Senin, 14 Mei 2012

Bab X Treh Sri Karang Buncing Masa Kini


Bab X
Treh Sri Karang Buncing
Masa Kini

Transisi pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit, tahun 1343 M sampai tahun 1350 M, telah terjadi 30 (tigapuluh) kali pemberontakan dengan perkataan lain Bali belum sepenuhnya ditundukkan oleh para Arya Majapahit. Dalam menengahi peralihan kekuasaan antara Bali dan Majapahit atau untuk mengisi kekosongan pemerintahan Bali tatkala itu, maka diangkatlah seseorang dan diberi jabatan Kiayi Agung Pasek Gelgel, sebelum ditunjuk raja baru dari Majapahit yaitu Sri Kresna Kepakisan (Dalem Samprangan) Isaka 1272/1350 Masehi.

Peralihan kekuasaan tentunya membawa dampak politik psikologis bagi masyarakat Bali Mula pada umumnya dan keturunan Sri Karang Buncing pada khususnya. Untuk menghindari pergolakan politik kekuasaan pada masa itu, masyarakat Bali menyiasati dengan berbagai cara, antara lain dengan nyineb wangsa (menutup asal usul),menyingkir (mengungsi) ke tempat yang lebih aman dari kejaran musuh, atau diangkat oleh pemerintahan selanjutnya untuk mengisi strukturisasi pemerintahan didalam meredam kemarahan masyarakat Bali Mula. Disamping saling kawin mengawini antar keturunan dua penguasa, atau keluarganya dihaturkan untuk mengabdi dalam kelompok berkasta lebih tinggi, Disamping keberadaan di tempat sekarang karena bencana alam dan alasan lainnya.

Konsep pemujaan Tuhan melalui pura kawitan, tempat suci leluhur warga (klen) belum muncul pada era Bali Kuno. Sistem catur warna masih konsisten diterapkan dalam menata kehidupan sosial di jagat Bali era itu. Catur warna, merupakan empat pembagian guna dan karma yang ditentukan oleh sifat (bakat) dan pekerjaan seseorang, bukan ditentukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem soroh. Mengambil analogi dengan mitos kelahiran warna tersebut,dapat dikatakan setiap orang adalah Brahmana, Ksatria, Wesya, dan
Sudra. Hanya gradasi pekerjaannya kemudian yang membedakan dia lebih disebut sebagai Brahmana (kaum ulama), Ksatria (pertahanan dan pemerintahan), Waisya (petani dan pedagang),atau Sudra (pelayan dan buruh). Ketaatan warna sudra dengan warna Brahmana, misalnya, seolah-olah terjadi karena perbedaan kelas, bukan dilihat dari fungsi sosialnya di masyarakat Hindu.

Semenjak sistem warna perlahan-lahan berubah menjadi sistem wangsa atau sistem soroh yang dapat disebut sebagai sistem kasta khas Bali, kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Wesya dalam sistem kasta, sedangkan Danghyang Nirartha, kemudian bergelar Pedanda Sakti Wawu Rauh yang datang ke Bali tahun 1550 di zaman pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong dan Danghyang Astapaka,menurunkan wangsa Brahmana, yang kemudian dikelompokkan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan para dang acarya (pendeta sekte siwa), dang upadyaya (pendeta sekte boddha),para brahmana, para Rsi, para pertapa raja-raja Bali Kuno, para senapati, para kubahyan, para samgat, para nayaka, dan masyarakat Bali Mula yang dikalahkan, nyaris tidak berhak menyandang ke tiga kasta tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru, disebut arya, sedangkan yang lain dikelompokkan sebagai sudra yang kemudian menyebut diri sebagai “jaba” (luar), yang berarti diluar kasta Brahmana,Ksatria, dan Wesya. Apalagi pengelompokkan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberikan hak-hak istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan adanya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun temurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa Catur Warna itu sesungguhnya sama dengan soroh (clan).

Zaman Bali Kuna tempat pertapaan dan perabuan para raja Bali, serta spirit alam sekitarnya yang dicandikan sebagai media penghubung ke para dewa oleh keturunan dan masyarakat Hindu sekitarnya. Karena raja diyakini sebagai titisan dewa. Setelah pemerintahan Sri Masula-Masuli tahun 1324 muncul konsep Sapta Giri yaitu 7 gunung sebagai simbol stana suci para dewa (lontar aji murti siwa sasana). Perkembangan selanjutnya kiblat tujuh gunung tersebut di aplikasikan di desa desa dengan palinggih meru tumpang
pitu (tempat suci dengan beratap tujuh) yang terletak di Pura Puseh.Pasca kedatangan Danghyang Nirartta sekitar tahun 1550 muncul konsep pemujaan kawitan, stana suci para leluhur serta konsep istadewata yang berdiri mengitari Pulau Bali. Yang pada akhirnya membawa dampak kebingungan bagi masyarakat Bali Mula untuk menelusuri jejak-jejak leluhur mereka yang sudah ada, sebelum kedatangan Danghyang Nirartta di Bali. Dimanakah pura kawitan dan padharman masyarakat Bali Mula itu?

Kebingungan bagi keturunan Sri Karang Buncing dan keturunan Dukuh dalam menentukan asal usul leluhurnya didapat dari cerita yang diceritakan oleh orang tua, maupun kerabat dekat, ada pula mendapat petunjuk dari ‘niskala’ dan sebagainya. Sehingga beberapa kelompok keluarga keturunan Sri Karang Buncing dan keturunan Dukuh masuk clan/warga pasek, beberapa kelompok keluarga masuk warga dalem (arya), beberapa kelompok keluarga masuk warga bendesa, bahkan ada yang masih tetap menyandang turunan dukuh dan soroh karang.

Penyebaran mereka dalam satu kabupaten di Bali terjadi dalam periode yang berbeda beda. Beberapa kelompok penyebarannya melalui darat dan beberapa kelompok penyebarannya melalui laut. Materi yang penulis kumpulkan dari beberapa pengurus maupun dari para panglingsir warga, beberapa merupakan hasil
wawancara, maupun dari catatan tertulis yang telah ada di beberapa Pura Dadiya yang ada di desa tertentu. Inventarisasi dilakukan khususnya bagi kelompok warga yang memiliki pura dadya, artinya kelompok keluarga yang jumlah populasinya melebihi 20 KK. Dari pengumpulan data tersebut terdapat berbeda-beda identitas yang dijadikan momentum didalam mengenang roh suci leluhur mereka dimasa lalu, ada memakai identitas prabali karang buncing, arya karang buncing, gusti karang buncing, bendesa karang buncing, sri arya karang buncing, dukuh karang, si karang, kryan karang buncing,pasek karang buncing dan soroh karang lainnya.

