Cover Buku Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Hasil Buruan 27 tahun,Untuk mengumpulkan data" Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing

Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.

Foto Tahun 1992, bekas Pura Penataran Lempuyang

Pura Kuru Baya

Pura Kuru Baya terletak di barat Pura Gaduh, Blahbatuh. Pura ini tempat Ki Kbo Iwa mendapat wangsit bahaya akan terjadi firasat buruk yang akan menimpanya,Tapi karena satya wacana dan mengemban tugas raja beliau akhirnya berangkat juga, maka terjadilah kenyataan pirasat itu dan beliau menemui ajal di tanah Jawa.

Pura Kawitan Blahbatuh

Pura Kawitan Yang terletak di barat daya Kota Gianyar

Bale Panjang Kebo Iwa

Bale Panjang Kebo Iwa di Jaba Pura Puseh Beda Sudimara,Tabanan dikisahkan dalam Prasasti Maospahit bahwa bale ini dibuat untuk Kebo Iwa dimana dulunya sendi akhir berada jauh ke barat sekitar 300 meter

Simbol Penghulu Sri Karang Buncing

Simbol

Pak Made Lagi Jualan Buku

Pak made mempromosikan buku terbitan pertamanya

Pembuatan Tapel Kebo Iwa

Process pembuatan tapel Kebo Iwa berlokasi di gianyar oleh bapak Tjokorda

Jumat, 24 Januari 2020

IV FUNGSI & MAKNA ARTEFAK SARIN BWANA

IV
FUNGSI & MAKNA
ARTEFAK SARIN BWANA


FUNGSI ARCA SARIN BWANA

FUNGSI PERWUJUDAN

Arca perwujudan di Pura Dalem Sarin Bwana dibangun dalam dua zaman, yaitu Arca zaman dahulu yang dibangun oleh Dalem Putih berbahan batu endapan lahar berwujud puluhan dewi, tri lingga, Arca bertangan empat dan beberapa pragmen kecil lain, sedangkan Arca dibangun setelah era Dalem Putih oleh pendahulu leluhur Sri Karang Buncing, berbahan perunggu perwujudan 2 Bhatari Sri, dan prerai berbahan kayu cendana perwujudan Sanghyang Giripati dan Arca berbahan kayu cendana berwujud burung Gagak Ora. Arca yang dibangun oleh Dalem Putih tidak dipindah,sedangkan Arca perunggu dan prerai cendana diusung jika acara melasti, ngusaba,maupun acara mendak ring jaba yang tentu ada kaintannya dengan runtutan upacara baik di dalam Pura Sarin Bwana maupun di desa Jimbaran.

Arca-arca berbahan batu endapan lahar kering (tufa breksi) tinggalan Dalem Putih Jimbaran yang terdapat di Pura Dalem Sarin Bwana tidak tersurat secara pasti, siapa pembuat arca itu, dewa siapa yang bersemayam, untuk apa dipuja dan apa makna dibalik perwujudan seperti itu. Sebelum di stanakan tentu diawali dengan upacara dan upakara runtutannya oleh Dalem Putih. Setiap benda yang disucikan, diupacarai dan dipuja-puji dengan taat, tulus, dan tepat bisa menimbulkan nilai magis bagi
pemujanya, getaran tubuh dikala melakukan persembahyangan seperti menangis,merinding, kesurupan atau kejadian aneh lainnya sebagai tanda untuk menambah kepercayaan, Apalagi arca kuno ini bekas tempat suci Dalem Putih pemuja Hyang Pramawisesa tentu didasari atas tapa, brata, yoga, semadi yang sangat ketat di dalam proses pembentukan maupun dalam pemujaan sehari-hari.

Banyak interpretasi muncul dari para penekun benda purbakala maupun oleh masyarakat sekitar, perwujudan seperti ini ada yang mengatakan untuk pemujaan leluhur, minta hujan, keturunan, permohonan taksu dan anugrah lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Beberapa mengatakan energy yang ada di arca peninggalan Dalem Putih bisa membuat bulu tengkuk merinding atau kesurupan sehingga roh jahat yang menyatu dalam raganya ketakutan bila dekat dengan arca, sehingga roh jahat
seketika itu pergi meninggalkan badan. Semenjak kejadian itu mereka merasakan diri lebih ringan dan jernih pikirannya. Karena arca ini diyakini membuat dirinya merasa dilindungi sehingga gambaran arca ini menjadi pusat kosentrasi dari kamar suci atau sanggah kemulan bila tidak dapat datang ke pura sehari-hari.

Perwujudan Dewi dan Tri Lingga saat inventarisasi oleh Balar dan BPCB Bali
Mungkinkah perwujudan arca batu ini serupa dengan fungsi yantra dalam upakara di Bali yang disebut rerajahan adalah suatu gambar magis di atas secarik kain putih mengambil bentuk binatang, manusia, raksasa, dewa dewi atau yang lain. Di mana yang digambar adalah sifat-sifat yang lebih tinggi kekuatannya dari sifat pengganggu,misalnya, di sawah banyak hama tikus perusak padi lalu dibuatkan gambar rerajahan berwujud ular atau sifat yang lebih tinggi berwujud manusia bertaring atau wujud yang lain. Secara logika tikus tentu kalah oleh ular dan manusia, ditambah doa-doa sang pendeta yang diyakini mampu menghalau hal gaib. Gambar mistis di atas secarik kain putih biasanya digantung pada setiap palinggih, rumah tinggal atau tempat yang baru selesai dibangun. Gambar mistis tersebut berfungsi sebagai penakut atau menjaga keselamatan bagi penghuninya, pekarangan dan bangunan.

SEBAGAI PUSAT KONSENTRASI

Kadang-kadang umat Hindu di Bali bingung dalam melakukan sembahyang, kemana fokus pikiran yang dituju, apa yang diucapkan bila persembahyangan dipimpin oleh pemangku pura atau pendeta, etika apa yang dilakukan sebelum hatur sembahyang dan bagaimana kita mengetahui bahwa maksud dan tujuan upakara sampai kepada  yang di sembah. Karena tiada patokan baku dalam etika persembahyangan secara bersama-sama maupun ngayat dari kamar suci atau dari sanggah kemulan sehingga menimbulkan perbedaan satu dengan yang lainnya.

Perbedaan terjadi karena acuan baku tentang sembahyang di pura umum yang dipimpin oleh pemangku atau pendeta, berbeda dengan aturan yang dilakukan bagi seseorang yang ngiring pakayunan luhur atau mempunyai guru pembimbing niskala atau sesorang karena suatu halangan tidak bisa hadir di pura, maka melakukan sembahyang pribadi ngayat ida bhatara di kamar suci atau sanggah kemulan. Karena tidak ada aturan baku, akhirnya mereka melakukan sembahyang dengan caranya sendiri, ada yang menghaturkan sembah dengan berpindah-pindah sesuai dengan jumlah palinggih yang ada, misalnya jumlah palinggih sepuluh sebanyak sepuluh kali berpindah tempat melakukan sujud bakti. Ada yang melakukan hatur sembah duduk di tempat hanya badan yang bergeser sesuai kiblat pura yang dituju, misalnya ngayat ke Pura Uluwatu si penyembah akan menggeser badannya menghadap arah selatan karena si penyembah berada di wilayah utara dari Pura Uluwatu, apabila hatur sembah ke ibu pertiwi (bumi) cakup tangan di kening mengarah ke bawah/tanah sesuai kiblat yang dituju. Hatur sembah ke raditya (matahari), pandangan,cakup tangan, pikiran menyatu mengarah ke atas sesuai arah yang dituju matahari.Ada yang melakukan hatur sembah dari atas kendaraan yang sedang melaju karena melewati pura yang menjadi jungjungannya, ada yang sungkem mencium kaki pondasi palinggih, ada tengkurep di depan pelataran pura dan sebagainya.

Hatur sembah identik dengan absensi dalam sekolah, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentu harus datang ke sekolah mengisi daftar hadir sebagai bukti telah mengikuti pelajaran, berinteraksi langsung dengan guru pengajar secara berjenjang, mulai dari TK, SD, SMP sampai Perguruan Tinggi, di sini sangat jelas wajah guru dan pelajaran yang diberikan sampai mendapakan gelar/ kelulusan, tentu pertanggung-jawabannya ke Guru sekala atau manusia. Bagaimana jika seseorang ingin mendapatkan pelajaran kepada suatu pura atau dewa jungjungan yang tidak kelihatan kasat mata, tentang lulus tidak, diterima tidaknya doa dan upakara, apakah ida bhatara/ Tuhan akan menampakkan diri dan berkata telah lulus atau upakara diterima?

Menurut Pandita Dukuh Dharma Yoga dari Padukuhan Karang Buncing, Desa Carangsari Petang, seorang pendeta yang ngiring pakayunan luhur dan tidak kenal sastra-sastra agama Hindu alias buta huruf, telah didiksa secara Hindu oleh seorang nabe napak mengatakan, alam sekala serupa dengan alam niskala, untuk mendapatkan gelar niskala harus datang menghadap ke pura atau kamar suci melakukan hatur sembah sebanyak 4 (empat) waktu sehari yaitu Sembah Semeng (Sembahyang Pagi),Sembah Tengai (Sembahyang Siang), Sembah Sandya (Sembahyang Sore) dan Sembah Peteng (Sembahyang Malam) masing-masing waktu mempunyai energy dan spirit yang berbeda-beda.

