Cover Buku Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Hasil Buruan 27 tahun,Untuk mengumpulkan data" Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.

Foto Tahun 1992, bekas Pura Penataran Lempuyang

Pura Kuru Baya

Pura Kuru Baya terletak di barat Pura Gaduh, Blahbatuh. Pura ini tempat Ki Kbo Iwa mendapat wangsit bahaya akan terjadi firasat buruk yang akan menimpanya,Tapi karena satya wacana dan mengemban tugas raja beliau akhirnya berangkat juga, maka terjadilah kenyataan pirasat itu dan beliau menemui ajal di tanah Jawa.

Pura Kawitan Blahbatuh

Pura Kawitan Yang terletak di barat daya Kota Gianyar

Bale Panjang Kebo Iwa

Bale Panjang Kebo Iwa di Jaba Pura Puseh Beda Sudimara,Tabanan dikisahkan dalam Prasasti Maospahit bahwa bale ini dibuat untuk Kebo Iwa dimana dulunya sendi akhir berada jauh ke barat sekitar 300 meter

Simbol Penghulu Sri Karang Buncing

Simbol

Pak Made Lagi Jualan Buku

Pak made mempromosikan buku terbitan pertamanya

Pembuatan Tapel Kebo Iwa

Process pembuatan tapel Kebo Iwa berlokasi di gianyar oleh bapak Tjokorda

Senin, 05 September 2011

MAKNA TEOLOGIS DALAM PEMBERDAYAAN UMAT HINDU DI KOTA DENPASAR

Peranan Pandita Bali Aga dalam pemberdayaan umat Hindu di Kota Denpasar sesungguhnya mengandung makna teologis, yakni eksistensi Pandita sebagai perwujudan Tuhan di dunia (Siwa Sakala) atau dalam Tattiriya Upanisad I.11 disebut Acharyadevo bhava (seorang Pandita adalah perwujudan dewata). Oleh karena itu, disiplin diri dan sikap batin seorang Pandita merupakan landasan fundamental terutama dalam praktik kepanditaan menurut tradisi aguron-guron di Indonesia, khususnya Bali. Perlu ditegaskan bahwa sistem kepanditaan di Indonesia bersifat saiwaistik dengan warna tantrik (Titib, 2001:54). Dalam sistem ini Pandita hendaknya mampu menyucikan diri, membakar segala kekotoran batin, dan menjadikan dirinya sebagai media untuk mewujudkan Siva dalam tubuhnya.
Dalam kitab Maitreyi Upanisad (2.1) dinyatakan “dehi devalaya proktam, Sajiva kevalam sivah” (Badan jasmani adalah tempat suci, jiwa adalah Siwa yang Maha Kuasa). Usaha untuk menyucikan diri terus menerus melalui berbagai sadhana atau latihan rohani ditegaskan dalam berbagai kitab yang menguraikan disiplin hidup seorang Pandita seperti, Silakrama, Siwasasana, Wratisasana, Tattwajnana, Mahajnana, Wrhspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Slokantara, Sarasamuccaya, dan lain-lain. Sadhana-sadhana spiritual bagi seorang Pandita adalah upaya rohani untuk mencapai kesucian diri dan menjadikan dirinya sadhaka.  Dengan sikap batin yang mantap terhadap ajaran agama Hindu maka seorang Pandita akan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dalam membina umat Hindu mencapai tujuan hidupnya “mokshartam jagadhita ya ca iti dharma”, mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin berdasarkan kebenaran (dharma).
Dalam kaitannya dengan pemberdayaan umat Hindu di Kota Denpasar, secara teologis peranan Pandita Bali Aga dapat dibedakan menjadi tiga aspek penting, yaitu  Sang Patirthaning Jagat, Loka Pala Sraya, dan Sang Adi Guru Loka. Makna pertama merujuk pada peranan Pandita untuk memimpin umat dalam hidup dan kehidupannya dalam mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Makna kedua merujuk pada peranan Pandita untuk melakukan pemujaan penyelesaian upacara Yajna sesuai dengan ketentuan sastra agama. Sedangkan makna ketiga merujuk pada peranan Pandita dalam membimbing dan membina umat Hindu untuk mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Hindu sebagaimana tertuang dalam sastra-sastra agama.

7.1. Sang Patirthaning Jagat

Seorang Pandita yang telah melaksanakan diksa secara teologis telah melalui proses pentransferan pengetahuan ketuhanan (brahmavidya) selama proses aguron-guron atau parampara berlangsung (Titib, 2001:51). Dengan demikian seorang sulinggih atau pandita dipandang telah memahami pengetahuan suci Veda. Makna ini juga tampak jelas karena salah satu prosesi yang terkait dengan eksistensi kesulinggihan adalah Ngelinggihang Veda, artinya sang Pandita telah mensthanakan Veda dalam dirinya. Dengan demikian seorang Pandita adalah berbadankan pengetahuan suci (satya) yang melingkupi jiwa, pikiran, perkataan, dan perbuatannya. Satya adalah dharma yang tertinggi seperti dijelaskan dalam Slokantara “… tan hana dharma lewiha sangkeng kasatyan” (..tidak ada dharma yang lebih tinggi dari satya). Maka dari itu, seorang Pandita juga adalah pewujudan dari Sang Hyang Dharma, lambang kebenaran dan penegak dharma di bumi (Miarta, 2007:185).
Hindu adalah kebenaran yang abadi dan hakiki, disebut sanatana dharma. Dalam hal ini dharma menjadi dasar, landasan, sekaligus tujuan bagi umat Hindu dalam mengarungi kehidupannya. Dharma adalah sumber kebenaran, sebagai widya yang mencerahi kehidupan manusia dari kegelapan akibat nafsu-nafsu indria. Mengingat kebenaran harus menjadi dasar dari segala tindakan manusia Hindu, maka aktivitas umat Hindu harus dilaksanakan dengan pengetahuan yang benar (jnana); dharma, norma-norma kebajikan; wairagya, tidak terikat oleh hawa nafsu; dan aeswarya, berkeadaan mulya (Aji Sangkya, 1947:19). Melalui keempat jalan inilah manusia akan mencapai kebahagiaan lahir dan batin.



Ida Pandita Dukuh (3 dari kiri) Saat melakukan Patirthan di luar Bali ( India)


Tugas seorang Pandita adalah untuk memimpin masyarakat dalam mencapai kebahagiaan lahir dan batin tersebut. Ini merupakan salah satu tujuan dari diksa sebagai disebutkan dalam Agastya Parwa, 391, ikang kadiksa mwang upadesa sang yogiswara ya rakwa wenang lumepasaken ikang manusa” (‘orang yang telah diinisiasi (diksa) dan mendapatkan petunjuk hidup dari seorang Yogiswara konon yang dapat melepaskan belenggu umat manusia’). Sloka ini menegaskan keutamaan seorang Pandita yang telah mendapat diksa. Hal ini berkaitan erat dengan eksistensi Pandita sebagai Sang Satyawadi, yaitu orang suci yang menghayati satya dan mewartakannya kepada umat Hindu. Satya sebagai kebenaran tertinggi menjadi syarat terwujudnya kebijaksanaan dan kebahagiaan. Seorang Pandita yang telah melaksanakan satya dalam hidupnya, maka kebijaksanaan dan kebahagiaan pasti akan diperoleh. Sebab di mana ada kebenaran di sana ada pula pengetahuan sejati (cit) dan di mana ada pengetahuan sejati, di sana ada kebahagiaan sejati (anandam) (Miarta, 2007:184). Jadi, makna teologis yang terkandung bahwa seorang Pandita adalah sumber kebenaran, pengetahuan, dan kebahagiaan sejati (Sat Cit Anandam).
Pandita yang telah menjadikan dirinya sebagai sumber Sat Cit Anandam adalah tempat paling utama bagi umat untuk memohon penyucian dan kebahagiaan hidup. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Kakawin Bhomantaka (III.26), sebagai berikut “Dharma dharmaning ri sang Pandita mahardika pinaka pathirtaning sarat” (‘dalam hal dharma atau kewajiban seorang Pandita yang sempurna merupakan tempat memohon air kehidupan, penyucian, dan kebahagiaan hidup masyarakat). Tugas (swadharma) Pandita dalam masyarakat kehidupan masyarakat adalah sebagai tempat memohon air kehidupan atau amerta, penyucian, dan kebahagiaan hidup.
Amertha adalah air kehidupan yang dimiliki oleh para dewa. Hal ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam cerita Samudra Manthana atau pengadukan lautan susu dalam cerita Adi Parwa. Dalam cerita tersebut bahwa amertha ini diperebutkan oleh para dewa dan asura dan para dewa adalah pemenangnya. Cerita ini semakin menegaskan makna teologis Pandita sebagai Siwa Sakala, yakni perwujudan Siwa di bumi. Artinya, apabila amertha adalah milik para dewa (Siwa)
maka seorang Pandita sebagai perwujudannya di dunia adalah wakil Siwa di dunia untuk memberikan amerta atau air kehidupan kepada masyarakat.
Demikian juga dengan penyucian (samskara) yang juga menjadi tugas seorang Pandita. Hal ini secara simbolik diwujudkan dengan pembuatan Tirtha oleh Pandita yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang terkait dengan penyucian. Tirta misalnya, digunakan untuk menyucikan banten sebelum dipersembahkan. Hal ini disebutkan dalam lontar Kusuma Dewa salwir bebanten yan tan matirtha karyan Pandita Putus tan ketampi aturannya“, yaitu segala sesajian/bebantenan yang tidak disucikan oleh tirta yang dibuat oleh Pandita utama, tidak akan diterima persembahannya. Petikan sloka ini memberikan kejelasan bahwa seorang Pandita melalui tirtha suci yang dibuat (ngarga) bersifat menyucikan seluruh sarana upacara dan tanpa tirtha persembahan itu tidak akan diterima oleh para dewa. Dengan demikian Pandita juga menjadi penghantar upacara atau persembahan yang dilakukan umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.
Bagi seorang Bhakta, persembahan, doa, dan persembahyangan merupakan sarana untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin.  Dalam keyakinan seorang bhakta, para dewa adalah pengatur gerak kehidupan dunia ini, seperti halnya matahari menerangi dan mempengaruhi kehidupan dunia melalui sinarnya. Bagi seorang bhakta anugerah akan diperoleh dengan mengadakan pemujaan serta persembahan kehadapan para dewa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Bhagavadgita IV, sloka 12.

