Makalah Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, SU. (asal tulisan tangan, 13/11/2011)
BEDAH BUKU
KEBO IWA DAN SRI KARANG BUNCING
Dalam Dinasti Raja-Raja Bali Kuno.
Karya I Made Bawa, Denpasar: Buku Arti, Agustus 2011, 246 halaman, XVII (3 Kata Sambutan dan Prakata)
Oleh: A.A. Bagus Wirawan
PROLOG:
Kemunculan produk historiografi Bali adalah upaya generasi saat ini berdialog dengan masa lampau untuk mengenal jati diri dan memetik kearifan yang dapat dijadikan menapaki masa depan historiografi yang ditulis mengisyaratkan tentang tema sejarah keluarga Sri Karang Buncing sebagai tonggaknya, artinya dari Sri Karang Buncing bisa ditarik ke atas atau keleluhur –nya, ke masa lampau hingga Sri Kesari Warmmadewa atau ke bawah yaitu terutama lahirnya tokoh terkenal pada abad ke 14 Kebo Iwa, Sri Kebo Iwa, Kebo Taruna karena kesaktian dan kekebalannya. Gajah Mada mahapatih Majapahit sendiri mengalahkannya mesti dengan tipu daya. Namun tewasnya hanyalah kehendak Kebo Iwa sendiri dengan rela membuka rahasia menuju moksahnya di Wilwatikta.
Setelah Kebo Iwa berlanjut pula keturunan Sri Karang Buncing hingga sekarang yang tersebar domisilinya di seluruh Bali dan luar Bali. Utamanya tempat kelahiran penulis buku. Dari alasan dan perspektif tertentu termasuk perspektif sejarah realitas yang mengitari yaitu pergulatan Kebo Iwa dengan situasi kondisi yang mengitarinya diangkat, direkontruksi berupa gambaran kearifan sosok panutan yang sangat berkesan bagi keturunannya dan generasi sekarang
BAHASAN:
Membedah atau lebih cocok memberi bahasan untuk kemudian lebih membuka ajang diskusi atau perdebatan guna meningkatkan pemahaman peserta sekalian. Bahasa yang diajukan meliputi dua kata kunci yang bisa diajukan yaitu: 1) Rekontruksi dan Dekontruksi, serta, 2) Kontinuitas dan Diskontinuitas.
Rekontruksi dan Dekontruksi,
Menggambarkan kembali (rekontruksi) realitas kemanusiaan baik dalam kehadiran tokoh beserta asal usulnya yaitu Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing yang mengaitkannya pada dinasti raja-raja yang berkuasa secara kronologis pada periode Bali Kuno (abad ke-9 sampai abad ke-14) oleh I Made Bawa, S.Fil.H. telah berhasil dan menambah khazanah produk karya sejarah (historiografi) di Bali. Keberhasilannya ditandai dengan jumlah sumber-sumber (tulisan, monument, lisan) yang digunakan sebagai alat bukti dari sejarah yang dikisahkan di daftar pustaka, terdaftar 61 buku dan 62 terjemahan Prasasti, Piagem, Pemancangah, Prakempa, Babad (Belanda, Latin, Bali).
Subtansi yang terkandung dalam karya I Made Bawa ialah Rekontruksi dan Dekontruksi atas empat tema yaitu: 1) Siapa, kapan dan bagaimana Kebo Iwa; 2) Asal usul treh Sri Karang Buncing yang berasal dari raja-raja yang berkuasa pada periode Bali Kuno; 3) Sejarah Pura Lempuyang dan Pura Gaduh, dan, 4) Menggambarkan keberadaan treh Sri Karang Buncing dan Kebo Iwa masa kini (Bab II, Bab III, Bab VI, Bab IX, dan Bab X).
Dari tema-tema yang diangkat, Made Bawa menangkap arti dan memberi interpretasi disertai makna tentang kiprah Sri Karang Buncing sebagai cikal bakal Kebo Iwa dan kiprahnya pada masa lampau kepada generasi sekarang. Tidak hanya kepada warga treh Sri Karang Buncing namun juga bagi masyarakat Bali terutama Gianyar. Dan tidak main-main seorang Bapak Bupati Gianyar, Tjok. Oka Artha Ardhana untuk memilih Kebo Iwa sebagai maskot/ ikon Kabupaten Gianyar. Ketika akan dihadapkan pada wajah asli Kebo Iwa maka keputusan historis pun diperlukan meskipun hanya setetes embun dihadapan samudra, keputusan politik pengemban kekuasaan. Namun tokoh Kebo Iwa termasuk tokoh Bali yang paling banyak dimitoskan dan telah menjadi mitos saat ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa rekontruksi terhadap masa lampau senantiasa dibarengi dekontruksi masa sekarang karena tokoh Kebo Iwa telah diangkat menjadi fakta pertanyaan-pertanyaan masa kini. Kemudian muncul pelbagai tafsir mengenai sang aktor Kebo Iwa oleh generasi sekarang yang memiliki hak untuk merekontruksi atau dekontruksi disertai makna-makna yang kadang melampaui batas-batas kewajaran historis (Bab XI).
