IV
FUNGSI & MAKNA
ARTEFAK SARIN BWANA
FUNGSI ARCA SARIN BWANA
FUNGSI PERWUJUDAN
Arca perwujudan di Pura Dalem Sarin Bwana dibangun dalam dua zaman, yaitu Arca zaman dahulu yang dibangun oleh Dalem Putih berbahan batu endapan lahar berwujud puluhan dewi, tri lingga, Arca bertangan empat dan beberapa pragmen kecil lain, sedangkan Arca dibangun setelah era Dalem Putih oleh pendahulu leluhur Sri Karang Buncing, berbahan perunggu perwujudan 2 Bhatari Sri, dan prerai berbahan kayu cendana perwujudan Sanghyang Giripati dan Arca berbahan kayu cendana berwujud burung Gagak Ora. Arca yang dibangun oleh Dalem Putih tidak dipindah,sedangkan Arca perunggu dan prerai cendana diusung jika acara melasti, ngusaba,maupun acara mendak ring jaba yang tentu ada kaintannya dengan runtutan upacara baik di dalam Pura Sarin Bwana maupun di desa Jimbaran.
Arca-arca berbahan batu endapan lahar kering (tufa breksi) tinggalan Dalem Putih Jimbaran yang terdapat di Pura Dalem Sarin Bwana tidak tersurat secara pasti, siapa pembuat arca itu, dewa siapa yang bersemayam, untuk apa dipuja dan apa makna dibalik perwujudan seperti itu. Sebelum di stanakan tentu diawali dengan upacara dan upakara runtutannya oleh Dalem Putih. Setiap benda yang disucikan, diupacarai dan dipuja-puji dengan taat, tulus, dan tepat bisa menimbulkan nilai magis bagi
pemujanya, getaran tubuh dikala melakukan persembahyangan seperti menangis,merinding, kesurupan atau kejadian aneh lainnya sebagai tanda untuk menambah kepercayaan, Apalagi arca kuno ini bekas tempat suci Dalem Putih pemuja Hyang Pramawisesa tentu didasari atas tapa, brata, yoga, semadi yang sangat ketat di dalam proses pembentukan maupun dalam pemujaan sehari-hari.
Banyak interpretasi muncul dari para penekun benda purbakala maupun oleh masyarakat sekitar, perwujudan seperti ini ada yang mengatakan untuk pemujaan leluhur, minta hujan, keturunan, permohonan taksu dan anugrah lain yang tidak bisa disebutkan di sini. Beberapa mengatakan energy yang ada di arca peninggalan Dalem Putih bisa membuat bulu tengkuk merinding atau kesurupan sehingga roh jahat yang menyatu dalam raganya ketakutan bila dekat dengan arca, sehingga roh jahat
seketika itu pergi meninggalkan badan. Semenjak kejadian itu mereka merasakan diri lebih ringan dan jernih pikirannya. Karena arca ini diyakini membuat dirinya merasa dilindungi sehingga gambaran arca ini menjadi pusat kosentrasi dari kamar suci atau sanggah kemulan bila tidak dapat datang ke pura sehari-hari.
|
Perwujudan Dewi dan Tri Lingga saat inventarisasi oleh Balar dan BPCB Bali |
Mungkinkah perwujudan arca batu ini serupa dengan fungsi yantra dalam upakara di Bali yang disebut rerajahan adalah suatu gambar magis di atas secarik kain putih mengambil bentuk binatang, manusia, raksasa, dewa dewi atau yang lain. Di mana yang digambar adalah sifat-sifat yang lebih tinggi kekuatannya dari sifat pengganggu,misalnya, di sawah banyak hama tikus perusak padi lalu dibuatkan gambar rerajahan berwujud ular atau sifat yang lebih tinggi berwujud manusia bertaring atau wujud yang lain. Secara logika tikus tentu kalah oleh ular dan manusia, ditambah doa-doa sang pendeta yang diyakini mampu menghalau hal gaib. Gambar mistis di atas secarik kain putih biasanya digantung pada setiap palinggih, rumah tinggal atau tempat yang baru selesai dibangun. Gambar mistis tersebut berfungsi sebagai penakut atau menjaga keselamatan bagi penghuninya, pekarangan dan bangunan.
SEBAGAI PUSAT KONSENTRASI
Kadang-kadang umat Hindu di Bali bingung dalam melakukan sembahyang, kemana fokus pikiran yang dituju, apa yang diucapkan bila persembahyangan dipimpin oleh pemangku pura atau pendeta, etika apa yang dilakukan sebelum hatur sembahyang dan bagaimana kita mengetahui bahwa maksud dan tujuan upakara sampai kepada yang di sembah. Karena tiada patokan baku dalam etika persembahyangan secara bersama-sama maupun ngayat dari kamar suci atau dari sanggah kemulan sehingga menimbulkan perbedaan satu dengan yang lainnya.
