Karang Tambak lalu beliau memungut tanah di Pura Dalem dibungkus tanah itu dengan daun mundeh.

Akhirnya kembali Jro Nyoman Karang Tambak ke selatan Bale Malang terang benderang langit saat itu dan diketahui oleh pengikut Idewa Kaleran dan mengejar Jro Nyoman Karang Tambak dengan diiringi sorak ejekan dan diserang Desa Celuk dan Jro Nyoman Karang Tambak mengetahui hal itu, lalu rakyat Celuk menghadang dengan persenjataan lengkap dan terjadi pertempuran antara Celuk dan Sangsi, diketahui oleh Cokorda Karang dan didamaikan. Dan keluar ucapan selamanya selalu tungkas (berselisih) isaka gana catur yuga geni (1346/1424M).

Tidak diceritakan berapa lama berperang, yang mengepalai Desa Celuk Mantri Jro Nyoman Karang Tambak membangun Pura Dalem bersama masyarakat Desa Celuk, daun mundeh yang dipakai membungkus tanah diletakkan di halaman Pura Dalem Celuk. Setelah selesai pengenteg linggih (upacara pura baru) di hari redite wage krulut, tilem ka 5, isaka, giri bayu pawaka rupa (1357/1435M). Ini Prakempa Pura Dalem Celuk Mantri.

Beberapa tahun setelah selesai upacara di Pura Dalem Celuk Mantri diceritakan Jro Nyoman Karang Buncing atau nama lain dari Jro Karang Nyoman Tambak menurunkan tiga putra laki-laki yang tertua bernama Jro Karang Basug, yang menengah bernama Jro Made Karang Gempel, sedangkan yang bungsu bernama Jro Nyoman Karang Buncing yang menggantikan ayahnda di Celuk Mantri. Kakaknya yang tertua kurang keakhliannya dari pada adiknya. Dan beliau Jro Made Karang Gempel diangkat menjadi bendesa (kepala desa adat).

Sekarang diceritakan Jro Nyoman Karang Buncing kawin dengan anak dari mekel Nginte bernama Ni Luh Panasan. Entah berapa lama hidup bersuami istri belum punya keturunan, karena belum mempunyai keturunan sehingga Jro Nyoman Karang Buncing jarang di rumah, suatu saat Ni Luh Panasan minggat dari rumahnya tanpa sepengetahuan Jro Nyoman Karang Buncing. Akhirnya dalam perjalanan sampai di kaki gunung Lempuyang disana beliau memohon kehadapan Hyang Widhi bila kelak mempunyai keturunan dari rahimnya dan suami setia terhadapnya, maka bersedia membangun palinggih pasimpangan di Desa Celuk, begitu hatur Ni Luh Panasan terhadap Bhatara Lempuyang. Tidak diceritakan berapa lama Ni Luh Panasan tinggal di Lempuyang, akhirnya meninggalkan Lempuyang kembali ke Desa Celuk.

Diceritakan Jro Nyoman Karang Buncing sedang memohon di Pura Tawa dikala purnama malem, ada ciri baik datang bau harum, dan ada tikus putih namanya kasturi membawa pisang dan diletakkan pisang itu dipangkuannya, lalu tikus itu pergi, pisang itu diambil dan dimakan, setelah itu Jro Nyoman Karang Buncing pulang ke rumah dan bertemu dengan istrinya Ni Luh Panasan, lama kelamaan istrinya hamil, setelah cukup umur kehamilanya, mimpi Jro Nyoman Karang Buncing. Dalam mimpinya akan melahirkan anak laki-laki dan jika lahir kelak anak itu dikasi makan pisang mas dan tidak boleh makan nasi selama tiga bulan.

Lama kelamaan lahir anak laki-laki dengan wajah tampan rupawan, setelah dewasa bernama Jro Nyoman Karang Tamba dan beliau pandai bidang obat-obatan (usada) ditambah pengiwa ajaran Bima Sakti sering diceritakan berperang di malam hari, setelah berumah tangga berputra I Gaduh Karang dan beliau mempunyai keturunan, yang tertua istri bernama Ni Luh Karang, Jro Made Karang, dan yang bungsu bernama Jro Nyoman Karang Tebel.