Kemungkinan munculnya perbedaan identitas tersebut berdasarkan guna karma, atau tugas dan fungsi keturunan beliau saat itu. Tatkala keturunannya menjabat sebagai kepala desa, bendesa karang buncing sebutannya. Tatkala keturunannya mendapat tugas pemerintahan Dalem (Majapahit), arya karang buncing sebutannya.Sedangkan keturunan yang berasal dari pertapa raja raja Bali Kuno di Desa Gamongan, persebaranya warga dukuh sebutannya. Tatkala ada pengelompokan dalam penulisan babad antara nak jawa dan nak bali atau keturunan berasal dari Jawa dan orang Bali, prabali karang buncing disebutnya. Jika keturunannya mamarekan (mengabdi) di keluarga dalem atau yang berkasta lebih tinggi, pasek karang buncing disebutnya, dan sebagainya. Sesungguhnya kata-kata Karang Buncing yang berbeda itu berasal dari Sri Karang Buncing adik kandung Sri Kebo Iwa yang hidup pada masa peralihan pemerintahan Bali Kuno ke Majapahit. Beliau berdua adalah keturunan akhir raja-raja Bali Kuno dan misan mindon (sepupu) dengan Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Disamping kesepakatan warga dalam Mahasaba, nama Sri Karang Buncing yang dipakai momentum oleh keturunannya masa kini di dalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi/Tuhan.

Jika yang menjadi acuan awal keberadaan dalam menentukan pura kawitan pasca pemerintahan Arya Majapahit, semestinya keturunan Sri Kesari Warmadewa masa kini memiliki 5 pura kawitan yaitu 

(1) Pura Kawitan Warga Dukuh berhulu di Desa Gamongan persebarannya ke desa desa di Bali masa kini.

(2) Kawitan Sri Karang Buncing yang berhulu di Blahbatuh menjadi watek karang yang ada masa kini. 

(3) Pura Kawitan keturunan Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) di Batahanar (Bedulu) tidak jelas keturunannya masa kini.

 (4) Pura Kawitan Dalem Petak Jingga di Jimbaran putrakandung Sri Batu Putih juga tidak jelas siapakah keturunannya masa kini.
 (5) Pura Kawitan Jaya Katwang putra Sri Maha Sidhimantra Dewa di Jawa, juga tidak jelas siapa keturunannya masa kini.

Dari kumpulan naskah yang ditemukan hanya 2 (dua) cabang keturunan Sri Kesari Warmmadewa yang kelihatan sangat jelas yaitu bermuara ke Gamongan menurunkan para Dukuh persebarannya masih ada masa kini. Dan yang bermuara ke Blahbatuh, Sri Karang Buncing yang menurunkan watek karang. Konsep Tri Hita Karana yang menjadi pedoman pemerintahan era Bali Pertengahan, dimana Desa Gamongan yang membidangi parahyangan jagat bali diberikan kekuasaan penuh mengurus hubungan umat dengan Tuhannya
(uloning jagat bali atau siwaning jagat bali) Sedangkan bagian pawongan hubungan kerajaan dan masyarakatnya adalah Batahanar (Blahbatuh), maka tunggul i jagat bali artinya Blahbatuh merupakan pusat pemerintahan di Bali pada era itu. Dan Pura Gaduh maka gagaduhan prabhu bali, artinya Pura Gaduh merupakan tempat suci kerajaan Batahanar saat itu. Pura Gaduh merupakan pusat pemujaan Dewa Sapta Giri di stanakan pada palinggih meru tumpang 7 (stana suci beratap tujuh), kalau boleh dikatakan Pura Jagat Natha masa itu. Sedangkan masa pemerintahan Dalem Gelgel, yang menjadi kiblat adalah Gunung Agung, Pura Besakih maka uloning jagat bali,dan Kerajaan Gelgel sebagai pusat pemerintahan.

Mengacu dari transkrip Lontar Purana Pura Puseh Gaduh, Lontar Raja Purana Pura Lempuyang dan Piagem Dukuh Gamongan, Warga Sri Karang Buncing dan masyarakat Bali Mula yang hendak madiksa atau menapaki hidup suci semestinya mengikuti jejak leluhur terdahulu yaitu melakukan hidup suci (wanaprasta) ke Gunung Lempuyang, Desa Gamongan, karena Pura Lempuyang Gamongan maka siwaning jagat bali, sebagai simbolis lahirnya istilah maguru siwa yang dirintis oleh Hyang Gnijaya khususnya bagi umat yang ingin menapaki hidup kesucian menjadi dukuh (pendeta). Dengan perkataan lain setidaknya sang calon diksita treh Sri Karang Buncing wajib nunas tirta atau mohon restu ke Desa Gamongan. Disamping bhisama yang telah dicetuskan para leluhur dalam lontar usana bali milik pura kawitan dan Piagem Dukuh Gamongan untuk tidak melupakan tiga kahyangan yaitu Pura Kawitan Sri Karang Buncing,Pura Gaduh dan Pura Lempuyang Gamongan, Karangasem.

Karena keterbatasan waktu, penulis hanya mencantumkan beberapa kelompok keluarga yang memiliki pura dadya yang ada di desa tertentu, sebagai penanda bahwa keturunan raja raja Bali Kuno khususnya keturunan Sri Karang Buncing dan Keturunan Dukuh masih tetap eksis dan jelas keberadaannya masa kini.Penulis tidak menelusuri dimana letak pura dadya itu, serta benda arkeologi yang ditinggalkan, adakah kahyangan desa yang di-mong oleh warga Karang Buncing selain pura dadya milik warga. Yang terkadang catatan tertulis berada jauh dari letak pura. Maka, tentu hasilnya tidak memuaskan di dalam menguraikan perjalanan leluhur mereka sebelumnya. Tidak ditemukan catatan pasti menguraikan persebarannya, maka tidak semua pura dadya diunggah dalam naskah ini. Sesungguhnya penulis hanya memfokuskan materi sampai di Sri Karang Buncing dan Dukuh saja. Untuk mengetahui lebih jelas tentang nama dan alamat keturunan Sri Karang Buncing dan Dukuh persebarannya masa kini tercatat di Buku Besar Pasemetonan Sri
Karang Buncing di Pura Kawitan, Blahbatuh, Gianyar.

