X
SILSILAH
DALEM PUTIH & DALEM IRENG
Prasasti adalah ketetapan resmi yang dikeluarkan oleh para raja Bali Kuno. Prasasti menjelaskan tentang aturan yang telah disepakati bersama. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu. Karena tidak dijumpai secara pasti nama keturunannya, juga secara parsial terputus tahun prasasti yang dikeluarkan dari raja satu ke raja yang lain, maka menimbulkan berbagai macam penafsiran tentang kisah peristiwa apa yang telah terjadi dalam kehidupan mereka terdahulu. Adakah hubungan kekerabatan antara raja satu dengan raja sebelumnya, berapa lama mereka berkuasa, tahun berapa mereka meninggal dan dimana dicandikan?Adakah terjadi pengambilalihan kekuasaan secara paksa dari kerabat dekat raja maupun dari orang luar?
Sejarah pemerintahan raja-raja Bali Kuno, tidak ditemukan peralihan kekuasaan dengan cara paksa, dalam arti jika sang raja meninggal, tapuk pemerintahan akan digantikan oleh istri dan atau anaknya. Apabila sang anak masih kecil, belum cukup umur untuk berkuasa, maka akan digantikan oleh sang paman atau kerabat dekat raja yang lain. Apabila ‘buntu’ tak ada yang mau menggantikan, maka akan dipakai metode yang lain, melaui jalan ‘niskala’, dengan jalan minta petunjuk “nedunang ida bhatara” Hal seperti ini terlihat dalam teks Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh,dimana Sri Pasung Gerigis, seorang nyuklabrahmacari (tidak kawin seumur hidup),untuk mencari penggantinya sebagai orang suci di Pura Lempuyang, Gamongan,Karangasem.
Setelah terkumpul salinan naskah-naskah kuna itu, lalu kita telisik, prasasti satu dengan yang lain dirunut menurut angka tahun dan nama raja yang mengeluarkan prasasti itu. Kadang-kadang terlihat nama samar, dengan perkataan lain, beda nama tetapi orangnya satu, misalnya, antara Raja Sri Jayasakti, Sri Gnijaya Sakti, Sri Gnijaya dan Sri Ragajaya. Masa pemerintahan ke empat nama raja ini, menurut tahun Prasasti dan Purana, yang dikeluarkan berkisar tahun 1119–1177 Masehi.Dalam prasasti nama Sri Gnijaya Sakti dan Sri Gnijaya tidak muncul, jadi tidak ada prasasti yang dikeluarkan, sebagaimana umumnya raja raja yang lain. Begitu pula dengan raja Sri Ragajaya, hanya mengeluarkan satu prasasti yang disebut Prasasti Tejakula, tahun Isaka 1077/1155 Masehi. Sedangkan Raja Sri Jayasakti mengeluarkan prasasti terakhir pada tahun Isaka 1072/1150 Masehi, yang disebut Prasasti Sading Kapal. (Poeger, 1964:105). Tetapi dalam naskah Purana Bali Dwipa, Piagem Dukuh Gamongan, Prasasti Pura Puseh, Sading, Kapal, Purana Pura Batu Karu, Purana Pura
Pucak Bukit Gede, dan beberapa naskah lainnya, akan terlihat jelas kisah kehidupan para raja Bali Kuna itu. Tinggal disinkronkan dengan tahun Prasasti yang dikeluarkan pada zamannya, ada tidak kesamaan, kadang tahun sama tetapi nama berbeda setelah dinobatkan menjadi raja yang tercatat.
Teks Piagem Dukuh Gamongan dan Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, nama raja Sri Jayasakti identik dengan Sri Gnijaya Sakti, begitu juga putranya diberi nama sama dengan ayah kandung Sri Gnijaya juga, nama sama dengan sang ayahnda saat melakukan wanaprasta, dikala dinobatkan menjadi raja disebut Sri Ragajaya. Dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Gnijaya menjadi raja Bali Isaka 1051/1129 Masehi.Purana Bali Dwipa, Sri Jayasakti meninggal dunia Isaka 1072/1150 Masehi. Sedangkan nama Sri Ragajaya tidak muncul dalam purana manapun, Dalam kamus Jawa Kuna (Zoetmulder, 1994:899), kata raga artinya warna merah, Warna merah identik dengan warna Api atau Gni. Dari analisis ini raja Sri Ragajaya adalah nama lain dari Sri Gnijaya julukan sama dengan ayah, nama raja ini banyak menjadi titik awal dalam penulisan piagem, purana, babad, prakempa, pamancangah lainnya yang ada di Bali masa kini.