Keturunan Jro Nyoman Karang Tebel berumah di Gaduh Karang dan semua mempunyai banyak keturunan sampai masa kini. Maka dari itu ada soroh Gaduh Karang di Desa Celuk Mantri, keturunannya bukan Karang Gaduh, juga bukan Gaduh Karang, sebetulnya Karang ya, dan Gaduh ya. Demikian yang tertulis di prasasti.

Ini salinan prasasti dari Jro Nyoman Karang Buncing berasal dari Jro Nyoman Karang Samping Jeruk bertempat tinggal sekarang Desa Celuk Mantri, keturunannya ada di Desa Kapal dan di Desa Penarungan. Turunannya yang tinggal di Desa Celuk Mantri sudah mempunyai tempat suci stana bhatara leluhur yang awalnya tinggal di Desa Celuk, juga stana leluhur yang ada di Lempuyang, menjangan saluwang, padma rong kalih sebagai symbol bakti keturunan Ida Wijaya Katong, memang treh Brahmana wangsa, selesai disalin sukra kliwon watugunung, tanggal ping 13, sasih jiyesta, isaka 1880/1958M, (sumber: Kadek‘Romo’Mustika)

Desa Pakraman Blahbatuh

Ketua pemaksan alit I Wayan Karang, dari Banjar Tubuh, Blahbatuh mengatakan warga Sri Karang Buncing yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh berjumlah 125 KK, dari seluruh kepala keluarga tersebut, beberapa KK pengempon yang mempunyai tanggung jawab terhadap:  1) Pura Kawitan Sri Karang Buncing. 2) Pura Gaduh, Blahbatuh. 3) Pura Kurubaya. 4) Pura Batursari. 5) Pura Kumanak. 6) Pura Dalem Tunon. 7) Pura Penataran, Br Tubuh, Blahbatuh. 8) Pura Ibu, Br Tubuh, Blahbatuh. 9) Pura Melanting, Pasar Blahbatuh, Gianyar. 10) Pura Beji.

Persebaran warga di Kabupaten Gianyar: Banjar (Br) Blangsinga Blahbatuh,  Br. Bonbyu, Br. Banda, Br. Bona Kaja, Br. Tojan, Br. Blega, Br. Maspahit Keramas, Br. Medahan Keramas, Br. Sumampan Sukawati, Br. Gelulung, Br. Sakah Guwang, Br. Kubur Ketewel, Br. Mukti Singapadu, Br. Negari Singapadu, Br. Kuteri Singapadu, Br. Pekandelan Batuan, Br. Abasan, Br. Celuk Sukawati, Br. Pengambangan Batubulan, Br. Wanaya

Bedulu, Br. Kederi, Br. Tarukan Mas, Br. Mawang Kaja, Br. Mawang Kelod, Br. Batuk Demayu Singakerta, Br. Kengetan Ubud, Br. Kutuh Kelod Petulu, Br. Tunon Demayu, Br. Padang Tegal Ubud, Br. Tengah Ubud, Br. Pupuan Tegalalang, Br. Perean Tegalalang, Br. Malet, Br. Timbul, Br. Tengah Triwangsa Manuaba, Br. Kebon Kedisan, Br. Peliatan Kelusa Payangan, Br. Buntek Kerta, Br. Titiapi Pejeng, Br. Laplapan Pejeng, Br. Intaran, Br. Puseh, Br. Pande, Br. Pegembungan Pejeng, Br. Tegal Suci Tampaksiring, Br. Papadan Petak Bitera, Br Sumita Bitra, Br. Siladan Siangan, Br. Pas Dalem, Br. Pagesangan, Br. Kawan Babakan, Br. Serongga, Br. Cebang, Br. Lebih Kaja, Br. Tegal Tulikup, Br. Pinda Saba, Br. Basangambu, Br.

Uma Kuta Pejeng Kangin.

