I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG DAN MASALAH
LATAR BELAKANG
Wilayah Desa Adat Jimbaran terdapat beberapa buah pura umum yang merupakan sungsungan umat Hindu jagat Jimbaran seperti; Pura Dalem Sarin Bwana, Pura Batu Maguwung, Pura Muaya, Pura Gaing Mas, Pura Ulun Swi dan beberapa pura lainnya.Pura Dalem Sarin Bwana terletak di Desa Adat Jimbaran, Kuta selatan, Kabupaten Badung, sekitar empat kilometer arah selatan dari perempatan pasar atau depan Pura Ulun Swi, menuju dusun kali, pinggir pantai, depan Pura Muaya, melewati dusun sekhang, dusun batu maguwung, jembatan batu mabing, belok kiri dibawah pohon asem, dan beberapa pepohonan lain sekitarnya.
Pura berdiri di atas perbukitan batu kapur, diketinggian sekitar 80 meter di atas permukaan laut. Secara administratif Pura Dalem Sarin Bwana berada di dusun Lalang Jajang, berbatasan sebelah timur dusun Simpangan, sebelah selatan dusun Gubug, barat berbatasan dusun Pande, sebelah utara Batu Mabing.
Tinggalan arkeologi yang terdapat di pura ini berupa Arca perwujudan dewi berbahan batu tufa breksi (lahar kering) yang jumlahnya puluhan, satu miniatur tri lingga (Brahmabhaga, Wisnubhaga, Siwabhaga), dua patahan batu besar bila keduanya disambung menyerupai bentuk badan manusia berdiri tegak, bertangan empat, ulu (kepala) belum di ketahui, apakah perwujudan kepala manusia menyeramkan atau yang lain. Masyarakat sekitar mengatakan bahwa Arca ini digambarkan sebagai dewa siwa bhairawa dan beberapa pragmen kecil lainnya. Di belakang punggung Arca terdapat stela (parba) yang semuanya sudah aus. Tinggalan arkeologi ini sangat penting karena ditemukan hanya satu-satunya untuk wilayah Kecamatan Kuta Selatan, yang selama ini miskin dengan temuan-temuan Arca dari masa klasik dan diduga kuat memiliki makna bagi perkembangan budaya Hindu di Desa Adat Jimbaran dan Bali pada umumnya.
Arca-arca peninggalan Sri Batu Putih (Dalem Putih Jimbaran) kakak kandung Sri Batu Ireng (Sri Astasura Ratna Bumi Banten) ini sangat disucikan, di mana sebelumya terserak di tanah sekitar pura. Para pendahulu menemukan Arca tersebut dalam kurun waktu berbeda dan dikumpulkan di satu pondasi terbuka tanpa atap, sehingga sangat 2 Purana Pura Dalem Sarin Bwana riskan dari terjangan patahan pepohonan, hujan, terik matahari dan tangan iseng.Karena tempat tinggal pangempon jauh dari pura sehingga rumput dan tumbuhan menjalar hidup dengan bebas di atasnya.
Tetua pangamong pura tidak berani melakukan tindakan ekskavasi lalu dibuatkan gedong linggih agar Arca terhindar dari hujan dan terik matahari. Mereka takut terjadi kejadian yang tidak diingini setelah melakukan penggalian. Disamping alasan lain,bahwa arca-arca tersebut mentik bertumbuh sendirinya dari dalam tanah. Jika arca itu dicabut asumsi mereka kekuatan gaib dari arca itu akan sirna. Pernah tentara Jepang membawa pulang salah satu Arca ke tangsi (barak tentara), tempat tinggal mereka letaknya tidak jauh dari pura. Setelah berhasil mengambil Arca tersebut pada sore hari ia kesurupan. Oleh warga desa sekitar diminta untuk mengembalikan arca tersebut ke tempat semula, di samping kisah mistis lain yang ada hubungannya dengan pura baik secara pribadi tidak disebutkan di sini.
Ekskavasi dilakukan untuk mengetahui bilamana ada sisa tinggalan lain yang masih tertimbun dibawahnya yang ada keterkaitan dengan Arca tersebut. Di samping untuk mengetahui keadaan sosial masyarakatnya, agama yang berkembang pada masa itu dan beberapa aspek lain yang tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan, apakah pada zaman dahulu Arca ini sebagai pusat pemujaan,siapakah yang di-dewa-kan atau Arca-arca ini hanya sebagai ragam hiasan belaka oleh pemiliknya? Jika ya, dimanakah bangunan utamanya, paling tidak ada bekas tinggalan pondasi atau ornament lain penyertanya. Atau ada kabut mistis dibalik arca-arca ini sehingga warga riskan melanggar pantangan di atas.
