Bab XII Kebo Iwa Masa Kini
B |
anyak tokoh menggali keteladanan kisah hidup perjalanan Kebo
Iwa, mulai dari aspek spiritual, ideologi, budaya, politik, sosial bahkan mitos
mengupas sisi kehidupannya. Kebo Iwa termasuk tokoh Bali yang paling banyak
dimitoskan. Selain mitos sebagai seorang raksasa bertubuh besar berasal dari
hasil hubungan seorang pertapa dengan makhluk halus yang hidup di lereng Gunung
Agung, lalu di asuh oleh Si Karang Buncing. Setelah besar membuat susah
masyarakat Blahbatuh dalam menyiapkan makanan begitu banyak setiap hari.
Akhirnya Desa Blahbatuh menjadi kekeringan karena semua hasil pertanian
masyarakatnya habis dihaturkan kepada Kebo Iwa. Kebo Iwa lalu di bunuh oleh
masyarakatnya sendiri.
Ada juga mitos, Kebo Iwa berawal dari Begawan Aji Nuk
bersama permaisurinya yang berparas cantik berasal dari Rum (Romawi) Dewi
Sucinek. Begawan Nuk mempunyai seorang putra Bagawan Sutasik yang kemudian
bergelar Abra Sinuhun Pasir yang posturnya tinggi besar. Perilakunya seperti
ikan besar dan santapannya pun ikan, yang diambil dari laut setiap tiga bulan
sekali. Suatu saat Abra Sinuhun jatuh cinta dengan ulam (ikan) Dewi Kekasih yang
berprilaku seperti manusia. Dewi Kekasih lantas hamil dan melahirkan seorang
putra yang diberi nama Sri Mraja Kebo Iwa.
Serta mitos candi Gunung Kawi dibangun oleh Kebo Iwa dengan
mempergunakan kuku mengukir tebing batu keras itu, serta mitos-mitos yang lain
yang semuanya sudah dijelaskan pada halaman diatas.
Kebo Iwa di Pasraman Yogadhiparamaguhya
Para pemimpin kini sulit memiliki jiwa senasionalis Kebo
Iwa, seorang panglima Bali pada masa pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi
Banten pada awal abad ke 14. Kebo Iwa merelakan nyawanya pada Gajah Mada demi
persatuan dan kesatuan nusantara. Hal itu terungkap dalam seminar Menggali
Solidaritas Tokoh Kebo Iwa di Pasraman Yogadhiparamaguhya,
Blahbatuh, Gianyar, Selasa, 24 Februari 2009. Seminar menghadirkan tiga
pemakalah yakni peneliti wawasan kebangsaan dari Universitas Udayana, Prof. Dr.
I Gede Parimarta, Ketua Listibya Gianyar AA Rai, dan Ketua Umum Pasemetonan Sri
Karang Buncing Dr. (Hc) Jro Karang T Suarshana MBA.
AA Rai
mengatakan kini semangat wawasan kebangsaan warga Negara
Seminar tentang Kebo Iwa di Pasraman
Yogadhiparamaguhya, Blahbatuh, Gianyar.
makin melemah, salah satunya akibat kelupaan sejarah negeri
ini. Keluhuran nilai sejarah terabaikan oleh generasi muda karena perkembangan
budaya egoistik. “Napas nasionalisme seperti dianut Kebo Iwa pantas menjadi
inspirasi untuk meningkatkan wawasan kebangsaan ini” katanya. Rai menyatakan
salut kepada Kebo Iwa yang rela mati demi cita-cita Gajah Mada mempersatukan
nusantara. Bagi Kebo Iwa, betapa tak berarti jiwanya sendiri dibandingkan
kepentingan bangsa yang lebih besar.
Parimarta menyatakan kekagumannya pada sikap bijak Kebo Iwa.
Baginya Kebo Iwa adalah sosok inspirator di nusantara ini agar masyarakat
memahami pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Bupati Gianyar Dr. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati usai
membuka seminar mengatakan, masyarakat Gianyar patut bangga memiliki pahlawan
seperti Kebo Iwa. Namun yang paling penting kebanggaan itu dapat
diimplimentasikan dengan langkah nyata, antara lain mempertahankan keutuhan
NKRI, melestarikan keteladanan Kebo Iwa serta mengutamakan sikap menyama
braya.
Ketua Umum Pasemetonan Sri Karang Buncing, Dr. Jro Karang T
Suarshana memandang sikap Kebo Iwa menunjukkan keteladanan dan pengorbanan yang
luar biasa dalam integrasi Bali ke dalam negara nasional. Karena itu, salah
seorang tokoh Karang Buncing Kuta, I Made Supatra Karang, mengajak untuk
meneladani sikap Kebo Iwa, ini bukan hanya untuk di Pasemetonan Sri Karang
Buncing, tetapi juga untuk seluruh pemimpin dan masyarakat saat kini. “Sikap
rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar kini menjadi hal yang
langka,” tandas Suparta.
