Selasa, 15 Mei 2012

SIMBOL PANGULU SRI KARANG BUNCING




Makna Simbol Pangulu
Treh Sri Karang Buncing
Oleh Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa



Om Swastyastu

Mengutip transkrip Piagem Dukuh Gamongan yang berbunyi:
Sira Sri Jaya Katong, amrajaya ring yusaning bumi, Isakawarsa, Asti
Bhaskara, Netraning Ulan, Sri Jaya Katong amukti maring Batahanyar,
angamong wadwa sira, amuter maring Batahanyar, kasung kasiwi
denira Sri Jaya Katong, hana ta Glungkori ring mahameru, kapolo
denira Sri Jaya Katong maka tunggul ira ring Barabatu, lingganira
Hyang wawu dateng, Meru tumpang lima, hana ta kori agung, agelung
tumpang lima, maka tungguling Prabhu Bali, araning Pura Gaduh,
gagaduhan Prabhu Bali, Gagaduhan sira Sri Jaya Katong, maring
Batahanyar.
(Piagem Dukuh Gamongan, 8a-8b)


[Beliau Sri Jaya Katong menjadi penguasa, umur bumi, tahun
Isaka 1238/1316 Masehi, Sri Jaya Katong yang dimuliakan di Batahanyar,
memerintahkan rakyat baginda pusatnya di Batahanyar,
tempat persembahyangan baginda Sri Jaya Katong adalah Kori
Agung, tempat suci sangat agung, dibentuk oleh Sri Jaya Katong,
sebagai bukti baginda ada di Belahbatuh sebagai wujud atau simbol
Dewa sesembahan yang baru, Meru tumpang lima, lambang
kesatuan para raja Bali, namanya Pura Gaduh, tempat suci para
raja Bali, tempat suci beliau Sri Jaya Katong dari Batahanyar.]


Merujuk dari kalimat tersebut diatas, secara tegas disebutkan bahwa Arca Pangulu, atau arca kepala yang berwajah seram, mata melotot, kuping lebar, mulut tersembul taring, rambut ikal dan ber-perucut yang terdapat di Pura Gaduh, Blahbatuh dibentuk padazaman pemerintahan Sri Jaya Katong sekitar tahun Isaka 1238/1316 Masehi Sebagai simbol ajaran baru atau Simbol Suci Tuhan yang baru pada zamannya Karena tiada catatan tertulis yang pasti, apa makna yang terkandung didalamnya, sehingga banyak interpretasi yang muncul setelah itu Kadang-kadang oleh masyarakat Hindu sekitar menyebutnya arca pangulu ratu gde Kebo Iwa Sri Karang Buncing setelah lama hidup bersuami istri belum dikarunia anak akhirnya beliau memohon di Pura Gaduh memuja Hyang Sapta Giri maka lahirlah Sri Kebo Iwa. Dan Sri Jaya Katong adalah kakek kandung dari Sri Kebo Iwa dan kakek beliau yang satu lagi yaitu Sri Pasung Grigis (kakak dari Sri Jaya Katong) sebagai Bagawanta kerajaan Badahulu Beliau Sri Pasung Grigis yang merawat dan mengupacarai dari kecil Sri Kebo Iwa sampai beliau menjadi orang yang mumpuni dalam segala bidang Sehingga secara tidak langsung beliau Sri Kebo Iwa akan mengikuti atau mewarisi ajaran dan bimbingan yang diberikan oleh kakeknya berdua Kalau boleh dikatakan Arca Pangulu sebagai Hulu atau pusat konsentrasi dari Sri Kebo Iwa yang diwariskan oleh kakek beliau berdua yaitu Sri Jaya Katong dan Sri Pasung Grigis. Kebo Iwa adalah merupakan seorang tokoh legendaris Bali, barangkali tokoh legendaris Nasional Beliau kadang-kadang disebut sebagai tokoh pemersatu pada zamannya yang ingin beliau mewariskan untuk kita umat Hindu di Bali pada umumnya dan keturunan Sri Karang Buncing pada khususnya.Kini timbul pertanyaan kenapa hanya Ulu (kepala) saja dan kenapa tidak menggambarkan wujud yang utuh. Karena kita diharapkan bagian kepala inilah yang mampu membawa kemajuan spiritual dan kemajuan material setiap manusia, untuk bisa dicapai karena semua kemampuan itu ada di kepala.


