Rabu, 02 Juni 2021

KEBO IWA DAN SRI KARANG BUNCING II


Sejumlah Tanggapan

Menggambarkan kembali (rekontruksi) realitas kemanusiaan Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, dan mengaitkannya pada dinasti raja-raja yang berkuasa secara kronologis pada periode Bali Kuno (abad ke-9 sampai abad ke-14) oleh I Made Bawa, merupakan keberhasilan untuk menambah khazanah produk karya sejarah (historiografi) di Bali.
Sepatutnya karya I Made Bawa ini diberi acungan jempol, bukan isapan jempol, karena kemampuan dan kreativitasnya. Setiap karya tulis, apalagi karya historiografis yang jarak waktu lampaunya cukup lama dari sang penulis hidup, pasti terkandung kekurangan. Hal ini dapat diatasi jika penulis mau belajar terus untuk memperbaikinya. Selain itu karya historiografis harus terbuka dan dibuka bagi debat dan perdebatan substantif.
Berani masuk ke ranah sejarah yang menghasilkan historiografi harus siap didebat dan berdebat. Sejarah memang ilmu debat yang tak hentihentinya,karena setiap generasi berhak menulis sejarahnya. Namun ketika sejarah ditulis ada pesan kearifan dan perdamaian yang mesti ditangkap.Pesan moral arif dan adil dari sejarah yang ditulis adalah mengenal jati diri itu sendiri, jati diri Bali, jati diri warga Bali, warga negara dan bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika”

A. A. Bagus Wirawan
Guru Besar Sejarah Unud


Lazimnya, kendati tidak selalu, yang mempunyai minat besar untuk mengetahui serta menyusun lelintihan kulawarga adalah tokoh-tokoh yang pada umumnya sudah berumur relatif cukup lanjut, mungkin dapat dikatakan yang telah berumur 60 tahun ke atas. Penulis buku ini, I Made Bawa, boleh dikatakan merupakan “tokoh istimewa yang langka.” Dikatakan demikian, karena ketika hasil karyanya terbit, tokoh tersebut belum genap berumur 50 tahun (lahir tanggal 7 Oktober 1961). Lebih mengagumkan lagi apabila penghitungan waktunya dimulai sejak “tokoh kita ini mendapat inspirasi” untuk menyusun lelintihan kulawarga- nya, yakni pada waktu upacara perubahan status Pura Ibu menjadi Pura Panti di Kuta, sekitar bulan April 1984. Ini berarti, pada tahun 1984 “sang tokoh I Made Bawa”kurang lebih baru berumur 23 tahun, sebuah umur yang sangat muda.
Tentu mudah dibayangkan dan dipahami bahwa sejak tahun 1984 itu “sang pengarang” dengan ketekunan luar biasa, tidak kenal lelah berburu berbagai sumber atau sandaran bagi buku yang ingin disusunnya. Oleh karena itu, kiranya tidak salah jika dikatakan bahwa tokoh yang bernama I Made Bawa ini merupakan tokoh muda yang berwawasan panglingsir dengan pandangan visioner serta dedikasi tinggi. Sudah tentu sangat pantas pula bahwa kulawarga yang memiliki tokoh tersebut merasa sangat beruntung dan bangga.

I Gde Semadi Astra
Guru Besar Arkeologi Unud

Kebo Iwa adalah tokoh yang dapat membuat kagum banyak orang. Dia sangat teguh dan berani berkorban dalam memegang prinsip kebenaran Tokoh ini, bisa fiktif dan bisa kenyataan, tergantung dari sisi mana mau dilihat. Dari pandangan rasional, Kebo Iwa dianggap tokoh fiktif. Akan tetapi dari pandangan emosional dia tokoh nyata yang kehidupannya dibumbui kejadian-kejadian aneh dan gaib. Pertanyaan yang urgen: adakah pengagum Kebo Iwa sanggup dan berkehendak menteladani karakternya? Adakah yang mau dan berani berkorban untuk orang banyak? Tidak ada artinya, tidak ada maknanya, kalau tokoh Kebo Iwa, yang karakternya luhur,hanya dipajang sebagai sebuah kebanggaan, tanpa dijadikan suri tauladan.