Arca Tinggalan Dalem Putih Jimbaran Sebagai Pusat Persembahyangan
Pandita Dukuh mengatakan pelaksanaan menghaturkan Sembah itu ada tiga tergantung situasi dan keadaan yaitu 1) Sembah Hyang, 2) Sembah Eling 3) Sembah Salam Disebut Sembah Hyang hanya dilakukan secara pribadi di kamar suci atau sanggah kemulan atau beragama ke dalam diri, sedangkan Sembah Eling dilakukan di pura secara bersama-sama dituntun oleh Pemangku dan Pendeta atau beragama di luar diri, dan Sembah Salam dilakukan dengan tergesa-gesa karena belum mandi atau tidak memakai pakaian adat ke pura seperti membunyikan klakson atau nyakup tangan dari dalam mobil bila melewati depan pura yang menjadi jungjungan atau turun dari kendaraan hatur sembah di jaba sisi.

Sembah Hyang ada aturan-aturan yang mesti dilakukan yaitu, ada pantangan di luar diri dan pantangan ke dalam diri, ada sikap badan (asana), ada nafas (pranayama),ada kiblat atau arah letak pura, ada fokus palinggih mana dijadikan titik konsentrasi,ada doa dan tujuan, ada aspek-aspek yang dialami saat sembahyang bisa menangis,bergetar, kerauhan, hujan rintik-rintik setiap ngayat pura tertentu, ada kebenaran bahwa sembah sampai kepada-Nya. Aturan ini serupa dengan astangga yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali, delapan aturan yang wajib ditaati yaitu: yama brata, niyama brata, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, samadi. Yoga merupakan satu disiplin yang ketat terhadap diet makan, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata dan berpikir, Yoga merupakan suatu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Tujuan yoga adalah untuk mengajarkan roh pribadi agar dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan Roh Tertinggi (Tuhan/ Dewa/ Bhatara).

Astangga Yoga terdiri dari, i) Panca Yama Brata larangan di luar diri yang wajib dilakukan oleh pencari pencerahan rohani, yaitu ahimsa tanpa kekerasan, larangan melukai mahluk lain, baik dalam pikiran, perkataan, perbuatan, satya atau taat dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, asteya pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain, Brahmacarya atau pembujangan dalam arti tidak menginginkan hubungan suami istri atau berzinah, aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan. ii) Panca Niyama Brata terdiri sauca atau kebersihan lahir dan batin menganjurkan kebajikan seperti pembersihan kecerdasan untuk membedakan hati riang, pemusatan budi, pengendalian nafsu-nafsu, realisasi diri, membersihkan badan sebelum sembahyang, santosa atau kepuasan untuk memantapkan mental,tapa pengetatan diri, walaupun seekor semut menggigit, panas terik matahari, dingin,hujan, menerpa tubuh tetap menerima kenikmatan yang kita hadapi saat hatur sembah,svadhyaya, mempelajari naskah-naskah suci, dalam hal ini tak boleh membawa buku yang bertentangan dengan agama yang bisa mengulang memori kenikmatan jasmani,isvarapranidhana atau penyerahan diri kepada tuhan yaitu dengan menyanyikan nama-nama tuhan setiap saat, melalui suara kidung kita menuangkan perasaan dan isi hati atas keagungan Tuhan. iii) Asana merupakan sikap badan dalam sembahyang bisa padmasana, matimpuh, berdiri, seperti gaya Subali kaki tergantung di dahan kayu kepala ke bawah, atau sikap Gana telapak kaki bertemu atau tidur telungkup ke depan atau gaya lainnya sesuai keadaan tubuh. iv) Pranayama atau pengaturan nafas memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan, dalam penarikan nafas, penahanan nafas, dan pengeluaran nafas selalu diikuti dalam hati artinya tidak boleh keluar suara dari mulut, v) Pratyahara penarikan pikiran liar yang keluar jalur dan digiring ke gambaran objek yang dijadikan fokus pikiran, vi) Dharana pemusatan pikiran dengan mantap dalam satu objek yang tidak terpengaruh oleh nafas, gerak dan keadaan saat itu. Di sini lah fungsi dari penggambaran arca-arca yang ada di Pura Dalem Sarin Bwana sebagai pusat konsentrasi bila melakukan hatur sembah dari rumah atau kamar suci, vii) Dhyana meditasi yang tak tergoyahkan dilakukan secara konsisten, iklas dan pasrah, viii) Samadhi ketenangan tertinggi yang tak tersentuh suara-suara yang berasal dari luar, pikiran kehilangan fungsinya, dimana indria-indria terserap ke dalam pikiran. Ada dua jenis Samadhi, yaitu samprajnana samadhi dimana obyek kosentrasi yang pasti dan pikiran tetap sadar akan obyek tersebut, dan Samadhi yang kedua adalah asamprajnana samadhi di mana perbedaan antara obyek yang dimeditasikan dan subyek menjadi lenyap dan terlampaui atau transenden,

Jika kita sulit untuk melenyapkan obyek dan subyek dihadapan kita, bisa dilakukan lewat tidur, selama bisa tidur sama dengan semadhi, dengan tidur kita bisa melupakan obyek dan subyek yang ada disekeliling kita, tidur termasuk orang suci karena badan tidak melakukan aktivitas apa pun. Kalau memang alam/ dewa jungjungan meridoi apa yang mesti diamanatkan akan menampakan diri lewat mimpi, misalnya, mimpi jero mangku pura Dalem Sarin Bwana sama dengan dewa sekala karena pemangku sebagai penghubung doa dan haturan ke alam tak nyata. Untuk memperoleh kebenaran pemangku pura pun harus memimpikan si pemuja dan memberikan keputusan yang didapat, misalnya, pemangku pura mimpi si pemuja sedang mundut pelawatan ratu ayu mas artinya ‘mas’ (kori emas) pintu masuk ke jeroan pura kawasan tersuci.Atau mimpi pura yang saat itu sedang berada di halaman mana, apakah kita sedang di halaman jaba sisi, jaba tengah atau jeroan artinya telah sampai di sana sembah kita. Atau pembuktian kebenaran lain melalui fenomena kerauhan atau kemasukan roh alam lain yang mengatasnamakan ida bhatara yang berstana dari pura itu dan memberikan keputusan bahwa telah mendapat restu kepada pemujanya, atau pembuktian kebenaran lewat penampakkan ada seorang pendeta keluar dari Gedong pura lalu menghampiri si pemuja dan menapak kepalanya dan sebagainya.

Arca Tinggalan Bhatara Dalem Putih Jimbaran Pusat Konsentrasi Pepatih


SEBAGAI PENYUCIAN

Pada umumnya pura terdiri dari tiga halaman yang disebut Tri Mandala (tiga kawasan) atau konsep Ulu-Apad, Luwan-Neben, kepala dan kaki dalam tradisi Hindu kuno di Bali. Tri Mandala terdiri dari Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Nista Mandala yang biasa disebut jaba sisi kawasan paling luar pura biasanya terdapat bale dapur, bale paebatan tempat menyemblih hewan kurban, bale wantilan, tempat parkir kendaraan, kamar mandi dan ruang ganti atau kawasan mempersiapkan sarana prasarana yang menunjang upacara harus melewati jaba sisi. Sedangkan kawasan tengah atau Madya Mandala (Jaba Tengah) terdapat Bale Kulkul (kentongan), titi ugal agil, panggungan, palinggih apit lawang, bale gong, bale panjang, sedangkan Utama Mandala (Jeroan) adalah kawasan paling suci, biasanya terdapat gedong utama stana dewa utama dan beberapa palinggih runtutannya sesuai sejarah berdirinya pura tersebut. Apabila ditarik benang merah antara Tri Mandala dengan Tri Hita Karana dalam suatu wilayah atau tempat tinggal,ada parahyangan (kawasan suci untuk para dewa) tempat berinteraksi manusia dengan tuhannya, pawongan kawasan tempat tinggal penduduk, tempat berinteraksi sesama manusia dan palemahan kawasan kuburan atau tegalan, hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Intinya untuk sampai di kawasan suci stana para dewa dimulai dari nista mandala wilayah kekotoran, baik kotor badan atau benda, pikiran, perkataan dan perbuatan.Untuk membersihkan kekotoran ada banyak jalan; ada yang membersihkan dengan air, api, tanah, banten, mantram, kidung dan sebagainya. Mengingat tempat yang dituju kawasan suci stana para dewa yang maha suci dan tak kelihatan kasat mata tentu hanya bisa didekati dengan pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih artinya tidak ada pikiran lain selain hendak datang hatur sembah dan bertemu dengan arca Pura Dalem Sarin Bwana, tidak menelikung ke tempat lain sebelum sampai di pura. Dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra, mandala V, sloka 109 dan sloka 111 disebutkan sebagai berikut:

Adhirgatram suddhyanti manah satyena suddhayanti
Widyatapobhyam bhutatma budhis juanena suddhyanti

Terjemahan:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, Jiwa manusia
dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.