Pembicara berdiri Dewa Mardiana, Langit Kresna,
Nyoman Wijaya, Nyoman Baskara (dari kiri ke kanan).
Kebo Iwa Putra dari Pertapa dengan
Makhluk Halus
Forum studi Majapahit mengadakan sarasehan bertajuk “Gajah
Mada dan Kebo Iwa dalam Perspektif Historis dan Spiritual Menuju Peneguhan
NKRI.” Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel Puri Saron, Seminyak pada 10
November 2010. Tampil sebagai pembicara, Langit Kresna Hariadi dari Yogyakarta,
Dr. Nyoman Wijaya (Unud), dan Ida I Dewa Mardiana (penekun spiritual).
Kemudian Langit menceritakan tentang silsilah perjalanan
Gajah Mada yang sampai bertapa di Desa Sapih, dimana di tempat tersebut
dijelaskan terdapat tujuh mata air terjun. Akibat tragedi yang terjadi di
lapangan Bubat, kemudian terjadi disintegrasi yang memaksa Gajah Mada harus
dipanggil kembali dari tempat pertapaan. Akan tetapi Gajah Mada tidak berkenan
kembali dan akhirnya meninggal dunia karena penyakit diabetes. Gajah Mada
meninggalkan banyak pertanyaan tanpa diketahui siapa Gajah Mada tersebut, dari
mana asal usulnya dan siapa orang tuanya.
“Kita diajak untuk berada dalam sebuah mimpi bersama untuk
mewujudkan sebuah buku mengenang tokoh Gajah Mada dan Kebo Iwa sebagai peletak
dasar persatuan nusantara” sebut Nyoman Wijaya.
Pemakalah selanjutnya Ida Idewa Ketut Mardiana mengatakan
dalam sejarah Bali Kebo Iwa adalah manusia yang tak tertandingi, baik dari segi
fisiknya seperti raksasa tinggi besar maupun kesaktiannya. Beliau juga seorang
arsitek atau undagi yang banyak meninggalkan peninggalan seperti bangunan
tempat suci dan bangunan lainnya.
Beliau sesungguhnya putra dari seorang pertapa di Gunung
Tolangkir yang tergoda oleh kecantikan seorang lelembut, akhirnya melahirkan
seorang anak yang sangat besar. Kemudian anak itu diserahkan kepada patih raja
Bali yang bernama Arya Adikara atau Si Karang Buncing. Untuk menutup aib
brahmana pertapa ini, maka dibuatlah kisah Kebo Iwa lahir dari api bara padipan di
saat Sira Arya Adikara sembahyang. Setelah besar, Arya Adikara menyerahkannya
kepada raja Astasura Ratna Bumi Banten
Tetua warga Sri Karang Buncing saat bersilaturami
dengan Bupati Gianyar.
dan kemudian diangkat menjadi patih andalan kerajaan Bali.
Adapun ilmu andalannya disebut kebo sengilan.
Kebo Iwa Ikon Gianyar
Kebo Iwa adalah putra Gianyar, seorang yang arif bijaksana,
sakti, namun atas ketulusan dan kerelaannya mengorbankan diri untuk kepentingan
yang lebih besar, yakni persatuan dan kesatuan Nusantara. Inilah yang
mengilhami Bupati Gianyar untuk memilih Kebo Iwa sebagai maskot Daerah Gianyar.
Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) berharap Kebo Iwa bisa menjadi
ikon Gianyar dan sikap ksatrianya bisa dijadikan tauladan oleh masyarakat.
Pembangunan monumen Kebo Iwa oleh Bupati Gianyar di pintu
masuk Jalan Dharma Giri sebagai upaya untuk menghargai sikap ksatria mahapatih
Bali. Dalam realisasinya banyak
mendapatkan hambatan, mulai ketidaktahuan bentuk tubuh, wajah, model
rambut, busana, senjata yang digunakan dan karakter lainnya.
Minimnya data tertulis yang menjadi pedoman untuk mewujudkan
idolanya Bupati waktu kecil atas tokoh Kebo Iwa, telah melakukan beberapa
pertemuan untuk mencari titik temu dari para tokoh agama, seniman, Dinas
Kebudayaan Gianyar, dan para akademisi. Pertemuan para tetua Pasemetonan Sri
Karang Buncing dengan Ida Tjokorda Oka Ardhana di Bali Tourism Board (BTB),
Denpasar, tanggal 13 Januari 2011 dihadiri sang undagi patung I Wayan Winten
asal Banjar Teges, Ubud. Dalam sketsa sosok Kebo Iwa yang diajukan oleh Wayan
Winten kepada penglingsir
Monumen Kebo Iwa ikon Gianyar diresmikan oleh
Bupati Gianyar Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si, terletak di
Jalan Dharma Giri, Buruwan, Blahbatuh.