Kanksantah karmanam siddhim
Yajanta ih devantah
Ksipram hi manuse loke
Siddhir bhavati karmaja.
Terjemahan:
Mereka yang menginginkan hasil dari pekerjaannya di atas dunia ini akan menyembah para dewa, karena dengan cara demikian hasil dari sesuatu pekerjaan adalah mudah didapatkan di dunia ini.



Angerah bagi seorang bhakta yang tulus juga diungkapkan dalam Bhagavadgita X, sloka 22, sebagai berikut.
“Ananyas cintayan to mam,
ye janah paryupasyate,
tesam nityam bhiyuktanam,
yogaksemam wahami aham”.

Terjemahan:

tetapi mereka yang hanya memujaKu selalu, merenungkan Aku selalu, akan Kuberikan apa yang mereka tidak punya dan akan Kujaga segala yang mereka miliki.

Dalam kedua sloka tersebut tersirat bahwa orang yang selalu Bhakti kepada Tuhan dengan segala kesungguhan dan kepasrahan akan mendapat kasih Tuhan, yaitu dipenuhi keinginannya dan dijaga apa yang dimiliki. Dalam Bhagavadgita, juga disebutkan bahwa “Orang yang berbhakti dengan mantab dan tidak tergoyahkan kepada-Ku, dialah yang amat kucintai” (Drucker, 1996:25). Bhakti adalah penyerahan total untuk mendapatkan cinta Tuhan. Dalam hal ini dikenal sebuah istilah “manusa bhakti dewa asih” (manusia berbakti untuk mendapat kasih Tuhan). Hanya dengan kasih Tuhan manusia dapat hidup dengan penuh kebahagiaan dan kedamaian. Dengan menghantarkan umat Hindu agar persembahannya diterima dan mendapatkan anugerah Tuhan, maka secara simbolik seorang Pandita adalah pemimpin umat untuk mewujudkan bhakti-nya kepada Tuhan. Dengan demikian umat Hindu akan mendapatkan anugerah yang berguna bagi kebahagiaan hidupnya lahir dan batin. Jadi, secara teologi Pandita adalah perantara yang menghubungkan doa dan persembahan manusia dengan Tuhan.
Makna berikutnya bahwa seorang Pandita yang utama adalah pembebas manusia dari belenggu kesengsaraan. Hal ini dapat dimaknai bahwa seorang Pandita dalam konsep pemberdayaan umat Hindu secara teologis juga memiliki kewajiban moral terhadap kondisi kehidupan masyarakat. Hal ini kiranya tidak berlebihan karena dalam Kakawin Ramayana I.49 dijelaskan:

Brahmana ksatrya padulur, yatinya parasparopasarpanaya,
 Wiku tanpa natha ya hilang, tanpa Wiku kunang ratu wisirna”.
Terjemahan:
Pandita tanpa penguasa harus bergandengan, sesungguhnya keduanya harus saling bahu membahu dalam melaksanakan kewajibannya. Pandita tanpa penguasa akan lenyap, sebaliknya penguasa tanpa Pandita juga akan lenyap.

Hubungan antara Pandita dan Natha memberikan suatu gambaran bahwa seorang Pandita memiliki tanggung jawab moral dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Seorang Pandita harus menegakkan prinsip-prinsip dharma dalam pengelolaan pemerintahan sehingga terwujud pemerintahan yang adil dan bijaksana. Adapun cara yang dilakukan adalah membangun religiusitas di masyarakat sehingga seluruh masyarakat dan juga penguasa melaksanakan prinsip-prinsip kebenaran dalam kehidupan. Seorang Pandita yang utama memancarkan cahaya spiritual yang mempengaruhi umat dan lingkungannya. Terkait dengan hal tersebut, Kakawin Ramayana menegaskan “ring Ayodya subhageng rat, kakwehan sang maharddhika susila” (masyarakat Ayodya makmur sejahtera karena banyak ada Pandita yang utama di sana).
Dengan demikian, Pandita Bali Aga dalam melaksanakan peran pemberdayaan umat Hindu di Kota Denpasar mengandung makna teologis sebagai Sang Patirthaning Jagat. Makna ini dapat dipahami dari simbolik Pandita sebagai perwujudan Siwa di bumi yang mempunyai tugas memberikan sumber-sumber kehidupan (amertha), penyucian, dan melepaskan masyarakat dari belenggu penderitaan. Apabila dilihat lebih dalam bahwa seorang Pandita adalah penegak dharma di bumi yang mengantarkan manusia mencapai tujuan hidupnya. Sebab empat tujuan hidup manusia (catur purusa artha) harus diperoleh berdasarkan dharma. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam kitab Sarasamuccaya, sloka 12, sebagai berikut:

Yan paramarthanya, yan arthakama sadhyan, dharma juga lekasakena rumuhun, niyata katemwaning arthakama mene tan paramartha wi katemwaning arthakama deningsar sakeng dharma” (Ss.12)
Terjemahan:
Pada hakikatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma dilaksanakan terlebih dahulu, tidak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti. Sebab, tidak ada artinya kama dan artha, jika diperoleh dengan cara yang menyimpang dari dharma.

7.2 Loka Pala Sraya
Loka Pala Sraya berarti bahwa sulinggih mempunyai tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Dalam hal ini, Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan, dan lain-lain. Setiap Sadhaka (Pandita/Sulinggih) diharapkan memiliki kemampuan, baik yang bersifat isoteris maupun eksoteris sebagai "Sang Katrini Katon" atau Bhatara Siwa Sekala (wujud Tuhan di dunia). Pada umumnya, pemahaman selama ini bahwa Loka Pala Sraya adalah pemimpin atau pamuput upacara yajna. Namun lebih luas dari itu bahwa seorang Pandita juga berperan untuk memberikan pendidikan, tuntunan, dan pencerahan yang mengentaskan umat dari kegelapan pikiran (awidya) demi terwujudnya kebahagiaan lahir dan batin (Titib, 2001:52).


Ida Dukuh Saat Muput di Bale Gajah Pura Besakih pada Panca Bali Krama th 2009.