Tarjasanam maninam ca sarwa syasma mayasya ca bhasmanadbhiimrida
caiwa abjamasmamayam caiwa rajatam canupaskritam

Terjemahan:
Orang bijak mengatakan bahwa semua benda-benda yang terbuat dari logam permata dan segala yang dibuat dari batu dibersihkan dengan abu, tanah, dan air.Dari acuan sloka di atas, umat Hindu yang hendak menghadap ke “rumah tuhan”atau halaman utama pura atau hendak melakukan sembahyang di kamar suci atau sanggah kemulan tentu dimulai dengan pembersihan badan dengan air, berpakian
bersih, menjalankan haturan sehari-hari, misanya, saiban, canang dan lelaku yang baik lainnya. Setelah melakukan yadnya suci ke masing-masing palinggih dilanjutkan dengan hatur Sembah Hyang sesuai dengan astangga yoga di atas.Runutan sembahyang di akhiri dengan nunas tirta dari pralingga bhatara yang disembah. Tirta yang dimaksud berasal dari tirta pura yang didapat sebelumnya.Tirta pengayatan biasanya distanakan di kamar suci pribadi, sesuai jumlah pura yang menjadi pengulu seseorang, tidak ditempatkan di sanggah kemulan, karena dalam satu pekarangan rumah terdapat lebih dari satu kepala keluarga dan kadang-kadang yang menjadi dewa pujaan pun berbeda.
Ida Pedanda Gde Putra, Griya Magelung, Baha bersiap memerciki tirta
Lumrah di Bali, yang dipuja di sanggah kemulan disebut Bhatara Hyang Guru,siapakah yang dimaksud Bhatara Hyang Guru, apakah yang dimaksud Catur Guru,yaitu guru rupaka (orang tua, leluhur), guru pengajian (sekolah, aguron), guru wisesa (pemerintah, kerajaan) guru swadyaya (Tuhan, dewa, bhatara). Bila tidak mempunyai kamar suci atau berada di tempat perantauan tentu dengan menempatkan toya anyar atau air bersih di dalam bilik atas dari tempat duduk dan lakukan astangga yoga, delapan jalan di atas yaitu pantang makan sebelum sembahyang,sikap sembah, ada pengaturan nafas, kiblat pura atau gambar arca dewa, fokus kosentrasi, doa dan maksud dan lakukan secara rutin dengan taat, tulus dan tetep pada dewa pujaan, niscaya menimbulkan kesehatan tubuh, pikiran suci atau aspek lain dikala sembahyang, bisa menangis, bergetar, kerauhan atau jalan penuntun yang baik dalam kehidupan nyata ini.

Orang-orang spiritual biasanya mempunyai banyak istadewata (dewa pujaan). Karena banyak mempunyai dewa pujaan tentu waktu yang diperlukan untuk sembahyang menjadi tambah lama. Jangankan melakukan sembahyang empat kali sehari hanya diperuntukan bagi para pendeta yang bebas keterikatan bermasyarakat atau telah diwakili oleh putra-putranya. Lakukan sembahyang dua kali sehari yaitu sembah lemah (siang) dan sembah peteng (malam), artinya sembah penguasa siang (Dewa) dan penguasa malam (Bhuta). Sembah dua kali sehari sangat cocok dilakukan bagi para pegawai yang terikat dengan waktu kerja 8 (delapan) jam sehari, masih ada sisa waktu 4 (empat) jam artinya sembah bisa dilakukan semasih ada sinar matahari atau dari pukul enam pagi sampai pukul enam sore. Jika sembah Hyang memakan waktu lama bisa dilakukan dengan sembah Eling atau sembah Salam atau hanya mencakup ke dua telapak tangan di jaba sisi sanggah dan menundukkan kepala pikirkan maksud dan tujuan kepada-Nya. Dengan melakukan kebiasaan pengayatan dua kali setiap hari secara teratur dan konsisten kepada arca Sarin Bwana, dan nunas tirta sehabis sembahyang ibarat dewa jungjungan telah menyatu ke dalam diri dan meyakini mengawasi umatnya. Setiap nafas, setiap langkah, setiap perkataan dan pikiran selalu ingat dewa pujaan. Berani berbuat kesalahan berarti membuat dosa baru yang akan selalu terbayang dalam hatur sembah yang tentunya berdampak menghambat pendakian spiritual. Walau pun terjadi sesuatu yang tidak diingini atau tidak sengaja digigit oleh seekor anjing, mereka menilai hal itu suatu proses pencaharian jati diri yang harus diterima, yang kemungkinan di kehidupan yang lalu pernah menyakiti si anjing tersebut dan tidak serta merta membunuhnya. Orang-orang spiritual sedikit memakai sarana dalam suatu penghayatan terhadap Tuhan. Mereka lebih banyak mencari ke dalam diri, karena “tubuh/ kepala” adalah media mencari Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Kuasa.

Berbeda nilai dengan hanya datang sekali dalam pujawali ‘tanpa’ minta tirta untuk distanakan di kamar suci atau disiratkan ke masing palinggih yang ada di rumah. Dengan memuja setiap hari dari rumah adalah proses pendekatan diri sang jiwa pribadi dengan dewa jungjungan dapat merubah pola hidup menuju kesehatan jasmani dan penyucian pikiran, bahkan kekayaan harta benda dan ilmu pengetahuan pun bisa didapat.

SEBAGAI PEMERSATU

Arca Perwujudan di Pura Dalem Sarin Bwana, di samping sebagai pusat penyatuan pikiran dikala melakukan sembahyang di pura maupun dari rumah, juga sebagai pusat pemersatu seluruh warga pangemong dan pangempon yang ada di Desa Adat Jimbaran yang dibawah komando Kelian Pangemong Pura IMade Sudiarsa di awali dengan rapat keluarga Karang Buncing yang ada di Jimbaran. Agenda dan pembagian tugas dari mempersiapkan sarana upakara tujuh hari sebelumnya. Bila piodalan gede kerama mengawali satu bulan sebelumnya perlengkapan yang dipersiapkan untuk menunjang kelancaran upacara. Masing-masing mendapatkan tugas sesuai pada bidangnya, yang istri membuat sampiyan jahitan, Yang laki mendirikan sanggah surya di belakang palinggih padma, bale panggung di halaman jaba tengah dan menghias masing tempat dan bangunan suci lainnya..

Para sutri sedang mempersiapkan upakara piodalan
Merpersiapkan segala banten/ upakara seperti banten penginih-inih, banten pakeling,sayut pengambean, bayuan, santun gede, banten pemendakan, banten ngangsuhin pratima, dan lainnya baik untuk masing-masing palinggih, banten dauman untuk pemangku, sulinggih, tukang kidung atau sesuai jumlah orang/ klompok yang ikut terlibat kelancaran piodalan.

Warga pengampu yang telah dijadwal oleh Kelian Pangamong untuk datang membantu sesuai tugas yang diberikan. Pekerjaan sebesar ini tentu didukung oleh seluruh krama dengan berbagai tingkat keakhlian mulai dari akhli memanjat kelapa,membuat banten caru, ngulat klangsah, gamelan, tari, santhi, tukang ebat sampai bagian administrasi ikut terlibat di dalamnya. Yang mendapat tugas magambel akan mempersiapkan diri berlatih menyatukan suara lagu, tugas makidung mempersiapkan
kidung mana yang akan dikidungkan, tukang ebat bertugas mengolah hewan kurban untuk dijadikan sate, lawar atau isi upakara lainnya. Pada kesempatan ini warga saling bahu-membahu tugas pura yang telah diembannya kadang-kadang dalam tugas diselingi tawa canda, maupun membicarakan kabar berita yang muncul di Tv,tentang politik, sejarah, agama dan tentang kehidupan sosial lainnya bukti pengikat persaudaraan pada waktu itu.

Penari Rejang bersatu bersama saudara dikala acara Piodalan 18 Juni 2012

SEBAGAI PELESTARIAN

Jejak-jejak peninggalan para pertapa, raja, resi pada zaman dahulu sangat disucikan dan dilestarikan oleh masyarakat desa dan pemerintah wilayah sekitarnya. Dari situs peninggalan pada zaman dahulu dapat diraba keadaan sosial masyarakat, perkembangan ekonomi, agama yang berkembang, hubungan kerajaan dengan dunia luar, serta beberapa aspek lain yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya sendiri.

Arca-arca peninggalan Bhatara Dalem Putih Jimbaran dibangun sekitar tahun 1325 Masehi termasuk Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010. Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebangsaan nasional serta memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban cagar budaya dilindungi, dilestarikan, dan pengamanan sebagai milik bangsa, di samping untuk kepentingan sejarah juga ilmu pengetahuan dan pemanfaatan lain dalam kepentingan
nasional.

Arca-arca yang terletak di Pura Dalem Sarin Bwana termasuk situs sejarah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, tentu atas dasar penelitian para akhli dibidangnya tentang syarat peninggalan sejarah yang wajib dilindungi oleh Negara.Peninggalan sejarah yang terdapat beberapa perwujudan dewi, tri lingga, Arca bertangan empat dan pragmen kecil lainnya. Sebagai media terdekat pendekatan diri umat-Nya.


MAKNA TEOLOGI ARCA

Teologi berasal dari bahasa Yunani theologia, dari urat kata theos dan logos,Theos artinya Tuhan, dan logos artinya ilmu, wacana. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang hakikat Tuhan/ Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.Teologi dalam pandangan agama Hindu disebut brahma widya, Brahma artinya pencipta (Tuhan) dan widya adalah ilmu, dengan demikian Brahma Widya artinya ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan. Objek teologi adalah Tuhan/ Hyang Widhi,berbicara mengenai eksistensi-Nya, esensi-Nya, dan aktivitas-Nya. Kalau teologi mulai dengan pengetahuan alamiah manusia yang bersandar pada fakta bahwa kita dapat mengetahui dengan pasti eksistensi-Nya dan menilai keabsahan-Nya, tentu tidak muncul perbedaan agama. Teologi adikodrati atau teologi wahyu berdasarkan pernyataan-pernyataannya wahyu yang datang dari Tuhan, yang memperlihatkan wahyu merupakan suatu fakta hisoris menurut pengalaman pribadinya yang tidaklah
tampak nyata dan sama rupa, wujudnya penuh kerahasiaan, tidak mampu kita menggunakan akal sehat dan jauh dari jangkauan pikiran manusia, dalam bahasa sanskerta disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia (Titib, 2001:10).