KONTINUITAS dan DISKONTINUITAS:
Pepatah kuno yang tetap aktual jika disimak dan dicermati, bahkan tetap benar dan bermakna jika direnungkan yaitu “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa manusia tidak hanya terlibat dengan waktunya tetapi juga dengan waktu yang melewati dirinya. Dimensi waktu yang melewati dirinya itulah historisitasnya sesungguhnya yang menyebabkan arti hidupnya masih dinilai dan dimaknai jauh setelah tiada di dunia fana ini.
Semakin ia berperan sebagai aktor sejarah dalam arti, bahwa laku dan aktivitasnya dicatat dan dikenang, semakin ia terkena tirani waktu itu. Si aktor seakan-akan dipaksa untuk terus menerus mengulangi peranannya. Semakin keras tirani waktu melekat pada diri aktor semakin jauhlah dirinya mengalami transformasi.
Kebo Iwa yang tak tertandingi pada zamannya (Bab V) mengalami transformasi arti dan makna menjadi Kebo Iwa di Pesraman Yoghadhiparamaguhya, putra pertapa dengan makhluk halus, maskot ikon Gianyar, spirit of inspiration, dipuja bersama tokoh Gajah Mada di pura Dalem Kretti Bhuwana dan bahkan keris Kebo Iwa ditemukan saat kini (Bab XI)
Penulis sangat kreatif untuk melanjutkan dan mewujudkan gagasan besar yang dirintis sejak tahun 1937 yaitu menyusun silsilah/ lelintihan Sri Karang Buncing (Buku Kuning) pada tahun 1991 dan tahun 2003. Dari Buku Kuning, penulis Made Bawa disertai kemampuan, ketekunannya mengumpulkan data, maka tersusun bukunya yang diberi judul Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing Dalam Dinasti Raja-Raja Bali Kuno.
Kurang tepat jika dijadikan satu judul saja. Alasanya ialah, 1) Dari sisi kronologi antara Sri Karang Buncing dengan Kebo Iwa siapa yang lebih dulu mengada, 2) Dari sisi yang sama mana lebih dulu Kebo Iwa, Sri Karang Buncing dan dianasti raja-raja Bali Kuno. Oleh Karena itu, komentar dan saran saya ialah karya historiografis Made Bawa yang sudah diterbitkan ini bisa dipecah menjadi empat buku. Apalagi sumber acuan pustakanya banyak, meskipun masih tergolong sumber sekunder (61 buah buku dan 62 buah berupa Prasasti, Piagem, Purana, Prakempa, Pemancangah dan Babad, baik naskah atau sudah diterbitkan).
Empat buku yang saya anjurkan dan sarankan disusun ialah 1) Biografis Kebo Iwa; 2) Sejarah keluarga treh Sri Karang Buncing; dan, 3) Sejarah politik dinasti raja-raja Bali Kuno (abad ke-9 sampai abad ke-14), 4) Ke empatnya adalah karya historiografis yang dapat memberi kontribusi untuk memperkaya kazanah kebudayaan Bali yang mengalami prase kontinuitas dan diskontinuitas sejak periode klasik sampai modern, sejak mengadanya manusia pertama penghuni pulau Bali hingga saat ini.
Kontinuitas dan diskontinuitas perlu juga diperhatikan ketika menggambarkan raja-raja Bali kuno sebelum ekspansi Majapahit (26 raja), ketika dikuasai dan masa transisi kekuasaan dan kekuasaan raja-raja Bali sesudah ekspedisi Gajah Mada. Kekuasaan raja-raja Bali dalam satu kerajaan Bali pun masih perlu dibedakan raja (Dalem) yang bergelar “Raja Adipati Majapahit di Bali” (abad ke-14 sampai pertengahan pertama abad ke-15) dan raja-raja Bali yang berdiri sendiri dalam satu kerajaan Bali lepas dengan Majapahit (pertengahan ke dua abad ke-15 sampai pertengahan pertama abad ke-17). Pada pertengahan ke dua abad ke-17 pulau Bali telah terpecah dan terbagi oleh kekuasaan raja-raja di kerajaan-kerajaannya masing-masing pada periode itu muncul periode kerajaan-kerajaan Bali.
EPILOG:
Sepatutnya karya historiografis I Made Bawa diberi acungan jempol bukan isapan jempol, karena kemampuan dan kreativitasnya. Saya sebagai pemberi komentar dan bahasan bukan mencari-cari kesalahan kekurangan dari isi dan teknis penulisan. Memang harus diakui bahwa setiap karya tulis apalagi karya historiografis yang jarak waktu lampaunya cukup lama dari sang penulis hidup pasti terkandung kekurangan. Hal ini dapat diatasi jika penulis mau belajar terus untuk memperbaikinya. Sebab belajar tidak mengenal usia tua sesuai adagium “belajar sepanjang hayat”. Selain itu karya historiografis harus terbuka dan dibuka bagi debat dan perdebatan substantif.
Berani masuk ke ranah sejarah yang menghasilkan historiografi harus siap didebat dan berdebat. Sejarah memang ilmu debat yang tak henti-hentinya, karena setiap generasi berhak menulis sejarahnya. Namun ketika sejarah ditulis ada pesan kearifan dan perdamaian yang mesti ditangkap. Pesan moral arif dan adil dari sejarah yang ditulis adalah mengenal jati diri itu sendiri jati diri Bali, jati diri warga Bali, warga Negara, bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika”
A.A. Bagus Wirawan.