Penjelasan awal tentang nama, alamat anggota warga berasal dari Sekretaris Warga Sri Karang Buncing, I Nyoman Sudana SH,yang mengatakan jumlah anggota yang terdaftar dalam Buku Besar Pasemetonan di Pura Kawitan berkisar 1.800 KK. Disamping dalam buku kecil yang disusun oleh Pak Wul dengan judul Ngingetang Kadang Warga khusus warga Karang Buncing tertera nama dan alamat dusun persebarannya di beberapa desa di Bali. Berikut beberapa persebaran keturunan Sri Karang Buncing dan Dukuh yang ada di Bali:

Kabupaten Karangasem
Pura Lempuyang, Desa Adat Gamongan, Perbekel Tiyingtali
I Gede Wira, tetua warga, mengungkapkan, sebelum pengambilalihan Pura Lempuyang yang sekarang disebut Pura Lempuyang Madya, warga Desa Adat Gamongan pangamong beberapa pura yaitu Pura Pucak Bisbis, Pura Penataran Lempuyang, Pura Telaga Sawang, Pura Pajenengan Sri pasung Grigis, Merajan Sri Rigis, Merajan Dukuh Karang, Merajan Karang Semadi, Pura Pesimpenan.Jumlah pangamong yang ada di Desa Adat Gamongan 38 KK dan pengempon sebanyak 18 dadiya yang tersebar di luar Desa Gamongan.

Pura Penataran Gamongan, Desa Pakraman Muncan

Dalam buku Inventarisasi Pura Penataran Gamongan yang disusun oleh Jro Mangku Sugiri, dkk (2010:11) dijelaskan tentang sejarah Pura Penataran Gamongan di Desa Pakraman Muncan.Sebelum dipindah atau magingsir ke Dusun Pamuhunan di tempat sekarang, dulu berlokasi di Bukit Kucet/Dukuh dan diperkirakan pendiriannya setelah runtuhnya Kerajaan Batahanar. Berdasarkan Raja Purana Besakih dan Tata Ruang Kawasan Suci Pura Besakih,Desa Muncan termasuk kawasan suci Pura Besakih sampai Pura Pasar Agung di Gunung Agung, karena Desa Muncan sebagai pewaregan (dapur, lumbung) Pura Besakih dan di Desa Muncan juga terdapat tempat pamelastian dan nunas tirta ida bhatara-bhatari Pura Besakih dan Pura Pasar Agung, yaitu Pura Yeh Sah.

Dengan adanya penataan pemukiman penduduk Desa Muncan saat itu oleh Kerajaan Karangasem, maka panglingsir (tetua) yang dulu berada di Dukuh juga pindah ke tempat sekarang yaitu Dusun Pamuhunan. Menurut cerita tetua, bahwa Dusun Pamuhunan dulunya adalah tempat pembakaran jenazah atau tunon sehingga diberi nama Pamuhunan. Perpindahan pemukiman ini diperkuat adanya kemungkinan pola pertukaran kepemilikan lahan antara lahan yang ditempati sebagai pemukiman sekarang (Dusun Pamuhunan)
dengan lokasi kuburan desa yang sekarang. Mengingat lahan-lahan yang berada disekitar kuburan desa sekarang, baik sebelah utara,timur maupun sebelah barat atau sekitar Pura Dalem banyak dimiliki oleh panglingsir sejak jaman dahulu, yang mempunyai akses kedekatan lokasi Bukit Kucet.

Menurut tetua warga, lokasi Pura Penataran Gamongan sekarang memakai lahan bekas pekarangan Kumpi Kayun dan Kumpi Karang yang ahli warisnya tidak ada lagi atau camput. Disamping itu juga didasarkan atas posisi tanah untuk pembangunan tempat suci dipandang cukup baik. Pengempon Pura Penataran Gamongan adalah keluarga Sri Karang Buncing yang berada di Dusun Pamuhunan, Desa Muncan yang jumlahnya saat kini (2009) adalah sebanyak 85 KK, baik yang mengempon Pura Penataran Gamongan maupun Pura Dadya.

Pura Paibon Hyang Batuh, Desa Lusuh

Menurut tetua warga I Wayan Bawa asal usul persebaran warga yang ada di Desa Lusuh yang diceritakan oleh para tetua sebelumnya berawal dari tiga orang menetap di Desa Selat, di Prasana dan tetua Wayan Bawa sebagai pengempon paibon Hyang Batuh berkembang menjadi 45 KK. Awalnya semua kepengurusan pura dipegang oleh warga baleran (utara) pura, sedangkan keluarga tetua Bpk. Wayan Bawa yang tinggal satu pakarangan dengan Pura Paibon hanya sebagai pelaksana bila ada upacara di Paibon Hyang Batuh.

Pada suatu hari karena keadaan pura sangat rusak dan tetua Wayan Bawa bermaksud memperbaiki pura sehingga keluarga yang tinggal di utara pura pun diminta untuk membantu mengeluarkan iuran dalam memperbaiki pura tetapi apa yang terjadi mereka hanya bisa membayar dengan batu slebingkah (pecahan grabah) hal ini membuat ketegangan antar dua kelompok keluarga itu, sehingga terjadi pemisahan dengan mendirikan Paibon baru di keluarga yang bertempat tinggal di utara. Semenjak itu masing-masing kelompok warga memiliki pura tempat suci sebagai pemujaan leluhur. Dari seluruh kelompok keluarga yang bertempat tinggal di Desa Lusuh tetap datang menghaturkan sembah bakti maupun membayar iuran wajib ke Blahbatuh jika ada odalan di Pura kawitan demikian di informasikan oleh Ketua Paibon Hyang Batuh I Wayan Bawa.

Persebaran warga ke Dusun (Banjar, Br.) yang ada di Kabupaten Karangasem: Br. Gede Muncan Selat, Banjar Yang Api Muncan Selat, Banjar Lusuh Selat Duda, Banjar Saren Nongan Rendang, Br.Sengkidu Nyuh Tebel, Banjar Jasi Bugbug, Br Asak Kanginan, Desa Timbrah, Desa Bungaya, Br. Bukian Nongan, Br. Perasi Bugbug, Br Buitan Apit Yeh, Br. Kastala Ngis Manggis, Br. Yeh Pah Manggis,Br. Ngis Kelod, Br. Simpar Kawan Pidpid, Br. Lebuh Pura Ayu Abang, Br Perayu Tista Abang, Br. Tista Gede, Br. Kemuda, Br.Lingga Manik Tumbu, Br. Siladumi, Br Cucut Ban Kayu, Br. Kubu Karangasem, Br Bungkulan Seraya, Br. Kecicang, Br. Lebah Culik,Br. Gambang Seraya, Br. Peladung Tengah,

Kabupaten Bangli
Kecamatan Tembuku ada Tiga Pura Dadya
1) Dalem Karang Buncing sebagai panglingsir Jero Mangku Gede.Pura Dalem Gaduh sebagai panglingsir Jero Mangku Gaduh. Puri Karang dengan anggotanya dari Sukawana sebagai panglingsir Jro Gede Karang.