Dalam praktiknya, peranan Pandita sebagai Wiku Loka Pala Sraya lebih dekat dengan konsep pelayanan (seva). Hal ini terkait dengan tugas dan fungsi seorang Pandita untuk melayani umat Hindu dalam religiusitasnya, seperti muput yajna dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang Pandita Loka Pala Sraya adalah Sang Sewaka Dharma (pelayan dharma). Secara konseptual ini merupakan konsekuensi logis dari sistem keagamaan Hindu yang umumnya berlaku di Bali dan di Kota Denpasar khususnya yang lebih mengedepankan konsep bhakti. Kata “sevaka” (baca: sewaka) menurut Kamus Sansekerta-Indonesia (Astra, dkk., 1986:530) berarti menempati, menghuni, mempraktekkan, melayani, menghormati, pelayanan, dan menyembah. Sewaka merupakan terminologi penting dalam konsep bhakti. Dalam konsep bhakti inilah seorang Pandita menjadi pelayan umat dalam mewujudkan bhakti-nya kepada Tuhan.
Kemudian, kata “sevaka” ini mengalami perluasan makna dan menjadi salah satu ide penting dalam pemikiran Ramakrishna Paramahamsa, guru dari Svami Vivekananda. Ramakrishna Paramahamsa mengajarkan keutamaan pelayanan kepada sesama manusia (manava) yang sama artinya dengan pelayanan kepada Tuhan (madhava). Ungkapan “manava seva madhava seva” merupakan pemahaman mendalam sang Svami terhadap uraian dalam kitab Bhagavata Purana yang menyebutkan “Sembahlah Aku yang bersemayam dalam diri seluruh makhluk hidup. Aku adalah jiwa seluruhnya. Aku telah membangun kuil bagi diri-Ku dalam diri semua makhluk dan mereka yang melayani semua makhluk sesungguhnya juga melayani dan memujaKu” (Svami Raganathananda, dalam Suamba (ed), 1996:136). Pandangan bahwa Tuhan ada dalam diri setiap makhluk menjadi spirit humanisme Hindu yang mengedepankan pelayanan bagi kemanusiaan. Dengan demikian, sevaka merupakan prinsip utama bhakti yang kemudian diperluas maknanya menjadi prinsip kemanusiaan universal.
Mengingat basis dari sewaka (pelayanan) adalah bhakti maka di dalamnya terkandung makna ketaatan, pengabdian, dan ketulusan hati yang lahir dari kesadaran ketuhanan (divine consciosness).  Di sini, pelayanan adalah kerja (karma) yang tanpa pamrih, yaitu kerja yang berorientasi pada kerja itu sendiri, bukan pada hasilnya, apalagi untuk kepentingan pribadi. Hal ini secara tegas dijelaskan dalam Bhagavadgita, IV.18, sebagai berikut.

karmany akarma yah pasyed,
  akarmani ca karma yah,
 sa buddhiman manusyesu,
 sa yuktah krtsnakarmakrt”.
Terjemahan:
‘Ia yang melihat akarma dalam karma dan karma dalam akarma, ia adalah orang yang paling bijaksana di antara manusia, ia adalah yogi utama yang sudah merampungkan segala karma’.

Akarma berarti bebas dari ikatan kerja dan keuntungan diri sendiri, meskipun aktif dalam pekerjaan. Mereka yang di dalam kerja (karma) mampu membersihkan diri dari ikatan kerja (akarma) disebut orang bijaksana yang akan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan sempurna. Prinsip karma-akarma ini hanya mungkin dilaksanakan oleh orang yang percaya sepenuhnya kepada hukum karma-phala. Sebab, phala (hasil) dari karma (kerja) adalah pasti, diharapkan ataupun tidak. Mereka yang bekerja, melayani sesama dengan penuh pengabdian dan seluruh kerjanya dipersembahkan kepada Tuhan, inilah bhakti yang sesungguhnya. Kepada mereka, Tuhan telah menetapkan hukum pahala yang setimpal dengan perbuatannya, seperti tertulis dalam Bhagavadgita, IX.22 :
“Ananyas cintayan to mam,                                   
 ye janah paryupasyate,
 tesam nityam bhiyuktanam,
yogaksemam wahami aham”.
Terjemahan:
‘Tetapi mereka yang hanya memuja-Ku selalu, merenungkan Aku selalu, akan Ku-berikan apa yang mereka tidak miliki dan akan Ku-jaga segala yang telah mereka miliki’.

Transformasi kesadaran ketuhanan (divine, madhawa) menjadi kesadaran kemanusiaan (human, manawa) dalam konsep bhakti dan karma adalah pelayanan (sewaka). Pelayanan tumbuh sebagai kombinasi yang sempurna antara pemujaan, kerja, dan pengabdian. Mereka yang telah menanamkan kesadaran ini dan mempraktikannya dalam kehidupan nyata sesungguhnya adalah Sang Paramartha Pandita, seorang yogi yang utama. Bagi sang yogi, seluruh tindakannya terbebas dari ikatan nafsu, keinginan, dan kepentingan karena tujuannya hanyalah menciptakan kesejahteraan dunia (‘siddhaning yasa wirya, donira sukaning rat kininkin nira’, Arjunawiwaha, I.1). Demikianlah Sang Paramartha Pandita adalah pelayan sejati yang memberikan pelayanan tanpa ikatan hasil kerja (akarma).

7.3 Sang Adi Guru Loka
Pandita adalah Sang Dwijati, yakni orang yang dilahirkan dua kali. Dwijati inilah kelahiran yang sebenarnya. Dalam Manawa Dharmasastra II.148, dijelaskan bahwa kelahiran yang diberikan oleh seorang guru kerohanian yang mengajarkan seluruh Weda sesuai dengan peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri Mantram, kelahiran inilah kelahiran yang sebenarnya serta terbebas dari umur tua dan kematian (Wiana, 2001:97). Demikian ditegaskan dalam Manawadharmasastra II. 169 dan 170, yang menyebutkan adanya kelahiran pertama, kedua, dan ketiga. Kelahiran pertama dari ibu dan kedua setelah diberikan tali suci, sedangkan kelahiran yang ketiga dari Weda. Kelahiran dari Weda inilah yang disebut Mantram Sawitri atau Gayatri Mantram sebagai ibunya dan guru suci sebagai ayahnya (Wiana, 2001:97).
Makna yang terkandung dalam uraian di atas bahwa Pandita adalah orang suci yang lahir dari rahim rohani. Oleh karena itu keberadaan seorang Pandita memiliki dua dimensi dalam kehidupannya, yakni dimensi jasmani dan dimensi rohani. Dimensi jasmani bahwa Sang Pandita masih berbadankan panca maha bhuta yang terikat oleh hukum-hukum duniawi seperti manusia biasa pada umumnya. Akan tetapi dimensi rohani bahwa Sang Pandita adalah orang suci yang telah menanamkan pengetahuan suci Weda dalam dirinya sehingga kehidupannya dilandasi oleh kesadaran brahma widya dan atma widya. Dengan demikian hidup suci bukan hanya pernyataan hidup, melainkan telah menyatu dalam pikiran, perkataan, dan perbuataannya sehari-hari (Wiana, 2001:94). Oleh karena itu, sifat-sifat ketuhanan (divine consciousness) telah ada dalam dirinya dan layak dijadikan sebagai Siwa Sakala atau Sang Katrini Katon. Konsep ini lebih jauh dapat dirujuk dalam bait Kakawin Arjuna Wiwaha, I.1, sebagai berikut.

Ambeg sang Paramartha Pandita, huwus limpat sangkeng sunyata,
Tan sangkeng wisaya prayojananira lwir sanggraheng lokika,
Siddhaning yasa wirya, donira sukaningrat kininkin nira,
Santosa heletan kelir sira sangkeng Sanghyang Jagat Karana”
Terjemahan:
Perilaku seorang Pandita utama (Paramartha Pandita), yang telah melampaui kesunyataan. Bukanlah karena keinginan dan kepentingan segala yang Beliau lakukan di dunia ini. Melainkan bahwa segala yang dilakukan semata-mata hanyalah untuk mengupayakan kesejahteraan seluruh umat manusia. Beliau bersifat sentosa, karena hanya terbatas oleh tirai tipis dengan Sang Hyang Jagat Karana/Ida Sang Hyang Widhi Wasa”.

Sang Paramartha Pandita adalah Pandita ideal yang menjadi tujuan dari pilihan hidup rohani, yaitu Pandita yang mampu mewujudkan seluruh tujuan hidup meskipun masih berbadan jasmani. Inilah yang disebut Jivanmukti. Bagi Sang Paramartha Pandita, melaksanakan pelayanan dharma demi kebahagiaan seluruh umat manusia adalah tujuan utama dari kehidupannya. Oleh karena itu, seluruh kehidupannya diabdikan untuk pelayanan. Dalam konteks masyarakat Hindu di Bali, konsep ini sejalan dengan istilah “Pandita Putus”, dalam artian bahwa telah terbebas dari seluruh ikatan keduniawian.
Lebih jauh juga dapat dilihat dalam kitab Siwa Sasana mengenai keriteria Sang Paramartha Pandita, yaitu Sajjanah (orang sejati), Wredaha wehasa (matang), Sastrajnah (pandai tentang sastra), Wedaparagah (ahli Weda), Dharmajnah (pandai tentang dharma), Sila sampanah (berbudi baik), Jitendriyah (menguasai hawa nafsu), dan Drda bratah (taat melaksanakan brata). Inilah sang sadhaka yang patut dijadikan guru pengajar oleh masyarakat. Uraian dalam lontar Siwa Sasana tersebut mencerminkan bahwa seorang Pandita yang memiliki kriteria seperti itu layak dijadikan sebagai guru masyarakat (Guru Loka). Mengingat kitab ini menjadi salah satu pedoman dalam proses aguron-guron di Bali, maka kriteria yang diberikan merupakan konsep Pandita ideal sebagaimana berlaku dalam mazhab Saiwa. Untuk itu jelas bahwa seorang Pandita yang telah melalui proses diksa dan aguron-guron adalah seorang Guru Loka.