Kabupaten Badung

Merajan Kubon Karang Buncing, Sibang Kaja

Dalam Lontar Prasasti Sira Arya Karang Buncing terdiri dari 14 lembar dialihaksara oleh Drs. I Nyoman Sukada (1989:6) dijelaskan, Bhatara Siwa beryoga lahir manusia Ki Prabali Karang, beliau berputra laki perempuan, beliau ini yang menurunkan Ki Prabali Karang Buncing sampai masa kini. I Prabali Karang Buncing yang tinggal di Bedugul memang milik I Prabali Gaduh di Gaduh, lahir seorang putra yang bernama Sri Kebo Teruna, sebagai mahapatih Dalem di Bali. Beliau I Gusti Karang Buncing banyak mempunyai hamba, banyak mempunyai putra, sampai I Gusti Bibi Aji Karang Kedi, banyak mempunyai putra, semua sudah menempati masing desa, semua dikasi para abdi, menjadi Prabali Karang dari dahulu sampai kini Anaknya I Gusti Karang Buncing bernama I Kebo Iwa sebagai mahapatih Dalem Bedahulu. Demikian asal mula I Gusti Karang Buncing, I Prabali Karang Buncing serta yang didharmakan I Gusti Pasung Rigih, dan I Gusti Pasung Giri menjadi mahapatih di Dalem Bedahulu.

Diceritakan keturunan I Gusti Karang Buncing, yang mengungsi di Desa Sibang, tiga anaknya yang satu bernama Si Gede Mangku Mica Gundil, berasrama di Srijati, putri beliau satu dihaturkan kepada Ida Pranda Sakti Manuaba, mempunyai putra seorang diri bernama Ida Pranda Teges, berasrama di Srijati merupakan guru spiritual (surya) Si Gede Mangku Mica Gundil, Si Abug Mahong berasrama di selatan Pura Dalem Denpasar, Si Gede Karang berasrama di utara Pura Dalem Denpasar di Sibang Kaleran. Semua mempunyai tempat masing-masing di sekitar Desa Sibang, selesai.

Setelah kalahnya Desa Sibang oleh I Gusti Agung Made Kamasan, serta I Gusti Gede Putu Mambal, Si Gede Mangku Mica Gundil membelot kepada I Gusti Agung Made Kamasan, Si Abug Mahong terus ngungsi ke Desa Tegal Narungan bersama seluruh keturunannya sampai sekarang. Si Gede Karang wafat di sebelah barat kayu kepuh besar. Keturunan Si Gede Karang dan putranya mengungsi ke Desa Peliatan, serta ada yang mengungsi mencari tempat lain, serta ada putranya masih tetap tinggal di Sahibang, yang tertua seperti Si Putu Gendu, Si Putu Gendu anak dari Kompyang Grudug, Si Made Nesa, Si Luh Nyoman Nesa, diambil oleh Puri Praupan, Si Ketut Nesa Loncing, Si Kompyang Grudug, mempunyai putra Si Wayan Kenak semua masih di Desa Sahibang, selesai.

Si Gede Bandesa Sahibang, yang mengungsi dari Desa Sahibang ke Desa Peliatan sejak tahun Saka 1392/1470 M, banyak putranya masih di Peliatan. Disamping itu ada yang mengungsi ke Manuaba, setelah lama menetap di Manuaba, ada putra beliau yang bernama I Karsa. I Karsa mempunyai dua orang putra laki laki bernama I Goyal, adiknya bernama I Jaya, dijadikan Pemangku di Pura Sakti Manuaba, setelah menjalani hidup suci, dan berguru di Geriya Ubud, mempunyai putra dan putri 8 orang.

Jumlah keturunannya yang mengampu Merajan Kubon Karang Buncing di Sibang Kaja tercatat 4 Oktober 1989 sebanyak 103 KK.