 2) Pura Dadya Karang Kubu sebagai panglingsir Jero Guru. 

3) Pura Dadya Karang Bunutin dan Guliang sebagai panglingsir Guru Bratha. Mrajan Ageng Karang Buncing Penatahan sebagai panglingsir Jro Mangku Puseh. Dadya Gaduh Karang Manuk sebagai panglingsir Guru Logam.

Di Desa Undisan jumlah kepala keluarga adalah 75 KK penyebaranya melalui Desa Gamongan sampai sekarang nunas tirta dan kajang ka Desa Gamongan. Panglingsir Jro Dasaran I Made Wijasa dan Jro Mangku Dadya : Dr Jro Mangku Ketut Dinamika,S.Sos. Nama Pura : Dalem Gaduh Sri Karang Buncing. Penyebaran dari Undisan ka Kintamani, Sukawana dan Bunutin Kintamani.

Pura dadya di Bunutin panglingsir Guru Beratha penyebaranya dari Lebih Gianyar. Jumlah anggota 10 KK. Dari Bunutin ada ke Guliang Kawan dan Kubu Bangli. Nama Pura : Dadya Karang Buncing. Dadya Manuk nama panglingsir Guru Wayan Logam.Penyebarannya dari Blahbatuh karena panglingsir di sana bernama Kaki Gaduh. Jumlah Anggota 10 KK. Dadya Karang Penatahan berjumlah KK 35 KK, 5 KK di Bengkulu, 2 KK di Negara.Penyebarannya mungkin melalui gamongan karena berdasarkan pralingga yang disungsung berupa dukuh. Tetapi salah satu panglingsir diberi nama panggilan pekak batuh karena dulu waktu mapinton siapa yang bisa membuka gelung kori di Pura Gaduh dia warih Karang Buncing. dan beliau lolos. Semeton Desa Penatahan dan Desa Undisan mulai pengabenan dan upacara dewa yadnya sudah memakai Ida Pandita Dukuh sebagai pamuput (pemimpin upacara) dari dulu sampai sekarang antara semeton Desa Penatahan dan Desa Undisan sudah terjalin ikatan keakraban. Peninggalan para pendahulu berupa benda sakral banyak tersimpan di Penatahan,Balean di Undisan Klian subak di Manuk. Demikian diinformasikan
oleh Gede Karang.

Persebaran warga di Kabupaten Bangli: Banjar Guliang Kawan,Banjar Bunutin, Banjar Penatahan, Banjar Undisan Tembuku, Banjar Kuwum Sukawana Kintamani, Banjar Kutuh Kintamani, Banjar Manuk Susut, Banjar Jaya Maruti Kintamani.

Kabupaten Klungkung
Pura Gaduh, Dusun Losan, Takmung
Tetua warga dari Banjar Losan, I Nyoman Wijana, mengatakan,dimana sebelum masuknya para Arya Majapahit ke Bali, leluhur mereka bertempat tinggal di Desa Takmung. Setelah pengambilalihan,leluhurnya pindah ke Desa Blega. Suatu saat terjadi konflik di Alas Blatung dan mereka lolos dalam pertikaian, karena lolos maka lama kelamaan tempat mereka tinggal diberi nama Losan, karena lolos dari pertikaian itu. Jumlah kepala keluarga 35 KK yang mengampu Pura Gaduh yang ada di Banjar Losan, Kelungkung.Persebaran warga di Dusun (Banjar) yang ada di Kabupaten Kelungkung: Banjar Sengguan, Banjar Cempaka Pikat Dawa, Banjar Tusan, Banjar Angkan, Banjar Selat, Dusun Kangin Bakas, Banjar Kutampi Nusa, Dusun Tegal Besar, Banjar Losan Takmung.


Kabupaten Gianyar
Prakempa Pura Dalem, Desa Celuk
Dijelaskan Sanghyang Sidhimantra beryoga lahir dari Widhi yaitu, Bhatara Uma, Bhatara Iswara, Bhatara Brahma, Bhatara Mahadewa, Bhatara Wisnu, Bhatara Siwa. Bhatara Brahma beryoga lahir Sanghyang Agnijaya, Danghyang Sidhimantra disebut juga Bhagawan Indra Cakru, Danghyang Mahadewa, dan Sira Kul Putih.

Bhagawan Indra Cakru mempunyai dua orang putra yaitu Sang Wijaya Katong dan Sira Arya Pasung Giri. Sang Wijaya Katong mempunyai seorang putra yaitu Arya Karang Buncing. Arya Karang Buncing melahirkan Si Kebo Waruga dan adiknya Arya Prabali Karang Buncing. Dan selanjutnya Arya Prabali Karang Buncing menurunkan Watek Karang,

Dijelaskan juga, wafat nya Kebo Iwa tahun candra sangkala yaitu caksu bhuta suku wong yang artinya Caka 1252/1340 Masehi. Watek Karang menyebar ke Desa Gamongan menjadi Dukuh Gamongan.Lahir di Blahbatuh keturunannya bernama Jro Gede Kadulu yang menggantikan ayahnya yang bernama Prabali Karang Buncing. Dan turunan yang lain bernama Jro Nyoman Karang Samping Jeruk.

Desa Pakraman Blahbatuh

Ketua pemaksan alit I Wayan Karang, dari Banjar Tubuh,Blahbatuh mengatakan warga Sri Karang Buncing yang bertempat tinggal di Desa Blahbatuh berjumlah 125 KK, dari seluruh kepala keluarga tersebut, beberapa KK pengempon yang mempunyai tanggung jawab terhadap: 

1) Pura Kawitan Sri Karang Buncing.


2) Pura Gaduh, Blahbatuh. 

3) Pura Kurubaya.

 4) Pura Batursari.

5) Pura Kumanak. 

6) Pura Dalem Tunon. 

7) Pura Penataran, Br Tubuh, Blahbatuh. 

8) Pura Ibu, Br Tubuh, Blahbatuh. 

9) Pura Melanting, Pasar Blahbatuh, Gianyar. 

10) Pura Beji.