Demikian pula setelah Raja Sri Aji Hungsu berkuasa muncul nama Sri Walaprabhu yang menggantikannya. Raja Walaprabhu mengeluarkan tiga prasasti yang disebut prasasti Babahan, Klandis, Babi A, menjadi raja Bali tahun 1079–1088 Masehi (Semadi Astra, 1977:21).
Dalam purana, raja Sri Walaprabhu tidak muncul nama itu, yang muncul menggantikan Sri Aji Hungsu adalah Sri Sakalindu Kirana, anak dari Sri Aji Hungsu yang beribu bangsawan. Hanya satu prasasti yang dikeluarkan raja Sri Sakalindu Kirana yang disebut prasasti Pengotan, Isaka 1010/1088 Masehi. Padahal dalam Purana Bali Dwipa, Purana Pura Pucak Bukit Gede, raja Sri Sakalindu Kirana berkuasa selama 20 tahun dan digantikan oleh adiknya Sri Suradipa yang berkuasa selama 15 tahun.
Dengan demikian Walaprabhu diperkirakan seorang janda yang menjadi raja,kemungkinan setelah Sri Aji Hungsu meninggal, kemudian tapuk pemerintahan diganti oleh sang permaisuri yang seorang janda, maka disebut Waluprabu dalam buku Mengenal Pura Sad Kahyangan & Kahyangan Jagat oleh Tim (2008:211) istri Sri Aji Hungsu disebut bhatari mandul di-pratista atau dicandikan di Pura Penulisan.Atau analisis lain, dalam Kamus Jawa Kuna, kata walaprabhu berasal dari bahasa sanskerta, dari urat kata wala dan prabhu, Wala artinya muda, kekanakan, tidak tumbuh atau belum berkembang penuh, muncul baru, tolol, junior. Prabhu artinya raja, Jadi walaprabhu artinya raja muda, raja junior. Dengan demikian setelah Sri Aji Hungsu meninggal tapuk pemerintahan digantikan oleh permaisuri bersama putri mahkota yang masih kecil, bersama-sama menjadi penguasa Bali pada era itu.Tetapi lawan dari purana ini yaitu dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Aji Hungsu selalu menyebutkan, paduka haji anak wungsu kalih bhatari lumah ing burwan,bhatara lumah ing banu wka, artinya, raja Sri Aji Hungsu setiap mengeluarkan prasasti selalu mencantumkan almarhumah ibunya yang dicandikan di Buruwan,dan almarhumah ayah yang dicandikan di Banyu Wka. Sedangkan dalam purana tidak muncul nama Sri Aji Hungsu mengatasnamakan almarhum kedua orangtuanya yang dikebumikan di Bhurwan dan Banu Wka. Yang dicandikan di Buruwan adalah Ibunda Sri Mahendradatta dan di Banu Wka (Gunung Kawi) dicandikan ayahnda yaitu Sri Udayana.
Demikian pula dengan nama raja Sri Ajnadewi yang berkuasa setelah Sri Udayana.Hanya satu prasasti dikeluarkan oleh raja Sri Ajnadewi yang disebut prasasti Sembiran, tahun Isaka 938/1016 Masehi. Pertanyaannya siapakah Sri Ajnadewi? Di dalam Purana Bali Dwipa, Sri Udayana meninggal dunia Isaka 940/1018 Masehi, dicandikan di Banu Wka. Sri Ajnadewi tidak muncul dalam purana mana pun. Begitu pula dalam teks Purana Bali Dwipa, tertulis Sri Marakata berkuasa bersama-sama ibunya sebagai penguasa Bali pada era itu. Dalam Purana Pura Luhur Batukaru dijelaskan Raja Sri Marakata menjadi raja Bali Isaka 944/1022 Masehi.