Perbedaan terjadi karena acuan baku tentang sembahyang di pura umum yang dipimpin oleh pemangku atau pendeta, berbeda dengan aturan yang dilakukan bagi seseorang yang ngiring pakayunan luhur atau mempunyai guru pembimbing niskala atau sesorang karena suatu halangan tidak bisa hadir di pura, maka melakukan sembahyang pribadi ngayat ida bhatara di kamar suci atau sanggah kemulan. Karena tidak ada aturan baku, akhirnya mereka melakukan sembahyang dengan caranya sendiri, ada yang menghaturkan sembah dengan berpindah-pindah sesuai dengan jumlah palinggih yang ada, misalnya jumlah palinggih sepuluh sebanyak sepuluh kali berpindah tempat melakukan sujud bakti. Ada yang melakukan hatur sembah duduk di tempat hanya badan yang bergeser sesuai kiblat pura yang dituju, misalnya ngayat ke Pura Uluwatu si penyembah akan menggeser badannya menghadap arah selatan karena si penyembah berada di wilayah utara dari Pura Uluwatu, apabila hatur sembah ke ibu pertiwi (bumi) cakup tangan di kening mengarah ke bawah/tanah sesuai kiblat yang dituju. Hatur sembah ke raditya (matahari), pandangan,cakup tangan, pikiran menyatu mengarah ke atas sesuai arah yang dituju matahari.Ada yang melakukan hatur sembah dari atas kendaraan yang sedang melaju karena melewati pura yang menjadi jungjungannya, ada yang sungkem mencium kaki pondasi palinggih, ada tengkurep di depan pelataran pura dan sebagainya.
Hatur sembah identik dengan absensi dalam sekolah, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan tentu harus datang ke sekolah mengisi daftar hadir sebagai bukti telah mengikuti pelajaran, berinteraksi langsung dengan guru pengajar secara berjenjang, mulai dari TK, SD, SMP sampai Perguruan Tinggi, di sini sangat jelas wajah guru dan pelajaran yang diberikan sampai mendapakan gelar/ kelulusan, tentu pertanggung-jawabannya ke Guru sekala atau manusia. Bagaimana jika seseorang ingin mendapatkan pelajaran kepada suatu pura atau dewa jungjungan yang tidak kelihatan kasat mata, tentang lulus tidak, diterima tidaknya doa dan upakara, apakah ida bhatara/ Tuhan akan menampakkan diri dan berkata telah lulus atau upakara diterima?
Menurut Pandita Dukuh Dharma Yoga dari Padukuhan Karang Buncing, Desa Carangsari Petang, seorang pendeta yang ngiring pakayunan luhur dan tidak kenal sastra-sastra agama Hindu alias buta huruf, telah didiksa secara Hindu oleh seorang nabe napak mengatakan, alam sekala serupa dengan alam niskala, untuk mendapatkan gelar niskala harus datang menghadap ke pura atau kamar suci melakukan hatur sembah sebanyak 4 (empat) waktu sehari yaitu Sembah Semeng (Sembahyang Pagi),Sembah Tengai (Sembahyang Siang), Sembah Sandya (Sembahyang Sore) dan Sembah Peteng (Sembahyang Malam) masing-masing waktu mempunyai energy dan spirit yang berbeda-beda.
|
Arca Tinggalan Dalem Putih Jimbaran Sebagai Pusat Persembahyangan |
Pandita Dukuh mengatakan pelaksanaan menghaturkan Sembah itu ada tiga tergantung situasi dan keadaan yaitu 1) Sembah Hyang, 2) Sembah Eling 3) Sembah Salam Disebut Sembah Hyang hanya dilakukan secara pribadi di kamar suci atau sanggah kemulan atau beragama ke dalam diri, sedangkan Sembah Eling dilakukan di pura secara bersama-sama dituntun oleh Pemangku dan Pendeta atau beragama di luar diri, dan Sembah Salam dilakukan dengan tergesa-gesa karena belum mandi atau tidak memakai pakaian adat ke pura seperti membunyikan klakson atau nyakup tangan dari dalam mobil bila melewati depan pura yang menjadi jungjungan atau turun dari kendaraan hatur sembah di jaba sisi.
Sembah Hyang ada aturan-aturan yang mesti dilakukan yaitu, ada pantangan di luar diri dan pantangan ke dalam diri, ada sikap badan (asana), ada nafas (pranayama),ada kiblat atau arah letak pura, ada fokus palinggih mana dijadikan titik konsentrasi,ada doa dan tujuan, ada aspek-aspek yang dialami saat sembahyang bisa menangis,bergetar, kerauhan, hujan rintik-rintik setiap ngayat pura tertentu, ada kebenaran bahwa sembah sampai kepada-Nya. Aturan ini serupa dengan astangga yoga yang didirikan oleh Maharsi Patanjali, delapan aturan yang wajib ditaati yaitu: yama brata, niyama brata, asana, pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, samadi. Yoga merupakan satu disiplin yang ketat terhadap diet makan, tidur, pergaulan, kebiasaan, berkata dan berpikir, Yoga merupakan suatu usaha sistematis untuk mengendalikan pikiran dan mencapai kesempurnaan. Tujuan yoga adalah untuk mengajarkan roh pribadi agar dapat mencapai penyatuan yang sempurna dengan Roh Tertinggi (Tuhan/ Dewa/ Bhatara).