Persebaran warga di Kabupaten Gianyar: Banjar (Br) Blangsinga Blahbatuh, Br. Bonbyu, Br. Banda, Br. Bona Kaja, Br. Tojan, Br.Blega, Br. Maspahit Keramas, Br. Medahan Keramas, Br. Sumampan Sukawati, Br. Gelulung, Br. Sakah Guwang, Br. Kubur Ketewel,Br. Mukti Singapadu, Br. Negari Singapadu, Br. Kuteri Singapadu,Br. Pekandelan Batuan, Br. Abasan, Br. Celuk Sukawati, Br.Pengambangan Batubulan, Br. Wanaya Bedulu, Br. Kederi, Br.Tarukan Mas, Br. Mawang Kaja, Br. Mawang Kelod, Br. Batuk Demayu Singakerta, Br. Kengetan Ubud, Br. Kutuh Kelod Petulu,Br. Tunon Demayu, Br. Padang Tegal Ubud, Br. Tengah Ubud, Br.Pupuan Tegalalang, Br. Perean Tegalalang, Br. Malet, Br. Timbul, Br.Tengah Triwangsa Manuaba, Br. Kebon Kedisan, Br. Peliatan KelusaPayangan, Br. Buntek Kerta, Br. Titiapi Pejeng, Br. Laplapan Pejeng,Br. Intaran, Br. Puseh, Br. Pande, Br. Pegembungan Pejeng, Br. Tegal Suci Tampaksiring, Br. Papadan Petak Bitera, Br Sumita Bitra, Br.Siladan Siangan, Br. Pas Dalem, Br. Pagesangan, Br. Kawan Babakan,Br. Serongga, Br. Cebang, Br. Lebih Kaja, Br. Tegal Tulikup, Br.Pinda Saba, Br. Basangambu, Br. Uma Kuta Pejeng Kangin.


Kabupaten Badung
Merajan Kubon Karang Buncing, Sibang Kaja
Dalam Lontar Prasasti Sira Arya Karang Buncing terdiri dari 14 lembar dialihaksara oleh Drs. I Nyoman Sukada (1989:6) dijelaskan,Bhatara Siwa beryoga lahir manusia Ki Prabali Karang, beliau berputra laki perempuan, beliau ini yang menurunkan Ki Prabali Karang Buncing sampai masa kini. I Prabali Karang Buncing yang tinggal di Bedugul memang milik I Prabali Gaduh di Gaduh, lahir seorang putra yang bernama Sri Kebo Teruna, sebagai mahapatih Dalem di Bali. Beliau I Gusti Karang Buncing banyak mempunyai hamba, banyak mempunyai putra, sampai I Gusti Bibi Aji Karang Kedi, banyak mempunyai putra, semua sudah menempati masing desa, semua dikasi para abdi, menjadi Prabali Karang dari dahulu sampai kini Anaknya I Gusti Karang Buncing bernama I Kebo Iwa sebagai mahapatih Dalem Bedahulu. Demikian asal mula I Gusti Karang Buncing, I Prabali Karang Buncing serta yang didharmakan I Gusti Pasung Rigih, dan I Gusti Pasung Giri menjadi mahapatih di Dalem Bedahulu.

Diceritakan keturunan I Gusti Karang Buncing, yang mengungsi di Desa Sibang, tiga anaknya yang satu bernama Si Gede Mangku Mica Gundil, berasrama di Srijati, putri beliau satu dihaturkan kepada Ida Pranda Sakti Manuaba, mempunyai putra seorang diri bernama Ida Pranda Teges, berasrama di Srijati merupakan guru spiritual (surya) Si Gede Mangku Mica Gundil, Si Abug Mahong berasrama di selatan Pura Dalem Denpasar, Si Gede Karang berasrama di utara Pura Dalem Denpasar di Sibang Kaleran. Semua mempunyai tempat masing-masing di sekitar Desa Sibang, selesai.

Setelah kalahnya Desa Sibang oleh I Gusti Agung Made Kamasan, serta I Gusti Gede Putu Mambal, Si Gede Mangku Mica Gundil membelot kepada I Gusti Agung Made Kamasan, Si Abug Mahong terus ngungsi ke Desa Tegal Narungan bersama seluruh keturunannya sampai sekarang. Si Gede Karang wafat di sebelah barat kayu kepuh besar. Keturunan Si Gede Karang dan putranya mengungsi ke Desa Peliatan, serta ada yang mengungsi mencari tempat lain, serta ada putranya masih tetap tinggal di Sahibang, yang tertua seperti Si Putu Gendu, Si Putu Gendu anak dari Kompyang Grudug, Si Made Nesa, Si Luh Nyoman Nesa, diambil oleh Puri Praupan, Si Ketut Nesa Loncing, Si Kompyang Grudug, mempunyai putra Si Wayan Kenak semua masih di Desa Sahibang, selesai.

Si Gede Bandesa Sahibang, yang mengungsi dari Desa Sahibang ke Desa Peliatan sejak tahun Saka 1392/1470 M, banyak putranya masih di Peliatan. Disamping itu ada yang mengungsi ke Manuaba,setelah lama menetap di Manuaba, ada putra beliau yang bernama I Karsa. I Karsa mempunyai dua orang putra laki laki bernama I Goyal, adiknya bernama I Jaya, dijadikan Pemangku di Pura  SaktiManuaba, setelah menjalani hidup suci, dan berguru di Geriya Ubud, mempunyai putra dan putri 8 orang.

Jumlah keturunannya yang mengampu Merajan Kubon Karang Buncing di Sibang Kaja tercatat 4 Oktober 1989 sebanyak 103 KK.


Pura Panti Karang Buncing Kuta

Ketua warga, I Made Sunarca, mengatakan persebaran keturunan Sri Karang Buncing dari Blahbatuh ke daerah Kuta tercantum dalam Lontar Piagem Dukuh Gamongan, berbunyi:

Mangke caritanen Treh nira Sri Karang Buncing, risapamadegan
nira Sri Kresna Kepakisan Baturenggong, anugrahaken desaparadesa
maring sira Bandesa Karang Buncing ndyata, Karang Buncing Kuta
ngamong pradesa Jimbaran, mwah Bandesa Silabumi, Bandesa Sraya,
Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa Ujung, Bandesa Tumbu,
Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa Timrah, Bandesa Prasi,
Bandesa Subagan, mwang Bandesa Sibetan, mula Treh Sri Karang
Buncing, mapalarasan saking Batahanyar.

[Berikut diceritakan treh beliau Sri Karang Buncing, di zaman
pemerintahan Baginda Sri Kresna Kepakisan Baturenggong,
menganugrahkan kepada Bandesa Karang Buncing, sebagai
pucuk pimpinan di desa desa, Karang Buncing Kuta, menjadi
pucuk pimpinan desa wilayah Jimbaran, serta Bandesa Silabumi,
Bandesa Seraya, Bandesa Sege, Bandesa Garbawana, Bandesa
Ujung, Bandesa Tumbu, Bandesa Bugbug, Bandesa Asak, Bandesa
Timrah, Bandesa Prasi, Bandesa Subagan, juga Bandesa Sibetan,
memang keturunan Karang Buncing, memang asalnya Batahanyar.
Dalam Usana Bali dijelaskan, kang panghulu kasinungan Jro Gede
Karang Dimade demikang juesta ring Sema Kuta Negara, artinya
adalah orang kepercayaan bernama Jro Gede Karang Dimade yang
utama bertempat tinggal di daerah suci Desa Kuta.