Prasasti berbahan batu marmer terpahat pada
pondasi monument Kebo Iwa
Jro Wayan Gede Oka yang awalnya membawa keris diganti dengan
pecut (cambuk).
Patung berbahan beton berdiri kekar, tinggi dari tanah 14
meter, berbusana kebesaran seorang kesatria sedang memegang sebuah cambuk dan
pada pondasi tertulis Prasasti yang diresmikan oleh Bupati Gianyar pada tanggal
28 Oktober 2011 serta dibukukan dengan Surat Keputusan Bupati Gianyar nomor
901/05-H/HK/2012 tertanggal 19 September 2012.
Jro Made Supatra Karang atas nama keluarga besar Pasemetonan
Sri Karang Buncing menyampaikan puji syukur dan penghargaan yang
setinggitingginya kepada Pemerintahan Kabupaten Gianyar khususnya kepada yang
terhormat Bapak Bupati Cok Ace yang telah mewujudkan dan meresmikan monument
Kebo Iwa tepat pada peringatan Hari Pahlawan Nasional 28 Oktober 2011, semoga
spirit Kebo iwa bisa memberikan inspirasi dan dijadikan tauladan untuk membangun
dan menjaga keutuhan Bangsa dan Negara RI.
Kebo Iwa ‘Spirit of Inspiration’
Sosok Kebo Iwa seorang mahapatih yang patut dibanggakan,
yang dimiliki Bali ketika Kerajaan Badahulu berkuasa di Bali. Dibalik ketokohan
sang patih yang dikenal tegas, berani dan memiliki talenta kepemimpinan,
ternyata banyak filosofi dan teladan yang bisa diambil dari seorang patih.
Bupati BAdung AA. Gde Agung kiri) dengan Made
Supatra Karang, dalam acara Bazar Pasemetonan Sri Karang Buncing.
“Kebo Iwa kita angkat sebagai spirit of Inspiration,” ujar I
Made Supatra Karang, di tengah penggalangan amal pembangunan Wantilan Pura
Kawitan yang kini berstana palinggih Kebo Iwa, minggu, 1 Februari 2009. Tidak saja
nama besar, Kebo Iwa yang kini tengah diabadikan sebagai cagar budaya bernilai
tinggi sebagai komoditi pariwisata Bali. Supatra Karang juga mengatakan Kebo
Iwa adalah sosok yang memiliki spirit luar biasa, ia sosok pemimpin sarat
membawa pesan untuk umat Hindu di Bali.
Kebo Iwa dan Gajah Mada di Pura Dalem
Kretti Bhuana
Bali Post, Minggu, 24 April 2011, memberitakan bertepatan
pada hari Sanghyang Aji Saraswati, Saniscara Umanis, Watugunung, Sabtu (23/4)
kemarin di Pura Dalem Kretti Bhuana Kebo Iwa, kalinggihan tapel Kebo Iwa. Dengan
berstananya tapel
Kebo Iwa yang berlokasi di Jalan Kebo Iwa 63A Denpasar. Kini telah
“bersanding” dua tapel
tokoh besar sejarah nusantara di pura tersebut. Delapan tahun silam
pada awal Bali TV mulai
tayang, lebih dulu melinggih tapel Gajah Mada. Bersandingnya dua tapel
yang disakralkan tersebut bertepatan pada piodalan yang di-puput Ida Peranda Gede Oka Karang, dari Geria Tegeh Karang,
Lumintang, Denpasar.
Pimpinan KMB Satria Naradha menyatakan senang bisa
menyandingkan kedua tapel tokoh besar
Nusantara itu di Pura Dalem Kretti Bhuana Kebo Iwa. Figur Kebo Iwa merupakan
tokoh yang sangat arif bijaksana.
Bupati Gianyar Tjok Oka Artha Ardhana (kanan)
menyerahkan tapel Kebo Iwa kepada
pimpinan Kelompok Media Bali Post, Satria Naradha.
Keteladanannya dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi
kepentingan lebih luas Nusantara tercinta, merupakan spirit yang mesti
diteladani. Spirit itu adalah adanya komitmen berkorban dalam kerangka
menjadikan Bali dan Nusantara ini tetap ajeg, dinamis dan tetap kokoh pada visi
dan misi NKRI.
Pada halaman lain, tapel Kebo Iwa dibuat oleh AA Gede Rai alias Gung Aji
Mangku dan di-urip
oleh Bupati Gianyar. Gung Aji Mangku tak hanya piawai melukis juga
hebat membuat tapel-tapel
sakral. Terbukti di tengah kesibukannya, lelaki berusia 80 tahun
mampu menyelesaikan 3 tapel Kebo Iwa hanya dalam rentang waktu sebulan. Namun
yang nyaloning atau
mengurip tapel Kebo
Iwa itu adalah Bupati Gianyar sendiri, Dr. Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati,
M.Si.