Astangga Yoga terdiri dari, i) Panca Yama Brata larangan di luar diri yang wajib dilakukan oleh pencari pencerahan rohani, yaitu ahimsa tanpa kekerasan, larangan melukai mahluk lain, baik dalam pikiran, perkataan, perbuatan, satya atau taat dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, asteya pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain, Brahmacarya atau pembujangan dalam arti tidak menginginkan hubungan suami istri atau berzinah, aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan. ii) Panca Niyama Brata terdiri sauca atau kebersihan lahir dan batin menganjurkan kebajikan seperti pembersihan kecerdasan untuk membedakan hati riang, pemusatan budi, pengendalian nafsu-nafsu, realisasi diri, membersihkan badan sebelum sembahyang, santosa atau kepuasan untuk memantapkan mental,tapa pengetatan diri, walaupun seekor semut menggigit, panas terik matahari, dingin,hujan, menerpa tubuh tetap menerima kenikmatan yang kita hadapi saat hatur sembah,svadhyaya, mempelajari naskah-naskah suci, dalam hal ini tak boleh membawa buku yang bertentangan dengan agama yang bisa mengulang memori kenikmatan jasmani,isvarapranidhana atau penyerahan diri kepada tuhan yaitu dengan menyanyikan nama-nama tuhan setiap saat, melalui suara kidung kita menuangkan perasaan dan isi hati atas keagungan Tuhan. iii) Asana merupakan sikap badan dalam sembahyang bisa padmasana, matimpuh, berdiri, seperti gaya Subali kaki tergantung di dahan kayu kepala ke bawah, atau sikap Gana telapak kaki bertemu atau tidur telungkup ke depan atau gaya lainnya sesuai keadaan tubuh. iv) Pranayama atau pengaturan nafas memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan, dalam penarikan nafas, penahanan nafas, dan pengeluaran nafas selalu diikuti dalam hati artinya tidak boleh keluar suara dari mulut, v) Pratyahara penarikan pikiran liar yang keluar jalur dan digiring ke gambaran objek yang dijadikan fokus pikiran, vi) Dharana pemusatan pikiran dengan mantap dalam satu objek yang tidak terpengaruh oleh nafas, gerak dan keadaan saat itu. Di sini lah fungsi dari penggambaran arca-arca yang ada di Pura Dalem Sarin Bwana sebagai pusat konsentrasi bila melakukan hatur sembah dari rumah atau kamar suci, vii) Dhyana meditasi yang tak tergoyahkan dilakukan secara konsisten, iklas dan pasrah, viii) Samadhi ketenangan tertinggi yang tak tersentuh suara-suara yang berasal dari luar, pikiran kehilangan fungsinya, dimana indria-indria terserap ke dalam pikiran. Ada dua jenis Samadhi, yaitu samprajnana samadhi dimana obyek kosentrasi yang pasti dan pikiran tetap sadar akan obyek tersebut, dan Samadhi yang kedua adalah asamprajnana samadhi di mana perbedaan antara obyek yang dimeditasikan dan subyek menjadi lenyap dan terlampaui atau transenden,
Jika kita sulit untuk melenyapkan obyek dan subyek dihadapan kita, bisa dilakukan lewat tidur, selama bisa tidur sama dengan semadhi, dengan tidur kita bisa melupakan obyek dan subyek yang ada disekeliling kita, tidur termasuk orang suci karena badan tidak melakukan aktivitas apa pun. Kalau memang alam/ dewa jungjungan meridoi apa yang mesti diamanatkan akan menampakan diri lewat mimpi, misalnya, mimpi jero mangku pura Dalem Sarin Bwana sama dengan dewa sekala karena pemangku sebagai penghubung doa dan haturan ke alam tak nyata. Untuk memperoleh kebenaran pemangku pura pun harus memimpikan si pemuja dan memberikan keputusan yang didapat, misalnya, pemangku pura mimpi si pemuja sedang mundut pelawatan ratu ayu mas artinya ‘mas’ (kori emas) pintu masuk ke jeroan pura kawasan tersuci.Atau mimpi pura yang saat itu sedang berada di halaman mana, apakah kita sedang di halaman jaba sisi, jaba tengah atau jeroan artinya telah sampai di sana sembah kita. Atau pembuktian kebenaran lain melalui fenomena kerauhan atau kemasukan roh alam lain yang mengatasnamakan ida bhatara yang berstana dari pura itu dan memberikan keputusan bahwa telah mendapat restu kepada pemujanya, atau pembuktian kebenaran lewat penampakkan ada seorang pendeta keluar dari Gedong pura lalu menghampiri si pemuja dan menapak kepalanya dan sebagainya.