Zaman pembuatan arca Pangulu pada saat itu ada 3 (tiga) buah keyakinan yang sangat besar yang ada di era Kebo Iwa yaitu yang pertama paksa/sekte Siwa, yang kedua paksa Budha, dan yang ke tiga paksa Bhairawa. Simbol-simbol itu kami akan jelaskan sebagai berikut:


Simbol pertama adalah Linggam konsep ke-Siwa-an
Diatas kepala beliau ada sebuah Lingga yang disebut peru cut dalam bahasa Bali, yang terbuat dari gulungan rambut yang menggambarkan ke-Siwa-an dari pada tokoh yang digambarkan Maksud dari penggambaran ini adalah beliau ingin mewariskan untuk kita umat Hindu di Bali yang diwariskan suatu konsep pengajaran tentang budi pekerti yang tujuannya adalah untuk kelepasan

Konsep Siwa atau Lingga dan perucut itu melambangkan konsep ke-Siwa-an atau konsep kelepasan adalah konsep tertinggi yang diwariskan untuk umat Hindu di Bali juga dalam Hindu Weda kita




Simbol kedua dengan rambut ikal adalah konsep ke-Budha-an
Rambut ikal itu menandakan disamping untuk mencapai pelepasan pada akhir kehidupan nanti diharapkan orang Hindu di Bali untuk bisa selalu mencapai yang dinamakan kebijaksanaan,karena Budha itu adalah simbol budi pekerti, kebijaksanaan tertinggi dalam proses kehidupan.

Siwa atau Linggam itu adalah konsep kelepasan setelah kematian dan Budha itu adalah konsep tertinggi dalan kehidupan. Jadi antara konsep Sunia dan Ramia. Sunia adalah konsep Siwa dan Ramia adalah konsep Budha.

Simbol yang ketiga dengan wajah menyeramkan adalah konsep
Bhairawa
Setiap orang Bali diharapkan memiliki sidhi, inilah yang ditekankan oleh leluhur kami untuk generasi pewarisnya dan umat Hindu di Bali secara umum. Kemampuan yang diharapkan tidak saja sidhi dan sakti dalam arti sempit, tapi sidhi disini yang dimaksudkan adalah jnana. Kita umat Hindu diwajibkan memiliki kemampuan intelektual untuk mengisi kehidupan ini dengan kemajuan peradaban zaman dan peradaban yang ada. Bhairawa disini juga diartikan bahwa kita umat Hindu dan generasi penerus beliau diharapkan memiliki guna desa yang sering disebut guna dusun. Guna desa ini maksudnya adalah setiap umat agar berperan serta memiliki nilai guna untuk memajukan masyarakat dimana dia tinggal. Jadi siapa pun yang merasa sebagai warih keturunan atau penerus dari pada orang-orang Bali khususnya spirit Kebo Iwa harus memiliki guna desa, atau menjadi pelopor dimana pun mereka berada. Seorang pelopor atau pemimpin dituntut untuk memiliki sifat partikel yang kekal dari para dewa atau dengan perkataan lain wajah inilah sebagai media penghubung untuk mencari guna desa itu, yang terdiri dari:



1. Mata mendelik terbuka lebar laksana Dewa Surya atau Dewa Api melenyapkan kegelapan dan kebodohan, membakar lawan,dan tidak pandang bulu untuk melenyapkan penyelewengan adharma di muka bumi ini.

2. Kuping lebar merupakan sifat partikel Dewa Vayu atau Dewa Angin, artinya seorang pelopor diharapkan mempunyai sifat mau banyak mendengar dan menerima kebenaran itu tanpa memandang dari mana pun sumbernya, tahu kehendak rakyat tanpa diberi tahu. Dalam kontek kekinian kita harus banyak memiliki informasi dan “networking” agar kita bisa bersaing dalam dunia global.