Dalam kitab-kitab Upanisad menyatakan difinisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan yang tidak terbatas itu tidaklah dapat dijangkau kebesaran-Nya. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk Hyang Widhi (Tuhan), Neti-Neti (na+iti, na+iti),bukan ini, bukan ini. Jangankan mengetahui keberadaan Sang Pencipta Alam Semesta yang disebut, Brahman, Tuhan, God, Allah, Hyang Widhi atau apapun sebutan-Nya adalah suatu kemustahilan, mengetahui Sang Atma (roh) saja sulitnya luar biasa.Dalam buku Veda oleh Titib (1996 : 236, 237, 268) mengutip Rgveda VII 7. 11,disebutkan Tubuh manusia terdiri dari Tuhan Yang Maha Esa dan jiwa perseorangan:

Dvita yo-abhud amrto martyesva,
hota mandratamo visi.

Terjemahan,
[Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) memanggil dengan khusuk para dewata.Dia adalah sumber kebahagiaan yang menghuni hati semua orang. Dia adalah abadi.Dia berdiam di dalam diri manusia dengan dua bentuk, satu, sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) dan, dua, sebagai Jiwa Perseorangan/ Atman (Titib, 1996:236).

Dalam Rgveda VII.4.4 Tuhan Yang Maha Kuasa yang kekal berdiam diri di dalam diri manusia, disebutkan:

Ayam kavir akavisu praceta,
martesv-agnir amrto ni dhayi

Terjemahan,
[Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) adalah maha mengetahui, yang paling cerdas dan yang abadi. Dia berdiam di dalam diri, umat manusia, yang adalah makhluk hidup] (Titib, 1996 : 237) Juga dalam Rgveda I. 123. 9 Tuhan Yang Maha Esa mengilhami jiwa,

Tam isanam jagatastasthusas patim,
\ghiyam jinvam avase humahe vayam,
pusa no yatha vadasamasad vrdhe,
raksita payuradabdhah svastaye.

Terjemahan,
[Ia, Yang Maha Kuasa, Dewata bagi yang bergerak dan yang tidak bergerak, Yang mengilhami pikiran, kami mohon pertolongan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa,Pelindung kami dan yang menjaga kami, yang tak terkalahkan, lipat gandakanlah kekayaan kami untuk kesejahteraan umat manusia] (Titib, 1996 : 268).

Dari gambaran sloka di atas berarti percikan Tuhan bersemayam pada setiap benda yang bergerak dan tidak bergerak, termasuk dalam diri manusia, dalam bahasa Bali lumrah disebut dewo ado di deweke. Kepala yang berada bagian atas dari tubuh manusia terdiri dari rambut, hidung, mulut, mata, kulit dan telinga sebagai remote control dalam pencaharian terhadap hakikat Tuhan yang transenden yaitu dengan menarik suatu kesimpulan dari penggabungan panca tan matra, lima benih unsur zat alam yang menghasilkan panca maha bhuta, lima materi pokok, tanah, zat cair,cahaya, udara dan gas yang bersemayam di lima organ gerak yang ada dalam tubuh yaitu hidung, mulut, mata, kulit dan telinga. Kepala ini sebagai alat untuk mencari pengalaman empiris terhadap pendakian spiritual antara manusia, alam dan Tuhan.

• MAKNA RAMBUT

Rambut penggambaran konsep dewa bersifat pasif dan sunya berhubungan dengan kelepasan dunia materi (Panca Tan Matra) atau lima zat halus yang tidak berbentuk,bebas ruang dan waktu, tak ada yang tahu asal usul keberadaan. Panca Tan Matra terdiri dari gandha tan matra yang mengeluarkan unsur bau, rasa tan matra yangmengeluarkan unsur rasa, inti sari, rupa tan matra mengeluarkan unsur wujud,warna luar, sparsa tan matra mengeluarkan unsur sentuhan, indra peraba, sabda tan matra mengeluarkan unsur bunyi, suara. Dalam arti unsur yang ada di makrokosmos terdapat pula pada tubuh manusia.

Rambut merupakan mahkota seorang manusia yang sangat dirawat dengan baik,setiap saat disisir, dikeramas, dibedaki, bahkan disucikan bagi para pendeta, tidak sembarang orang dengan gampang menyentuhnya. Bagi orang-orang spiritual rambut adalah stana dewa jungjungannya yang sangat singid/ suci. Sabun badan dan sabun rambut berlainan, begitu pun handuk badan dengan handuk rambut berbeda.Disamping untuk mengetahui jabatan seorang pendeta, raja, mahapatih dan bawahan
raja bisa diketahui dari gelung atau mahkota yang dikenakan, apakah memakai ketu/perucut untuk pendeta, bertopi seperti anak sekolah atau bermahkota bertingkat (kiritamakuta) seperti gelung raja atau bongkos nangka seperti gelung Sang Yudistira dalam pewayangan yang dulunya dipakai oleh Brahmana Dukuh atau memakai petitis untuk pendeta wangsa tertentu atau berambut panjang seperti seorang mahapatih dan motif lainnya. Apalagi jika seseorang berambut perucut berarti seorang yang selalu ingat dengan Hyang Widhi/ Tuhan, mengetahui ilmu agama, ilmu filsafat dan teologi yang menjadi pedoman dalam hidupnya.

Sedangkan wajah (muka) yang terdiri dari hidung, mulut, mata, kulit dan telinga merupakan konsep bhuta (Panca Maha Bhuta) bersifat aktif dan ramie, berhubungan dengan dunia materi atau kenyataan yaitu, gandha tan matra menghasilan pertiwi (Dewa Bumi) yang berhubungan dengan Hidung pengindra yang berfungsi membau.Rasa tan matra menghasilkan apah (Dewa Air) berhubungan dengan Mulut pengindra yang berfungsi pengecap rasa, inti sari. Rupa tan matra menghasilkan teja (Dewa Api) berhubungan dengan Mata pengindra yang berfungsi melihat wujud atau bentuk. Sparsa tan matra menghasilkan vayu (Dewa Angin) berhubungan dengan Kulit pengindra yang berfungsi sebagai peraba atau sentuhan. Sabda tan matra menghasilkan akasa (Dewa Langit) berhubungan dengan Telinga pengindra yang berfungsi pendengar suara.

• MAKNA HIDUNG

Hidung simbol Gandha Tan Matra menghasilkan Pertiwi atau Dewa Bumi, benda padat pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan bau yaitu Hidung pada organ tubuh manusia. Hidung merupakan alat kepekaan terhadap sesuatu hal, menghirup aroma sekitar sebagai pertanda ada kehidupan lain yang belum tampak oleh mata,Kadang-kadang di suatu tempat jauh dari rumah penduduk menghirup bau wangi dupa, bau lawar, kopi susu dan aroma khas lainnya, lalu kita bertanya dalam hati dari mana sumber bau tersebut.

• MAKNA MULUT

Mulut simbol Rasa Tan Matra menghasilkan Apah atau Dewa Air, benda cair pada panca maha bhuta berhubungan dengan rasa, sari yaitu Mulut pada organ tubuh manusia. Air sumber kehidupan dari semua makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai macam rasa dalam makanan. Pengalaman orang-orang spiritual, air pancoran beji (sumber air) yang jumlahnya puluhan, rasa air pancoran berbeda-beda, ada yang mendapatkan rasa asin, pedas, harum, asem dan lain-lain mengandung makna peleburan karma seseorang.

• MAKNA MATA

Mata simbol Rupa Tan Matra menghasilkan teja atau Dewa Api, cahaya pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan Mata pada organ tubuh manusia. Pengalaman sesorang melihat siluet atau penampakan kehidupan di suatu tempat, melihat ada pasar, puri, dan kehidupan alam lain padahal di sana adalah semak belukar yang tidak bisa dipecahkan oleh akal sehat. Atau kedatangan roh dari alam lain yang kelihatan dengan jelas busana, wajah dan karakter yang hendak meminjam raga seseorang sebagai media komunikasi ke alam dewata atau alam bhuta.

• MAKNA KULIT

Kulit pipi, simbol Sparsa Tan Matra yang menghasilkan wayu atau Dewa Angin,udara pada panca maha bhuta berhubungan dengan Kulit pada organ tubuh manusia.Para pencari rohani atau saat sembahyang, merasakan bulu kuduk berdiri, tubuh terasa dingin, bisa menangis, bergetar kalau tidak kuasa diri melihat penampakan yang datang, di sini detik-detik kerauhan (trance) kemasukan roh alam lain sebagai media komunikasi antara alam, manusia dan dewa tertinggi sekitar dalam suatu piodalan berlangsung.

• MAKNA TELINGA

Telinga simbol Sabda Tan Matra yang menghasilkan akasa atau Dewa Langit, suara,ether, gas pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan Telinga pada organ tubuh manusia adalah metode teringgi yang dicari oleh para Maha Rsi Hindu zaman dahulu yaitu Sabda Suci atau pawisik dalam bahasa Bali. Jadi harus jelas wajah,busana, karakter, asal usul yang membisiki melewati empat tahapan di atas.