|
Arca Tinggalan Bhatara Dalem Putih Jimbaran Pusat Konsentrasi Pepatih |
SEBAGAI PENYUCIAN
Pada umumnya pura terdiri dari tiga halaman yang disebut Tri Mandala (tiga kawasan) atau konsep Ulu-Apad, Luwan-Neben, kepala dan kaki dalam tradisi Hindu kuno di Bali. Tri Mandala terdiri dari Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. Nista Mandala yang biasa disebut jaba sisi kawasan paling luar pura biasanya terdapat bale dapur, bale paebatan tempat menyemblih hewan kurban, bale wantilan, tempat parkir kendaraan, kamar mandi dan ruang ganti atau kawasan mempersiapkan sarana prasarana yang menunjang upacara harus melewati jaba sisi. Sedangkan kawasan tengah atau Madya Mandala (Jaba Tengah) terdapat Bale Kulkul (kentongan), titi ugal agil, panggungan, palinggih apit lawang, bale gong, bale panjang, sedangkan Utama Mandala (Jeroan) adalah kawasan paling suci, biasanya terdapat gedong utama stana dewa utama dan beberapa palinggih runtutannya sesuai sejarah berdirinya pura tersebut. Apabila ditarik benang merah antara Tri Mandala dengan Tri Hita Karana dalam suatu wilayah atau tempat tinggal,ada parahyangan (kawasan suci untuk para dewa) tempat berinteraksi manusia dengan tuhannya, pawongan kawasan tempat tinggal penduduk, tempat berinteraksi sesama manusia dan palemahan kawasan kuburan atau tegalan, hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Intinya untuk sampai di kawasan suci stana para dewa dimulai dari nista mandala wilayah kekotoran, baik kotor badan atau benda, pikiran, perkataan dan perbuatan.Untuk membersihkan kekotoran ada banyak jalan; ada yang membersihkan dengan air, api, tanah, banten, mantram, kidung dan sebagainya. Mengingat tempat yang dituju kawasan suci stana para dewa yang maha suci dan tak kelihatan kasat mata tentu hanya bisa didekati dengan pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih artinya tidak ada pikiran lain selain hendak datang hatur sembah dan bertemu dengan arca Pura Dalem Sarin Bwana, tidak menelikung ke tempat lain sebelum sampai di pura. Dalam kitab suci Manawa Dharma Sastra, mandala V, sloka 109 dan sloka 111 disebutkan sebagai berikut:
Adhirgatram suddhyanti manah satyena suddhayanti
Widyatapobhyam bhutatma budhis juanena suddhyanti
Terjemahan:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, Jiwa manusia
dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar.
Tarjasanam maninam ca sarwa syasma mayasya ca bhasmanadbhiimrida
caiwa abjamasmamayam caiwa rajatam canupaskritam
Terjemahan:
Orang bijak mengatakan bahwa semua benda-benda yang terbuat dari logam permata dan segala yang dibuat dari batu dibersihkan dengan abu, tanah, dan air.Dari acuan sloka di atas, umat Hindu yang hendak menghadap ke “rumah tuhan”atau halaman utama pura atau hendak melakukan sembahyang di kamar suci atau sanggah kemulan tentu dimulai dengan pembersihan badan dengan air, berpakian
bersih, menjalankan haturan sehari-hari, misanya, saiban, canang dan lelaku yang baik lainnya. Setelah melakukan yadnya suci ke masing-masing palinggih dilanjutkan dengan hatur Sembah Hyang sesuai dengan astangga yoga di atas.Runutan sembahyang di akhiri dengan nunas tirta dari pralingga bhatara yang disembah. Tirta yang dimaksud berasal dari tirta pura yang didapat sebelumnya.Tirta pengayatan biasanya distanakan di kamar suci pribadi, sesuai jumlah pura yang menjadi pengulu seseorang, tidak ditempatkan di sanggah kemulan, karena dalam satu pekarangan rumah terdapat lebih dari satu kepala keluarga dan kadang-kadang yang menjadi dewa pujaan pun berbeda.
|
Ida Pedanda Gde Putra, Griya Magelung, Baha bersiap memerciki tirta |
Lumrah di Bali, yang dipuja di sanggah kemulan disebut Bhatara Hyang Guru,siapakah yang dimaksud Bhatara Hyang Guru, apakah yang dimaksud Catur Guru,yaitu guru rupaka (orang tua, leluhur), guru pengajian (sekolah, aguron), guru wisesa (pemerintah, kerajaan) guru swadyaya (Tuhan, dewa, bhatara). Bila tidak mempunyai kamar suci atau berada di tempat perantauan tentu dengan menempatkan toya anyar atau air bersih di dalam bilik atas dari tempat duduk dan lakukan astangga yoga, delapan jalan di atas yaitu pantang makan sebelum sembahyang,sikap sembah, ada pengaturan nafas, kiblat pura atau gambar arca dewa, fokus kosentrasi, doa dan maksud dan lakukan secara rutin dengan taat, tulus dan tetep pada dewa pujaan, niscaya menimbulkan kesehatan tubuh, pikiran suci atau aspek lain dikala sembahyang, bisa menangis, bergetar, kerauhan atau jalan penuntun yang baik dalam kehidupan nyata ini.