Pura Panti Karang Buncing Kuta

Ketua warga, I Made Sunarca, mengatakan persebaran keturunan Sri Karang Buncing dari Blahbatuh ke daerah Kuta tercantum dalam Lontar Piagem Dukuh Gamongan, berbunyi:

Mangke caritanen Treh nira Sri Karang Buncing, risapamadegan nira Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, anugrahaken desaparadesa maring sira Bandesa Karang Buncing ndyata, Karang Buncing Kuta ngamong pradesa Jimbaran, mwah Bandesa Silabumi, Bandesa Sraya, Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, mwang Bandesa Sibetan, mula Treh Sri Karang Buncing, mapalarasan saking Batahanyar.

[Berikut diceritakan treh beliau Sri Karang Buncing, di zaman pemerintahan Baginda Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, menganugrahkan kepada Bandesa Karang Buncing, sebagai pucuk pimpinan di desa desa, Karang Buncing Kuta, menjadi pucuk pimpinan desa wilayah Jimbaran, serta Bandesa Silabumi, Bandesa Seraya, Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, juga Bandesa Sibetan, memang keturunan Karang Buncing, memang asalnya Batahanyar. Dalam Usana Bali dijelaskan, kang panghulu kasinungan Jro Gede Karang Dimade demikang juesta ring Sema Kuta Negara, artinya adalah orang kepercayaan bernama Jro Gede Karang Dimade yang utama bertempat tinggal di daerah suci Desa Kuta.

Yang dimaksud tempat suci di sini kemungkinan Pura Sarin Buwana, di Desa Jimbaran, Kuta Selatan. Pura Sarin Buwana termasuk Kahyangan Jagat Jimbaran bekas pertapaan Sri Batu Putih kakak kandung dari Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) raja kerajaan Batahanar (Bedulu). Sejarah keberadaan Pura Sarin Buwana dan beberapa nama tempat yang ada di wilayah Jimbaran tertulis sangat jelas dalam Lontar Piagem Dukuh Gamongan. Benda tinggalan kuno yang terdapat di Pura Sarin Buwana berupa: lingga yoni jangkep, arca perwujudan dewa-dewi, arca siwa bhairawa, dan puluhan arca batu kecil. Pura Sarin Buwana di-mong oleh Warga Sri Karng Buncing yang ada di Jimbaran dan pangempon pura seluruh umat Hindu di Desa Jimbaran dan beberapa kelompok warga berasal dari luar Desa Jimbaran. Demikian dikatakan oleh kelian Pura Sarin Buwana, I Made Sudiarsa, Banjar Ubung, Jimbaran.

Setelah Ki Tambyak kalah sebagai penjaga keamanan wilayah Jimbaran serta keturunan Sri Batu Putih (Dalem Putih) yaitu Dalem Petak Jingga juga tidak jelas kehidupannya. Pasca peralihan kekuasaan masih terjadi kekacauan di desa-desa yang ada di Bali, untuk meredam kemarahan masyarakat Bali Mula oleh Sri Kresna Kepakisan Baturenggong maka diangkatlah keturunan Sri Karang Buncing sebagai kepala desa yang ada di Bali salah satunya Karang Buncing Kuta ngemong pradesa Jimbaran artinya Karang Buncing Kuta sebagai kepala desa yang mewilayahi dari Kuta sampai di Jimbaran. Dari Kuta persebarannya ke Desa Jimbaran, Munang Maning, Tainsiat, Denpasar, dengan jumlah kepala keluarga 150 KK, ikut mengampu Pura Panti Sri Karang Buncing yang terletak di Jalan Bunisari, Kuta.

Peninggalan kuno yang terdapat di Pura Panti Karang Buncing Kuta berupa batu kepelan kebo iwa (batu kepalan tangan Kebo Iwa) dengan diameter sekitar 60 cm, tinggi 125 cm yang distanakan di palinggih kepelan. Tinggalan batu ini termasuk salah satu peninggalan kuno yang dilindungi Dinas Kebudayaan di Wilayah Kecamatan Kuta. Sebelum dipindah ke Pura Panti tahun 1994, kepelan ini berada di muka halaman kelas SD 3 Kuta, sebelah Hotel Ida Beach Inn. Karena beberapa murid sakit tanpa sebab yang jelas sampai berminggu-minggu, lalu orang tuanya minta petunjuk dari paranormal untuk nunas tirta di palinggih batu akhirnya mereka berangsur pulih kembali. Sebelum batu kepelan itu dipindah dari halaman SD 3 Kuta, yang jaraknya sekitar 500 meter dari Pura Panti.