Di atas telah diuraikan mencari Tuhan ke dalam diri (dewa ado di deweke) kini mencari Tuhan di luar diri dengan melihat keadaan pura sedikitnya bisa dinilai fungsi dari tempat suci itu. Dari susunan palinggih dan tradisi yang tampak di lapangan,sedikit dapat diketahui bahwa terdapat tiga konsep ketuhanan (teologi) yang dijalankan di Pura Dalem Sarin Bwana, pertama zaman Dalem Putih tinggalannya adalah Arca-arca batu berjumlah puluhan, kita tidak tahu untuk apa Arca itu, apa persembahan yang di suguhkan sehari-hari, siapa yang disemayamkan, apakah leluhur, dewa aguron-guron atau dewa fungsional misalnya Hyang Tegal karena tempat suci berada tengah perkebunan Ketuhanan yang kedua dibangun setelah zaman Dalem Putih, munculnya bentuk tempat suci dan perwujudan dewa yang distanakan lengkap dengan tempat berhias, tempat marerep dan tempat prasanak maupun pesimpangan untuk para dewa Bali dan Jawa. Masing-masing memliki pratima yang dapat diusung keluar gedong, palinggih, pasimpangan, bilamana ada upacara pemelastian, ngusabha, maupun acara berkaitan dengan piodalan. Adalah bentuk toleransi antar dewa yang bersemayam pada masing pura dengan umat Hundu di Jimbaran. Dalem Putih pemuja Hyang Paramewisesa dan zaman selanjutnya memuja Sanghyang Dewi Giri, di lapangan depan Arca adalah Waduk Brerong hal ini diketahui dikala pepatih sebelum menusuk dirinya dengan Keris selalu menyebut, “Ngayah Waduk Brerong”,,,,


III SARIN BWANA MASA LALU DAN KINI

III SARIN BWANA MASA LALU DAN KINI

PEMBAHASAN MASA LALU


PETUNJUK LONTAR
Mengungkap tabir keberadaan Pura Dalem Sarin Bwana tidak lepas dengan kehidupan Sri Batu Putih (Dalem Putih) di Jimbaran saudara kandung Sri Batu Ireng (Dalem Badhahulu, Sri Astasura Ratna Bumi Banten) bukanlah pekerjaan mudah untuk mendeskripsikan ke permukaan, apalagi masa kejadian telah tujuh abad berlalu. Kita hanya bisa membangun opini dari data tertulis yang ditinggal oleh para pendahulu baik berupa prasasti, purana, piagem, prakempa dan babad.Di samping secara lisan disampaikan turun temurun oleh para tetua maupun lewat poto pada masa lalu.
Photo 1987, pagar Arca baru mulai dibangun bersamaan Gedong Pajenengan atap semen
Karena ranah sejarah adalah pakta di lapangan (bumi) sedangkan ranah agama di atas awang-awang/ langit. Jika lima data yang disebutkan di atas tidak sinkron dengan di lapangan tentu hasilnya jauh panggang dari api. Antara pegangan klompok pura dengan pegangan klompok warga harus saling menceritakan, misalnya, bila pegangan klompok warga tertentu menyebutkan leluhurnya membangun Pura “A” tetapi di purana Pura “A” tidak tercantum nama leluhurnya, berarti data itu mengambang, begitupun bila tercantum nama leluhurnya di purana Pura “A” tetapi tidak tercantum namanya di prasasti yang dikeluarkan oleh raja/ penguasa pada zamannya sama juga mengambang atau perlu di analisa kembali, yang kadang-kadang angka tahun sama tetapi berbeda nama sebab nama keluarga akan berganti bila dinobatkan menjadi raja sesuai gelar diberikan oleh kerajaan dalam Prasasti yang dikeluarkan pada zaman itu. Begitupun setelah hidup suci gelar yang diberikan oleh kerajaan akan berganti pula sesuai gelar yang diberikan guru nabe.

Beberapa sumber yang menjadi rujukan dalam penulisan awal sejarah Pura atau Desa di Bali yaitu, 1) Bersumber dari catatan tertulis berupa prasasti, purana, piagem,prakempa dan babad yang menjadi milik pura atau catatan tertulis yang terdapat di lain tempat yang menerangkan asal usul desa atau tempat suci itu dan seluruh data tersebut mempunyai nilai yang berbeda. 2) Berdasarkan Tri Hita Karana yaitu tentang tata letak tempat antara parahyangan, pawongan dan palemahan atau dengan perkataan lain batas antara kawasan suci (parhyangan, ulu desa), kawasan pemerintahan/ penduduk (pawongan) dan kawasan kuburan (palemahan). Penduduk yang tinggal paling dekat dengan Pura Desa biasanya mempunyai hubungan historis langsung. Pada zaman dahulu tempat tinggal para penguasa di sekitarnya berdiri Pura Desa, Pura Puseh, Sekolah, Banjar, Pasar, dan fasilitas umum lainnya. Hubungan manusia dengan manusia yaitu hubungan manusia dengan kelompok pekerjaan akan muncul Bale Banjar, sekaa dan kelompok pekerjaan lainnya. Hubungan manusia dengan palemahan (kuburan) akan kelihatan di sisi sebelah mana keluarganya di kuburkan apakah di luwan atau di teben, sang penguasa posisi kuburannya di tempakan di luwanan atau mempunyai tradisi khusus bila keluarganya meninggal. 3) Berdasarkan nama-nama palinggih yang ada di halaman utama pura misalnya,di halaman pura berdiri palinggih atas nama leluhurnya atau di pura ada nama pura pasimpangan pura lain. 4) Berdasarkan pemangku yang secara turun temurun mengabdi di pura itu, kemungkinan tanah pura berasal dari keluarganya, atau leluhurnya sebagai penguasa awal di tempat itu. 5) Berdasarkan ragam hias atau relief yang menjadi ornament pura dan tinggalan artefak lain. 6) Berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK), jumlah KK dalam merajan gede paling banyak tentu mereka yang lebih dahulu berada di tempat itu. 7) Berdasarkan hubungan abstrak ke pura yang lebih tinggi kedudukkannya dalam nunas tirta jika ada upacara pujawali, atau yang menjadi sadeg desa berasal dari keluarga leluhur pendiri tempat itu,

Photo Arca terakhir, detik-detik ekskavasi oleh Balar dan BPCB Bali, (1/12/2014)
Salah satu petunjuk terdekat untuk mengungkap masa lalu kehidupan Sri Batu Putih (Dalem Putih) di Jimbaran adalah Lontar Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Dalem Putih Jimbaran, disamping beberapa lontar lainnya yang tentu ada keterkaitan dengan jejak-jejak perjalanan kehidupan dari kedua tokoh tersebut. Kedua petunjuk lontar tersebut ditulis pada zaman yang berbeda. Piagem Dukuh Gamongan diperkirakan ditulis tahun 1600 Masehi setelah kekuasaan Dalem Baturenggong hal ini diketahui dari silsilah keturunan akhir dari Dukuh Gamongan tercatat tiga generasi di bawahnya bernama Dukuh Karang. Piagem Dukuh Gamongan 21a, disebutkan Gelar Dukuh Gamongan diberikan oleh Danghyang Bawurawuh (Danghyang Nirartta) sebagai bagawanta Raja Sri Kresna Kepakisan Baturenggong. Dukuh Gamongan adalah putra pertama Sri Pasung Giri dari Desa Gamongan, Karangasem, Sedangkan Prasasti Dalem Putih Jimbaran diperkirakan ditulis setelah kekuasaan Kerajaan Mengwi, ini diketahui dari pembagian tugas untuk mengabdi menjadi pemangku di tiga tempat suci yang ada di Jimbaran yaitu Pura Dukuh, Pura Ulun Swi dan Pura Dalem Kahyangan.

Ketiga tempat suci itu dibangun oleh putra Dalem Putih Jimbaran bernama Dalem Petak Jingga berpuri di Pura Dukuh sebelah timur laut Banjar Perarudan. Setelah masuknya para Arya Majapahit, atau kemungkinan Dalem Petak Jingga tidak mempunyai keturunan, akhirnya pakubon (Pura Dukuh) terbengkelai tidak terurus. Di Piagem Dukuh Gamongan tidak muncul nama Dalem Putih begitu pun sebaliknya nama Sri Batu Ireng dan Sarin Bwana tidak muncul dalam Prasasti Dalem Putih Jimbaran.

Dalam Purana Pura Luhur Pucak Kembar, Babad Batu Aji, Prasasti Dalem Putih Jimbaran, Purana Pura Natar Bolong, Babad Batu Kuub, Dalem Putih dan Dalem Ireng adalah saudara kembar laki-laki. Oleh karena Sri Batu Putih (Dalem Putih) yang lahir lebih dahulu maka disebut kakak kandung oleh Dalem Ireng dalam Piagem Dukuh Gamongan.

Arca-arca tinggalan Dalem Putih dan busana hitam putih saat acara piodalan
Rangkuman dari beberapa lontar tersebut di atas dapat digambarkan, pada zaman dahulu kehidupan keluarga kerajaan, setiap kelahiran kembar laki-laki selalu dipisah kehidupannya oleh orang tuanya, hanya salah satu dari mereka yang menetap di kerajaan sebagai pengganti kelak sang raja, itu pun setelah mendapat petunjuk dari rohaniawan kerajaan.

Apabila ada kelahiran kembar buncing yaitu kelahiran laki dan perempuan dalam satu kandungan maka setelah dewasa akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya misalnya,Sri Masula-Masuli yang disebut juga Prabu Buncing, Sri Karang Buncing orang tua Sri Kebo Iwa dan adik Kebo Iwa juga kelahiran buncing setelah dewasa dinikahkan oleh orang tuanya, hal tersebut dipertegas dalam Lontar Batur Kelawasan hanya keluarga raja yang boleh menikahkan putranya yang kelahiran buncing, sedangkan masyarakat biasa dilarang menirukan seperti itu.

Kembali pada kehidupan Dalem Putih dan Dalem Ireng di masa remaja. Menurut tradisi kerajaan yang semestinya pengganti Sri Masula – Masuli adalah anak tertua yaitu Dalem Putih Jimbaran (Sri Batu Putih), entah pertimbangan apa yang mendasari orang tuanya untuk tidak menjadikan Dalem Putih sebagai raja. Juga tidak dijelaskan secara rinci dalam Piagem Dukuh Gamongan tentang keberadaanya sampai di Desa Jimbaran, apakah begitu masih bayi ia dibawa ke Jimbaran, siapa yang merawatnya, apa yang dilakukan sehari-hari dan pertanyaan lainnya. Setelah Sri Batu Ireng dinobatkan menjadi raja disebut Sri Astasura Ratna Bumi Banten sekitar tahun 1330 Masehi di Kerajaan Batahanar yang belakangan dalam babad disebut Kerajaan Bedaulu atau Raja Berkepala babi, Dalem Ireng baru mengetahui dirinya mempunyai saudara kandung yang hidup di Jimbaran disamping mereka sama-sama tidak mengetahui wajah masing-masing.