Yang dimaksud tempat suci di sini kemungkinan Pura Sarin Buwana, di Desa Jimbaran, Kuta Selatan. Pura Sarin Buwana termasuk Kahyangan Jagat Jimbaran bekas pertapaan Sri Batu Putih kakak kandung dari Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) raja kerajaan Batahanar (Bedulu). Sejarah keberadaan Pura Sarin Buwana dan beberapa nama tempat yang ada di wilayah Jimbaran tertulis sangat jelas dalam Lontar Piagem Dukuh Gamongan. Benda tinggalan kuno yang terdapat di Pura Sarin Buwana berupa: lingga yoni jangkep, arca perwujudan dewa-dewi, arca siwa bhairawa, dan puluhan arca batu kecil. Pura Sarin Buwana di-mong oleh Warga Sri Karng Buncing yang ada di Jimbaran dan pangempon pura seluruh umat Hindu di Desa Jimbaran dan beberapa kelompok warga berasal dari luar Desa Jimbaran. Demikian dikatakan oleh kelian Pura Sarin Buwana, I Made Sudiarsa, Banjar Ubung, Jimbaran.

Setelah Ki Tambyak kalah sebagai penjaga keamanan wilayah Jimbaran serta keturunan Sri Batu Putih (Dalem Putih) yaitu Dalem Petak Jingga juga tidak jelas kehidupannya. Pasca peralihan kekuasaan masih terjadi kekacauan di desa-desa yang ada di Bali,untuk meredam kemarahan masyarakat Bali Mula oleh Sri Kresna Kepakisan Baturenggong maka diangkatlah keturunan Sri Karang Buncing sebagai kepala desa yang ada di Bali salah satunya Karang Buncing Kuta ngemong pradesa Jimbaran artinya Karang Buncing Kuta sebagai kepala desa yang mewilayahi dari Kuta sampai di Jimbaran. Dari Kuta persebarannya ke Desa Jimbaran, Munang Maning, Tainsiat, Denpasar, dengan jumlah kepala keluarga 150 KK, ikut mengampu Pura Panti Sri Karang Buncing yang terletak di Jalan Bunisari, Kuta.

Peninggalan kuno yang terdapat di Pura Panti Karang Buncing Kuta berupa batu kepelan kebo iwa (batu kepalan tangan Kebo Iwa) dengan diameter sekitar 60 cm, tinggi 125 cm yang distanakan di palinggih kepelan. Tinggalan batu ini termasuk salah satu peninggalan kuno yang dilindungi Dinas Kebudayaan di Wilayah Kecamatan Kuta. Sebelum dipindah ke Pura Panti tahun 1994, kepelan ini berada di muka halaman kelas SD 2 Kuta, sebelah Hotel Ida Beach Inn. Karena beberapa murid sakit tanpa sebab yang jelas sampai berminggu-minggu, lalu orang tuanya minta petunjuk dari paranormal untuk nunas tirta di palinggih batu akhirnya mereka berangsur pulih kembali. Sebelum batu kepelan itu dipindah dari halaman SD 2 Kuta, yang jaraknya sekitar 500 meter dari Pura Panti.

Memang dari dulu tetua warga mendengar cerita itu dari masyarakat sekitar, bahwa batu itu merupakan kepelan kebo iwa,.Karena tiada catatan yang pasti menyebutkan tentang keberadaan batu itu, maka tetua warga mengabaikannya. Pada suatu malam sehabis pujawali di Pura Panti, tetua dari Blahbatuh dan Desa Sesetan bersama beberapa warga mendatangi SD 2 itu, setelah upakara di haturkan di palinggih batu kepelan tidak begitu lama salah seorang tetua dari Sesetan kerauhan, dipinjam badan raganya dalam menyampaikan pesan dan kesan dari alam lain, diceritakan KeboI wa mengadakan perjalanan ke pantai selatan, wilayah Jimbaran,saat lagi air surut banyak muncul ceglongan (palung pasir kecil) yang masih berisi air di dalamnya lalu beliau mandi di salah satu palung kecil itu, karena saking larut dalam keheningan di palung pasir itu,tanpa disadari air pasang terjadi, karena beliau mempunyai suatu ajian tertentu sehingga Si Kebo Iwa tidak pernah tersentuh oleh air pasang itu, lalu turun sabda dari “ajik dewa brahma” untuk ingat
diri, kalau tidak Pulau Bali ini akan tenggelam.

Ketika Kebo Iwa sedang membendung daratan Kuta dan Jimbaran untuk menghubungkan Bali dengan Bukit Jimbaran di saat memindahkan dua bongkahan batu bukit dengan sebatang pohon kelor, batang kelor itu patah dan patahan batu itu jatuh di Pantai Bualu sekarang disebut Nusa Dua. Kebo Iwa mengepal tanah
bukit lalu dilempar dan jatuh di halaman SD 2 Kuta. Setelah adanya petunjuk tersebut beberapa hari kemudian batu kepelan di halaman SD 2 di-tuwur dan distanakan di Pura Panti saat kini.

Tetua warga yang diceritakan secara lisan oleh orang tuanya,mengungkapkan di samping selatan Pura Panti dulunya berdiri sebuah Bale Banjar yang disebut Banjar Gianyar. Karena perkembangan pemerintahan selanjutnya disamping populasi warga kian bertambah, maka tanah bale banjar itu dijadikan tempat tinggal oleh keturunannya. Demikian untuk warga Sri Karang Buncing yang ada wilayah Kuta dan Jimbaran, selain mengempon Pura Panti Karang Buncing, Kuta dan Pura Sarin Buwana, Jimbaran, juga mengempon di masing-masing merajan dewa hyang milik beberapa kelompok keluarga.

Pura Gaduh Bindu, Mekar Bhuana

Menurut tetua warga, I Ketut Seninnatha, dari cerita orang tuanya terdahulu, persebaran warga yang ada di Desa Adat Bindu berasal dari Blahbatuh, yang lama kelamaan mendirikan satu tempat suci yang disebut Pura Gaduh Bindu. Keturunan yang mengampu Pura Gaduh Bindu berjumlah 18 KK yang tersebar dalam beberapa Banjar yaitu Banjar Pane, Banjar Badung Sibang, Banjar Senggu Sibang, Banjar Bindu Mekar Bhuana.