Orang-orang spiritual biasanya mempunyai banyak istadewata (dewa pujaan). Karena banyak mempunyai dewa pujaan tentu waktu yang diperlukan untuk sembahyang menjadi tambah lama. Jangankan melakukan sembahyang empat kali sehari hanya diperuntukan bagi para pendeta yang bebas keterikatan bermasyarakat atau telah diwakili oleh putra-putranya. Lakukan sembahyang dua kali sehari yaitu sembah lemah (siang) dan sembah peteng (malam), artinya sembah penguasa siang (Dewa) dan penguasa malam (Bhuta). Sembah dua kali sehari sangat cocok dilakukan bagi para pegawai yang terikat dengan waktu kerja 8 (delapan) jam sehari, masih ada sisa waktu 4 (empat) jam artinya sembah bisa dilakukan semasih ada sinar matahari atau dari pukul enam pagi sampai pukul enam sore. Jika sembah Hyang memakan waktu lama bisa dilakukan dengan sembah Eling atau sembah Salam atau hanya mencakup ke dua telapak tangan di jaba sisi sanggah dan menundukkan kepala pikirkan maksud dan tujuan kepada-Nya. Dengan melakukan kebiasaan pengayatan dua kali setiap hari secara teratur dan konsisten kepada arca Sarin Bwana, dan nunas tirta sehabis sembahyang ibarat dewa jungjungan telah menyatu ke dalam diri dan meyakini mengawasi umatnya. Setiap nafas, setiap langkah, setiap perkataan dan pikiran selalu ingat dewa pujaan. Berani berbuat kesalahan berarti membuat dosa baru yang akan selalu terbayang dalam hatur sembah yang tentunya berdampak menghambat pendakian spiritual. Walau pun terjadi sesuatu yang tidak diingini atau tidak sengaja digigit oleh seekor anjing, mereka menilai hal itu suatu proses pencaharian jati diri yang harus diterima, yang kemungkinan di kehidupan yang lalu pernah menyakiti si anjing tersebut dan tidak serta merta membunuhnya. Orang-orang spiritual sedikit memakai sarana dalam suatu penghayatan terhadap Tuhan. Mereka lebih banyak mencari ke dalam diri, karena “tubuh/ kepala” adalah media mencari Sang Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Kuasa.
Berbeda nilai dengan hanya datang sekali dalam pujawali ‘tanpa’ minta tirta untuk distanakan di kamar suci atau disiratkan ke masing palinggih yang ada di rumah. Dengan memuja setiap hari dari rumah adalah proses pendekatan diri sang jiwa pribadi dengan dewa jungjungan dapat merubah pola hidup menuju kesehatan jasmani dan penyucian pikiran, bahkan kekayaan harta benda dan ilmu pengetahuan pun bisa didapat.
SEBAGAI PEMERSATU
Arca Perwujudan di Pura Dalem Sarin Bwana, di samping sebagai pusat penyatuan pikiran dikala melakukan sembahyang di pura maupun dari rumah, juga sebagai pusat pemersatu seluruh warga pangemong dan pangempon yang ada di Desa Adat Jimbaran yang dibawah komando Kelian Pangemong Pura IMade Sudiarsa di awali dengan rapat keluarga Karang Buncing yang ada di Jimbaran. Agenda dan pembagian tugas dari mempersiapkan sarana upakara tujuh hari sebelumnya. Bila piodalan gede kerama mengawali satu bulan sebelumnya perlengkapan yang dipersiapkan untuk menunjang kelancaran upacara. Masing-masing mendapatkan tugas sesuai pada bidangnya, yang istri membuat sampiyan jahitan, Yang laki mendirikan sanggah surya di belakang palinggih padma, bale panggung di halaman jaba tengah dan menghias masing tempat dan bangunan suci lainnya..
|
Para sutri sedang mempersiapkan upakara piodalan |
Merpersiapkan segala banten/ upakara seperti banten penginih-inih, banten pakeling,sayut pengambean, bayuan, santun gede, banten pemendakan, banten ngangsuhin pratima, dan lainnya baik untuk masing-masing palinggih, banten dauman untuk pemangku, sulinggih, tukang kidung atau sesuai jumlah orang/ klompok yang ikut terlibat kelancaran piodalan.