Dalem Putih mengetahui dirinya tidak dipilih menjadi raja, sedih hatinya lalu terlunta lunta menyusuri pinggir laut sendirian menuju arah baratdaya desa, menyusuri hutan lebat masuk wilayah Luhur Uluwatu menemukan gugusan pohon bambu petung yang luas, di mana salah satu batang bambu itu besar dan tinggi sekali, yang ujungnya tembus ke langit akhirnya bambu itu di paripurna dan ditebang, potongan bambu yang atas melesat ke sorga sedangkan batang bawahnya muncul seorang anak perempuan. Karena tidak ada Ibu lalu sang bayi disusui oleh seekor kijang yang kelak dijadikan istri oleh Dalem Putih. Kemudian peristiwa itu dijadikan bhisama oleh Dalem Putih untuk sanak saudara agar tidak makan daging kijang dan memakai bambu sebagai alas tempat tidur. Dari larangan tersebut dapat digambarkan bahwa masa itu hewan kijang dan bambu dilindungi. Yang menjadi pertanyaan mungkinkah sebatang bambu ditebang lahir seorang wanita, mungkinkah kijang menyusui manusia dan kenapa tidak Dalem Putih yang merawatnya, apakah tidak kelamaan Dalem Putih menanti sang bayi sampai dewasa untuk dijadikan istri, ini contoh sebuah babad yang mengandung makna tertentu di balik kata-kata babad itu.

Setelah jabang bayi tumbuh dewasa dan dijadikan istri oleh Dalem Putih, mereka membangun sebuah taman atau perkebunan yang penuh dengan berbagai tanaman pala bungkah pala gantung dan tumbuhan lain sambil melakoni hidup suci menjalankan tapa, brata, yoga, semadi yang membuat betah hati Sang Dalem tinggal di mal (Penulis: dalam bahasa jimbaran kamel artinya pondok yang letak jauh dari pemukiman penduduk, tertutup oleh rimbunan pepohonan subur yang membuat betah siapa pun yang datang ke sana).

Pada suatu hari sang istri lama menunggu kedatangan suami dari kebun yang telah menyediakan makanan lezat, sampai matahari sorong ke barat Sang Dalem belum juga datang. Tak diduga datang seorang lelaki berbadan gede kekar, kulit hitam, rambut acak-acakan bagaikan raksasa, tanpa permisi langsung masuk dapur membuka hidangan yang telah disiapkan untuk Dalem Putih. Dan tamu yang baru datang menanyakan sang kakak Sri Batu Putih. Lalu sang istri menjawab Dalem Putih berada di Mal. Tanpa berkata sepatah pun Dalem Ireng pergi menuju Mal, sampai di sana dan memeriksa kebun sekitarnya ia terkagum-kagum dengan tempat itu, semua tumbuhan hidup dengan subur dan masari.Akhirnya tempat di mana Dalem Putih berkebun sambil melakukan pemujaan terhadap Hyang Pramawisesa oleh Dalem Ireng dinamakan Sarining Bwana, apan saking irika meletik ikang Sarin Bwana. (Penulis, Sarin Bwana artinya hadir Roh alam karena kekuatan tapa Dalem Putih, di lapangan setiap pujawali di Pura Dalem Sarin Bwana selalu terjadi phenomena kerauhan yang mengatasnamakan isi dunia, seperti, ngayah batu kitik,pangpang mal, ngayah leak barak, gregek tunggek, blego, penyu, pancung segara,I pekak dan sebagainya atau kemungkinan lain, Sarin Bwana artinya sebagai pusatkekuatan Roh alam).

Photo 1984, Gedong Pajenengan beratap alang-alang, tiang empat asal rehab tahun 1964

Lanjut cerita, karena tidak ketemu dengan kakaknya di Mal sudah pasti jalan yang dilalui berbeda, tidak lama Dalem Ireng pergi dari Puri, kemudian datang Dalem Putih dan kedapatan sang istri menagis lalu ditanya sebabnya, sambil sesenggukan Istri Dalem Putih menceritakan tingkah polah sang tamu yang baru saja pergi menuju Mal, akhirnya Dalem Putih sangat marah langsung mengambil senjata dan balik ke kebun. Sampai di kebun kedapatan Dalem Ireng yang lagi terkagum-kagum dengan tempat sekitarnya. Karena saling tidak mengenal mereka berdua, tanpa basa basi Dalem Putih langsung menyerang Dalem Ireng, akhirnya terjadi perkelahian sangat hebatnya mulai dari Sarin Buana menuju Batu Mabing, Batu Maguwung, Sekang, Muaya, Kali, Tambak, Unggan-unggan dan terakhir sampai di Gaing Mas, lalu mereka kepayahan dan tidak ada yang cedera sedikit pun. Sambil memijit-mijit kaki dan nafas ngos-ngosan Dalem Putih bertanya kepada sang tamu, “Hai kamu siapa, dari mana dan apa tujuan kamu datang ke sini, kenapa kamu tidak cedera sedikitpun” lalu dijawab oleh Dalem Ireng, Aku Sri Batu Ireng berasal dari Badhahulu, datang ke sini mau bertemu dengan kakak ku Sri Batu Putih, setelah berkata demikian, “Aku Sri Batu Putih” sahut Dalem Putih langsung memeluk Dalem Ireng karena saking bahagianya juga disambut gembira oleh rakyat Jimbaran. Kegembiraan itu sampai di depan pasar Jimbaran, berujar mereka berdua, semoga kelak disini dibangun pura yang namanya Ulun Swi, sebagai tonggak pertemuan sanak saudara. (Penulis: Ulun Swi disini apakah Ulun artinya sebutan ‘aku’ untuk sesama keluarga raja,karena mereka berdua baru menyadari bersaudara atau ‘saya’ untuk menyebutkan diri sendiri bagi orang biasa atau Ulun artinya Tuhan, dan Swi artinya bertemu, jadi tempat Tuhan bertemu hambanya).

Photo 1984, Kondisi Palinggih Papelik, Bale Panca Resi dan Pohon Kepah di kiri
Setelah perkelahian berakhir, Dalem Ireng diajak ke Puri sambil menikmati hidangan yang tadinya telah disediakan oleh sang Istri Dalem Putih. Tidak berapa lama Dalem Ireng mohon pamit kembali ke istana Badhahulu (Batahanar) dan setelah itu Dalem Putih pun hidup bahagia sambil menunggu kehamilan istrinya yang telah menginjak kelahiran anak pertamannya. Setelah umur kandungan, lahir seorang putra diberi nama Dalem Petak Jingga. Tidak disebutkan aktivitas yang dilakukan oleh Dalem Petak Jingga hingga ia menginjak dewasa.

Dalam Prasasti Dalem Putih Jimbaran disebutkan, dalem putih jimbaran lunga maring jawa bumi solo artinya Dalem Putih Jimbaran keluar jagat Jimbaran sendiri bukan ia pergi ke Solo Jawa, karena Kerajaan Solo keberadaannya sekitar tahun 1650 Masehi sedangkan keberadaan Dalem Putih tahun 1325 Masehi, jadi jeda waktu 200 tahun lebih sebelum kerajaan Solo berdiri. Diperkirakan setelah Dalem Petak Jingga membangun tiga pura, lalu Dalem Putih keluar jagat Jimbaran sendiri untuk melakukan perjalanan suci menuju arah Utara, sampai di Selatan Kuta, rakyat Jimbaran prasida ngiring Dalem Putih yang sekarang disebut Pura Sada. Dari Kuta Dalem Putih menuju arah utara sampai di Seminyak beliau meminyaki kakinya karena pegel, terus berlanjut ke utara menuju Batu Belig, Batu Bolong, terakhir di Pucak Kembar di sana beliau mencapai moksah.

Uraian tersebut di atas bahwa Dalem Petak Jingga membangun tiga pura tersebut sebelum ayahnya melakukan perjalanan suci mencapai moksah. Karena tidak ditemukan data yang jelas tentang pembangunan tiga pura yang dibangun oleh Dalem Petak Jingga, apakah dibangun sebelum meninggalnya Dalem Putih atau dibangun setelah moksahnya Dalem Putih untuk mengenang leluhurnya. Lalu siapakah keturunan Dalem Petak Jingga? Apakah Dalem Petak Jingga tidak punya keturunan atau gugur dalam pertempuran diserang oleh para Arya Majapahit bersama prajuritnya?

Photo 1987, Batang Pohon Kepah dan tembok Pura masih dari tumpukan Batu Bukit
Dalam pamancangah yang ada di Bali, setelah wafatnya Mahapatih Kebo Iwa yang kena pangindra jala (perangkap) oleh Mahapatih Gajah Mada, akhirnya pada tahun 1343 para Arya Majapahit menyerang pulau Bali, yang pada saat itu dijaga oleh para patih kerajaan Bhadahulu (Batahanar) antara lain, Ki Pasung Grigis di Tengkulak,Si Gudug Basur di Batur, Si Kala Gemet di Tangkas, Si Girimana di Ularan, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Tunjung Biru di Tianyar, Ki Tambyak di Jimbaran, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro, Ki Agung Pemacekan sebagai Demung

Penyerangan terbagi menjadi tiga arah yang dibawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada menuju wilayah Bali Timur dibantu oleh para Patih dan para Arya lainnya mendarat di Tianyar. Arya Damar dan Arya Sentong, Arya Kutawaringin mendarat di Bali Utara. Dan Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, mendarat di pantai Bali Selatan dan menuju ke Kuta. Tidak diungkapkan dahsyatnya pertempuran pada ketiga wilayah tesebut. Pertanyaan penulis yang belum dapat jawaban secara faktual adalah apabila penyerangan Bali oleh para Arya Majapahit secara besar-besaran membawa ribuan pasukan kemudian Bali kalah, lalu sisa prajurit yang masih hidup dan menetap di Bali masuk soroh (klen) apakah mereka, di manakah Pura Kawitannya? Dalam pertempuran tentu ada prajurit Majapahit yang tewas lalu di manakah kuburan massalnya atau monument sebagai lambang untuk mengenang jasa jasa mereka?