Tapel Kebo Iwa itu dari material kayu pule, kayu kesayangan ibu Mahakali,
yang katunas
di Pura Pengukur Ukur, Desa Pejeng, Gianyar. Gung Aji membuat tiga tapel dari
kayu pule, Konon, ada hal aneh dan ciri berbeda pada tiga tapel tersebut. Tapel yang diserahkan Bupati Gianyar
kepada Satria Naradha, usai pentas sendratari Kebo Iwa dan Gajah Mada di
Lapangan Astina Gianyar beberpa waktu yang lalu, mengeluarkan air. Tapel yang
kedua berat timbangannya melebihi berat yang lainnya, padahal komposisi dan
ukurannya sama. Sedangkan tapel yang ketiga mengeluarkan minyak, rencananya akan
diserahkan kepada warga Sri Karang Buncing
Keris Kebo Iwa
Dalam situs melajahngblog.blogspot.com, dikisahkan,
menyambut Tahun Baru 2009 ada suatu kejadian 24 Nopember 2007. Kejadian ini
sangat langka dan benar adanya. Dengan kejadian ini menjadikan kita lebih
percaya dan lebih menghormati para leluhur atau pendahulu kita yang hebat dan
satya dalam wacana, atau alam gaib atau juga kemahakuasaan Ida Hyang Widhi
Wasa.
Suatu waktu Ida Dewa mendapat wangsit untuk mengambil keris
pajenengan Ki Patih Kebo
Keris Pusaka Kebo Iwa
Iwa di Pantai Selatan yang disimpan oleh Ratu Kidul karena
keris tersebut dibuang oleh Ki Patih Gajah Mada dengan maksud dapat mengalahkan
Ki Patih Kebo Iwa. Ki Patih Kebo Iwa adalah keturunan Arya Karang Buncing di
Blahbatuh, Gianyar yang lahir dari padipaan disaat sira Arya Karang Buncing
memohon keturunan dihadapan Hyang Penguasa Alam Semesta, konon begitu lahir
sudah mampu menyantap ketupat kelan (6 biji). Setelah dewasa Ki Kebo Iwa mempunyai tubuh
yang sangat besar dan kekar diluar ukuran orang biasa (7 meter), dan memiliki
kesaktian yang dimiliki dibawa dari lahir, kesaktian dan kekuatan tiada yang
menyamai diseantero jagat.
Inilah yang menjadikan Maha Patih Gajah Mada memutar otak
untuk mengatur siasat bagaimana cara memisahkan Ki Kebo Iwa dari Rajanya Sri
Astasura Ratna Bumi Banten. Kalau Ki Kebo Iwa dapat dipisahkan dari Rajanya
sehingga mudah dapat mengalahkan Bali. Sampai saat itu Ki Kebo Iwa belum
memiliki istri, tidak seorang pun putri di Bali yang menyamai bentuk tubuhnya.
Hal inilah yang dipakai titik lemah Ki Kebo Iwa. Sang Ratu Raja Majapahit
disuruh membuat sepucuk surat oleh Ki Patih Gajah Mada diperuntukkan Ki Kebo
Iwa bahwa ada seorang putri yang cantik di tanah Jawa yang sepadan dengan Ki
Kebo Iwa dan untuk dipersandingkan dengannya.
Ki
Kebo Iwa sangat senang dan Kebo Iwa diharuskan menjem putnya ke Tanah Jawa. Ki
Kebo Iwa mohon izin kepada Rajanya untuk pergi ke Jawa mengambil calon istri
dan sang raja mengizinkannya. Sebelum menyeberang mengarungi lautan Ki Kebo Iwa
semadi di Pura Luhur Uluwatu. Di Pura tersebut beliau sudah dilarang untuk
pergi ke Jawa karena akan terjadi sesuatu, namun karena keinginan yang kuat
mendapatkan istri, petunjuk itu tidak dihiraukan, bahkan ada batu besar yang
menghadang, batu itu pun dibelahnya menjadi dua, satu ditaruh di Belah Batuh,
satunya di bawa ke tanah Jawa (mungkin itu asal usul dari nama Desa Blah
Batuh). Sampai di Jawa masyarakat takut dengan Ki Kebo Iwa karena tinggi besar
membawa keris dan membawa batu. Muncul ide dari Ki Patih Gajah Mada untuk
mengurangi kesaktian Ki Kebo Iwa. “Cening Kebo Iwa kenapa cening bawa keris dan
batu ke sana sini, semua rakyatku jadi takut, mari kerisnya disimpan dulu.”
Keris Ki Kebo Iwa diserahkan kepada Ki Patih Gajah Mada, bukannya disimpan,
ternyata dibuang ke laut, dan diselamatkan serta disimpan oleh Ratu Kidul.