Mendengar berbagai kisah di luar batas pikiran itu, tentu bertambah pula keyakinan tetua warga untuk tidak menggusur sedikit pun arca-arca tersebut, walaupun pembangunan fisik palinggih yang lain sudah dilakukan. Pemugaran fisik pura pernah dilakukan beberapa periode, sedangkan Arca kuno masih terserak di tanah,hanya yang diperbaiki tembok pembatas mengelilingi arca-arca tersebut. Padahal keberadaan peninggalan Arca ini lebih awal dari pada bangunan lain yang semestinya tempat suci Arca kuno ini lebih awal dibangun.
Apabila umat hendak menghaturkan upakara karena letak Arca di bawah, sejajar dengan mata kaki, maka sikap badan mesti membungkuk seakan-akan ida bhatara berada di bawah level manusia. Dalam hal ini tentu tidak elok batas kaki manusia,upakara dan Arca sejajar, sangat nista dipandang oleh mata. Coba tengok sekarang ini sebelum dibangun palinggih Arca (baru dibangun) yaitu bale banten dengan pralingga (arca) ida bhatara Dalem Putih, jimbaran dua kali lipat lebih tinggi dari arca. Analog ini bisa dikatakan didalam perjamuan tamu agung yang sedang disuguhi makanan, di mana letak suguhan jauh dari jangkauan tangan sang tamu. Sehingga sang tamu tidak melihat suguhan apa yang dipersembahkan di atas kepala mereka, Pada umumnya posisi pralingga ida bhatara lebih tinggi dari bale banten sehingga sang tamu melihat dengan jelas suguhan apa yang di haturkan dan mana yang dikehendaki.
Setelah pemugaran terakhir fisik pura rampung, pada tanggal 21 Juli 2005 diadakan upacara mamungkah tawur gentuh agung, melaspas, padudusan agung dan ngenteg linggih dihadiri oleh para Pemangku Kahyangan Desa Jimbaran dan undangan lainnya. Setiap pujawali di Pura Dalem Sarin Bwana selalu terjadi tradisi kerauhan atau kemasukan roh alam lain melalui para sadeg dan pepatih, sebagai media komunikasi antara manusia, alam dan kekuatan tertinggi yang bersemayam di Pura Dalem Sarin Bwana. Baik mengatasnamakan roh dewa, roh resi, roh manusia, roh pitra dan bhuta. Didalam acara yang disebut pedatengan yang biasa dilakukan pada malam hari, adalah prosesi penutup dalam acara piodalan dan kerauhan pun muncul,akhirnya terjadi dialog antara pemangku dengan para sadeg yang mewakili kelompok dewa dan pepatih mewakili kelompok bhuta.
Pada kesempatan yang baik itu, Jero Mangku Gede Pura Dalem Sarin Bwana INyoman Bagia menanyakan tentang parahyangan yang telah dibangun, apakah diterima atau belum, juga tidak ketinggalan menanyakan tentang Arca-arca yang ada, apakah boleh dibangun palinggih baru agar Arca terhindar dari hujan dan terik matahari. “Nah…To ya, Ida Bhatara nak tan dados nunas, napi ja katur, Arca nika pinaka pratiwimba Ida Bhatara sane malinggih iriki” sahut sang sadeg dalam bahasa Bali lumrah.
Bertitik tolak dari bahasa kerauhan para tetua pada malam mamungkah itu, sehingga pangemong dan pangempon pura berancang-ancang membangun palinggih baru untuk Arca, disamping ada ide dari warga agar merancang purana Pura Dalem Sarin Bwana sesuai himbauan pemerintah di dalam dharmawacana, agar setiap pura memiliki purana atau dokumen pura yang berisi asal usul keberadaan pura, dewa yang berstana pada masing palinggih, upakara yang dipersembahkan dan catatan lain yang berkaitan dengan pura sebagai pedoman bagi pangemong dan pangempon Pura Dalem Sarin Bwana.
Menyongsong hari pujawali pada tanggal 4 Mei 2015 kelian pengamong pura telah mengajukan surat permohonan ke Balai Arkeologi (Balar) Denpasar dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gianyar, Wilayah Kerja Bali, NTB, NTT untuk meneliti, inventarisasi, konservasi dan petunjuk lainnya terhadap tinggalan Arca kuno yang ada di Pura Dalem Sarin Bwana.