Sedangkan dalam prasasti yang dikeluarkan tidak kelihatan bahwa raja Sri Marakata berkuasa bersama ibunya. Kalau boleh diartikan secara bebas, Sang Ajnadewi artinya seorang dewi yang mahir dalam bidang ilmu waskita. Dalam dongeng serat calonarang yang ada di Bali, permaisuri Sri Udayana yang bernama Sri Mahendratta Gunaprya Dharmapatni sering dihubungkan ahli dalam ilmu mistis. Raja ini dimakamkan di Buruwan, dikuburanya terlukis arca Durga Mahisasura Wardhini.Arca ini menguatkan dugaan orang bahwa Mahendradatta sebagai penganut ajaranajaran ilmu gaib dan Dewi Durga lah yang menganugrahinya kesaktian. Jadi Sri Ajnadewi nama lain dari Sri Mahendratta Gunapriya Dharmapatni.
Setelah Adi Kuti Ketana menjadi raja digantikan oleh keluarga misan purusa Sri Dewa Lencana setelah wafat, kerena putra masih belum umur, maka diganti oleh adiknya Sri Indra Cakru. Karena kesenangan Indra Cakru menjalani hidup suci dan tapuk pemerintahan dijalani oleh putra kedua diberi gelar Rajapatih Makakasir Kebo Parud. Dalam prasasti Pengotan, tahun Caka 1218/1296 Masehi dan prasasti Sukawana, tahun Caka 1222/1300 Masehi, yang dikeluarkan oleh Raja Patih Makakasir Kebo Parud, berisikan persoalan Desa Kedisan dan Desa Sukawana yang terletak di perbatasan Balingkang.Sedangkan menurut buku Negarakertagama dikatakan bahwa pada tahun 1284 raja Kertanegara telah menyerang Bali dan rajanya ditawan. Sayang sekali dalam buku Negara Kertagama tidak disebutkan siapa nama raja Bali itu. Dalam Purana Bali Dwipa dijelaskan raja Kertanegara “ingin” mengusai Bali yang tatkala itu menjadi senapati Bali adalah Raja Patih Kebo Parud. Dalam Piagem Dukuh Gamongan dijelaskan tahun Caka 1238/1318 Masehi, Sri Jayakatong sebagai penguasa di kerajaan Batahanar dan mendirikan Pura Gaduh, Blahbatuh.Setelah putra Dewa Lancana yaitu Sri Jayasunu dewasa lalu Kebo Parud hidup suci di Pura Gaduh Blahbatuh disebut Sri Jaya Katong.
Setelah Sri Taruna Jaya cukup umur untuk menjadi raja maka Sri Jaya Katong pun melakukan hidup suci dengan mendirikan Pura Gaduh di Blahbatuh. Sri Jaya Katong merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan baru yang disebut Batahanar artinya istana baru, dimana sebelumnya kerajaan Bali Kuno masih berada di Bali Utara, disebut kerajaan Singamandawa, sekarang menjadi kota Singaraja.
Perkembangan selanjutnya pusat kerajaan menyebar ke selatan daerah Pejeng, Bedulu dan Blahbatuh. Argumentasi lain pada era Kebo Parud muncul nama Kebo Iwa merupakan anak didik dari Sri Jaya Katong. Jadi Kebo Parud bukan seorang patih dari Jawa. Dimana beberapa penekun sastra menafsirkan Kebo Parud seorang patih dari kerajaan Singosari. Yang dipengaruhi oleh Kerajaan Singasari terhadap Bali adalah penyebaran paham baru yang disebut agama Bhairawa. Peninggalan paham Bhairawa sangat kentara pada masa kini dengan adanya peninggalan Patung Bhima di Pura Kebo Edan, Pejeng dan Patung Arca Pangulu (patung kepala) di Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh dan beberapa tinggalan lain yang tersebar di wilayah Gianyar.
Sekarang disebutkan dengan Sri Taruna Jaya identik dengan Sri Jayasunu. Catatan prasasti tembaga di Banjar Srokodan, Perbekel Abuan, Susut, Bangli, dialih aksara dan diterjemahkan oleh Putu Budiastra, disebut prasasti Srokodan (Bhatara Guru),satu-satunya prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Taruna Jaya, tahun Isaka 1246/1324 Masehi untuk desa Hyang Putih dan sekitarnya.