I Wayan Redig
Dosen Fakultas Sastra Unud

Pemanfaatan sumber data tertulis seperti yang dilakukan I Made Bawa untuk mengungkap sosok Kebo Iwa bukanlah pekerjaan mudah.Dilihat dari segi kronologi sumber data tertulis yang dikaji menunjukkan berbagai macam periode. Kiranya perlu dipahami, bahwa sumber informasi yang tercantum dalam sumber-sumber tertulis tentang suatu hal tidak semuanya sejalan, bahkan ada kalanya antara satu dengan yang lain bertentangan. Oleh karena itu dituntut kehati-hatian, kejelian, kecermatan,
dan ketidakberpihakan dalam memperlakukan sumber data tersebut.
Kebo Iwa merupakan seorang tokoh yang sudah melegenda dalam masyarakat Bali. Karena ketokohannya, maka tidak mengherankann pada masyarakat Bali terdapat banyak cerita dengan berbagai versi. Beberapa bangunan dan tempat penting di Bali oleh masyarakat bahkan oleh peneliti dikaitkan dengan Kebo Iwa. Sosok Kebo Iwa yang hidup pada pertengahan abad XIV dikatakan membangun Candi Tebing Gunung Kawi dan Goa Gajah yang berdasarkan penelitian berasal dari abad ke XI. Bahkan nekara perunggu yang terdapat di Pura Penataran Sasih Pejeng, dikatakan sebagai subeng /giwang Kebo Iwa, padahal nekara tersebut adalah hasil budaya masa prasejarah sebelum masuknya agama Hindu di Bali. Pahatan atau gambar telapak kaki pada tangga batu di Goa Garbha dan pada beberapa tempat lain dikatakan tapak kaki Kebo Iwa. Pandangan masyarakat semacam itu adalah sah saja, yang mungkin didasari atas kekaguman terhadap sosok Kebo Iwa.
Kehadiran buku karya I Made Bawa diharapkan dapat meluruskan anggapan, pandangan kontroversi semacam itu tentang Kebo Iwa. Terlepas dari berbagai anggapan, pandangan tentang Kebo Iwa, bila mengacu pada beberapa sumber terdapat nilai keteladanan yang relevan diterapkan dewasa ini. Dengan kesaktian dan kehebatan Kebo Iwa sesungguhnya berpeluang besar untuk melakukan perlawanan terhadap pihak Majapahit. Akan tetapi beliau tidak mengambil dan manfaat peluang itu. Dengan berpegang pada sifat welas asih, satyawacana menunjukkan kebesaran jiwanya sebagai
seorang ksatria Bali.

Suarbhawa
Peneliti Balai Arkeologi Bali, NTB, NTT

“Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing dalam Dinasti Raja-raja Bali Kuno”merupakan buku sejarah yang mempunyai nilai pendidikan, budaya,terhadap generasi muda penerus bangsa, sosok Kebo Iwa Patih yang saktidan gagah berani sebagai panutan memperjuangkan masyarakat Bali,mengorbankan Jiwa Raganya demi Kesatuan dan Persatuan Nusantara.Ketauladanan patih yang gagah berani ini sebagai contoh kepadapenerus bangsa atas pengorbanannya mendahului kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.

Kolonel Inf. Drs. Rahman Rianto, M.Si.

Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing yang keturunannya tersebar di seluruh Nusantara, dan seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),semoga dapat membaca buku Kebo Iwa edisi kedua plus revisinya sebagai inspirator untuk menjadi Kebo Iwa masa kini, yang menjaga kehormatan diri dan leluhurnya dengan menjadi ksatria yang senantiasa memiliki integritas tinggi, tangguh dan rendah hati.