Warga pengampu yang telah dijadwal oleh Kelian Pangamong untuk datang membantu sesuai tugas yang diberikan. Pekerjaan sebesar ini tentu didukung oleh seluruh krama dengan berbagai tingkat keakhlian mulai dari akhli memanjat kelapa,membuat banten caru, ngulat klangsah, gamelan, tari, santhi, tukang ebat sampai bagian administrasi ikut terlibat di dalamnya. Yang mendapat tugas magambel akan mempersiapkan diri berlatih menyatukan suara lagu, tugas makidung mempersiapkan
kidung mana yang akan dikidungkan, tukang ebat bertugas mengolah hewan kurban untuk dijadikan sate, lawar atau isi upakara lainnya. Pada kesempatan ini warga saling bahu-membahu tugas pura yang telah diembannya kadang-kadang dalam tugas diselingi tawa canda, maupun membicarakan kabar berita yang muncul di Tv,tentang politik, sejarah, agama dan tentang kehidupan sosial lainnya bukti pengikat persaudaraan pada waktu itu.
|
Penari Rejang bersatu bersama saudara dikala acara Piodalan 18 Juni 2012 |
SEBAGAI PELESTARIAN
Jejak-jejak peninggalan para pertapa, raja, resi pada zaman dahulu sangat disucikan dan dilestarikan oleh masyarakat desa dan pemerintah wilayah sekitarnya. Dari situs peninggalan pada zaman dahulu dapat diraba keadaan sosial masyarakat, perkembangan ekonomi, agama yang berkembang, hubungan kerajaan dengan dunia luar, serta beberapa aspek lain yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakatnya sendiri.
Arca-arca peninggalan Bhatara Dalem Putih Jimbaran dibangun sekitar tahun 1325 Masehi termasuk Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2010. Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebangsaan nasional serta memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Oleh karena itu, Pemerintah berkewajiban cagar budaya dilindungi, dilestarikan, dan pengamanan sebagai milik bangsa, di samping untuk kepentingan sejarah juga ilmu pengetahuan dan pemanfaatan lain dalam kepentingan
nasional.
Arca-arca yang terletak di Pura Dalem Sarin Bwana termasuk situs sejarah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, tentu atas dasar penelitian para akhli dibidangnya tentang syarat peninggalan sejarah yang wajib dilindungi oleh Negara.Peninggalan sejarah yang terdapat beberapa perwujudan dewi, tri lingga, Arca bertangan empat dan pragmen kecil lainnya. Sebagai media terdekat pendekatan diri umat-Nya.
MAKNA TEOLOGI ARCA
Teologi berasal dari bahasa Yunani theologia, dari urat kata theos dan logos,Theos artinya Tuhan, dan logos artinya ilmu, wacana. Teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang hakikat Tuhan/ Sang Pencipta Alam Semesta beserta isinya.Teologi dalam pandangan agama Hindu disebut brahma widya, Brahma artinya pencipta (Tuhan) dan widya adalah ilmu, dengan demikian Brahma Widya artinya ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan. Objek teologi adalah Tuhan/ Hyang Widhi,berbicara mengenai eksistensi-Nya, esensi-Nya, dan aktivitas-Nya. Kalau teologi mulai dengan pengetahuan alamiah manusia yang bersandar pada fakta bahwa kita dapat mengetahui dengan pasti eksistensi-Nya dan menilai keabsahan-Nya, tentu tidak muncul perbedaan agama. Teologi adikodrati atau teologi wahyu berdasarkan pernyataan-pernyataannya wahyu yang datang dari Tuhan, yang memperlihatkan wahyu merupakan suatu fakta hisoris menurut pengalaman pribadinya yang tidaklah
tampak nyata dan sama rupa, wujudnya penuh kerahasiaan, tidak mampu kita menggunakan akal sehat dan jauh dari jangkauan pikiran manusia, dalam bahasa sanskerta disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia (Titib, 2001:10).
Dalam kitab-kitab Upanisad menyatakan difinisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan yang tidak terbatas itu tidaklah dapat dijangkau kebesaran-Nya. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk Hyang Widhi (Tuhan), Neti-Neti (na+iti, na+iti),bukan ini, bukan ini. Jangankan mengetahui keberadaan Sang Pencipta Alam Semesta yang disebut, Brahman, Tuhan, God, Allah, Hyang Widhi atau apapun sebutan-Nya adalah suatu kemustahilan, mengetahui Sang Atma (roh) saja sulitnya luar biasa.Dalam buku Veda oleh Titib (1996 : 236, 237, 268) mengutip Rgveda VII 7. 11,disebutkan Tubuh manusia terdiri dari Tuhan Yang Maha Esa dan jiwa perseorangan:
Dvita yo-abhud amrto martyesva,
hota mandratamo visi.
Terjemahan,
[Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) memanggil dengan khusuk para dewata.Dia adalah sumber kebahagiaan yang menghuni hati semua orang. Dia adalah abadi.Dia berdiam di dalam diri manusia dengan dua bentuk, satu, sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Brahman) dan, dua, sebagai Jiwa Perseorangan/ Atman (Titib, 1996:236).