Memang dari dulu tetua warga mendengar cerita itu dari masyarakat sekitar, bahwa batu itu merupakan kepelan kebo iwa,.Karena tiada catatan yang pasti menyebutkan tentang keberadaan batu itu, maka tetua warga mengabaikannya. Pada suatu malam sehabis pujawali di Pura Panti, tetua dari Blahbatuh dan Desa Sesetan bersama beberapa warga mendatangi SD 2 itu, setelah upakara di haturkan di palinggih batu kepelan tidak begitu lama salah seorang tetua dari Sesetan kerauhan, dipinjam badan raganya dalam menyampaikan pesan dan kesan dari alam lain, diceritakan Kebo Iwa mengadakan perjalanan ke pantai selatan, wilayah Jimbaran, saat lagi air surut banyak muncul ceglongan (palung pasir kecil) yang masih berisi air di dalamnya lalu beliau mandi di salah satu palung kecil itu, karena saking larut dalam keheningan di palung pasir itu, tanpa disadari air pasang terjadi, karena beliau mempunyai suatu ajian tertentu sehingga Si Kebo Iwa tidak pernah tersentuh oleh air pasang itu, lalu turun sabda dari “ajik dewa brahma” untuk ingat diri, kalau tidak Pulau Bali ini akan tenggelam.

Ketika Kebo Iwa sedang membendung daratan Kuta dan Jimbaran untuk menghubungkan Bali dengan Bukit Jimbaran di saat memindahkan dua bongkahan batu bukit dengan sebatang pohon kelor, batang kelor itu patah dan patahan batu itu jatuh di Pantai Bualu sekarang disebut Nusa Dua. Kebo Iwa mengepal tanah bukit lalu dilempar dan jatuh di halaman SD 3 Kuta. Setelah adanya petunjuk tersebut beberapa hari kemudian batu kepelan di halaman SD 3 di-tuwur dan distanakan di Pura Panti saat kini.

Tetua warga yang diceritakan secara lisan oleh orang tuanya, mengungkapkan di samping selatan Pura Panti dulunya berdiri sebuah Bale Banjar yang disebut Banjar Gianyar. Karena per kembangan pemerintahan selanjutnya disamping populasi warga kian bertambah, maka tanah bale banjar itu dijadikan tempat tinggal oleh keturunannya. Demikian untuk warga Sri Karang Buncing yang ada wilayah Kuta dan Jimbaran, selain mengempon Pura Panti Karang Buncing, Kuta dan Pura Sarin Buwana, Jimbaran, juga mengempon di masing-masing merajan dewa hyang milik beberapa kelompok keluarga.

Pura Gaduh Bindu, Mekar Bhuana

Menurut tetua warga, I Ketut Seninnatha, dari cerita orang tuanya terdahulu, persebaran warga yang ada di Desa Adat Bindu berasal dari

Blahbatuh, yang lama kelamaan mendirikan satu tempat suci yang disebut Pura Gaduh Bindu. Keturunan yang mengampu Pura Gaduh Bindu berjumlah 18 KK yang tersebar dalam beberapa Banjar yaitu Banjar Pane, Banjar Badung Sibang, Banjar Senggu Sibang, Banjar Bindu Mekar Bhuana.

Persebaran warga di wilayah Kabupaten Badung berikut: Banjar Tainsiat Denpasar, Banjar Belaluan, Br. Kaliungu Kelod, Br. Kayumas Kaja, Br. Pemeregan, Br. Tampak Gangsul, Br. Gemeh, Br. Kelandis, Br. Munang Maning, Br. Tegehe Tonja, Br. Sanglah, Br. Ambengan, Br. Pasekan, Jl Raya Sesetan No 67 Denpasar, Br. Jematang, Br. Pembetan Kapal, Br. Tangeb Kapal, Br. Uma Kapal, Br. Buruan Sanur, Br. Delod Peken Sanur, Br. Intaran Sanur, Br. Langon Sanur, Br. Ubung Jimbaran, Br. Tegal Kuta, Br. Benah Ubung Kaja, Br. Belusung Peguyangan, Br. Semaga Penatih, Br. Pohmanis Penatih, Br. Pasek Jagapati, Br. Jaba Jero Jagapati, Br. Kemulan Jagapati, Br. Angantaka, Br. Aseman Sedang, Br. Sigaran Mambal, Br. Taman Tegal Darmasaba, Br. Bindu Mambal, Br. Tamas, Br. Baturining Mambal, Br.