28 komentar:
konon kabarnya dan sampai sekarang kawitan saya di sibang, sy ingin menelusuri status saya yang sebenarnya, bagaimana kami bs sampai di Br. Kedampal, abiansemal, mohon petunjuk penulis.
Sukma
W. Wisnu Subrata
Udayana University Press
9226172/081338982007
Sekedar tambahan, buku2 dan literatur pendukung sudah saya pegang termasuk buku terbitan terbari bapak I Made Bawa jg sudah sy beli di toko buku, ekspedisi di sekretariat majalah Taksu untuk dapatkan informasi jg sudah saya lakukan, tpi hati kecil sy masih ada sedikit keraguan, apakah benar sy keturunan sri karang buncing, selain di Desa Sibang, Blahbatuh, untuk pedarman di Lingkungan besakih dimana? sampai sekarang penglingsir di kawaitan Sibang belum pernah memastikan posisi semabhyang di lingkungan Pura besakih dan banyak lagi ganjala2 yang msh perlu jawaban2 dari dalam diri saya.
mohon petunjuk pihak terkait.
Sukma
Om Swastyastu Bpk Wisnu Subrata, selamat bergabung di web ini ,, hampir semua semeton tanya ttg Pedharman Warga Karang Buncing di Besakih ,, kembali kepada kata "pedharman" adalah tempat melakukan hidup suci atau tempat melepaskan keterikatan duniawi mencari keagungan tuhan, dalam catur asrama disebut Wanaprasta(hidup di hutan),, sangat jelas konsep ini dibangun oleh Raja Sri Jayasakti (1150M). Dimana diatas tahun 1150 pertapaan dan perabuan raja sebelumnya masih berpencar, ada di Balingkang, ada di Gunung Kawi, ada di Penulisan, ada di Durga Kutri, ada di Pura Pengukur2an, dlll. Raja Jayasakti setelah menjadi raja dan melakukan hidup suci menjadi pertapa di Gunung Lempuyang beliau disebut Sri Gnijaya Sakti (Piagem Dukuh Gamongan)dan pertapaan dilanjutkan oleh anaknya tertua nama sama Sri Gnijaya juga, dilanjutkan oleh adiknya Sri Maha Sidhimantradewa dilanjutkan oleh anak no 2 Sri Indra Cakru setelah jadi raja hidup suci nama sama dgn ayahnya Sri Sidhimantra dilanjutkan oleh anak pertama Sri pasung Gerigis dilanjutkan oleh anak angkat (keponakan) Sri Rigis dilanjutkan oleh anak tertua Pasung Giri dilanjutkan oleh Dukuh Sakti Gamongan dan turunan DUKUH lainnya ,, Desa Gamongan awal muncul nya para DUKUH di Bali ug ada sampai saat kini
Jadi "pedharman" adalah tempat pertapaan (bhs bali: mamondok) jauh dari keramaian rumah tangga. Dari konsep ini muncul Tri Hita Karana, parahyangan, pawongan, palemahan ,, Zaman pemerintahan Bali Kuno, parahyangan berkiblat ke gunung Lempuyang dan pawongan adalah Batahanar (Blahbatuh) sedangkan palemahan jagat Bali ,,,
Setelah kalahnya Bali, tapuk pemerintahan Dalem Baturenggong kiblat parahyangan adalah Gunung Agung dgn pusat kosentrasi di penataran Besakih, pawongan (urusan pemerinatah dan rakyatnya) di Gelgel, palemahan jagat Bali. Pura Besakih dgn diitari oleh Catur Lawa dan "pedharman" para arya majapahit. Dalam hal ini pedarman para arya ini bukan tempat pertapaan (wanaprasta) seperti pertapaan raja Sri Gnijaya di Pura Lempuyang Gamongan. Pedarman Besakih adalah tempat "sekar" leluhur para arya majapahit setelah upacara atmawedana.
Bagaimana dengan Catur Lawa: Pura Ratu Dukuh, Ratu Pasek, Ratu Pande dan Ratu Penyarikan?? Pura Catur Lawa BUKAN pura "soroh, Klen, klompok warga" Catur Lawa adalah 4(empat) kelompok tugas yang membantu kelancaran upakara di Pura Penataran Besakih, yaitu Dukuh, Pande, Pasek, Penyarikan. (semacam rompok2) tentu orang yg duduk dlm tugas/seksi ini bukan hanya dari satu warih saja. Dukuh yg bertugas bagian hal2 suci, upakara dan menghaturkan upakara. Pande bertugas merancang perlenkapan upakara, Penyarikan bagian administrasi atau surat menyurat, tentunya dlm hal ini yg punya tugas para pemegang kekuasaan sedangkan Pasek bertugas membantu kelancaran tugas yg lain.
Konsep pemujaan Kawitan muncul setelah masuknya para brahmana majapahit ke bali yaitu pasca Danghyang Nirartta (Pedanda Sakti Wawu Rauh)dan beliau menata kembali konsep2 keagamaan Bali Kuno. Dgn munculnya konsep memuja leluhur itu, mejadi kebingungan masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak2 leluhur mereka yg sudah ada sebelum kedatangannya di Bali. Juga pembagian identitas pendeta, dimana turunan para raja bali kuno diberi gelar Dukuh yg artinya pendeta pertapa Bali. Bukan sembarang orang diberi gelar Dukuh masa itu.