Dalam Rgveda VII.4.4 Tuhan Yang Maha Kuasa yang kekal berdiam diri di dalam diri manusia, disebutkan:
Ayam kavir akavisu praceta,
martesv-agnir amrto ni dhayi
Terjemahan,
[Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) adalah maha mengetahui, yang paling cerdas dan yang abadi. Dia berdiam di dalam diri, umat manusia, yang adalah makhluk hidup] (Titib, 1996 : 237) Juga dalam Rgveda I. 123. 9 Tuhan Yang Maha Esa mengilhami jiwa,
Tam isanam jagatastasthusas patim,
\ghiyam jinvam avase humahe vayam,
pusa no yatha vadasamasad vrdhe,
raksita payuradabdhah svastaye.
Terjemahan,
[Ia, Yang Maha Kuasa, Dewata bagi yang bergerak dan yang tidak bergerak, Yang mengilhami pikiran, kami mohon pertolongan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa,Pelindung kami dan yang menjaga kami, yang tak terkalahkan, lipat gandakanlah kekayaan kami untuk kesejahteraan umat manusia] (Titib, 1996 : 268).
Dari gambaran sloka di atas berarti percikan Tuhan bersemayam pada setiap benda yang bergerak dan tidak bergerak, termasuk dalam diri manusia, dalam bahasa Bali lumrah disebut dewo ado di deweke. Kepala yang berada bagian atas dari tubuh manusia terdiri dari rambut, hidung, mulut, mata, kulit dan telinga sebagai remote control dalam pencaharian terhadap hakikat Tuhan yang transenden yaitu dengan menarik suatu kesimpulan dari penggabungan panca tan matra, lima benih unsur zat alam yang menghasilkan panca maha bhuta, lima materi pokok, tanah, zat cair,cahaya, udara dan gas yang bersemayam di lima organ gerak yang ada dalam tubuh yaitu hidung, mulut, mata, kulit dan telinga. Kepala ini sebagai alat untuk mencari pengalaman empiris terhadap pendakian spiritual antara manusia, alam dan Tuhan.
• MAKNA RAMBUT
Rambut penggambaran konsep dewa bersifat pasif dan sunya berhubungan dengan kelepasan dunia materi (Panca Tan Matra) atau lima zat halus yang tidak berbentuk,bebas ruang dan waktu, tak ada yang tahu asal usul keberadaan. Panca Tan Matra terdiri dari gandha tan matra yang mengeluarkan unsur bau, rasa tan matra yangmengeluarkan unsur rasa, inti sari, rupa tan matra mengeluarkan unsur wujud,warna luar, sparsa tan matra mengeluarkan unsur sentuhan, indra peraba, sabda tan matra mengeluarkan unsur bunyi, suara. Dalam arti unsur yang ada di makrokosmos terdapat pula pada tubuh manusia.
Rambut merupakan mahkota seorang manusia yang sangat dirawat dengan baik,setiap saat disisir, dikeramas, dibedaki, bahkan disucikan bagi para pendeta, tidak sembarang orang dengan gampang menyentuhnya. Bagi orang-orang spiritual rambut adalah stana dewa jungjungannya yang sangat singid/ suci. Sabun badan dan sabun rambut berlainan, begitu pun handuk badan dengan handuk rambut berbeda.Disamping untuk mengetahui jabatan seorang pendeta, raja, mahapatih dan bawahan
raja bisa diketahui dari gelung atau mahkota yang dikenakan, apakah memakai ketu/perucut untuk pendeta, bertopi seperti anak sekolah atau bermahkota bertingkat (kiritamakuta) seperti gelung raja atau bongkos nangka seperti gelung Sang Yudistira dalam pewayangan yang dulunya dipakai oleh Brahmana Dukuh atau memakai petitis untuk pendeta wangsa tertentu atau berambut panjang seperti seorang mahapatih dan motif lainnya. Apalagi jika seseorang berambut perucut berarti seorang yang selalu ingat dengan Hyang Widhi/ Tuhan, mengetahui ilmu agama, ilmu filsafat dan teologi yang menjadi pedoman dalam hidupnya.
Sedangkan wajah (muka) yang terdiri dari hidung, mulut, mata, kulit dan telinga merupakan konsep bhuta (Panca Maha Bhuta) bersifat aktif dan ramie, berhubungan dengan dunia materi atau kenyataan yaitu, gandha tan matra menghasilan pertiwi (Dewa Bumi) yang berhubungan dengan Hidung pengindra yang berfungsi membau.Rasa tan matra menghasilkan apah (Dewa Air) berhubungan dengan Mulut pengindra yang berfungsi pengecap rasa, inti sari. Rupa tan matra menghasilkan teja (Dewa Api) berhubungan dengan Mata pengindra yang berfungsi melihat wujud atau bentuk. Sparsa tan matra menghasilkan vayu (Dewa Angin) berhubungan dengan Kulit pengindra yang berfungsi sebagai peraba atau sentuhan. Sabda tan matra menghasilkan akasa (Dewa Langit) berhubungan dengan Telinga pengindra yang berfungsi pendengar suara.