Persebaran warga di wilayah Kabupaten Badung berikut: Banjar Tainsiat Denpasar, Banjar Belaluan, Br. Kaliungu Kelod, Br. Kayumas Kaja, Br. Pemeregan, Br. Tampak Gangsul, Br. Gemeh, Br. Kelandis,Br. Munang Maning, Br. Tegehe Tonja, Br. Sanglah, Br. Ambengan,Br. Pasekan, Jl Raya Sesetan No 67 Denpasar, Br. Jematang, Br.Pembetan Kapal, Br. Tangeb Kapal, Br. Uma Kapal, Br. Buruan Sanur, Br. Delod Peken Sanur, Br. Intaran Sanur, Br. Langon Sanur,Br. Ubung Jimbaran, Br. Tegal Kuta, Br. Benah Ubung Kaja, Br.Belusung Peguyangan, Br. Semaga Penatih, Br. Pohmanis Penatih,Br. Pasek Jagapati, Br. Jaba Jero Jagapati, Br. Kemulan Jagapati, Br.Angantaka, Br. Aseman Sedang, Br. Sigaran Mambal, Br. Taman Tegal Darmasaba, Br. Bindu Mambal, Br. Tamas, Br. Baturining Mambal, Br. Darmasaba, Br. Mengwi Sibang Gede, Br. Blumbang Penarungan, Br. Gulingan Tengah Mengwi, Br. Kuhum Mengwi,Br. Beringkit, Br. Gambang Mengwi, Br. Tinggan Pelaga.

Kabupaten Jembrana

Sekretaris Warga Sri Karang Buncing, Kabupaten Jembrana, I Wayan Suarma menjelaskan, secara pasti tak diketahui persebaran warga yang ada di wilayah Jembrana, hanya diperkirankan melalui darat dan ada persebaranya melalui laut. Begitu pun keberadaannya di tempat sekarang kedatangannya dalam periode yang berbedabeda.Turunya di Pelabuhan Perahu Lelateng menyebar ke 3 (tiga) lokasi yaitu,

 1) Kelurahan Banjar Tengah. Lama kelamaan dari Banjar Tengah membuat Dadiya di Melaya di Banjar Sari Kuning.
2) Kelurahan Baler Bale Agung, terletak sebelah selatan RS Negara.Dari Kelurahan Bale Agung lama kelamaan karena ada pembukaan hutan untuk dijadikan pertanian, lalu ada keluarga yang ikut dalam pembukaan hutan, yang lama kelamaan mendirikan Pura Dadiya di Desa Baluk. Dari Desa Baluk karena tranportasi lancar membuka Dadiya baru di Desa Tuwed. Masa kini Pura Dadiya yang dimiliki oleh Warga Sri Karang Buncing di Kabupaten Jembrana terletak di 9 (Sembilan) tempat yaitu: 

1) Dadiya Mendoyo. 2) Dadiya Berangbang. 3) Dadiya Kebon. 4) Dadiya Banjar Tengah. 5) Dadiya Baluk. 6) Dadiya Tuwed. 7) Dadiya Sari Kuning. 8) Dadiya Kedisan. 9) Dadiya Pergung. 10) Dadiya Berawan Tangi.
 Jumlah kepala keluarga keturunan Sri Karang Buncing yang ada di Kabupaten
Jembrana berjumlah 250 KK.


Dadiya Karang Buncing, Mendoyo Dangin Tukad

Menurut tetua warga I Ketut Meder, berdasarkan penuturan orang tua yang pernah diwawancarai, sekitar abad ke-18 ada tiga orang keluarga Tegal Mengkeb, Tabanan merantau ke Jembrana tepatnya di Desa Mendoyo Dangin Tukad. Saat itu penduduk Desa Mendoyo Dangin Tukad masih jarang, boleh dikatakan desa itu baru berdiri. Alamnya masih asri tetapi daerahnyaa rendah yang sering terendam banjir.

Setelah beberapa tahun bermukim di Mendoyo Dangi Tukad, dua orang tak betah dan mendengar kabar di Berangbang ada pembukaan hutan, lalu kedua orang itu pindah ke Berangbang mengadu nasib ikut membuka lahan pertanian. Karena daerah itu subur mereka etah tinggal di sana dan berkembang sampai sekarang menjadi puluhan keluarga, yang sekaligus meyakini penyungsungannya di Pura Kawitan Sri Karang Buncing, Blahbatuh, Gianyar.Dan yang masih tinggal di Mendoyo Dangin Tukad berkembang menjadi beberapa keluarga dan satu diantaranya pindah dan menetap di Desa Pergung Kecamatan Mendoyo yang juga bagian dari Warga Sri Karang Buncing.

Dadiya Kedisan Yeh Embang asal mulanya berasal dari Bangli persebaranya melalui darat. Sedangkan Dadiya Berawan Tangsi asal leluhurnya dari Karangasem (Tuwed) karena waktu Gunung Agung meletus lalu mengungsi ketempat sekarang.

Persebaran warga di Dusun (Banjar) untuk wilayah Kabupaten Jembrana: Banjar Kebon, Br. Banyubiru, Br. Satria, Br. Berangbang,Br. Mendoyo Dangin Tukad, Br. Yeh Embang Kedisan, Br. Yeh Buah,Br. Sari Kuning, Br. Baluk, Br. Tengah.

Kabupaten Buleleng
Pura Puseh Tingkih Kerep, Desa Pegadungan

Tetua warga, Jro Nyoman Tirta, bertempat tinggal di Dusun Asah Panji, Wanagiri, mengatakan, secara pasti memang tidak ditemukan keberadaan Pura Puseh Tingkih Kerep itu, namun menurut cerita tetua, asal mula leluhur dari Gamongan, Karangasem, mengungsi ke Pegadungan sebanyak tiga orang yaitu, I Tingkreb, I Gede Tangkas,dan I Gede Balon. Lama kelamaan keluarga mereka menyebar ke Dusun Taman Sari, Desa Padang Muliya, akhirnya mendirikan Pura Dadiya Kawitan Dukuh Gamongan. Dari Padang Mulia menyebar
ke beberapa desa antara lain, Desa Wanagiri, Desa Pancasari, Desa Lemukih, Desa Tegal Linggah, Desa Gitgit, Kota Singaraja, Desa Panji dan ke Desa Toli-Toli (Sulawesi Tengah).