Kembali ke Catur Lawa, paling depan sejajar dgn undagan masuk ke Penataran Besakih atau sebelah kanan Candi Bentar Penataran terletak Pura Ratu Dukuh ,, ini artinya munculnya pura Besakih sezaman munculnya Brahmana Dukuh di Bali ,,
Kalau Catur Lawa diklaim sebagai pura lelangit (soroh), lalu pertanyaannya: Siapakah nama leluhur warga Pasek yg dimuliakan di Pura Ratu Pasek??? Dan siapa pula nama leluhur Pande yg dicandikan di pedharman itu?? Begitu pun penyarikan dan dukuh ,,,
Itulah BABAD ,,, Lalu bagaimana menurut data sejarah keberadaan Pura Besakih ?? Betulkah tempat itu bekas kerajaan Sri Kesari Warmmadewa, isaka 804 ???
ampura yening iwang ,,,
kembali ke sejarah PURA BESAKIH ,, yg menjadi catatan tertulis ttg pura ini adalah, 2 PRASASTI TEMBAGA PURA PENATARAN BESAKIH, satu catatan tertulis th Isaka 1366/ 1444 M dan prasasti th Isaka 1380/1458 M, yg dikeluarkan era Kresna Kepakisan ,,, catatan yg lain Prasasti Mpu Bradah, tahun CANDRA SANGKALA 928/1006 M, ,, masih menjadi pertanyaan tahun itu, karena dalam penulisan tahun CANDRA SANGKALA akan memakai kata2 kiasan, contoh, mau katakan angka dua akan ditulis CAKSU (mata), krn mata itu dua, dan mau kata angka 0 akan ditulis SUNYA = kosong dll ,,, jadi penulisan angka tahun memakai candra sangkala umumnya akan kelihatan di Purana, bukan di Prasasti, karena prasasti dikeluarkan pada zaman orangnya sendiri, tercatat siapa yg menyaksikan dlll dan penulisan pengeluaran prasasti itu memakai angka tahun saat itu bukan memakai tahun kiasan ,,,
Dalam Babad ,, Banyak cerita ttg asal usul berdirinya PURA BESAKIH ,,, ada yg mengatakan bekas kerajaan Sri Kesari Warmadewa th isaka 804/882 M, ,,, ada yg mengatakan dr Rsi Markendia abad ke 8, ada yg menyebutkan keberadaan di zaman Sri Maha Kulya Kul Putih, saudara kandung raja Sri Jayasakti jadi raja Bali th Isaka 1047/1119 M, ,,, ada sastra menyebutkan keberadaan di era raja Sri Masula-Masuli th Isaka 1246/1324 M ,,, ada sastra menyebutkan keberadaan di era raja Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten th Isaka 1250/1328 M karena ada Pura Batu Madeg, ada cerita asal pertapaan Mpu Semeru, ada sastra yg menjelaskan keberadaan di era kerajaan Dalem Waturenggong, ddlllllllll ,,, yg jelas mesti saling kait antara prasasti, purana milik pura dengan piagem, prakempa, babad dan hasil karya ilmiah milik kelompok warga (soroh) ,, kalau tidak ada saling keterkaitan maka naskah itu mengambang alias diragukan kebenaranya ,,,
@Bpk Wisnu Subrata, memang pas kalau warih Karang Buncing ngaturan sembahyang di Pura Ratu Dukuh, karena Dukuh adalah turunan para raja pertapa dari Gamongan ,,, ngiring dagingan malih indik lelangit dwe ne ,,,
@Bpk Wisnu Subrata ,, rasa nya sudah tercatat di Buku Kebo Iwa, hal 197, Merajan Kubon Karang Buncing, Sibang ,,, silahkan baca kembali nggih ,,,
OSA, SAYA ADI SUWANDANA , SALAM KENAL. TYANG INGIN MEMPERTANYAKAN :
1. APAKAH PURA GADUH YANG ADA DI DESA PEMINGGIR (DITIMUR PURA DASAR BHUWANA GELGEL) ADA HUBUNGANNYA DENGAN KI GADUH KEBO IWA?
2. APABILA TIDAK ADA HUBUNGANNYA, YANG MEMBUAT MENJADI BERBEDA ITU APA/ BAGIAN APANYA?
SUKSEMA, SEMOGA DIBERIKAN PENCERAHAN
OSA, bpk Adi Swandana, kayaknya pertanyaan anda sama dgn yg ada di kolom ttg penulis (atas) ,, hanya ditambah,
1) kalau memang tiap piodalan di pura Gaduh, yg ada di Desa Peminggir nunas tirta ke pura Gaduh, Blahbatuh, kemungkinan ada keterkaitan dgn pengamong dan pengempon pura Gaduh,Blahbatuh dimana kemungkinan dulunya turunan "ida" ikut duduk dlm pemerntahan Dalem Gelgel ,,
2)Arti kata Gaduh menurut catatan acuan di Pura Gaduh Peminggir, Gelgel atau menurut tetua sekitarnya apa?
3) Catatan yg dijadikan pedoman pura Gaduh Peminggir napi gihh, apakah prasasti, purana, piagem, prakempa, babad, atau hanya dari bawos balian ??