Ida Pandita Dukuh sebagai tim Diksa Pariksa dengan PHDI Prov.Bali


Guru Loka dalam tataran praktis merupakan perluasan dari peranan Pandita yang semula seringkali dipahami oleh masyarakat sebagai Pamuput Yajna. Dalam makna ini, Guru Loka adalah guru yang memberikan pencerahan kepada umat dalam pelaksanaan dharma untuk mewujudkan tujuan hidup yang sesungguhnya (Purusha Artha). Konsep Pandita sebagai Guru Loka ini juga mengingatkan pada Maharsi Agastya yang di Indonesia diwujudkan sebagai Siwa Mahaguru, sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu arca di Candi Prambanan (Soekmono, 1986). Beliau adalah pewarta dharma, yang menuntun masyarakat pada pencerahan rohani sehingga dengan demikian mendapatkan kedudukan terhormat sebagai Siwa Mahaguru, yakni perwujudan Siwa sebagai guru suci.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan Pandita Bali Aga dalam pemberdayaan umat Hindu di Kota Denpasar mengandung makna teologis di dalamnya. Makna pertama bahwa Pandita adalah Sang Patirthaning Jagat, yaitu perwujudan Siwa di bumi yang bertugas memimpin umat manusia dalam mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin sesuai dengan prinsip-prinsip dharma. Makna kedua bahwa Pandita adalah Wiku Loka Pala Sraya, yaitu orang suci yang memiliki kesadaran ketuhanan (divine consciousness) dalam memberikan pelayanan dharma (sewaka dharma) sehingga umat mampu mewujudkan bhakti-nya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dan makna ketiga bahwa Pandita adalah Sang Adi Guru Loka yang dengan kemampuan rohaninya mampu memberikan penceranan rohani kepada seluruh umat manusia. Pandita yang demikian, adalah Pandita utama atau Sang Paramartha Pandita.

PERANAN PANDITA BALI AGA DALAM PEMBERDAYAAN KEAGAMAAN HINDU DI KOTA DENPASAR

PERANAN PANDITA BALI AGA DALAM PEMBERDAYAAN
KEAGAMAAN HINDU DI KOTA DENPASAR


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:242), kata “pemberdayaan” memiliki arti cara, proses, atau perbuatan memberdayakan. Sebagai sebuah proses maka pemberdayaan adalah suatu upaya terus-menerus dengan berbagai terobosan sampai terciptanya masyarakat yang berdaya, yakni memiliki kemampuan dan kekuatan dalam menghadapi berbagai hal. Sementara itu, konsep keagamaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005:12) berarti yang berkaitan dengan agama. Dalam hal ini, keagamaan mengandung makna yang sejalan dengan religiusitas. Mengikuti pendapat Koentjaraningrat (1987: 80) bahwa secara umum sistem religi terdiri atas lima komponen yang saling berkaitan erat satu sama lain. Kelima komponen itu adalah (1) emosi keagamaan; (2) sistem keyakinan; (3) sistem ritus dan upacara; (4) peralatan ritus dan upacara; (5) umat dan institusi keagamaan.
Dalam agama Hindu, kelima hal ini sudah terangkum dalam tri kerangka Agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan upacara. Dengan demikian pemberdayaan keagamaan Hindu harus diarahkan untuk memberdayakan ketiga kerangka tersebut, yakni pemahaman terhadap tattwa-tattwa Agama Hindu, pembentukan budi pekerti dan susila Hindu Dharma, dan peningkatan pemahaman dan pemaknaan dalam aktivitas upacara keagamaan. Keseluruhan dari pemberdayaan tersebut dapat dirangkum dalam istilah “peningkatan sradha dan bhakti umat Hindu”. Konsep pemberdayaan inilah yang digunakan untuk mengkaji peranan Pandita Bali Aga dalam pemberdayaan keagamaan Hindu di Kota Denpasar.
  
6.1 Tantangan Sulinggih dalam Pemberdayaan Umat Hindu

Pentingnya pemberdayaan dalam konteks Hindu salah satunya dijelaskan oleh Wiana (Bali Post, 7 Maret 2001) dalam artikelnya yang berjudul “Kebangkitan Hindu vs Bias Upacara”. Dalam artikel tersebut Wiana menjelaskan bahwa kondisi kebangkitan Hindu di zaman modern ini yang boleh dikatakan hanya membanggakan secara semu. Buktinya, pelaksanaan agama masih didominasi oleh unsur ekspresi kemeriahan fisik sebagai bias dari pelaksanaan agama (upacara). Umat masih dominan memaknai 'kebangkitan' keagamaan dari melihat meningkatnya kuantitas pelaksanaan persembahyangan, ramainya tempat-tempat suci oleh umat termasuk generasi muda Hindu. Sedangkan kedalaman spiritualitas secara individual masih perlu dipertanyakan. Ungkapan ini bermakna bahwa pendalaman tattwa dan susila keagamaan masih perlu diberdayakan untuk mengimbangi kemeriahan upacara.
Untuk melaksanakan peranan dalam pemberdayan tersebut, Wiana (Balipost, 7 Maret 2001) menjelaskan pentingnya peranan sulinggih atau Pandita dan Griya. Menurutnya, untuk mewujudkan Hindu khususnya di Bali agar menjadi lebih universal pada zaman modern ini, erat kaitannya dengan fungsi dan peran sulinggih serta griya. Menurut Wiana, fungsi para sulinggih dan griya perlu dikembalikan sesuai sastra. Soalnya pada agama lain peran pendeta, kyai atau ulama biasanya bertindak sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan ritual maupun pencerahan umat. Dulu, katanya, dalam sejarah perkembangannya sulinggih di Bali memang memiliki peran yang sama seperti agama-agama lainnya yakni sebagai pusat spiritual, ujung tombak upacara dan sumber pencerahan umat, bukan hanya bertugas muput karya. Meskipun demikian, peranan ini belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena adanya berbagai hal, antara lain karena (1) latar pendidikan yang kurang memadai; (2) lemahnya perhatian terhadap kesejahteraan sulinggih; dan (3) longgarnya syarat menjadi sulinggih (Wiana, Balipost 7 Maret 2001).
Masih lemahnya tingkat pendidikan dan latar belakang pendidikan Sulinggih menjadi salah satu kendala yang dihadapi saat ini. Sampai saat ini, masih banyak Sulinggih yang pendidikannya tidak dipersiapkan sejak dini. Seperti misalnya, masih banyak sulinggih yang tidak mengikuti pendidikan Agama Hindu pada perguruan tinggi atau yang sederajat. Pendidikan yang kurang memadai ini berakibat pada wawasan yang sempit. Seandainya Sulinggih berpendidikan yang memadai, maka ia akan memiliki keterampilan leadership, memiliki daya analisis, memiliki kemampuan problem solving, serta pandai mengambil keputusan sebagai decision maker, karena Sulinggih sesungguhnya juga menjadi leader bagi umatnya terutama yang berkaitan dengan praktik keagamaan. Kelemahan yang lain bahwa kurangnya wawasan  pendidikan menjadikan Sulinggih lemah dalam kemampuan berdialog sehingga ketika berhadapan dengan situasi dialog intern agama maupun lintas agama seringkali menunjukkan lemahnya pemahaman dan wawasan.
Di samping faktor tersebut, lemahnya perhatian terhadap kesejahteraan sulinggih juga menjadi kendala yang menghambat peranan sulinggih dalam proses pemberdayaan umat Hindu. Untuk itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan kesejahteraan sulinggih. Selain itu juga umat harus secara rutin memberi daksina untuk kebutuhan sehari-hari para sulinggih sehingga para sulinggih dapat hidup secara layak. Pentingnya hal ini agar sulinggih mampu berpikir secara serius dan konsentrasi penuh untuk meningkatkan kualitas diri dan memikirkan umat Hindu. Lain daripada itu, juga agar sulinggih tidak terjebak pada pemikiran pragmatis untuk keuntungan material misalnya, terlibat langsung dalam bisnis penjualan sarana dan prasarana upacara dan upakara yajna.
Faktor berikutnya adalah longgarnya syarat-syarat menjadi sulinggih. Menurut Wiana (Balipost 7 Maret 2001), saat ini syarat-syarat untuk menjadi seorang sulinggih masih dirasakan sangat longgar. Salah satu faktornya adalah prosesi diksa pariksa oleh Parisada tidak berlangsung secara optimal dan berorientasi pada kualitas calon diksita. Hal ini tentu saja berpengaruh pada terhambatnya upaya untuk mencetak sulinggih yang benar-benar memahami sasana kependetaan, juga memiliki kualitas untuk melayani kebutuhan umat. Kendala-kendala inilah yang menjadikan peranan sulinggih dan griya dalam pemberdayaan umat Hindu perlu segera mendapatkan perhatian yang serius.