Berikutnya Ki Kebo Iwa disuruh membuat sumur oleh Gajah Mada
untuk mandi calon istrinya. Setelah sumurnya dalam Kebo Iwa diurug dengan batu
rame rame oleh rakyat Majapahit. Dengan kesaktiannya, batu-batu yang
mengurugnya semua terpental ke angkasa. Gajah Mada sudah habis akal untuk
melenyapkan Ki Kebo Iwa dari muka bumi, di suruhlah Ki Kebo Iwa pulang ke Bali
karena istri yang dijanjikan itu sebenarnya tidak ada, "Itu hanya
kiasan," kata Gajah Mada. "Yang kami sebut Ni Gusti Lemah
Tulis itu adalah sebuah gunung cantik yang namanya Gunung
Batu Tulis."
"Saya tidak mau pulang ke Bali karena kami janji pada
raja kami bahwa kami ke Jawa untuk mengambil istri. Bila kami tak membawa
istri, kami akan sangat malu sekali pada sang Raja. Kami merasa di tipu daya,
namun kami tak akan bisa mati dengan cara ini, lebih baik kami mati dengan
secara satria. Kami bisa mati oleh siraman pamor bubuk, bunuhlah kami dengan
itu, kami akan mati."
Kebo Iwa mengeluarkan pamor bubuk diserahkan kepada Patih
Gajah Mada, lalu ditaburkan pamor bubuk itu oleh Gajah Mada, seketika itu Ki
Kebo Iwa lenyap tanpa bekas (moksa).
Ida I Dewa Mardiana mendapat tugas mengambil keris itu di
pantai selatan (Malang) dan pusaka tersebut sudah diberikan oleh Ratu Kidul dan
kini disimpan di Kedatuan Kawista Belatungan, Tabanan.
Keris “Tri Manunggal Sakti Ratu Gde Kebo
Iwa”
Setahun lebih pedasar ratu gde kebo iwa Jero Mangku Sunarya
dari Desa Sesetan Denpasar Selatan, pernah mengatakan kepada penulis di Pantai
Saba, Gianyar, bahwa akan muncul pajenengan (pusaka) Ratu Gde Kebo Iwa berupa
keris dengan panjang 33 cm, tetapi kala itu Jero Mangku tidak secara tegas
menyebutkan kapan, dimana dan siapa yang akan
Jero Mangku Wayan Sunarya dan Jro Made Supatra
Karang sedang memegang Keris Tri Manunggal Sakti Ratu Gede Kebo Iwa di kamar
suci Jero Mangku.
mendapatkannya. “Keris tersebut sebagai simbol pemersatu
Nusantara”, ujar Jero Mangku dikala itu.
Tiga hari sebelum kemunculan keris tersebut, Kadek Novi putra
dari Jero Mangku Sunarya mengatakan bapak seperti orang bingung, gelisah, tidak
tentu tujuan, dimana dan kapan jatuhnya keris itu. Pada hari sukra wage,
tileming sasih ka dasa, tanggal 20 April 2012, sekitar pukul 9 malam, keris
disambut (diterima) oleh Jero Mangku Sunarya. Sesuai petunjuk niskala, dengan
duduk tepekur melakukan semadi menghadap ke barat di sisi timur patung catur
muka lapangan Puputan Badung, Denpasar. Keris maprarai tiga (berpisau 3)
berujung satu, warna hitam, panjang 33 cm, mengeluarkan minyak berbau cendana.
Detik-detik jatuhnya keris, kening seperti ada yang menusuk-nusuk, kepala berat
sekali, terasa ada sinar biru terang dari arah baratlaut berkelebat ke arah
patung catur muka dan beberapa saat terasa ada suatu benda di telapak tangan
kanan Jero Mangku.
Ditanya mengenai fenomena kemunculan keris tersebut kepada
Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa selaku penasehat warga Sri Karang Buncing
merupakan petanda sangat baik, karena kemunculan keris sudah sesuai dengan
sastra, misalnya, jatuhnya keris di catus pata (perempatan jalan), atau
jatuhnya keris di klebutan (mata air), di kandang sapi, di pura dan di hari
suci. Menurut perkiraan akhli keris Bapak Suteja Neka, pemilik Museum Neka dari
Ubud, ketika ditelpon oleh Ida Dukuh, keris bermata tiga termasuk langka sudah
tidak muncul zaman Bali pertengahan dan kini. “Jika keris buatan manusia
tertanam ratusan tahun biasanya pasti karatan. Apalagi tanda sinar biru
berkelebat datangnya dari arah baratlaut, mengeluarkan rembesan minyak berbau
cendana, panjang 33 cm mengandung makna sebagai simbol 33 dewa pelindung
dunia”, tegas Ida Dukuh.