3)Pura Gaduh Blahbatuh adalah tugu akhir raja bali kuno, dibangun th 1280 Masehi, dlm piagem dukuh gamongan Gaduh artinya tempat suci kerajaan ,, saat itu belom ada istilah soroh/ kolmpok warga,
4) yg membuat perbedaan adalah para penguasa setelah bali kalah, seluruh sejarah bali dipolitisir, semua susastra berasal dari jawa, padahal sujatinya para arya majapahit tak ada membawa pustaka hindu dr jawa, mereka hanya menata/ mereformasi budaya dan agama yg sudah ada sebelumnya di bali, mis, hari raya nyepi, masing2 desa ada hari penyepian, ada nyepi uma, nyepi desa, nyepi segara, nyepi tegal, nyepi pura dlll ,, lalu datang majapahit dijadikan satu jatuh sasih kedasa ,, dimana tadinya masing nyepi berlainan waktu dan tempat ,,dan contoh2 yg lain ,, sujatinya kata pasek itu ada jabatan bali kuno yg menengahi transisi pemerintahan dari bali ke majapahit
5) dalam prasasti dan purana pura pura jagat yg ada di bali, penulis belom melihat wrg pasek ikut membangun pura tsb, kata pasek muncul dalam babad yg dibuat belakangan, setelah terjadi klaim Tri Sadaka (siwa, buda, bujangga)sbg pemuput upacara yg ada di penataran besakih ,, krn dalam weda tidak ada hanya 3 golongan itu saja yg berhak menjadi sulinggih ,,akhirnya muncul kelompok yg menyebut diri kelompok pasek dan pande dibantu oleh beberapa klompok warga, mendirikan tandingan PHDI Campuan yg digagas oleh wrg ida bagus yaitu membentuk PHDI Besakih ,, nah disinilah pasek merangkul semua turunan bali mula dimasukan kedalm klompoknya, mis, kubahyan, tangkas, dukuh, bahkan karang buncing dimasukan dlm klompoknya ,, ya kacau balau jadinya sejarah bali ini, karena BABAD ,, ,terjadilah pengambil-alihan secara paksa pura lempuyang madya oleh pasek abang dimana sebelumnya pura lempuyang di mong oleh turunan raja bali kuno yg mewanaprasta di desa gamongan menjadi dukuh stelah datang dh nirarrta ,, apakah mungkin wong sudra jadi dukuh saat itu lalu jadi bagawanta kerajaan dalem gelgel dan leluhur para arya majapahit yg lain ??? ,, kacau ,, kacau ,, ampura yening iwang ,, rahayu
OSA, suksma atas jawabannya. tetapi ini membuat tyang makin tertarik merasa ingin tahu selengkapnya. diatas bapak menerangkan penegertian kata gaduh, dan adanya pengemong pura gaduh peminggir nunas tirta ke pura gaduh blahbatuh ditiap piodalannya , ini menyiratkan arti apa pak? > .Dengan arti kata gaduh menurut pura peminggir tyang ndak tahu dan apa yang dijadikan pedoman tyang juga ga tahu karena tyang mendapatkan seperti itu dari tetua2 saya ( kebetulan tyang beralamat di desa kerobokan - badung)
OSA pak adi suwandana, nunas tirta di pura Gaduh, Blahbatuh bila pujawali di Pura Gaduh Peminggir, ini menandakan ada keterkaitan Gaduh Peminggir dgn Gaduh Blahbatuh, bisa saja dulu warganya peminggir membuat pesimpangan Gaduh di Peminggir, krn alasan transportasi belum ada masa itu ,, umumnya jika ada pujawali di pura, biasanya pura cabang nunas tirta ke pura induk, dan tidak mungkin pura induk nunas tirta ke cabang, mis, pujawali di sanggah gede wajib nunas tirta di pura kawitan soang2 dan tidak mungkin kawitan nunas tirta di sanggah gede ,, ampura yening iwang ,,
osa, slamat pagi
apakah ada silsilah atau turunan bagan yang menunjukan keturunan atau keluarga dari " kebo iwa"
sukma, soga diberi pencerahan
OSA, slamet malem pak adi suwandana, bagan silsilah keluarga kebo iwa ada di kolom kanan bawah no 38 ,, silahkan disimak
osa.