MASALAH
Tidak ditemukannya data primer berupa prasasti yang menjadi pedoman langsung pangamong pura untuk menjelaskan keberadaan Arca-arca yang ada di Pura Dalem Sarin Bwana. Hanya peninggalan berupa Arca yang jumlahnya puluhan tanpa angkatahun yang pasti tertera di dalamnya. Data skunder berupa salinan lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Pedanda Gede Jelantik Sugata dari Griya Tegeh Budakeling, Karangasem yang dialih aksara oleh Drs. I Wayan Gede Bargawa menyebutkan tentang keberadaan Pura Dalem Sarin Bwana bekas pertapaan Sri Batu Putih yang belakangan disebut Dalem Putih Jimbaran.adalah kakak kandung dari Sri Batu Ireng setelah dinobatkan menjadi raja disebut Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Ireng, Sri Gajah Waktra, Dalem Bedaulu, Sri Tapo Hulung). Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diungkap di sini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana eksistensi Arca kuno di Pura Dalem Sarin Bwana?
2. Apakah fungsi Arca kuno yang ada di Pura Dalem Sarin Bwana bagi warga Hindu di Desa Adat Jimbaran?
3. Apakah makna teologi yang terkandung pada Arca itu bagi warga Desa Adat Jimbaran dan sekitarnya?
TUJUAN DAN MANFAAT
TUJUAN UMUM
Adapun tujuan umum penulisan purana ini adalah sebagai berikut:
• Untuk memberikan sumbangan pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam perpustakaan sehingga akan dapat membantu para pangempon pura dan masyarakat sekitarnya.
• Memberikan gambaran atas berbagai aspek yang dilatarbelakangi bahwa setiap artefak merupakan hasil aktivitas kegiatan manusia.
TUJUAN KHUSUS
Adapun tujuan khusus penulisan purana ini adalah sebagai berikut:
• Mengetahui eksistensi Arca-arca kuno di Pura Dalem Sarin Bwana.
• Mengetahui fungsi Arca-arca kuno bagi warga Hindu di Desa Jimbaran.
• Untuk mengetahui makna teologi yang terkandung pada Arca di Pura Dalem Sarin Bwana.
MANFAAT PENULISAN PURANA
Manfaat penulisan ini dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis dan praktis.Secara teoritis hasil penulisan ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan pustaka perseorangan dalam mengenang jejak-jejak kehidupan Sri Batu Putih (Dalem Putih Jimbaran) dan perkembangan pembangunan Pura Dalem Sarin Bwana. Disamping diharapkan bermanfaat memperluas khazanah ilmu pengetahuan tentang cagar budaya menyangkut bentuk-bentuk cagar budaya yang merepresentasikan kearifan lokal, jenis-jenis kearifan lokal yang tercermin dalam cagar budaya. Selain itu berusaha untuk mengungkap berbagai aspek seperti aspek relegi, aspek ruang, waktu dan fungsi dari Arca tersebut.
Sedangkan manfaat praktis peninggalan Arca-arca di Pura Dalem Sarin Bwana adalah untuk mengetahui bentuk Arca/ palinggih dan nama dewa yang distanakan pada masing-masing palinggih dan keterkaitan dengan masyarakat Desa Jimbaran akan dapat diuraikan sejarah berdirinya dan perkembangan Pura Dalem Sarin Bwana.Disamping manfaat dari penulisan ini dapat dijadikan sumber informasi untuk lebih mengenal, memahami, dan menghayati eksistensi Arca yang telah masuk Cagar Budaya wilayah Kabupaten Badung dalam buku Cagar Budaya Bali (Tim, 2011 : 27).
PUSTAKA, KONSEP, TEORI
KAJIAN PUSTAKA
Kajian Pustaka merupakan penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil pikiran peneliti mengenai suatu masalah atau topik kajian yang memuat beberapa gagasan yang berkaitan, yang harus didukung oleh data yang diperoleh dari sumber pustaka.
Beberapa referensi yang dapat dijadikan pegangan untuk memperkuat penulisan awal purana ini adalah berupa salinan prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali Kuno yang telah di alih aksara oleh para akhli sastra atau pemerintah yang berwenang,maupun oleh perseorangan. Beberapa rujukan salinan purana yang distanakan dan disucikan pada pura-pura kahyangan jagat di Bali. Beberapa salinan babad yang digubah oleh perseorangan untuk mengenang kisah yang disampaikan secara lisan lalu ditulis dan dijadikan pedoman warga. Di samping referensi didapat dari piagem adalah suatu catatan resmi yang dibuat oleh para pendahulu yang dijadikan pegangan oleh kelompok warga (klen). Maupun laporan penelitian dari para sejarawan tentang perkembangan budaya dan agama Hindu di Bali. Adapun pustaka primer yang menjadi rujukan dari Pura Dalem Sarin Bwana untuk dijadikan sebagai pedoman oleh pangemong dan pengenpon pura sama sekali nihil, hanya tinggalan artefak berupa arca batu perwujudan dewi-dewi, lingga, dan beberapa pragmen kecil-kecil yang ditinggalkan oleh Dalem Putih Jimbaran. Jadi yang dipakai rujukan dalam penulisan purana ini adalah sebagai berikut:
• Lontar Piagem Dukuh Gamongan halaman 14a dijelaskan…tan pasamadana sira Sri Batu Ireng, neher jumujug maring Mal, ri sampun sira nureksakna punang Mal, angob sira tumon punang tatanduran, asing tinandur sarwa mupu, mwang masari, ika matangnyan, ri genah nira Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, ingaranan Sarining Bwana, apan sakeng irika pangastitinira meletik ikang Sarin Bwana, mangkana ujar ira Sri Batu Ireng ..