Atas pertimbangan tersebut, Jro Made Supatra Karang selaku
Ketua Umum Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing (P3SKB) Bali
memutuskan untuk melakukan upacara pemagpag keris “Tri Manunggal Sakti Ratu Gde
Kebo Iwa” pada tanggal 1 Mei 2012. Upacara pemagpag keris atau upacara
penyambutan keris diadakan di sebelah timur patung catur muka (tempat awal
keris diterima) dipimpin oleh Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa dari Padukuhan
Samiaga, Penatih, Denpasar Utara, sekitar pukul 9 malam.
Puncak acara diwarnai fenomena kerauhan atau kemasukan roh
alam lain, sebagai media komunikasi dari alam niskala pada tiga orang warga
yaitu Jero Mangku Sunarya kemasukan roh Kebo Iwa, I Wayan Sudarta dari Sanur
kemasukan roh Gajah Mada dan I Made Murjana adik Jero Mangku Sunarya dari Desa
Sesetan kemasukan roh Sri Karang Buncing sebagai petanda tiga roh yang pernah
hidup pada zamannya merestui keris tersebut. Sehabis memimpin upacara pemagpag
keris, Ida Dukuh memberikan ketegasan kembali kepada warga Sri Karang Buncing
yang hadir pada malam itu, untuk tidak ragu lagi dengan kemunculan keris Tri
Manunggal Sakti Ratu Gde Kebo Iwa karena sudah sesuai kriteria kemunculan benda
gaib. Kini, keris distanakan di kamar suci Jero Mangku Sunarya, Jalan Pulau
Serangan No 35, Desa Pakraman Sesetan, Denpasar Selatan.
Bedah buku Kebo Iwa
Bedah buku berjudul “Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, dalam
Dinasti Raja-raja Bali Kuno” karya I Made Bawa dilangsungkan di Wantilan Bali
TV, Jalan Kebo Iwa 63, Denpasar, Minggu (13/11/2011) tahun yang lalu. Tiga
akademisi mengurai buku yang dikategorikan sejarah itu, yaitu sebagai pembicara
Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. (Sejarawan Unud), Prof.
Dr. I Gde Semadi Astra (Arkeolog Unud) dan Dr. I Wayan Redig
(dosen Fakultas Sastra Unud).
Moderator Drs. Made Nada Atmaja, M.Si. memberi kesempatan
pertama kepada Bagus Wirawan untuk mengapresiasi buku tersebut. Guru besar ini
menilai kepekaan dan kreativitas penulis muda Made Bawa dalam mengulas fenomena
masa lalu pada buku setebal 246 halaman itu. Membedah atau lebih cocok memberi
bahasan untuk kemudian lebih membuka ajang diskusi atau perdebatan guna
meningkatkan pemahaman peserta sekalian. Bahasa yang diajukan meliputi dua kata
kunci yang bisa diajukan yaitu: Rekontruksi dan Deskontruksi, serta, 2)
Kontinuitas dan diskontinuitas. Menggambarkan kembali (rekontruksi) realitas
kemanusiaan baik dalam kehadiran tokoh beserta asal usulnya yaitu Kebo Iwa dan
Sri Karang Buncing yang mengaitkannya pada dinasti raja-raja yang berkuasa
secara kronologis pada periode Bali Kuno (abad ke-9 sampai abad ke-14) oleh I
Made Bawa telah berhasil dan menambah khazanah produk karya sejarah
(historiografi) di Bali.
Sepatutnya karya historiografis I Made Bawa diberi acungan
jempol bukan isapan jempol, karena kemampuan dan kreativitasnya. Saya sebagai
pemberi komentar dan bahasan bukan mencari-cari kesalahan kekurangan dari isi
dan teknis penulisan. Memang harus diakui bahwa setiap karya tulis apalagi
karya historiografis yang jarak waktu lampaunya cukup lama dari sang penulis
hidup pasti terkandung kekurangan. Hal ini dapat diatasi jika penulis mau
belajar terus untuk memperbaikinya. Sebab belajar tidak mengenal usia tua
sesuai adagium “belajar sepanjang hayat”. Selain itu karya historiografis harus
terbuka dan dibuka bagi debat dan perdebatan substantif. Berani masuk ke ranah
sejarah yang menghasilkan historiografi harus siap didebat dan berdebat.
Sejarah memang ilmu debat yang tak hentihentinya, karena setiap generasi berhak
menulis sejarahnya. Namun ketika sejarah ditulis ada pesan kearifan dan
perdamaian yang mesti ditangkap. Pesan moral arif dan adil dari sejarah yang
ditulis adalah mengenal jati diri itu sendiri jati diri Bali, jati diri warga
Bali, warga Negara, bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika”
Sementara Semadi Astra tak banyak menyinggung sosok Kebo Iwa
sebagai tokoh sejarah dan tokoh mitologi, tidak ingin menjangkau halhal yang
bersifat substantif yang tertuang dalam buku tersebut. Keduanya lebih banyak
menyampaikan rasa salut dan penghargaan atas keuletan dan ketekunan sang
penulis menelusuri data-data yang menjadi sebuah buku yang relatif lengkap.