slamat pagi, Jro mangku Subandi (alm) pernah menyebutkan dalam salah satu kesempatan :
Maap, apakah benarsri karang buncing sekian lama tidak memiliki keturunan dan akahirnya nunas petunjuk di pura pasek gaduh yang ada diblahbatuh dan akhirnya memiliki keturunan. beliau menyebut pura pasek gaduh, tolong berikan penjelasan dan analasia bapak tetang pernyataan tersebut, trimakasih. maap kalo ada kata2 yang salah
Selamat Pagi adi suwandana ,, kwkwkwk hanya pak subandi yg menyebut pura gaduh blahbatuh pura milik warga pasek, tanpa melihat langsung ke pura siapa pangemong dan pengempon pura tsb, balipost tgl 25/10/1997 mengklarifikasi bali post tgl 8/10/1997 yg ditulis dlm kolom babad halaman 20 oleh jm ketut soebandi telah disanggah oleh pemangku pura gaduh imade sutarja, pengemong pura iwayan karang, Bendesa adat blahbatuh iketut koprok, perbekel desa blahbatuh imade tirtayasa, disebutkan bahwa apa yg tertulis dlm prasati yg ada di pura gaduh satupun TIDAK ADA MENYEBUT PURA PASEK GADUH ,, lebih lengkap klik kolom buku bab 4 ,,,suksma
begitu pula dgn pura Lempuyang Gamongan yg sekarang disebut pura Lempuyang Madya diambil alih gara2 BABAD pak JM Soebandi yg tadinya diemong oleh warga desa gamongan karena babad diambil alih tgl 11/4/2003 oleh MGPSSR Abang ,, kacau sejarah bali ini gara2 BABAD yg tak jelas sumber sejarahnya ,,
betul sekali jro adi suwandana, ,, tatkala kakak adik dikawinkan (sri karang buncing) lama belum mempunyai keturunan lalu beliau nunas ica ke pura gaduh tempat suci (kamar suci)sang kakek sri jaya katong memuja hyang sapta giri, tak lama kemudian lahir sri kebo iwa. Hal itu tertulis dlm lontar piagem dukuh gamongan, milik griya tegeh budakeling, karangasem dan prasasti pura maospahit, grenceng denpasar dan beberapa catatan lainnya ,,, jadi pura gaduh ini mempunyai banyak nama, antara lain, pura karang gaduh (lontar usana bali), pura bedugul gaduh (prasasti pura maospahit), Pura Puseh Gaduh (Purana Pura Puseh, Ds Adat Blahbatuh), Pura Gaduh (piagem dukuh gamongan), pura gagaduhan (bhs nak kerauhan) gegaduhan = tempat puja puji, dan sekarang pak subandi (alm) menyebut pura Pasek Gaduh (Balipost 8/10/1997) ,,
Apabila anda sudah menutuskan membuka forum diskusi, jawaban kwkwkwkwkwkwkw itu tidk akan muncul apalagi anda adlh seorang yg intelek.
mas anonim, yang dimaksud jawaban kwkwkwk ,, yg mana giih ?? biar kami bisa koreksi diri ,, sy kira menulis disini sama dgn pengungkapan rasa hati kita yg sebenarnya ,, jika ada kata dan gerak yg lucu tentu kita tertawa dong ah ,, yg tak normal jika ada kata lucu anda tidak tertawa ,, hahahaha ,,salam
pak made keluarga raja yaaa??? waahh hebat donk kenapa gak jadi presiden pak??? wakakakaka salut saya am babad,lontar atau apapun jenis sumber sejarahnya,, begitu hebatnya raja2 dahulu tapi sayang tetap tak mampu mengalahkan penjajahan dan perbudakan.. mudah2n dengan adanya warisan2 leluhur bisa menjadikan bali sorga bagi seluruh penduduknya bukan untuk orang asing atau orang2 tertentu saja
mas anonim ,, sy orang biasa kluarga tani bukan keluarga raja ,, tapi leluhur kami raja-raja bali kuno ,, zaman raja2 bali kuno tidak ada penjajahan di bali setelah kalahnya kebo iwa karena tipu daya licik tak manut agama oleh gajahmada barulah penjajahan masuk ,, bukan zaman leluhur kami ,, tetapi spirit leluhur kami masih tetep menguasai roh bali ini ,, hanya bali satu2 pulau yg sulit tunduk agama lain, kalo tidak bali sudah islam ,, kata2 anda sepertinya bertentangan dgn materi web ini ,,
mas anonim ,, anda ini siapa ,, kenapa tak konsisten dgn omongan anda di atas yg tadinya dlm diskusi ini tak boleh kwkwkwkwkwkw ,,, sy tidak akan jawab lagi tanpa identitas jelas ,, ini website resmi milik warga sri karang buncing dgn struktur lengkap, ada divisi hukum jika terjadi pelecehan ,, silahkan berkoar2 secara logika, rasional dan pakta lapangan ,, suksma
Om swastyastu pak de bawe,,setelah tiang baca babad sri karang buncing,dan MGPSSR jujur,dan semua babad sesungguhnya betare lelurur sudah menyadarkan semua warga atau soroh yg ada di bali adalah satu kepurusa kenapa tiang katakan begitu semua babad clan atau soroh mempunyai dasar dan bukti sejarah yg mengacu pd nama,tempat,dan perjalanan leluhur sama terutama MGPSSR DAN sri karang buncing,,kenapa kita warga dr masing2 soroh tidak menyadarinya bahwa sesungguhnya betare leluhur ingin kita sadar bahwa sesungguhnya irage ajak mekejang nyame satu kepurusa...krn tiang yakin kalau bukan ats kehendak beliau orang2 spt pa de bawe tidak akan ada termasuk babad,,kenapa warga saling klaim ats pure?? Kenapa lempuyang madye tidak di sungsung oleh MGPSSR DAN KARANG BUNCING ATAU SEMUA WARGE CLAN DAN SOROH?? PADAHAL SDH JELAH LELUHUR2 KITA DULU TIDAK BODOH MEMBUAT PRASASTI,PURANA,PIAGEM DLL YG TERPISAH SETELAH DI TELUSURI OLEH MASING2 WARGA DI JAMAN SEKARANG MENJADI BABAD UJUNG2NYA NAMA LELUHUR SAMA,PURENYA SAMA DLL SANGAT SEDIHLAH LELUHUR KITA MELIHAT KETURUNANNYA SALING KLAIM PURE DAN MENINGGI RENDAHKAN DERAJAT MANUSIA...NGIRING IRAGE WARGE BALI SARENG SAMI MULAT SARIRE SADAR KITA SEMUA SAUDARA DARI DULU MARI BERSATU MENJAGA BALI INI..AGAR TIDAK DI ISLAMKAN...SALAM DAMAI AMPURE TIANG RATU.