3. Mulut dengan taring menyembul, merupakan sifat partikel Dewa Wisnu, bagaikan sifat air yang disatu sisi bersikap simpatik, pandai menggunakan senyum, selalu berkata yang benar dan bersifat Tut Wuri Handayani. Disamping itu gigi taring yang ada adalah sakti, yang lebih sempit mengartikan,seseorang harus mempunyai skill yang mengkhusus. Inilah yang disebut linggih nganut sasana misalnya kalau ia seorang pemangku ia harus mengikuti sasana pamangku yang baik,kalau ia seorang dokter ia harus mengikuti sasana dokter yang baik, begitu pun seorang sulinggih dan seterusnya. Sakti /sakta itu memiliki pengertian yang lebih mengkhusus yaitu pada spesialisasi kemampuan setiap personil yang dimiliki.

4. Hidung yang besar merupakan sifat partikel Dewa Pertiwi atau Dewa Bumi, seorang pelopor hendaknya berlapang dada, bersikap toleran terhadap pendirian orang lain, dan mempunyai suatu kepekaan terhadap segala aspek yang akan terjadi.


Simbol yang keempat dengan siluet warna (halo) merah, kuning,putih ditengah lingkaran

Simbol ini melambangkan prabawa dari Tuhan yang dipuja yang melambangkan cinta kasih dan kesucian (putih lambang cinta kasih dan kuning lambang kesucian) dan warna merah lambang keberanian. Simbol warna ini melambangkan harapan setiap umat Hindu selalu memiliki rasa cinta kasih kepada sesama untuk meningkatkan kesucian pribadi dengan tidak gentar selalu menggali,memperbaharui dan menyeleksi (Utpatti, Stitti, Pralina) sehingga ajaran-ajaran yang ada selalu relevan terhadap zamannya.



Simbol yang kelima bunga teratai Padma Astadala
Teratai dengan delapan helai daun melambangkan 8 (delapan) arah angin Pulau Bali yang melambangkan kemahakuasaan delapan dewa yang dimulai dari:


1. Dewa Iswara penguasa arah Timur (purwa) warnanya Putih (petak) dengan puranya Lempuyang.

2. Dewa Mahesora penguasa arah Tenggara (geneyan) warna Merah muda (dadu) dengan puranya Goa Lawah.

3. Dewa Brahma penguasa arah Selatan (daksina) warnanya Merah (mirah) dengan puranya Gunung Andakasa.

4. Dewa Ludra penguasa arah Baratdaya (neriti) warnanya Jingga dengan puranya Uluwatu.

5. Dewa Mahadewa penguasa arah Barat (pascima) warnanya Kuning (jenar) dengan puranya Batukaru

6. Dewa Sangkara penguasa arah Barat Laut (wayabya) warnanya Hijau (wilis) dengan puranya Pucak Mangu.

7. Dewa Wisnu penguasa arah Utara (uttara) warnanya Hitam (ireng) dengan puranya Pura Batur.

8. Dewa Sambu penguasa arah Timur Laut (ersanya) warnanya Biru dengan puranya Besakih.


Sekedar catatan untuk posisi Tengah di era itu adalah Pura Pusering Jagat di daerah Pejeng yang sangat dekat dengan pusat pemerintahan Batahanyar pada zaman itu.


Padma Astadala ini melambangkan 8 (delapan) penjuru mata angin yang distanakan di delapan tempat penjuru mata angin Pulau Bali (Padma Bwana Bali) yang difungsikan untuk menjaga Pulau Bali-Agar selalu memberikan kesucian dan vibrasi kerohanian kepada umatnya.


Demikianlah secara singkat simbol-simbol yang diberikan kepada kita umat Hindu di Bali yang ditanamkan ke dalam pangarcan Pangulu yang dipakai sebagai simbol kebersamaan untuk Treh Sri Karang Buncing dan dalam garis besarnya bisa kita lihat dalam purana, babad, dan prasasti yang ditinggalkan oleh para leluhur kita, yang patut kita baca dan kita pelajari untuk kemajuan kita bersama.


Om Shantih, Shantih, Shantih Om

Penatih, 23 Pebruari 2009
Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa
Padukuhan Samiaga,
Br. Semaga, Penatih,
Denpasar Timur














0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More