6.2 Peranan Pandita Bali Aga dalam Pemberdayaan Umat Hindu

Peranan dalam pemberdayaan sesungguhnya berhubungan tugas sulinggih sebagai Wiku Loka Palasraya dan Sang Adi Guru Loka. Loka Pala Sraya bahwa sulinggih mempunyai tugas selaku sandaran umat untuk mohon bantuan dalam hal kehidupan keagamaan pada umumnya. Dalam hal ini, Sulinggih menjadi tempat untuk minta petunjuk, seperti bagaimana tata cara mendirikan Pura, mendirikan rumah, menentukan hari-hari baik untuk sesuatu kegiatan, dan lain-lain. Setiap Sadhaka (Pandita/Sulinggih) diharapkan memiliki kemampuan, baik yang bersifat isoteris maupun eksoteris sebagai "Sang Katrini Katon" atau Bhatara Siwa Sekala (wujud Tuhan di dunia). Oleh karena itu setiap Sadhaka atau Pandita/Sulinggih diwajibkan untuk dapat bertindak sebagai maha patirthaning sarat, yaitu pengayoman dan tempat umat untuk bersandar dan memohon pencerahan. Peranan yang lebih jauh diharapkan dari seorang sulinggih adalah menjadi “Sang Adi Guru Loka”, yaitu tempat bertanya umat, serta menjadi penuntun umat dalam mendapatkan pencerahan.
Terkait dengan hal tersebut di atas maka setiap Pandita/Sulinggih diharapkan mampu melaksanakan tugas kewajibannya seperti yang tertuang dalam ketetapan Maha Sabha II Parisada Hindu Dharma Tahun 1968, sebagai berikut:
1.      Memimpin umat dalam hidup dan kehidupannya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin;
2.      Melakukan pemujaan penyelesaian upacara Yajna;
3.      Dalam memimpin upacara Yajna agar menyesuaikan dengan ketentuan sastra untuk itu;
4.      Pandita juga diharapkan mampu membimbing para pinandita/pemangku;
5.      Aktif mengikuti "paruman" dalam rangka penyesuaian dan pemantapan ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat;
6.      Pandita juga memberikan bimbingan Dharma Wacana, Dharma Tula, Tirtha Yatra, dan lain-lain;
Keputusan Maha Sabha ini dapat dijadikan rujukan untuk mengkaji peranan ideal dari seorang sulinggih dalam kehidupan sosial umat Hindu. Mengingat keputusan ini merupakan hasil rumusan dari sebuah sabha (musyawarah) lembaga umat yang anggotanya terdiri dari Sabha Pandita dan Sabha Walaka. Dapat dipahami bahwa Sabha Pandita yang terdiri atas para wiku/sulinggih merupakan sumber kebenaran karena pendapat-pendapatnya didasarkan pada sastra-sastra agama, sedangkan Sabha Walaka mewakili realitas sosial yang ada dalam tubuh umat Hindu. Dengan pertemuan antara Pandita dan Walaka, maka keputusan yang dilahirkan lebih kurang valid untuk dijadikan pedoman Pandita dalam melaksanakan kewajibannya di masyarakat.
Pertama, memimpin umat dalam hidup dan kehidupannya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin. Ini merupakan kewajiban ideal dari seorang Sulinggih untuk membantu mengantarkan umat Hindu mencapai tujuan hidupnya, yaitu kesejahteraan lahir (jagadhita) dan kesejahteraan batin (moksa). Sulinggih sebagai seorang pemimpin, disimbolkan dengan tongkat (danda) yang menjadi salah satu atributnya. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan lahiriah dari umat Hindu, sudah menjadi tugas seorang Sulinggih untuk memberikan wejangan-wejangan kepada umat Hindu, khususnya berkaitan dengan karma dan bhakti marga. Sementara itu, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan batin umat Hindu dilakukan dengan memberikan bimbingan rohani yang diarahkan pada kebijaksanaan (jnana marga) dan disiplin spiritual (raja marga). Peranan inilah yang dapat dilaksanakan oleh Sulinggih mengingat seorang Sulinggih tidak lagi berkecimpung secara praktis dalam urusan duniawi.


Ida Dukuh Senantiasa Aktif dalam Paruman Sulinggih guna mencermati Penyesuaian ajaran
 agama sesuai perkembangan masyarakat.


Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa (wawancara, 6 Desember 2010) menyatakan bahwa upaya meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin umat Hindu sangat penting dilakukan, apalagi dalam kehidupan modern dan global seperti sekarang ini. Oleh karena itu, dalam berbagai momentum, baik dharma wacana maupun obrolan ringan saat ada sisya yang tangkil ke Griya Padukuhan Samiaga, Ida Pandita selalu memberikan pencerahan mengenai pentingnya keseimbangan hidup, lahir dan batin. Malahan, tidak jarang ketika ada sisya yang tangkil, Ida Pandita terlebih dahulu menanyakan keadaan sisya tersebut, misalnya “kengken kabare yan?” (bagaimana kabarnya Wayan?), “usaha ape jani?” (usaha apa sekarang?) (Artanadi, wawancara 20 Desember 2010). Pertanyaan sederhana ini merupakan pembuka obrolan yang pada dasarnya menunjukkan kepedulian Ida Pandita terhadap kehidupan sisya-nya. Hal yang serupa, ternyata juga dilaksanakan oleh Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma (wawancara 7 Desember 2010). Ini menandakan bahwa Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan peranan memimpin umat dalam meningkatkan kesejahteraan lahir umat Hindu, khususnya bagi para sisya-nya.

DAFTAR TABULASI AKTIFITAS PANDITA BALI AGA DI KOTA DENPASAR


NO

URAIAN

Jro Dukuh Udhalaka Dharma

Ida Pandita Dukuh Acharya Daksa

KET
1.
Melakukan Loka Pala Sraya (Muput )
 (Muput keluar maupun di Grya.)


15 kali

28 kali
dalam 1 bulan
2.
Mengadakan Dharma Wacana

_

8-10 kali
dalam 1 bulan
3.
Mengadakan Dharma Yatra
2 kali
4-6 kali
dalam 1 bulan
4.
Mengadakan Pembinaan Pada Pemangku dan Sarati Banten.
_
4 kali
dalam 1 bulan
5.
Pembinaan Umat Sebagai anggota Sabha Pandita PHDI Pusat.
_
2 kali
dalam 1 tahun
6.
Menghadiri Paruman Sulinggih
3 kali
6-8 kali
dalam 1 tahun
7.
Mengadakan Pawintenan
5 kali
10-12 kali
Dalam 1 tahun
8.
Mempunyai Putra didharma ( Napak sebagai Nabe  )
_

6 orang
Sampai sekarang
9.
Melakukan Pathirtan

4 kali
4 kali
Dalam 1 bulan
10.
Melakukan Pembinaan Yoga dan Meditasi

2 kali
4 kali
Dalam 1 bulan
11.
Sebagai Pangrajeg Karya Agung
( Upacara Dewa Yadnya )
4 kali
7 kali
Dalam 1 tahun

12
Sebagai Narasumber Seminar Nasional
_
4 kali
Dalam 1 tahun
13.
Mengadakan Pengabenan Massal sebagai Pengrajeg Karya.
2 kali
3 Kali
Dalam 1 tahun.
14.
Sebagai Saksi Penyumpahan pada instansi Swasta dan Pemerintahan.
2 kali
3 kali
Dalam 1 tahun.
( hasil wawancara tanggal 10 Desember 2010 )