Om swastyastu pak de bawe,,setelah tiang baca babad sri karang buncing,dan MGPSSR jujur,dan semua babad sesungguhnya betare lelurur sudah menyadarkan semua warga atau soroh yg ada di bali adalah satu kepurusa kenapa tiang katakan begitu semua babad clan atau soroh mempunyai dasar dan bukti sejarah yg mengacu pd nama,tempat,dan perjalanan leluhur sama terutama MGPSSR DAN sri karang buncing,,kenapa kita warga dr masing2 soroh tidak menyadarinya bahwa sesungguhnya betare leluhur ingin kita sadar bahwa sesungguhnya irage ajak mekejang nyame satu kepurusa...krn tiang yakin kalau bukan ats kehendak beliau orang2 spt pa de bawe tidak akan ada termasuk babad,,kenapa warga saling klaim ats pure?? Kenapa lempuyang madye tidak di sungsung oleh MGPSSR DAN KARANG BUNCING ATAU SEMUA WARGE CLAN DAN SOROH?? PADAHAL SDH JELAH LELUHUR2 KITA DULU TIDAK BODOH MEMBUAT PRASASTI,PURANA,PIAGEM DLL YG TERPISAH SETELAH DI TELUSURI OLEH MASING2 WARGA DI JAMAN SEKARANG MENJADI BABAD UJUNG2NYA NAMA LELUHUR SAMA,PURENYA SAMA DLL SANGAT SEDIHLAH LELUHUR KITA MELIHAT KETURUNANNYA SALING KLAIM PURE DAN MENINGGI RENDAHKAN DERAJAT MANUSIA...NGIRING IRAGE WARGE BALI SARENG SAMI MULAT SARIRE SADAR KITA SEMUA SAUDARA DARI DULU MARI BERSATU MENJAGA BALI INI..AGAR TIDAK DI ISLAMKAN...SALAM DAMAI AMPURE TIANG RATU.
Swastyastu mas Bikol, ,, waduh jangan di aduk ke lima data tertulis tsb ,, Pada intinya pemujaan leluhur (Kawitan) semestinya nama orang atau nama leluhur yang dijadikan pedoman untuk disucikan di pura kelompok warga. Tentu nama leluhur yang pernah hidup pada zaman dahulu dan mempunyai jasa untuk dikenang pada masa kini. Perubahan Catur Warna menjadi Catur Wangsa membawa dampak kebingungan bagi warga Bali Mula di dalam menentukan nama leluhur yang akan dijadikan patokan untuk disucikan. Sistem Catur Warna yang menjadi pegangan warga Bali Mula lahir berdasarkan guna karma, tugas dan pekerjaan yang pernah di emban oleh leluhur pada zaman dahulu, sedangkan Catur Wangsa muncul pada era Majapahit ditentukan berdasarkan kelahiran dari kelompok warga tertentu.
Beberapa acuan yang dijadikan pedoman oleh orang-orang Bali Mula untuk menentukan nama Pura Kawitan pada masa kini antara lain,
1) Nama Kawitan berasal dari nama leluhur yang disucikan, misalnya, Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Pura Kawitan Dalem Tarukan, Pura Kawitan Kresna Kepakisan dan lain-lain yang tercatat kisah perjalanan hidupnya.
2) Nama Kawitan berasal dari nama kelompok pekerjaan/ jabatan yang pernah diemban oleh leluhur pada masa lalu, namun kurang jelas siapa nama leluhur sebenarnya, misalnya, pasek, pande, penyarikan, dukuh, kubayan, bendesa, si, juru bahu, samgat, senapati dan lainnya.
3) Nama Kawitan berasal dari nama sekte yang dianut oleh leluhur di masa lalu misalnya, Bujangga Waisnawa, Pendeta Siwa, Pendeta Budha, Pitamaha (Pendeta sekte Brahma) dan lainnya.
4) Nama Kawitan berasal dari aguron-guron misalnya, warga Pasek berguru nabe dengan pendeta Dukuh, setelah dwijati diberi gelar Dukuh, yang semestinya warga Pasek bergelar Sri Mpu, lama kelamaan keturunannya menyebut diri warga Dukuh. Atau pragusti berguru nabe dengan Ida Pedanda setelah dwijati menyandang dua gelar yaitu Ida Pedanda Rsi Bhagawan.
5) Nama Kawitan berasal dari anugrah penguasa, misalnya, Pura Dukuh di Banjar Perarudan, Jimbaran, Kuta Selatan awalnya paibon Sri Batu Putih (Dalem Putih Jimbaran) dengan putranya Dalem Petak Jingga. Karena ekpansi para Arya Majapahit, Pura Dukuh ditinggal pergi oleh keluarga Dalem. Dan Pasek dari Desa Kusamba yang mengungsi di Desa Jimbaran diberikan mandat oleh penguasa selanjutnya untuk menjadi pemangku di Pura Dukuh tersebut. Akhirnya lama kelamaan keturunannya menyebut diri warga Dukuh sesuai nama pura yang di empon.