Darmasaba, Br. Mengwi Sibang Gede, Br. Blumbang Penarungan, Br. Gulingan Tengah Mengwi, Br. Kuhum Mengwi, Br. Beringkit, Br. Gambang Mengwi, Br. Tinggan Pelaga.

Pura Karang Buncing, Kapal

Pura Karang Buncing Kapal terletak di Jalan Jempiring, sebelah barat Banjar Pemebetan atau sekitar 30 meter tenggara Pura Sada, Kapal. Dalam Prsasti Karang Buncing, Ki Kebo Iwa disusun oleh Ketut Sudarsana (2006: 8) disebutkan, Kerajaan Bali tatkala itu diabih oleh Mahapatih Pasung Grigis dan Patih Kebo Iwa serta Ki Patih Ulung. Pada suatu ketika beliau Raja Bali Astasura Ratna Bumi Banten bersabda kehadapan Ki Kebo Taruna, sabda beliau: “Wahai engkau Ki Kebo Taruna, sekarang aku mengutus dirimu untuk menuju kahyangan Bhatara Purusada yang terletak di Desa Kapal, tugasmu tiada lain adalah untuk merenovasi candi yang ada disana, Ya paduka tuanku raja, hambamu ini tidak akan berani menolak tittah paduka”.

Akhirnya Ki Kebo Iwa segera berangkat menuju Desa Kapal diiringi oleh Pasek Gelgel, Pasek Tangkas, Pasek Bendesa, Pasek Gaduh yaitu pada tahun Isaka 1260/ 1338 Masehi, setibanya di Kapal akhirnya bleiau bersama rombongan langsung mengambil batu bata ke Desa Nyanyi. Disebutkan pula bahwa dewasa renovasi Candi Purusada Kapal adalah pada hari Rabu Umanis Prangbakat, sasih kapat (sekitar bulan September – Oktober). Tidak dikisahkan lamanya beliau tinggal di Desa Kapal, beliau juga tidak lupa membangun palinggih Dharma Pengastulan Hyang Kawitan beliau yang letaknya di sebelah tenggara dari Kahyangan Purusada, tatkala itulah beliau Ki Kebo Taruna mengeluarkan bhisama terhadap keturunan beliau yang lebih dikenal dengan sebutan Treh Karang Buncing yaitu wajib memelihara dan menghaturkan sembah bakti pada palinggih itu.

Runutan Palinggih Pura Karang Buncing, Meru Tumpang Kalih Linggih Hyang Kawitan, Pasambyanagn Papelik, Gedong Linggih Bhatara Kebo Iwa dan Palinggih Panglurah, Pujawali piodalan di Anggarkasih Prangbakat, pangamong keluarga Jero Mangku Wayan Sita, dengan 10 kepala keluarga.