Sementara itu, dalam upaya meningkatkan kesejahteraan batin umat Hindu, Ida Pandita juga memainkan peran untuk memberikan pencerahan dan pelayanan kepada umat Hindu. Seperti misalnya, disampaikan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa (wawancara 6  Desember 2010) bahwa dalam keseharian Ida Pandita sebagai seorang sulinggih, setelah puput melakukan Suryasewana, Beliau disibukkan dengan melayani umat yang tangkil ke griya. Para sisya yang tangkil tersebut umumnya memiliki berbagai keperluan, seperti Nunas Pedewasaan, Matur Muput, mohon Dharma Wacana, Nunas Upakara, Nunas Panglukatan, serta ada juga yang konsultasi permasalahan pribadinya. Disamping hal tersebut dalam keseharian Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa bilamana tidak ada Muput atau Dharma Wacana beliau mengisi waktu luang dengan membaca buku-buku keagamaan yang berkaitan dengan sesana wiku dan perkembangan keagamaan Hindu dewasa ini, juga senantiasa menambah koleksi bacaan melalui dengan lunga ketoko buku, seperti Toko buku Toga Mas dan Toko Buku Paramita ( wawancara 12 Desember 2010 ) Dalam peranan Ida Pandita Samiaga dalam mengayomi sisya dan umat di Grya / Padukuhan dengan melakukan kegiatan pembuatan upakara yadnya meliputi upakara dewa yadnya sampai dengan bhuta yadnya,banyak tenaga kerja yang mampu diserap dalam pembuatan upakara yadnya ini sejumlah 35 orang, serta di Padukuhan Samiaga juga menerima pembuatan Wadah /Bade sebagai sarana saat pelaksanaan Pitra Yadnya,disamping hal tersebut di Padukuhan Samiaga  juga untuk pengayah-pengayah untuk pekerjaan di rumahnya atas  ide Ida Pandita disuruh memelihra meri/bebek serta siap/ayam yang nantinya sebagai Piranti yadnya dengan demikian secara ekonomi Ida Pandita Samiaga telah memikirkan kesejahteraan sisya maupun umat walaupun dalam lingkungan kecil ( Desa Penatih ) namun dampaknya sangat besar di rasakan sisyanya.
Demikian pula Jro Dukuh Udhalaka Dharma dalam peranan peningkatan ekonomi umat maupun sisya dengan mengadakan atau membuat upakara dengan melibatkan masyarakat di sekitar Grya dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 6 orang, serta adanya pembuatan sarana upakara /uparengga yang nantinya digunakan sebagai piranti pelengkap upakara dengan demikian Ida pandita Dukuh Samiaga maupu Jro Dukuh Tek-tek berperan penting dalam pemberdayaan umat untuk meningkatkan perekonomian/ kesejahtraan umat dengan secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan.
Keperluan-keperluan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan kebutuhan religius yang bertujuan untuk mendapatkan kesejahteraan batin umat Hindu. Kesejahteraan batin dapat dimaknai dengan kondisi batin yang tenang dan damai dalam hidup. Untuk mencapai hal tersebut, umat Hindu meyakini bahwa itu dapat dicapai dengan menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, dengan sesamanya, dan dengan alam lingkungannya (Tri Hita Karana). Oleh karena itu, aktivitas religius dipandang menjadi hal yang penting dilakukan sehingga ini dijadikan upaya untuk mendapatkan kesejahteraan tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan inilah peranan seorang sulinggih diperlukan untuk membimbing dan memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi umat dalam kehidupannya. Hal ini seperti disampaikan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa (wawancara 6 Desember 2010) bahwa ada salah satu sisya yang tangkil karena merasakan ada hal yang tidak beres di kantornya. Untuk itu Ida Pandita menyarankan agar sisya tersebut melaksanakan pacaruan di kantor. Pada dasarnya, peran ini juga dilaksanakan oleh Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma kepada para sisya nya. Dengan demikian bahwa Pandita Bali Aga mempunya peranan dalam ngeloka palasraya, yaitu menjadi pemimpin bagi umat Hindu dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin umat Hindu, yaitu dengan cara memberikan wejangan, pencerahan, dan solusi atas permasalahan umat Hindu (sisya) dalam aktivitas sosial-religiusnya.
Kedua, melakukan pemujaan penyelesaian upacara Yajna. Ini merupakan tugas penting seorang sulinggih dalam ngeloka palasraya. Pada hakikatnya pelaksanaan yadnya dalam ajaran agama Hindu merupakan satu kesatuan yang utuh dari seluruh ajaran dan aktivitas keagamaan. Terhadap pelaksanaan upacara yadnya ada tiga unsur yang menjadi penyangga pelaksanaannya yang lumrah di sebut tri manggalaning yadnya, yaitu terdiri atas Sulinggih, Tukang Banten, dan Yajamana. Di antara ketiganya sulinggih mempunyai peranan penting dalam tata keagamaan masyarakat Hindu.
Berkenaan dengan peran tersebut, Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma (wawancara 7 Desember 2010) menyatakan bahwa Beliau melaksanakan seluruh upacara yajna, yaitu meliputi panca yajna di griya. Selain itu, juga muput karya Dewa Yajna, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, dan Bhuta Yadnya atas panuuran (permohonan) dari para sisya-nya. Berkaitan dengan pelaksanaan muput yajna, Ida Jero Dukuh juga melaksanakan beberapa yajna yang dibutuhkan para sisya-nya, namun dilaksanakan langsung di griya, antara lain panglukatan, pebayuhan, magedong-gedongan, pawiwahan, dan lain sebagainya karena berbagai pertimbangan warga. Dalam skala yajna yang lebih besar, Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma juga beberapa kali sudah ikut muput upacara Tawur Agung yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Denpasar berkaitan dengan pelaksanaan Hari Raya Nyepi.
Pada dasarnya, pernyataan Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma ini juga didukung oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa. Dalam wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 6 Desember 2010, Ida Pandita menyatakan bahwa selain muput upacara, Beliau juga menjadi Manggala Karya dalam beberapa ritual yajna, antara lain dalam prosesi ngaben massal (ngerit) di Desa Pakraman Penatih dan Karya Agung Mamungkah, Padudusan Agung di Pura Desa, Desa Pakraman Tembau. Dalam hubungannya dengan pemerintahan, Ida Pandita Dukuh juga di-tuwur untuk muput acara-acara yang diselenggarakan di tingkat provinsi, seperti Pelaksanaan Upacara Panca Bali Krama dan Bhatara Turun Kabeh di Pura Agung Besakih. Ini menegaskan bahwa kedua Pandita Bali Aga tersebut telah melaksanakan panca yajna sesuai dengan peranannya sebagai sulinggih.
Ketiga, untuk melaksanakan peranan tersebut, kedua Pandita Bali Aga ini sekaligus melaksanakan peran seperti yang diharapkan oleh hasil keputusan Maha Sabha II, tahun 1978, yaitu dalam memimpin upacara Yajna agar menyesuaikan dengan ketentuan sastra untuk itu. Terkait dengan hal ini, Ida Pandita Duku Acarya Daksa menyatakan bahwa dalam setiap pelaksanaan yajna, Beliau selalu mencari sumber sastra yang otentik terkait dengan yajna yang akan dilaksanakan. Ini dilakukan agar yajna yang akan dilaksanakan tidak keliru atau melenceng dari tujuan yang sesungguhnya. Lebih jauh Ida Pandita juga menjelaskan bahwa upacara yajna sangatlah penting bagi kehidupan manusia sehingga apabila dilaksanakan dengan benar sesuai sastra agama akan dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan lahir dan batin.
Pernyataan tersebut pada dasarnya dapat dirujuk dalam kitab Bhagawadgita bab III.10, sebagai berikut.

“Sahayajnah prajah sristwa,
purowaca prajapatih,
anena prasawisya dhewam,
esa wostwistwa khamaduk.”
Terjemahan:
Sesungguhnya dahulu Hyang Widhi Wasa telah menciptakan manusia melalui yajna, dengan cara ini engkau akan berkembang, sebagaimana lembu perahan yang memerah susunya karena keinginannya sendiri.