6) Nama Kawitan berasal dari hubungan abstrak tanah ayah-ayahan desa yang ditempati sekarang berasal dari wilayah/ pura tertentu yang mempunyai kekuasaan lebih tinggi atau sebagai pemilik awal sebelumnya. Dari hubungan abstrak pemilik awal tanah yang ditempati sekarang ini diyakini mempunyai hubungan satu genealogis dengan pangamong pura yang lebih tinggi itu.
7) Nama Kawitan berasal dari nama asal desa sebelum menempati tanah sekarang misalnya, soroh sidakarya adalah nama tempat di Denpasar, soroh beng adalah nama tempat di Desa Sanur, soroh pajeng nama Desa Pejeng dan lain-lain.
jadi anda termasuk klan yg mana mas ?? (Made Bawa)
repot jika terjadi nama sama tanpa sumber sejarah jelas, misalnya, pengklaiman atau pengambilalihan pura lempuyang madya oleh MGPSSR, dimana sama sama menyandang nama GNIJAYA antara MPU Gnijaya dengan SRI Gnijaya, perbedaan nama itu sdh diungkap dlm kolom Pura Lempuyang di Bukit Gamongan, Disamping data harus "met" atau nyambung antara pegangan klompok warga MGPSSR dgn Purana milik Pura Lempuyang, jika tidak maka data MGPSSR ngambang.
Dalam Raja Purana Pura Lempuyang Gamongan tidak tertulis nama leluhur warga MGPSSR menjadi perintis awal berdirinya Pura Lempuyang, Gamongan. Sebelumnya tidak terdapat palinggih Mpu Gana, Mpu Semeru, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya, Mpu Baradah pada masa kini muncul palinggih-palinggih baru tersebut dan perubahan lainnya.
Dengan adanya perubahan status dan fungsi Pura Lempuyang Gamongan, yang awalnya tempat pertapaan raja Sri Jayasakti setelah hidup suci disebut Sri Gnijaya Sakti menjadi kahyangan jagat, dari kahyangan jagat menjadi tempat pemujaan leluhur (kawitan) warga Pasek berimplikasi pada perubahan unsur sargah (penciptaan), pratisarga (status pura), wamsa (pengamong dan pangempon), manwantara (upakara, pujawali dan Tuhan) di dalam menentukan sejarah berdirinya Pura Lempuyang sebelumnya. Lima lontar yang menjadi pegangan Desa Adat Gamongan yaitu Lontar Raja Purana Lempuyang, Lontar Aji Murti Siwa Sasana ning Bwana Rwa, Lontar Pidhartaning Aran Ikang Gunung Angetaning Bali, Lontar Pengeling-eling Dukuh Gamongan, Lontar Pemunder Desa Adat Gamongan dan data pendukung lainnya seperti Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, Lontar Piagem Dukuh Gamongan, Purana Pura Puseh Gaduh Blahbatuh dan beberapa lontar lain. Masa kini lontar-lontar dan data tersebut di atas hanya menjadi kenangan semata. Secara administratif Pura Lempuyang Madya termasuk wilayah Desa Adat Gamongan, Perbekel Tiyingtali, dimana penanggung (pangamong) dan pemelihara (pangempon) pasti hidup di lingkungan terdekat dengan Pura Lempuyang yaitu Desa Adat Gamongan.
pagi, disini anda meminorkan bahkan tidak menyakini adanya pasek sebagai suatu soroh nah kenapa masih memasukakan Kyayi Agung Pasek Gelgel (isaka 1265-1272).pada nomer 28 sebagai raja di bali, apa maksud anda ?
sudah dijawab ,, pasek pande bendesa kubayan dukuh juru bahu senapati dang acharya dll bukan nama leluhur/ nama orang ,, itu nama klompok tugas (made bawa)
ada dua versi sebagai mediasi ke jawa untuk mendudukan wakil majapahit di bali yaitu dalam Prasasti Dalem Sagening disebutkan; kekosongan pemimpin setelah Bali ditaklukkan oleh Majapahit, dua pendeta Bali yaitu; Dukuh Sakti dan Dukuh Sagening memohon raja ke Jawa (Majapahit) untuk mengirimkan utusan menjadi raja di Bali. Pada saat itu yang didatangkan ke Bali adalah Dalem Sagening.
versi lain kiayi pasek gelgel dalam babad pasek ,, krn babad pasek pura lempuyang madya diambilalih secara paksa ,, pura umumnya ada kutukan ,,
apakah majapahit menyerang bali secara besar2an ,, jika ya ,, bali kalah lalu prajurit yg masih hidup dan menetap di bali masuk SOROH/ klan apa mereka?? masak hanya para arya saja yg tertulis ,, dlm peperangan tentu ada yg gugur lalu dimana kuburan massal atau monumen para pejuang itu ,, itulah BABAD hasil perenungan seseoorang yg tidak ada data sejarahnya ,, (made bawa)
Posting Komentar