Lazimnya, kendati tidak selalu, yang mempunyai minat besar untuk mengetahui serta
menyusun lelintihan kulawarga adalah tokoh-tokoh yang pada umumnya sudah
berumur relatif cukup lanjut, mungkin dapat dikatakan yang telah berumur 60
tahun ke atas. Dalam hal ini, pengarang buku yang sedang dibicarakan I Made
Bawa, boleh
Panitia bedah buku poto bersama tiga narasumber
Bagus Wirawan, Semadi Astra, dan Wayan Redig (3,4,5 dari kiri) sebelum acara
dimulai di Wantilan Bali TV, Gedung Pers Bali K. Nadha.
dikatakan merupakan “tokoh istimewa yang langka”, Dikatakan
demikian, karena ketika hasil karyanya terbit, tokoh tersebut belum genap
berumur 50 tahun (lahir tanggal 7 Oktober 1961).
Lebih mengagumkan lagi apabila penghitungan waktunya dimulai
sejak “tokoh kita ini mendapat inspirasi” untuk menyusun lelintihan kulawarga-
nya, yakni pada waktu upacara perubahan status Pura Ibu menjadi Pura Panti di
Kuta, sekitar bulan April 1984. Ini berarti, pada tahun 1984 “sang tokoh I Made
Bawa” kurang lebih baru berumur 23 tahun, sebuah umur yang sangat muda. Tentu
mudah dibayangkan dan dipahami bahwa sejak tahun 1984 itu “sang pengarang”
dengan ketekunan luar biasa, tidak kenal lelah berburu berbagai sumber atau
sandaran bagi buku yang ingin disusunnya. Oleh karena itu, kiranya tidak salah
jika dikatakan bahwa tokoh yang bernama I Made Bawa ini merupakan tokoh muda
yang berwawasan panglingsir dengan pandangan visioner serta dedikasi tinggi.
Sudah tentu sangat pantas pula bahwa kulawarga yang memiliki tokoh tersebut
merasa sangat beruntung dan bangga.
Sementara Dr.
Redig selain memberi pujian kepada pengarang bukunya juga menguraikan tokoh
Kebo Iwa yang menjadi ikon pada buku itu. Dia memaparkan kebesaran dan
kehebatan Kebo Iwa yang mampu berjalan sangat cepat sudah merupakan mitos yang
sangat kuat di masyarakat. Secara psikis, Kebo Iwa tidak bisa ditaklukan, baik
dengan cara tipu muslihat Gajah Mada. Kebo Iwa bisa keluar dengan sempurna
ketika secara curang ditimbun dalam sumur. Namun karena
Kebo Iwa berjiwa besar, jujur, dan baik hati, dia
menyetujui keinginan luhur Gajah Mada hendak menyatukan Nusantara. Akhirnya
Kebo Iwa membuka rahasia kelemahannya sendiri kepada Gajah Mada dengan cara
menyiramkan bubuk kapur ke tubuhnya.
Ketua umum Pasemetonan Sri
Karang Buncing, I Made Supatra Karang mengungkapkan
sarasehan dan bedah buku tidak semata untuk mengagungagungkan sosok Kebo Iwa
dan mengistimewakan soroh (klan) Sri Karang Buncing. Sarasehan lebih
dimaksudkan untuk mengungkap kabut misteri di balik sosok Kebo Iwa yang
dibanggakan masyarakat Bali, yang kebetulan tokoh Kebo Iwa berasal dari garis
keturunan Sri Karang Buncing. Disamping hasil sarasehan dan masukan para
pembicara dan peserta akan digunakan untuk menyempurnakan buku yang disusun
oleh Made Bawa
Kebo Iwa Award
Kebo Iwa Award adalah anugrah tertinggi yang diberikan oleh
Pasemetonan Sri Karang Buncing dan Yayasan Garbha Nusantara kepada warga secara
individu dan atau kelompok serta lembaga yang mempunyai perhatian yang besar
terhadap kebesaran jasa Mahapatih Kebo Iwa, serta perkembangan
kebudayaan dan spirit kemanusiaan dari ajaran-ajaran Kebo
Iwa.