• MAKNA HIDUNG
Hidung simbol Gandha Tan Matra menghasilkan Pertiwi atau Dewa Bumi, benda padat pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan bau yaitu Hidung pada organ tubuh manusia. Hidung merupakan alat kepekaan terhadap sesuatu hal, menghirup aroma sekitar sebagai pertanda ada kehidupan lain yang belum tampak oleh mata,Kadang-kadang di suatu tempat jauh dari rumah penduduk menghirup bau wangi dupa, bau lawar, kopi susu dan aroma khas lainnya, lalu kita bertanya dalam hati dari mana sumber bau tersebut.
• MAKNA MULUT
Mulut simbol Rasa Tan Matra menghasilkan Apah atau Dewa Air, benda cair pada panca maha bhuta berhubungan dengan rasa, sari yaitu Mulut pada organ tubuh manusia. Air sumber kehidupan dari semua makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan berbagai macam rasa dalam makanan. Pengalaman orang-orang spiritual, air pancoran beji (sumber air) yang jumlahnya puluhan, rasa air pancoran berbeda-beda, ada yang mendapatkan rasa asin, pedas, harum, asem dan lain-lain mengandung makna peleburan karma seseorang.
• MAKNA MATA
Mata simbol Rupa Tan Matra menghasilkan teja atau Dewa Api, cahaya pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan Mata pada organ tubuh manusia. Pengalaman sesorang melihat siluet atau penampakan kehidupan di suatu tempat, melihat ada pasar, puri, dan kehidupan alam lain padahal di sana adalah semak belukar yang tidak bisa dipecahkan oleh akal sehat. Atau kedatangan roh dari alam lain yang kelihatan dengan jelas busana, wajah dan karakter yang hendak meminjam raga seseorang sebagai media komunikasi ke alam dewata atau alam bhuta.
• MAKNA KULIT
Kulit pipi, simbol Sparsa Tan Matra yang menghasilkan wayu atau Dewa Angin,udara pada panca maha bhuta berhubungan dengan Kulit pada organ tubuh manusia.Para pencari rohani atau saat sembahyang, merasakan bulu kuduk berdiri, tubuh terasa dingin, bisa menangis, bergetar kalau tidak kuasa diri melihat penampakan yang datang, di sini detik-detik kerauhan (trance) kemasukan roh alam lain sebagai media komunikasi antara alam, manusia dan dewa tertinggi sekitar dalam suatu piodalan berlangsung.
• MAKNA TELINGA
Telinga simbol Sabda Tan Matra yang menghasilkan akasa atau Dewa Langit, suara,ether, gas pada panca maha bhuta yang berhubungan dengan Telinga pada organ tubuh manusia adalah metode teringgi yang dicari oleh para Maha Rsi Hindu zaman dahulu yaitu Sabda Suci atau pawisik dalam bahasa Bali. Jadi harus jelas wajah,busana, karakter, asal usul yang membisiki melewati empat tahapan di atas.
Di atas telah diuraikan mencari Tuhan ke dalam diri (dewa ado di deweke) kini mencari Tuhan di luar diri dengan melihat keadaan pura sedikitnya bisa dinilai fungsi dari tempat suci itu. Dari susunan palinggih dan tradisi yang tampak di lapangan,sedikit dapat diketahui bahwa terdapat tiga konsep ketuhanan (teologi) yang dijalankan di Pura Dalem Sarin Bwana, pertama zaman Dalem Putih tinggalannya adalah Arca-arca batu berjumlah puluhan, kita tidak tahu untuk apa Arca itu, apa persembahan yang di suguhkan sehari-hari, siapa yang disemayamkan, apakah leluhur, dewa aguron-guron atau dewa fungsional misalnya Hyang Tegal karena tempat suci berada tengah perkebunan Ketuhanan yang kedua dibangun setelah zaman Dalem Putih, munculnya bentuk tempat suci dan perwujudan dewa yang distanakan lengkap dengan tempat berhias, tempat marerep dan tempat prasanak maupun pesimpangan untuk para dewa Bali dan Jawa. Masing-masing memliki pratima yang dapat diusung keluar gedong, palinggih, pasimpangan, bilamana ada upacara pemelastian, ngusabha, maupun acara berkaitan dengan piodalan. Adalah bentuk toleransi antar dewa yang bersemayam pada masing pura dengan umat Hundu di Jimbaran. Dalem Putih pemuja Hyang Paramewisesa dan zaman selanjutnya memuja Sanghyang Dewi Giri, di lapangan depan Arca adalah Waduk Brerong hal ini diketahui dikala pepatih sebelum menusuk dirinya dengan Keris selalu menyebut, “Ngayah Waduk Brerong”,,,,