           

Ida Dukuh saat memberikan dharmawacana sebelum prosesi suatu
Yadnya dilakukan.( Pemahaman yadnya )

Ida Pandita menuturkan bahwa manusia hidup didunia ini harus ingat akan kewajiban kepada Tuhan Yang Maha Esa karena beliau telah berkorban melalui yadnya-Nya sehingga manusia dapat berkembang dan menikmati segala ciptaaan Tuhan. Manusia yang tidak tahu terimakasih atas kemurahan Tuhan adalah mahluk berdosa yang pantas mendapat kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat kelak (Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa, Wawancara tanggal 6 Desember 2010). Salah satu cara umat Hindu mengamalkan perbuatan baik adalah dengan menjaga  persahabatan dalam arti luas, yakni, persahabatan dengan cara menjaga keseimbangan agar tetap baik dan harmonis dalam mengarungi kehidupan ini dengan Tuhan, dengan sesama mahluk hidup, dan dengan alam lingkungan, yang sering disebut Tri hita karana. Salah satu simbol dari keharmonisan ini diwujudkan melalui banten. Sesuai dengan yang tersurat dalam Lontar Dewa tatwa, bahwa banten adalah perwujudan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa.  
Banten atau upakara memang menjadi bagian penting dalam pelaksanaan yajna umat Hindu di Bali. Dikatakan demikian karena dalam banten terkandung berbagai muatan simbolis-filosofis yang sangat esensial bagi kehidupan manusia. Terkait dengan hal tersebut, Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma menuturkan bahwa dalam berbagai kesempatan, Beliau memberikan wejangan mengenai makna babantenan kepada para sisya-nya di griya. Namun, Beliau tidak secara khusus memberikan dharma wacana kepada masyarakat luas dengan alasan menghindari terjadinya perbedaan penafsiran dengan pen-dharma wacana yang lain sehingga bisa menimbulkan konflik di masyarakat.
Hal ini sedikit berbeda dengan Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa yang memang juga seorang pen-dharma wacana. Seperti misalnya, ketika Ida Pandita dipercayakan sebagai Pagrajeg Karya dalam Upacara Ngusabha Desa, Ngenteg Linggih, Mapadudusan Agung, dan Manawa Ratna di Pura Penataran Agung Penatih dan juga Karya Agung di Pura Desa, Desa Pakraman Tambau. Ida Pandita Dukuh sebagai Pangrajeg Karya senantiasa terlebih dahulu memberikan penerangan (Dharma Wacana) dari sisi filosofis, yaitu prosesi, maksud, dan tujuan dari upacara yang dilaksanakan. Malahan juga, Ida Pandita juga membuat buku acuan sebagai pedoman (dudonan) dalam pelaksanaan upacara tersebut dari awal upacara sampai Penyineban (wawancara, 5 Desember 2010).
Keempat, peranan lain yang dikehendaki oleh Bhisama Parisada bagi seorang Sulinggih/Pandita adalah agar Pandita juga mampu membimbing para pinandita/pemangku. Hal ini dapat dipahami mengingat peranan Pinandita/Pemangku sebagai golongan ekajati sangat signifikan dalam keberagamaan umat Hindu. Pinandita atau Pemangku memiliki kewenangan untuk menyelesaikan (nganteb) upacara yajna sampai pada tingkat tertentu. Oleh karena itu, Pinandita atau Pemangku diharapkan dapat memahami berbagai aspek keagamaan Hindu, terutama yang berkaitan dengan tiga kerangka agama Hindu, yaitu tattwa, susila, dan acara.
Untuk memberikan bimbingan kepada Pinandita atau Pemangku, peranan Sulinggih sangat diperlukan. Mengingat Sulinggih atau Pandita merupakan golongan Dwijati yang dipandang memiliki tingkat kerohanian yang lebih tinggi sehingga layak menjadi guru bagi Pinandita/Pemangku. Peranan ini rupanya juga telah dilaksanakan oleh Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma dan Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa, bersama dengan Pandita Istri masing-masing. Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma mengatakan bahwa pembinaan Pinandita/Pemangku yang dilaksanakannya terutama diberikan kepada para Pemangku yang menjadi wargi atau sisya-nya. Pada umumnya, para Pemangku ini tangkil ke griya pada hari-hari tertentu, tanpa jadwal rutin yang tegas. Oleh sebab itu, model pembinaan yang diberikan lebih cenderung bersifat tanya jawab secara pribadi atau bahkan nampak seperti obrolan biasa, meskipun yang dibahas adalah hal-hal yang berkaitan dengan tata cara pelaksanaan ajaran agama Hindu. Ini menunjukkan bahwa pembinaan yang dilakukan bersifat interpersonal (wawancara 6 Desember 2010). Kedekatan interpersonal memang memiliki dampak psikologis yang baik karena hubungan yang tercipta adalah antara guru dan sisya.
Sedikit berbeda dengan Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma, bahwa Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa melakukan bimbingan kepada Pemangku dalam cakupan yang lebih luas. Ida Pandita sering diminta untuk mengisi penataran Pemangku, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun lembaga Parisada. Selain itu, Ida Pandita juga membimbing beberapa Pemangku, baik yang berasal dari wargi dukuh maupun di luar itu. Malahan, beberapa Pemangku yang dibimbing oleh Ida Pandita dipersiapkan untuk menjadi seorang sulinggih. Selain bimbingan yang bersifat interpersonal, konsultasi, dan sejenisnya, Ida Pandita juga memiliki jadwal rutin untuk bimbingan kepada para Pemangku, kecuali pada saar Ida Pandita berhalangan misalnya, karena sakit atau sedang ke luar daerah untuk memberikan dharma wacana atau muput yajna (wawancara, 7 Desember 2010).



Ida Dukuh Saat melaksanakan bimbingan dan pembinaan dengan Pemangku dan
 Sarati Banten.

Sementara itu, Ida Jro Dukuh dan Pandita Dukuh Istri secara langsung maupun tidak juga terlibat dalam pembinaan kepada Pemangku tersebut. Pada umumnya Pandita Istri melaksanakan bimbingan kepada para Pemangku Istri, Jan Banggul, dan Serati berkaitan dengan upakara. Hal ini merupakan sebuah petanda postif mengingat upakara dalam pelaksanaan agama Hindu di Bali memiliki kedudukan yang sangat penting, serta paling umum dilaksanakan oleh umat Hindu. Oleh karena itu pemahaman yang benar mengenai tata cara dan rangkaian upacara dan upakara yajna merupakah hal yang layak diberdayakan.
Uraian di atas menegaskan bahwa Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan peranannya dalam memberikan bimbingan kepada Pinandita atau Pemangku, khususnya di seputaran Kota Denpasar. Dengan melaksanakan peran ini diharapkan agar pemahaman dan keterampilan para Pemangku. Mengingat pentingnya kedudukan Pinandita/Pemangku dalam pelaksanaan ajaran agama Hindu khususnya di Kota Denpasar.
Kelima, Ida Pandita juga diharapkan dapat memainkan peranannya secara aktif mengikuti "paruman" dalam rangka penyesuaian dan pemantapan ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat. Penyesuaian ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat bermakna bahwa ajaran agama Hindu adalah agama yang berkelanjutan, sanatana dharma. Kebenaran abadi berarti bahwa ajaran agama Hindu selalu dapat hidup dan berkembang dalam ruang dan waktu apapun. Fleksibilitas dan keanekaragaman dalam implementasi pelaksanaan ajaran agama Hindu merupakan faktor utama ajaran agama Hindu dapat menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat pada berbagai tempat dan zaman. Sebagaimana dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan sebagai berikut.

wedo khilo dharma mulam, smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam, atmanastutirewa”.
Terjemahan:    
Weda Sruti merupakan sumber utama daripada dharma (agama Hindu), kemudian Smerti, setelah itu Sila, Acara dan Atmanastuti.