Kabupaten Jembrana

Sekretaris Warga Sri Karang Buncing, Kabupaten Jembrana, I Wayan Suarma menjelaskan, secara pasti tak diketahui persebaran warga yang ada di wilayah Jembrana, hanya diperkirankan melalui darat dan ada persebaranya melalui laut. Begitu pun keberadaannya di tempat sekarang kedatangannya dalam periode yang berbeda-beda. Turunya di Pelabuhan Perahu Lelateng menyebar ke 3 (tiga) lokasi yaitu, 1) Kelurahan Banjar Tengah. Lama kelamaan dari Banjar Tengah membuat Dadiya di Melaya di Banjar Sari Kuning. 2) Kelurahan Baler Bale Agung, terletak sebelah selatan RS Negara. Dari Kelurahan Bale Agung lama kelamaan karena ada pembukaan hutan untuk dijadikan pertanian, lalu ada keluarga yang ikut dalam pembukaan hutan, yang lama kelamaan mendirikan Pura Dadiya di Desa Baluk. Dari Desa Baluk karena tranportasi lancar membuka Dadiya baru di Desa Tuwed. Masa kini Pura Dadiya yang dimiliki oleh Warga Sri Karang Buncing di Kabupaten Jembrana terletak di 1) Dadiya Mendoyo. 2) Dadiya Berangbang. 3) Dadiya Kebon. 4) Dadiya Banjar Tengah. 5) Dadiya Baluk. 6) Dadiya Tuwed. 7) Dadiya Sari Kuning. 8) Dadiya Kedisan. 9) Dadiya Pergung. 10) Dadiya Berawan Tangi. 11) Dadiya Manis Tutu. Jumlah kepala keluarga keturunan Sri Karang Buncing yang ada di Kabupaten Jembrana berjumlah 250 KK.

Dadiya Karang Buncing, Mendoyo Dangin Tukad

Menurut tetua warga I Ketut Meder, berdasarkan penuturan orang tua yang pernah diwawancarai, sekitar abad ke-18 ada tiga orang keluarga Tegal Mengkeb, Tabanan merantau ke Jembrana tepatnya di Desa Mendoyo Dangin Tukad. Saat itu penduduk Desa Mendoyo Dangin Tukad masih jarang, boleh dikatakan desa itu baru berdiri. Alamnya masih asri tetapi daerahnyaa rendah yang sering terendam banjir.

Setelah beberapa tahun bermukim di Mendoyo Dangi Tukad, dua orang tak betah dan mendengar kabar di Berangbang ada pembukaan hutan, lalu kedua orang itu pindah ke Berangbang mengadu nasib ikut membuka lahan pertanian. Karena daerah itu subur mereka betah tinggal di sana dan berkembang sampai sekarang menjadi puluhan keluarga, yang sekaligus meyakini penyungsungannya di Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Blahbatuh, Gianyar.

Dan yang masih tinggal di Mendoyo Dangin Tukad berkembang menjadi beberapa keluarga dan satu diantaranya pindah dan menetap di Desa Pergung Kecamatan Mendoyo yang juga bagian dari Warga Sri Karang Buncing.

Dadiya Kedisan Yeh Embang asal mulanya berasal dari Bangli persebaranya melalui darat. Sedangkan Dadiya Berawan Tangsi asal leluhurnya dari Karangasem (Tuwed) karena waktu Gunung Agung meletus lalu mengungsi ketempat sekarang.

Persebaran warga di Dusun (Banjar) untuk wilayah Kabupaten Jembrana: Banjar Kebon, Br. Banyubiru, Br. Satria, Br. Berangbang, Br. Mendoyo Dangin Tukad, Br. Yeh Embang Kedisan, Br. Yeh Buah, Br. Sari Kuning, Br. Baluk, Br. Tengah.

Kabupaten Buleleng

Pura Puseh Tingkih Kerep, Desa Pegadungan

Tetua warga, Jro Nyoman Tirta, bertempat tinggal di Dusun Asah Panji, Wanagiri, mengatakan, secara pasti memang tidak ditemukan keberadaan Pura Puseh Tingkih Kerep itu, namun menurut cerita tetua, asal mula leluhur dari Gamongan, Karangasem, mengungsi ke Pegadungan sebanyak tiga orang yaitu, I Tingkreb, I Gede Tangkas, dan I Gede Balon. Lama kelamaan keluarga mereka menyebar ke Dusun Taman Sari, Desa Padang Muliya, akhirnya mendirikan Pura Dadiya Kawitan Dukuh Gamongan. Dari Padang Mulia menyebar ke beberapa desa antara lain, Desa Wanagiri, Desa Pancasari, Desa Lemukih, Desa Tegal Linggah, Desa Gitgit, Kota Singaraja, Desa Panji dan ke Desa Toli-Toli (Sulawesi Tengah).