Analisa penulis, penyerangan Bali oleh Majapahit bukan melalui pertempuran secara besar-besaran, dari kekuasaan Dalem Sagening sampai Dalem Baturenggong masyarakat Bali masih waspada dan menungu komando dari Ki Pasung Giri yang menjadi andalan Bali setelah wafatnya Kebo Iwa di Jawa. Para Arya Majapahit mempunyai upaya mempengaruhi rakyat Bali dengan mendekati Ki Pasung Giri dan berhasil, terjadi kesepakatan untuk mengangkat adiknya yang kedua bernama Sri Giri Ularan (Gusti Ularan) menjadi mahapatih Agung di kerajaan Dalem Baturenggong. Pengangkatan putra Sri Rigis dari Desa Gamongan ini untuk meredam kemarahan masyarakat Bali, paska transisi pemerintahan Bali ke Jawa.

Para Arya Majapahit melakukan pendekatan kepada tetua lokal Bali melalui utusan yang telah direkrut untuk disampaikan ke desa-desa yang disebut Pasek yang artinya paek, parek (orang biasa) yaitu masyarakat Bali yang dekat dengan penguasa, dalam Buku Custodians of the Sacred Mountains (Thomas Reuter, 2005 : 268) penyunting Drs. I Nyoman Dharma Putra disebutkan Pasek ada dua faksi yaitu Pasek yang loyal terhadap Kerajaan Gelgel dan Pasek yang loyal dengan Bali Mula. Pasek yang masih loyal dengan Bali Mula yang berpusat di Blahbatuh (Pura Gaduh). Pemujaan Kawitan semestinya nama leluhur (nama orang) yang pernah hidup pada zamannya dan mempunyai jasa untuk dikenang masa kini. Bendesa, Penyarikan, Kubayan, Pande, Dukuh, Juru Alas, Senapati dan lainnya adalah nama kelompok pekerjaan/ tugas yang diemban, bukan nama orang (kawitan).

Dengan pengangkatan tetua lokal menjadikan mereka sebagai penguasa di wilayah masing-masing, diangkat sebagai bendesa untuk desanya masing-masing, Kemudian wilayah Jimbaran setelah wafatnya Ki Tambyak seperti yang tertulis dalam Piagem Dukuh Gamongan halaman 17b -18a, diceritakan treh Sri Karang Buncing, di zaman pemerintahan Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, menganugrahkan kepada Bandesa Karang Buncing Kuta, sebagai pucuk pimpinan mewilayahi sampai di Jimbaran, serta Bandesa Silabumi, Bandesa Seraya, Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, juga Bandesa Sibetan, memang keturunan Karang Buncing,merupakan wakil dari Kerajaan Batahanar (Badhahulu).
Pembangunan baru Gedong Pajenengan beratap semen dimulai tanggal 13 Juli 1987
SARIN BWANA MASA KINI

Sarin Bwana masa kini periode setelah wafatnya Ki Tambyak sebagai penguasa wilayah Jimbaran. Pada zaman dahulu Jimbaran termasuk salah satu Kota Kabupaten dibawah Kerajaan Badhahulu, berasal dari kata badha dan hulu, badha artinya istana dan hulu artinya raja, jadi Badhahulu artinya istana kerajaan/ Pusat Pemerintahan dengan rajanya bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Asta=delapan, Sura=dewa,Ratna=permata, Bumi Banten=Tanah Bali) artinya raja yang membawahi delapan wilayah kekuasaan pemeritahan di jagat Bali pada era itu, yaitu; Jimbaran, Badung,Tabanan, Buleleng, Bangli, Karangasem, Kelungkung, Mengwi (Narendra Dev Pandit Shastri, Sejarah Bali Dwipa, 1963). 

Dari rujukan di atas, Kabupaten Gianyar dan Jembrana belum muncul, karena ulu/luwanan (kepala) jagat Bali adalah Gunung Lempuyang Gamongan, Karangasem,letaknya paling timur pulau Bali juga paling awal menemui Sang Surya (Matahari),sedangkan tebenan, palemahan (kaki) jagat Bali adalah Tabanan (Kabupaten Tabanan) karena letaknya paling barat saat itu, Kabupaten Jembrana masih merupakan hutan belantara atau belum terjadi perabasan hutan untuk persawahan atau pemukiman dan Pusat Pemerintahan (pawongan) di Batahanar (Blahbatuh) konsep Tri Hita Karana jagat Bali era itu. Dalam Salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan,menyebutkan secara tersirat, Badhahulu artinya, maka hulu hulu banda desa sajagat Bangsul arti bebas, sebagai pusat pemerintahan dari masing-masing kepala desa yang ada di bumi Bali pada zaman itu.

Photo 2012, Kori Agung dengan Pohon Kepah masih berdiri dengan gagah

Kesepakatan yang telah dibangun oleh Dalem Baturenggong terhadap kerajaan Batahanar dengan mengangkat treh Karang Buncing sebagai Bendesa Kuta yang mewilayahi sampai di Jimbaran. Pengangkatan tetua lokal Bali untuk meredam gejolak ketidakpastian tetang Kebo Iwa di Jawa, yang sebelumnya rakyat Bali mengetahui Kebo Iwa mendapat undangan oleh Gajah Mada untuk dijodohkan dengan putri Majapahit. Rakyat Bali pun masih menunggu dan menunggu kepastian yang terjadi padanya. Entah apa jawaban para Arya bila rakyat Bali menanyakan tentang Kebo Iwa pergi ke Jawa. Dengan ditunjuknya tetua lokal sudah tentu masyarakat manut-manut dengan orang yang di tuakan karena ngekoh jak nak odah.

Peralihan kekuasaan dengan mendekati tetua lokal, pelan tapi pasti seluruh rakyat Bali pun dapat dikuasai, walaupun dengan waktu yang lama, puncaknya pada zaman Dalem Baturenggong, seluruh penyatuan sipirit penguasa Bali dan Jawa berpusat di Pura Besakih. Seiring berjalanya waktu peralihan kedua penguasa berlalu, dan Bali dipimpin oleh keturunan Dalem Baturenggong pergolakan pun terjadi.Bergolaknya keturunan para Arya Majapahit karena perebutan tahta kerajaan maupun masalah wanita, menjadi penyebab pecahnya Kerajaan Gelgel menjadi 9 (Sembilan) kerajaan kecil. Salah satunya Kerajaan Mengwi menjadi penguasa mewilayahi dari Gunung Mangu sampai Kuta. Dapat dibayangkan dari era Dalem Putih (1325) sampai era Kerajaan Mengwi (1650) interval waktu 225 tahun dari kedua penguasa, bagaimana kehidupan penduduk Jimbaran yang hanya terdiri beberapa rompok kecil di tengah desa era itu. Tinggalan Arca-arca ini tentu tidak ada terlintas di pikiran mereka untuk mengetahui lebih dekat makna dan fungsi dari tinggalan berupa puluhan Dewi ukuran besar dan kecil, apalagi masuk era penjahan asing.

Tempat pertapaan Dalem Putih letaknya jauh di tengah hutan dengan suasana tertutup oleh dua pohon kepah dan beberapa pohon besar lain sekitar semak belukar membuat kulit merinding bila harus melewati, hanya satu kata angker tersirat dalam kalbu, siapa pun berpikir dua kalilipat tinggal di sana. Kata pemangku Pura Dalem Sarin Bwana Jero Mangku INyoman Bagia mengatakan odah Gianyar yang awalnya memondok sekitar pura merupakan pengampu pura keturunan Sri Karang Buncing keluarga misan purusa dengan Dalem Putih berasal dari Sri Maha Sidhimantradewa,Buku Kebo Iwa (Bawa, 2011:254).
Photo 2014, Kori Agung dibangun tahun 2000, tanpa Pohon Kepah di kiri

Pada pemerintahan kerajaan Mengwi terjadi pembentukkan dan atau pemisahan wilayah yang dahulu Kuta mewilayahi dari Munggu sampai Bukit Jimbaran karena perkembangan penduduk kini terpisah, disamping muncul konsep baru tentang penataan bentuk palinggih dan nama Dewa yang di stanakan sebagai wujud bhakti kepada leluhur, dewa dan Hyang Widhi/ Tuhan. Arca-arca oleh Dalem Putih ditaruh di atas altar yang dibuat seadanya. Tidak ada bukti pondasi (bataran) dan penyerta lain sebagai alat bukti di lapangan sebagai wadah arca-arca itu. Karena Dalem Putih sejak muda taat menjalankan petunjuk agama sehingga mendapat penugrahan dari Roh Tertinggi alam sekitar berdampak kekuatan magis padanya. Sambil berkebun menjalankan isi hatinya sehari-hari melakukan pemujaan kepada Hyang Pramawisesa sehingga tanaman menjadi subur dan menimbulkan vibrasi saling menguntungkan antar manusia, alam dan Dewa. Arca yang tadinya terbengkelai tidak terurus karena permohonan warga terkabulkan berkat restu dari ida Bhatara sehingga mereka membayar kaul (sesaudan) ada yang membayar kaul lewat upakara dalam satu piodalan, ada membayar kaul melalui bahan bangunan bila kebetulan pura sedang dipugar dan sebagainya.