Kompleksitas ajaran agama Hindu mengalir dari Weda Sruti, Smerti, Sila, Acara, dan Atmanastuti. Weda Sruti adalah Kitab Catur Veda Samhita, Brahmana, Aranyaka, dan Upanisad, sedangkan Smerti adalah Wedangga dan Upaweda (Sura & Musna, 1996:26-29). Sila adalah tingkah laku orang-orang suci. Acara adalah tradisi yang bersumber pada sastra atau ajaran-ajaran agama yang telah diikuti secara turun temurun.  Atmanastuti adalah rasa puas diri sendiri yang berdasarkan kesepakatan oleh para pemuka agama. Dari kelima sumber inilah ajaran agama Hindu mengalir sehingga pelaksanaan ajaran agama Hindu di berbagai tempat dan kalangan tertentu memiliki perbedaan satu dengan lainnya, walaupun sama-sama bersumber dari Weda. Adanya perbedaan inilah yang salah satunya mewajibkan seorang Sulinggih agar memberikan pencerahan kepada umat agar tidak terjebak pada tradisi yang keliru dan kehilangan ke-sradhaan.
Dalam praktiknya, pelaksanaan ajaran agama Hindu menampakkan diri dalam wujud acara agama. Dalam hubungannya dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, kata ācāra sering diberi awalan upa, yang bermakna sekitar, sehingga kata upācāra bermakna sekitar tata cara pelaksanaan Agama Hindu. Dengan demikian maka ācāra Agama Hindu menyangkut persoalan sekitar tempat upacara (lokasi), saat upacara (durasi), suasana upacara (situasi), rangkaian upacara (prosesi), ucapan upacara (resitasi), alat upacara (sakramen), dan bunyi-bunyian upacara (instrumen).
Acara sebagai kebiasaan atau tradisi memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kata drsta. Drsta berasal dari urat kata Sansekerta ”drs” yang berarti memandang atau melihat. Kemudian kata ”drsta” memiliki makna konotatif yang bermakna tradisi (Sudharma, 2000). Acara atau drsta dibagi menjadi 5 (lima) hal, yaitu : (1) sastra drsta berarti tradisi yang bersumber pada pustaka suci atau sastra agama Hindu; (2) desa drsta berarti tradisi agama yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu; (3) loka drsta adalah tradisi agama yang berlaku secara umum dalam suatu wilayah; (4) kuna/purwa drsta berarti tradisi agama yang bersifat turun-temurun dan diikuti secara terus menerus sejak lama; dan (5) kula drsta adalah tradisi agama yang berlaku dalam keluarga tertentu saja (Sudharma,2000).
Umat Hindu di Bali, khususnya juga di Kota Denpasar masih menjadikan drsta sebagai salah satu rujukan penting dalam melaksanakan ajaran agama Hindu yang diyakini. Padahal di sisi lain, perkembangan zaman seiring dengan proses modernisasi dan globalisasi juga terus terjadi yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan beragama. Dialektika dan dinamika yang terjadi antara tradisi dan modernisasi ini terus menerus berlangsung sehingga dapat menimbulkan keraguan, kebimbangan, dan kekritisan umat terhadap berbagai tradisi religius yang telah diwarisi dan dilaksanakan secara turun temurun.
Oleh karena itu, sudah menjadi tugas seorang Sulinggih untuk memberikan pemahaman yang  benar kepada umat menurut sastra agama Hindu yang dalam praktiknya disesuaikan dengan kondisi perkembangan zaman yang ada. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka lembaga Parisada melaksanakan berbagai bentuk paruman atau pasamuhan yang pada intinya adalah untuk menyamakan persepsi para sulinggih dalam berbagai aspek ajaran agama Hindu. Di sinilah para sulinggih, khususnya yang duduk dalam keanggotaan Sabha Pandita berperan penting dalam merumuskan berbagai kesatuan tafsir, bhisama, dan sejenis lainnya demi kebutuhan dan kepentingan umat Hindu.
Peranan ini pada dasarnya juga telah dilaksanakan oleh Pandita Bali Aga di Kota Denpasar. Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa adalah salah satu anggota Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat. Sementara itu, Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma adalah anggota Sabha Wiku Parisada Dharma Hindu Bali Kota Denpasar. Ini menandakan bahwa kedua Pandita ini terlibat secara aktif dalam lembaga keumatan Hindu sehingga memiliki peranan yang signifikan dalam merumuskan berbagai aspek ajaran agama Hindu yang dapat dijadikan umat sebagai pegangan dan pedoman dalam melaksanakan ajaran agamanya, sesuai dengan perkembangan zaman.
Keenam, Pandita juga diharapkan dapat berperan dalam memberikan bimbingan keagamaan melalui metode bimbingan Hindu yang disebut Sad Dharma. Sad Dharma adalah metode penyuluhan dan bimbingan masyarakat Hindu yang ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia, yaitu Dharma Wacana, Dharma Thula, Dharma Yatra, Dharma Gita, Dharma Sadhana, dan Dharma Santi (Krisnu, 1998:9). Lebih lanjut dijelaskan pengertian dari konsep tersebut masing-masing sebagai berikut.
(1)     Dharma Wacana, adalah ceramah umum yang membawa sentuhan rohani dan bersifat ceramah satu arah karena tidak tersedia waktu untuk tanya jawab.
(2)     Dharma Thula, adalah mempertimbangkan dharma dengan saling mengisi renungan yang bersifat memperluas dan memperdalam penafsiran terhadap materi yang dibahas. Bentuknya berupa diskusi dua arah.
(3)     Dharma Yatra, adalah perjalanan suci menuju tempat-tempat suci, sumber mata air (Tirtha Yatra).
(4)     Dharma Gita, adalah penyuluhan dengan cara atau melalui media seni membaca kakawin, kidung, sloka, dan jenis dharma gita lainnya.
(5)     Dharma Sadhana, adalah kegiatan melatih diri secara individual maupun berkelompok untuk melaksanakan ajaran agama, baik renungan mendalam maupun kegiatan keagamaan yang sifatnya praktik langsung.
(6)     Dharma Santi, adalah kegiatan saling mengunjungi, menjalin rasa keakraban, kasih sayang, antara umat yang satu dengan yang lainnya (Krisnu, 1998:10).

Melalui penerapan keenam metode ini diharapkan agar umat Hindu dapat mendalami ajaran agamanya dan melaksanakannya secara baik dan benar. Peranan sulinggih sebagai Adi Guru Loka memiliki signifikansi penting dalam bidang ini. Rupanya, peranan ini sudah dilaksanakan oleh Pandita Bali Aga di Kota Denpasar. Terbukti bahwa Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma juga berperan sebagai narasumber dalam dharma wacana, dharma thula, khususnya bagi para wargi atau sisya-nya yang terdiri atas warga Pasek Mas, Pasek Pulasari, Pasek Gaduh, Dukuh, dan Kebayan. Namun demikian, Jero Dukuh memang tidak memberikan dharma wacana kepada publik seperti dilakukan beberapa sulinggih yang lain. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya perbedaan penafsiran antara dirinya dengan penceramah yang lain karena bisa berakibat terjadinya konflik di masyarakat (wawancara 6 Desember 2010). Selain itu, Beliau juga melaksanakan Dharma Yatra dengan mengunjungi tempat-tempat suci terutama di Bali, Jawa, Lombok, Kalimantan, dan India. Demikian halnya dengan dharma gita,meskipun Jero Dukuh tidak lagi terlibat dalam pesantian karena kedudukannya sebagai sulinggih, tetapi dharma gita yang dilaksanakan lebih cenderung pada tingkat pemaknaan dan apresiasi terhadap kesusasteraan Hindu. Sementara itu dalam hal Dharma Sadhana, Jero Dukuh melaksanakan tradisi meditasi pada hari-hari tertentu bersama beberapa sisya-nya yang secara intens suka bergelut dengan bidang ini. Jero Dukuh juga aktif menghadiri undangan Dharma Santih terutama dikaitkan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi, baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah.
Peranan yang serupa juga dilaksanakan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa. Namun sedikit berbeda dengan Ida Jero Dukuh Udalaka Dharma, bahwa Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa adalah seorang pen­dharma wacana yang cukup terkenal, baik di Bali maupun di tingkat nasional. Ida Pandita aktif sebagai narasumber dalam berbagai seminar, baik lokal, nasional, maupun internasional. Ida Pandita Dukuh juga menjadi narasumber dalam acara Dharma Wacana dan Dharma Thula di berbagai stasiun televisi seperti: TVRI, Bali TV, Dewata TV, ANTV nasional, serta SCTV. Ini menandakan bahwa eksistensi Ida Pandita Dukuh sebagai pencerah rohani Hindu telah mendapatkan pengakuan dari publik. Dalam bidang Dharma Yatra, Ida Pandita Dukuh juga melaksanakannya di berbagai tempat di Indonesia, sembari memberikan dharma wacana di sana.



Ida Dukuh Saat Rekaman Dharma Wacana dengan Stasiun TV (SCTV)

Termasuk salah satunya adalah diminta untuk menjadi pemandu Dharma Yatra ke India oleh beberapa kalangan. Dalam bidang Dharma Sadana, Ida Pandita Dukuh memanfaatkan Pasraman Padukuhan Samiaga di tengah carik (sawah) Semaga sebagai tempat meditasi yang cukup representatif karena letaknya yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk kota. Ida Pandita Dukuh juga memiliki seperangkat gambelan dan gaguntangan untuk para sisya nya yang gemar melaksanakan dharma gita, sedangkan Ida Pandita sendiri lebih berperan sebagai narasumber untuk membahas sastra suci yang dinyanyikan. Demikian juga Ida Pandita eksis dalam kegiatan Dharma Santi lokal maupun nasional, baik sebagai undangan maupun penceramah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan peranan kasulinggihan sebagaimana ajaran sastra suci Hindu maupun Bhisama Parisada. Adapun peran yang dilaksanakan antara lain : (a) memimpin umat dalam hidup dan kehidupannya untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin; (b) melakukan pemujaan penyelesaian upacara Yajna; (c) memimpin pelaksanaan upacara Yajna yang sesuai dengan ketentuan sastra suci; (d) membimbing para pinandita/pemangku; (e) aktif mengikuti "paruman" dalam rangka penyesuaian dan pemantapan ajaran agama sesuai dengan perkembangan masyarakat; (f) memberikan bimbingan dan penyuluhan Agama Hindu melalui metode Sad Dharma.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More