Denny Abram Karundeng
Dewan Guru Institut Karate-Do Indonesia, INKAI DAN VII

Kendati tokoh Kebo Iwa sangat dikenal di Bali, hingga kini belum ada buku yang mengulas tuntas sosok pahlawan Bali Kuno itu. Buku-buku tentang Kebo Iwa selama ini sebatas buku-buku cerita rakyat sehingga tokoh ini pun kerap dianggap sebagai tokoh dongeng semata. Kekosongan

literatur itulah yang diisi buku karya I Made Bawa ini. Bahkan, buku ini tak hanya mengisi kekosongan, sekaligus juga mencoba mengungkap jelas sosok Kebo Iwa sebagai tokoh historis dengan menunjukkan bukti-bukti tertulis maupun arkeologis.

I Made Sujaya
Penulis, Pengasuh rubrik “Tamiang Bali”
DenPost Minggu dan majalah online www.balisaja.com

Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang,dan manusia mati meninggalkan nama. Namun sesungguhnya, lewat nama yang ditinggalnya mati itulah manusia hidup “hidup” abadi, karena generasi-generasi sesudahnya akan selalu membangkitkannya kembali dari kematian. Begitulah tokoh Kebo Iwa seakan hidup abadi di bumi ini, karena namanya selalu hidup di sanubari generasi-generasi sesudahnya.Bahkan kini, saat jiwa Kebo Iwa berkenan menghidupkan kembali dirinya di masa kini, dia akan mengalirkan spiritnya lewat goresan tangan Jiwa penerusnya, hingga berwujud sebagai sebuah buku inspiratif seperti ini. Sejarah masa lalu Bali, terutama saat beliau Patih Kebo Iwa memainkan peran kehidupannya, seakan tampil kembali dalam kehidupan nyata.Buku ini sangat layak dibaca oleh semua generasi penerus Bali yang mengaku dirinya sebagai generasi Bali sejati. Sebab, ketokohan Kebo Iwa adalah simbol kesejatian pribadi yang layak diteladani bagi siapa saja mengakui dirinya sebagai krama Bali. Selamat kepada pembaca, karena seorang penulis telah diberkahi untuk menghadirkan hadiah luarbiasa kehadapan Anda saat ini. Kebo Iwa, simbol keteguhan pribadi Bali.

Wayan Mustika
Dokter dan Penulis Buku

Buku ini adalah sebuah sumbangan berharga bagi masyarakat Bali yang ingin belajar tentang ketokohan Kebo Iwa di masa silam. Bawa pun rupanya tidak berani menyatakan, bahwa apa yang dipaparkan ini adalah sebuah kebenaran. “Naskah ini tidaklah sempurna sebab penulis tidak menyaksikan peristiwa sejarah masa lampau,” tulis Bawa dalam pengantarnya. Lebih lanjut ia mengatakan, “Tergantung para penulis hendak menguraikan kisah kehidupannya dari sisi yang mana, apakah kisah kehidupannya (Kebo Iwa) hendak didongengkan, disucikan, dibudayakan atau dipolitisir, tentunya membawa dampak bagi generasi tentang sejarah Bali, di masa mendatang.

Wayan Suparta
Pengamat buku, sastra dan budaya Bali

Menghormati Ibu, Bapak, dan para Leluhur serta melaksanakan upacara pitra yadnya termasuk upaya menelusuri jejak-jejak leluhur, seperti dipaparkan oleh saudara I Made Bawa dalam bukunya Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, dalam Dinasti Raja-raja Bali Kuno, merupakan wujud bhakti dalam memuliakan leluhur sebagaimana diajarkan dalam Veda.Secara pribadi maupun sebagai orang yang dipercaya memimpin Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada penulis dan berharap spirit Kebo Iwa yang berjuang tanpa pamrih untuk Bali dan Nusantara menjadi inspirasi bagi generasi penerus. Astungkara.

Jero Gede Mangku Suwena
Putus Upadesa MUDP Bali

Kebo Iwa
Bagaikan lilin di dalam kegelapan,
Memberikan sinar untuk kehidupan,
Walaupun badan habis terbakar,
Tapi rela demi kepentingan yang lebih besar.
Semoga menjadi inspirasi kita semua.

Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati
Penerima Kebo Iwa Award 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More