Jumlah kepala keluarga turunan dari tiga nama leluhur tersebut di atas perkembangannya sampai sekarang berjumlah 350 KK. Dimana sebelumnya warga setempat bingung mencari identitas nama leluhur mereka yang patut di puja didalam mendekatkan diri kepada Hyang Kawitan (leluhur) dan Hyang Widhi. Selama 15 tahun terjadi perdebatan pencaharian jati diri warga dengan berbagai jalan ditempuh bahkan masuk bui pun di alami dalam proses pencaharian itu. Akhirnya ada beberapa kelompok keluarga masuk ke Warga Pasek, beberapa kepala keluarga masuk ke Warga Dalem (arya), dan beberapa kelompok keluarga masih meyakini turunan Dukuh. Belakangan sekitar tujuh tahunan baru menyadari Dadiya di Taman Sari ada keterkaitan ke Desa Gamongan. Karena tidak tahu ada keterkaitan antara Dukuh Gamongan dengan Pura Kawitan, Blahbatuh. Yang selama ini keluarganya belum pernah tangkil hatur sembah ke Pura Kawitan di Blahbatuh, hanya sampai di Desa Gamongan. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan tangki hatur sembah” kata Jro Nyoman Tista, menyudahi informasi ini.

Menurut tetua warga Drs. I Ketut Sutarja, jumlah Dadiya yang ada di Kabupaten Buleleng sebanyak 55 Dadiya. Persebaran warga yang ada di Kabupaten Buleleng: Br. Tamblang Kubu, Br. Kubu Anyar, Br. Bulian Kubutambahan, Br. Cemara Bulian, Br. Siana Depaha, Br. Depaha, Br. Bila Kanginan, Br. Menasa Sinabun, Br.Menyali Sawan, Br. Sudaji, Br. Peken Sangsit, Br. Sema Sangsit, Br.Tamansari Padangmulia, Br. Longsegehe, Br. Katiasa Pegadungan,Br. Lebah Siung Panji Anom Sukasada, Br. Bubuan Seririt, Br. Uma Patemon, Seririt, Br. Galiran Bakti Seraga, Br. Penataran Buleleng,Kampung Widiasari, Br. Tamansari, Br. Jawa, Br. Jagaraga, Br. Sepang Busungbiu, Br. Yeh Panes, Br. Samirenteng, Br. Dauh Desa Tambak,Br. Kelodan Jineng Dalem, Br. Bukit Jineng Dalem, Br. Tejakula, Br Tejakula Kelodan, Br. Tejakula Tengah, Br. Les, Br. Depaha Tejakula,


Kabupaten Tabanan
Pura Dadiya Mandul, Banjar Mandul, Luwus
Nyoman Sada, tetua Warga Karang Buncing di Desa Mandul,mengungkapkan, leluhur mereka berasal dari Desa Kapal, daerah Pura Sada, lalu mengungsi ke tempat sekarang. Pertama datang dan menetap di Desa Mandul sebanyak 3 KK dan 2 KK tinggal di Banjar Palian, tetapi Dadiya nya tetap di Mandul, Luwus, Tabanan.Saat kini perkembangan populasi warga di Mandul berjumlah 15 KK. Dari dahulu keluarga besar di Mandul tetap mengampu Pura Kawitan Sri Karang Buncing di Blahbatuh dan Pura Lempuyang Gamongan.

Persebaran warga di Kabupaten Tabanan: Banjar Batu Tampik Kediri, Br. Mal Mundeh, Br. Tanjung Beraban, Br. Bukit Catu Baturiti, Br. Pemuteran, Br. Mandul Luwus, Br. Bangli Baturiti, Br.Jeruk Legi, Br. Lebe Perean, Br. Abian Luwang, Br. Apuan Baturiti,Br. Tegal Mengkeb Selemadeg, Br. Soka Senganan, Br. Klecung Selemadeg, Br. Bunyuh Perean Marga, Br. Penge Tua Marga, Br.Basang Be Marga, Br. Pajaan Pupuan, Br Tumagading Wanasari Penebel, Br. Jelijih Sanda Pupuan, Br. Selat Perean.

10 komentar:

WOW..... dengan adanya blog/link ini... saya jadi tahu asal usul dan penyebaran Masyarakat Sri Karang Buncing.....

OWSOME.....!!!

suksma sampun berkunjung

versi buku juga tersedia jika ingin memiliki bisa menghubungi kami.tersedia juga di toko buku yg ada di bali suksma.

suksma antuk postingannyane,,,,tiyang uning dadosne indik penyebaran semeton karang buncing. tiyang semeton saking cutcut, ban ,kubu krgasemm

Salam kenal di alam ada dan tiada sameton Karang Buncing saking Cutcut Ban Kubu Karangasem sampun sareng berbagi, ledang dagingin malih pula pali indik pemargi sameton irika ,, suksma

Mana yg duluan,yg dianggap pusat bagi warga dukuh?
Yang dilempuyang madia apa yg di belah batuh?
Apa ciri pasti sanggah kawitan warga dukuh....merunya tumpang berapa ?
Jika ada meru tumpang tiga,disampingnya ada gedong berahma....itu mencirikan warga dukuh ? Apa warga pasek.?
Karna di sanggah dadia ty ada bangunan seperti itu....
Terimakasih pak admin mohon penjelasan sesuai sastra yg ada,bujan karna suatu pendapat.๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™

Pusat dukuh di lempuyang gamongan .. gelar dukuh diberikan oleh DH NIRARTTA bagawanta ker gelgel waturenggong th 1500 M gelar dukuh diberikan untuk turunan raja sti jaya sakti 1150 M setelah hidup suci fi gamongan disebut Sri Gnijaya Sakti bukan MPU GNIJAYA versi babad pasek ..
Mengenai pakinggih meru tumpang 3 simbol tri bhuwana yg meraga sulinggih yg mengusai tiga alam atas tengah bawah ..
Kata pura ini muncul era kerajaan Suweca Pura dmn sebelumnya belom ada bentuk palinggih dan nama pura dn nama dewa yg distanakan ..
Awal sejarah bali nama tmp suci disebut Satra = setra/ kuburan ,, Sma = semadi, Karangasem asal kata Karang Sma tmp semadi raja sti jaya sakti, Panglumbyagan = wantilan, Katyagan = kahyangan, Padmak = padma, Vihara = tmp suci agama budha, Salulung = turus slumbung, Cala = pratima dll jd belom muncul kata pura ..

Orang bali awal memuja langsung alam semesta smpe kini .. dlm prasasti yg dikeluarkan raja bali kuno tertulis HYANG GUNUNG = Dewa Gunung, Hyang DANAWA = Dewa Danau, Hyang segara, dll artinya setiap upakara puja puji doa sembah langsubg ke alam blm muncul bentuk palinggih dn nama dewa seperti sekarang ini ..

Mohon info lokasi pajenengan/merajan sri pasung grigis๐Ÿ™๐Ÿป

Promosidibali ,, Gedong linggih Bhatara Sri Pasung Grigis ada di Lempuyang Gamongan,Tiyingtali, Karangasem di depan Gedong Pasimpenan dan juga di Pura Gandalangu Desa Kemenuh, Blahbatuh Gianyar ,, rahayu

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More