Tetapi dalam Piagem Dukuh Gamongan, Sri Dewa Lencana menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Tidak muncul menurunkan putra buncing (kembar laki perempuan) Sri Masula dan Sri Masuli. Dalam Purana Bali Dwipa muncul Sri Jayasunu mempunyai putra buncing bernama Sri Masula dan Sri Masuli setelah menjadi raja diberi gelar Sri Bhatara Mahaguru Dharmotungga Warmmadewa, gelar ini identik dalam prasasti Tumbu Isaka 1247/1325 Masehi.
Tetapi Sri Jayasunu satupun tidak ada mengeluarkan prasasti sebagai mana rajayang lain. Sedangkan dalam salinan lontar Aji Murti Siwasasana ning Bwana Rwa,milik Desa Pakraman Gamongan, muncul nama Sri Jayasunu yang mengeluarkan pedoman itu disaat rapat besar di Majapahit. Dan beberapa purana lain muncul nama Sri Jayasunu yang menjadi pedoman awal dalam penulisan.
Salinan lontar Aji Murti Siwa Sasana dan Purana Bali Dwipa tersebut diatas tidak secara tegas tahun berapa naskah itu ditulis, siapa yang dimaksud dengan Sri Jayasunu? Siapakah orang tua Sri Jayasunu? Kamus Jawa Kuna, oleh P.J. Zoetmulder (1994:1147), sunu artinya putra, anak, keturunan. Jadi Sri Jayasunu artinya raja keturunan Jaya. Tidak terdapatnya prasasti-prasasti Bali yang dikeluarkan oleh raja Sri Jayasunu, membuat kekaburan perjalanan sejarah keturunan raja-raja Bali Kuno. Yang dimaksud keturunan Jayasunu (turunan jaya) disini adalah keturunan dari Sri Jayasakti nama lain Sri Gnijaya Sakti yang menjadi raja Bali pada tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang menurunkan 5 putra. Putra ke dua dari Sri Jaya Sakti bernama Sri Maha Sidhimantradewa, menurunkan putra bernama Sri Dewa Lencana,menurunkan putra Sri Taruna Jaya. Dengan demikian Sri Taruna Jaya adalah turunan Jaya juga, tiga generasi setelah Sri Jaya Sakti. Dari analisis ini Sri Jayasunu adalah turunan Jaya versi purana, identik dengan Sri Taruna Jaya turunan Jaya versi Prasasti
Srokodan dan Piagem Dukuh Gamongan.
Demikian juga dengan putra dari Sri Jayasunu yaitu Sri Masula-Sri Masuli, dalam prasasti satu pun tidak ada disebutkan atas nama Sri Masula-Sri Masuli, dalam purana Bali Dwipa setelah menjadi raja beliau disebut Bhatara Mahaguru Dharma Hutungga Warmmadewa, karena dinikahkan dengan adik disebut juga Prabu Buncing, berputra kembar laki-laki bernama Sri Batu Putih dan Sri Batu Ireng atau Dalem Kembar,Sri Batu Ireng setelah menjadi raja diberi gelar kerajaan bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten dan kakaknya Sri Batu Putih di Jimbaran disebut Dalem Putih Jimbaran, sebutan bahasa kerauhan Dalem Petak, di wilayah Tabanan, purana Pura Luhur Pucak Kembar, Babad Batu Aji, purana Pura Natar Bolong beliau disebut Dalem Sweta. Dalem Putih mempunyai seorang putra bernama Dalem Petak Jingga.
Silsilah Dalem Putih Jimbaran dibawah ini dikutip dari Silsilah Sri Karang Buncing dalam Buku Kebo Iwa (Bawa, 2011:254) ditarik hierarki ke atas berasal dari Sri Maha Sidhimantradewa.
3 komentar:
Bagan silsilah Sri Batu Putih mana mas @mangAdikarang ??
Copy nanti di upload jika sudah bekerja lagi, dirumah internet blm pasang bos , tekor. di garap pas kerja ya brother
Bro ingetin angseh dik materi Buku Kebo Iwa edisi 3 posting di kolom buku ,, moga Rahayu rahayu admin 🙏🙏
Posting Komentar