Ketentuan dan proses pengajuan calon penerima yang diketuai
oleh Prof.Dr.Ir.Gede Mahardika, M.Si. anggota sebanyak 15 orang terdiri dari
berbagai profesi. Menurut ketua tim penilai Gede Mahardika, pemberian Kebo Iwa
Award kepada Cok Ace bukan karena statusnya sebagai Bupati Gianyar, tetapi
berdasarkan kriteria penilaian yang objektif dan telah
Kebo Iwa Award perdana diberikan kepada Tjokorda
Oka Artha Adhana Sukawati (memegang trofi) di kiri Bupati tapel Kebo Iwa hasil
pahatannya disaksikan para tetua Pasemetonan Sri Karang Buncing.
ditetapkan melalui keputusan setelah melihat hasil kerja
Bupati Gianyar yang menjadikan Kebo Iwa sebagai Ikon Kota Gianyar, mendirikan
Tugu Kebo Iwa dan karya seni tari Kebo Iwa sebagai tarian wajib Kabupaten
Gianyar.
Tujuan utama adanya Kebo Iwa Award oleh Jro Made Supatra
Karang selaku Ketua Umum Pasemetonan Sri Karang Buncing berharap, terciptanya
kesadaran akan pentingnya nilai sejarah sebagai suri tauladan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, meningkatkan motivasi setiap warga Negara dalam
berkarya bagi pemanfaatan pengembangan dan penguasaan nilai sejarah dan
kebudayaan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, disamping meningkatan
rasa persaudaraan dan kerukunan.
Penyerahan Kebo Iwa Award perdana dianugrahkan kepada Bupati
Gianyar Dr, Ir, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. (Cok Ace), dihadiri
oleh Wakil Bupati Gianyar Dewa Made Sutanaya, SH., Ketua DPRD Kab. Gianyar,
Muspida Gianyar, Muspika Sukawati, Kepala Desa Batuan, Ketua LPM desa Batuan,
Bendesa Adat Batuan serta Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing (P3SKB)
provinsi Bali, Pengurus Pasemetonan Sri Karang Buncing (P2SKB) se-Kabupaten dan
Kodya di Bali, Yowana Sri Karang Buncing, Ikatan Wanita Sri Karang Buncing dan
Prasasti Kebo Iwa di depan para sesepuh Desa
Besuki, Kediri, Jatim (29/4/2019)
beberapa undangan Puri Batuan, selasa 19 Februari 2013, di
Santi Mandala, Villa & Spa, Batuan, Gianyar.
Detik-detik puncak acara penyerahan tropi dipentaskan tari
Topeng Kebo Iwa dan Gajah Mada, dimana tapel (topeng) Kebo Iwa yang dipentaskan
hasil pahatan dari Bapak Bupati.
Bupati Cok Ace sangat mengapresiasikan perhargaan dari
Pasemetonan Sri Karang Buncing sebagai motivasi baginya untuk berbuat lebih
demi kesejahteraan rakyat. Sejak kecil Kebo Iwa merupakan idola bagi dirinya
dan semakin dewasa mengagumi, kecintaan serta pemahaman akan tokoh Kebo Iwa
semakin besar. Pemahaman akan pengorbanan jiwa raga dan jasa Kebo Iwa kepada
Nusantara menjadikan motivasi dan spirit baginya untuk mengabdikan diri kepada
masyarakat Gianyar.
Beberapa hari sebelum mengakhiri masa jabatannya sebagai
Bupati, Cok Ace masih ada obsesi yang belum terlaksana dari kecintaannya
terhadap sosok Kebo Iwa, yaitu mengubah nama Jalan Dharma Giri yang sekarang,
menjadikan Jalan Kebo Iwa. Baginya tanpa sosok Kebo Iwa, Bali tidak mungkin
seperti saat ini, jadi pantaslah jika jalan itu bernama Jalan Kebo Iwa.
Prasasti Kebo Iwa, Gunung Wilis, Jawi
Setelah penemuan tempat moksah Ratu Bhatara Kebo Iwa di Desa
Besuki, Jugo, Kediri tahun 2005 oleh Penglingsir Jero Wayan Gede Oka (Alm)
melalui mediator di depan Palinggih Pangulu Pura Puseh, Blahbatuh. Perjalanan
napak tilas terus berlanjut dengan pemasangan Prasasti Kebo Iwa oleh Pengurus
Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing Jro Made Supatra Karang tanggal 20
September 2014, dikala itu disaksikan oleh Ketua PHDI Kediri Kadek Astawan, dan
Polisi Hutan setempat karena tempat situs batu berada di area hutan lindung
Kabupaten Kediri. Napak tilas dilakukan baik bersama-sama maupun perseorangan
dengan mengadakan beberapa kegiatan sosial seperti penanaman pohon, pembanguan
bale pesayuban, pembagian pakaian yang layak pakai dan kegiatan terakhir
pengangkatan air dari sumber dan pembangunan toilet. Bunyi Prasasti,
“Mewujudkan Sumpah Palapa Kanda Gajah Mada, Jiwa Dan Raga Ku Korbankan Demi
Persatuan Dan Kesatuan Nusantara” KEBO IWA, Warih, 20 – 09 – 2014
Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing, Ketua Umum
Jro Made Supatra Karang”
0 komentar:
Posting Komentar