Penduduk Jimbaran yang beragama Hindu didasari oleh budaya saling mengunjungi sehingga tradisi yang awalnya Arca dan bangunan suci lain hanya sebagai pengayatan ditempat saja, tidak bisa diusung keluar, sehingga warga mensiasati membangun symbol pengganti dari ida Bhatara berbentuk pratima, prerai yang mudah di usung ke pantai tatkala ada upacara pemelastian, begitupun dengan palinggih Gunung Agung, genah semayangan, bale banten ke pengalasan, bale banten ke segara bila
tidak bisa datang ke tempat masing-masing sesuai dengan palinggih pasimpangan yang ada di pura, disamping pemujaan yang terdapat di genah semayangan wujud toleransi umat Hindu dan Budha.
Bhatari Sri, bentuk pratima Pura pada masa kini


Sabtu, 18 Januari 2020

SAMBUTAN KEPALA BALAI ARKEOLOGI DENPASAR

SAMBUTAN
KEPALA BALAI ARKEOLOGI DENPASAR



    Selaku Kepala Balai Arkeologi Denpasar wilayah kerja Bali, NTB, NTT dan secara pribadi, saya sangat mengapresiasi dan menyambut dengan baik usaha keras yang dilakukan oleh I Made Bawa sehingga terwujud Purana Pura Sarin Buana. Berbagai sumber data seperti informasi lisan atau tradisi lisan atau sumbrr-sumber tertulis atau lontar, tatwa, babad, prakempa, prasasti tembaga Bali Kuno, jurnal dan buku-buku ilmiah berbagai hasil penelitian lainnya dipakai sebagai acuan. Lebih dari itu, berbagai ritual adat dan aktivitas keagamaan tidak lepas dari pengamatan I Made Bawa juga dipakai sebagai bahan untuk melengkapi dan memperkuat kajiannya.
    Di balik kebersahajannya berbekal kemampuan akademis yang mumpuni dan laku spiritualnya, I Made Bawa dengan cermat dan lugas meramu, mempersandingkan, dan mengolaha data sedemikian rupa. Ditunjang oleh pengalamannya, sehingga dalam karyanya tersaji secara apik informasi tentang Pura Sarin Buana dari berbagai aspek.Sepatutnya karya ini diapresiasi oleh berbagai pihak, karena merupakan wujud nyata dari upaya memperkuat karakter dan jatidiri.


                                                                                   Denpasar 24 April 2015
                                                                                   Kepala Balai Arkeologi Denpasar

                                                                                   
                                                                                   Drs. I Gusti Made Suarbhawa












                                                                                                        I Made Bawa     viiv

Jumat, 10 Januari 2020

TRANSKRIPSI DAN TERJEMAHAN II

II
TRANSKRIPSI

DAN TERJEMAHAN


Om awighnam astu namo siddham. Om pranamya sira sang widyàm, bhukti
mukti hitartam, parawaksya tattwa wijñéyah, barmmàdhi patayé swaram, sira
grané tittyawakyam, brahmàresi mahàdhi dwìjam gnijayam puspitam wìryam,
bràhmana kula wangsajam. Om karanyah puspanam, nama siddhi dìrghayusa,
papayé nama swàhà, wìrasthàna patayé nama siddham, Iti puràna Pura Dalem
Sàrin Bhwana rinipta risapamadeganira, mùrdhaning jagat Badung Anak Agung
Gdé Agung mwang pinlaspas olih Jro Mangku Pura Sarin Bhwana, kinawruhan
déning Bandéúa Adat Jimbaran,


Om Awighnam Astu Namo Siddham. Om, Pranamya sira sang widyam, Bhukti
mukti hitartam, Parawaksye tattwa widnyeyah, Barmmadhi pataye swaram, sira
grane tittyawakyam, Brahmaresi mahadhi dwijam, Gnijayam puspitam wiryyam,
Brahmanakula wangsajam. Om karanyah Puspanam, nama sidhidirghayusa, Papaye
namaswaha, wirastana pataye nama sidham. Purana Pura Sarin Bwana ini ditulis di
jaman Pemerintahan Bupati Badung Anak Agung Gde Agung, upacara pamelaspas oleh

Jero Mangku Pura Dalem Sarin Bwana dan disaksikan oleh Bendesa Adat Jimbaran,



mwang Kelihan Pangamong Pura nitya pratisténg ùrddha siwadwàra sembahen
tar kabeteng tulah pamidhi, mogha langgeng ing acala. Maka pùrwwaning
tattwa, iti pwa mangké wuwusen maka pangañjur ikang katha, unukàla ring
asitkàla, duk nora hana bhùmi ring Bali, sira Sang Hyang Gururéka màyàsakti,
wuwusan angréka bhùmi ring Bali, anurunaken hyang-hyang bhwana
kabéh, Hyang Gnijaya maka huluning bhwana, alingga bhaþàra ring gunung
Lempuyang, duk guminé kumaléñcok, amùrti Hyang Gnijaya mijil kang sùrya
pipitu, amulatana bhùmi, angréka Hyang Gnijaya, tumurun Hyang Wisnu,
alingga bhaþàra ring gunung Mangu, tumurun Hyang Tumuwuh alingga bhatàra
ring gunung Batukaru, tumurun Bhaþàra Hyang Tugu alingga bhatàra ring
gunung Andàkàsa. Añatur kumentel ikang bhùmi, malih goyang ikang bhùmi,
mulati Bhatàra Mahàdéwa, amunggel ikang gunung Mahàméru binakta maring
Bali, tumurun Bhatàra Mahàdéwa alingga bhatàra ring gunung Agung,


dan Kelian Pangemong Pura, nitya pratisteng urdha siwadwara sembahen tar kabeteng
tulah pamidhi, amogha langgeng ing acala. Sebagai permulaan cerita, sekarang
dipaparkan pada awal cerita, dahulu kala, ketika belum ada bumi Bali, setelah
selesai beliau Sanghyang Guru Reka Mayasakti, mencipta bumi Bali, menurunkan
para Dewa di Bali, sebagai jungjungan seluruh jagat, Hyang Gnijaya bagaikan
pusat bumi, di saat bumi bergoncang, muncullah diri Hyang Gnijaya mengeluarkan
tujuh matahari, asal mula bumi, mencipta Hyang Gnijaya, turunlah Bhatara Wisnu,
bersemayam di gunung Mangu, turun Hyang Tumuwuh bersemayam di gunung
Batukaru, turun Bhatara Hyang Tugu, bersemayam Bhatara di gunung Andakasa.
Empat arah seimbang bumi, lagi bergoyang bumi ini pergi Bhatara Mahadewa,
memotong Gunung Mahameru dibawa ke Bali, turunlah Bhatara Mahadewa
bersemayam beliau di gunung Agung,




tumurun Hyang Pasupati alingga bhatàra ring Tulukbyu, tumurun Bhatàra Déwi
Dhanuh alingga bhatàra ring gunung Batur, nrus pañcer ikang gunung, rawuh
ring sapta pàtàla, añapta ikang ukir, amuter ikang jagat, arûa Bhaþàra ring Bali
nora hana janma miwah sadaging bhùmi, arsa Bhatàra sami sagunung saptané
ring Bali, ayoga Bhatàra Wisnu awijil hana paksi buron, ayoga Bhatàra Hyang
Watukaru, awijil walang, mina, sadaginging bhùmi, ayoga Bhatàra Hyang Tugu
amijilaken bhùta, kala, dengen, miwah satengeting bhùmi, ayoga Bhatàra Hyang
Gnijaya, amijilaken janma mànusa, wijil toya, ayoga Bhatàra Déwi Dhanuh,
amijilaken sato suku pat, ayoga Bhatàra Hyang Pasupati, amijilaken sato suku
rwa, ayoga Bhatàra Hyang Mahàdéwa, amijilaken bàyu, sabdha, idhep, sahika
kramaning mànusa, kumangkang kumingking, karéka déning bhatàra sami
sadaginging bhùmi, samangkana pawijilan añapta ikang ukir ring Bali dwìpa.


turun Bhatara Hyang Pasupati bersemayam beliau di gunung Tulukbyu, turun Bhatara
Dewi Danuh bersemayam di gunung Batur, lantas itu gunung, sampai ditujuh lapisan
alam bawah tanah, menyatu itu gunung, yang mengatur jagat ini, berkehendak beliau,
belum ada manusia dan isi bumi, berkehendak seluruh Bhatara dari tujuh gunung yang
ada di Bali, beryoga Bhatara Wisnu melahirkan burung binatang lain, beryoga Bhatara
Hyang Watukaru melahirkan walang, ikan, dan seisi bumi, beryoga Bhatara Hyang
Tugu melahirkan makhluk halus serta tempat-tempat angker di bumi ini, beryoga
Bhatara Hyang Gnijaya, tercipta manusia dan air, beryoga Bhatara Dewi Danuh
melahirkan binatang berkaki empat, beryoga Bhatara Hyang Pasupati melahirkan
binatang berkaki dua, beryoga Bhatara Hyang Mahadewa mencipta, suara, tenaga,
pikiran, termasuk juga hasil karya manusia, binatang kecil-kecil, yang diwujudkan
oleh semua Bhatara beserta seisi dunia, demikian cerita munculnya tujuh gunung
di Pulau Bali.                               (lontar Aji Murti Siwa Sanana ning Bwana Rwa)






































Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More