Jumlah kepala keluarga turunan dari tiga nama leluhur tersebut di atas perkembangannya sampai sekarang berjumlah 350 KK. Dimana sebelumnya warga setempat bingung mencari identitas nama leluhur mereka yang patut di puja didalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi. Selama 15 tahun terjadi perdebatan pencaharian jati diri warga dengan berbagai jalan ditempuh bahkan masuk bui pun di alami dalam proses pencaharian itu. Akhirnya ada beberapa kelompok keluarga masuk ke Warga Pasek, beberapa kepala keluarga masuk ke Warga Dalem (arya), dan beberapa kelompok keluarga masih meyakini turunan Dukuh. Belakangan sekitar tujuh tahunan baru menyadari Dadiya di Taman Sari ada keterkaitan  ke Desa Gamongan. Karena tidak tahu ada keterkaitan antara Dukuh Gamongan dengan Pura Kawitan, Blahbatuh. Yang selama ini keluarganya belum pernah tangkil hatur sembah ke Pura Kawitan di Blahbatuh, hanya sampai di Desa Gamongan. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan tangki hatur sembah” kata Jro Nyoman Tista, menyudahi informasi ini.

Menurut tetua warga Drs. I Ketut Sutarja, jumlah Dadiya yang ada di Kabupaten Buleleng sebanyak 55 Dadiya. Persebaran warga yang ada di Kabupaten Buleleng: Br. Tamblang Kubu, Br. Kubu Anyar, Br. Bulian Kubutambahan, Br. Cemara Bulian, Br. Siana Depaha, Br. Depaha, Br. Bila Kanginan, Br. Menasa Sinabun, Br. Menyali Sawan, Br. Sudaji, Br. Peken Sangsit, Br. Sema Sangsit, Br. Tamansari Padangmulia, Br. Longsegehe, Br. Katiasa Pegadungan, Br. Lebah Siung Panji Anom Sukasada, Br. Bubuan Seririt, Br. Uma Patemon, Seririt, Br. Galiran Bakti Seraga, Br. Penataran Buleleng, Kampung Widiasari, Br. Tamansari, Br. Jawa, Br. Jagaraga, Br. Sepang Busungbiu, Br. Yeh Panes, Br. Samirenteng, Br. Dauh Desa Tambak, Br. Kelodan Jineng Dalem, Br. Bukit Jineng Dalem, Br. Tejakula, Br Tejakula Kelodan, Br. Tejakula Tengah, Br. Les, Br. Depaha Tejakula,

Kabupaten Tabanan

Pura Dadiya Mandul, Banjar Mandul, Luwus

Nyoman Sada, tetua Warga Karang Buncing di Desa Mandul, mengungkapkan, leluhur mereka berasal dari Desa Kapal, daerah Pura Sada, lalu mengungsi ke tempat sekarang. Pertama datang dan menetap di Desa Mandul sebanyak 3 KK dan 2 KK tinggal di Banjar Palian, tetapi Dadiya nya tetap di Mandul, Luwus, Tabanan. Saat kini perkembangan populasi warga di Mandul berjumlah 15 KK. Dari dahulu keluarga besar di Mandul tetap mengampu Pura Kawitan Sri Karang Buncing di Blahbatuh dan Pura Lempuyang Gamongan.

Persebaran warga di Kabupaten Tabanan: Banjar Batu Tampik Kediri, Br. Mal Mundeh, Br. Tanjung Beraban, Br. Bukit Catu Baturiti, Br. Pemuteran, Br. Mandul Luwus, Br. Bangli Baturiti, Br. Jeruk Legi, Br. Lebe Perean, Br. Abian Luwang, Br. Apuan Baturiti, Br. Tegal Mengkeb Selemadeg, Br. Soka Senganan, Br. Klecung Selemadeg, Br. Bunyuh Perean Marga, Br. Penge Tua Marga, Br. Basang Be Marga, Br. Pajaan Pupuan, Br Tumagading Wanasari Penebel, Br. Jelijih Sanda Pupuan, Br. Selat Perean. 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More