• Prasasti Dalem Putih Jimbaran dijelaskan, tucapa mangke sira Dalem Putih Jimbaran, garjita sira ring pakubon kunang stri nira meteng wus liwar ring wolu lakwaning prataya mijil pwa ikang rare jalu paripurna ingaranan sira Dalem Petak Jingga mwah wuwus ta sira Dalem Petak Jingga, apan sira kaping singgih dening wang Jimbaran sira angwangun paryangan setanan bhatara meru tumpang welas ingaranan ta ya Ulun Swi, hana pwa sentanan nira anglurah Tegeh Kori samawita ring Dalem Petak Jingga sira ta amangkui malinggih Bhatara ring Ulun Swi mwah ta Dalem Petak Jingga angwangun ta sira Kahyangan Pangulun Setra, hana ta Santana nira I Gusti Anglurah Celuk ring Tabanan sira ta sumawita ring Dalem Petak Jingga sira ta kinon nira mangku ring palungguh nira ring bhatara ring kahyangan pangulun setra, mwah ta sira Dalem Petak Jingga angwangun sentana Bhatara Meru Tumpang 3 saha paibon ingaranan pwa ya Pura Dukuh,hana ta ya Pasek Saking Samba kasiasih aninggali pradesa nia angungsi desa Jimbaran sumawita maring Dalem Petak Jingga sira ta kinon nira Mangku I palinggihan nira bhtara ring Pura Dukuh . .
• Purana Pura Luhur Pucak Kembar disalin dan diterjemahkan oleh I Ketut Sudarsana tentang jejak-jejak perjalanan Dalem Putih dan Dalem Ireng menjadi nama Desa yang ada di Bali seperti; Batuhyang, Batuaji,Batubulan, Uluwatu, Batu Bolong, Batu Belig, Batu Tulung, Batubidak dan beberapa nama desa yang berisi kata Batu yang diberikan oleh masyarakat untuk mengenang jejak perjalanan Sri Batu Putih dan Sri Batu Ireng.
• Dalam Buku Kebo Iwa oleh Bawa (2013 : 254) berisi Silsilah Leluhur Sri Batu Putih (Dalem Putih) berasal dari keturunan Raja-raja Bali kuno dengan orang tua bernama Sri Masula-Masuli menjadi raja tahun 1324M,di atasnya Sri Taruna Jaya (Sri Jayasunu) menjadi raja tahun 1316M, di atasnya Sri Dewa Lancana menjadi raja Bali tahun 1204, di atasnya Sri Maha Sidhimantradewa menjadi pertapa di Gamongan, Lempuyang Karangasem,di atasnya Sri Jaya Sakti (Sri Gnijaya Sakti) menjadi raja Bali tahun 1133M di atasnya Sri Aji Hungsu menjadi raja Bali tahun 1049M, di atasnya Sri Udayana menjadi raja tahun 989M dan seterusnya.
• Bawa dalam Skripsi IHDN Denpasar 2009 berjudul Filosofis Pementasan Tari Barong dan Rangda di Pura Dalem Sarin Bwana, Desa Adat Jimbaran,Kuta Selatan, Badung (2009 : 78) apabila pelawatan Dewa Ayu Barong dan Rangda di Desa Adat Jimbaran matangi maka setiap pujawali di Pura Dalem Sarin Bwana dewa ayu akan masolah alit di halaman tengah (jaba tengah) pura. Fenomena kerauhan selalu terjadi oleh puluhan orang baik laki maupun prempuan, tua muda, tidak pandang bulu apakah berbadan kekar, kurus, bertatto, orang terpelajar maupun tidak, tradisi kerauhan tetap terjadi, tidak bisa mengelak dari kekuatan Roh alam sekitar. Orang-orang yang kerauhan di depan arca-arca ini selalu menyebut diri ngayah waduk brerong (Barong) dengan kata lain isi dunia yang menyeramkan.
• Bawa dalam Tesis IHDN Denpasar 2014 berjudul Simbol Arca Pangulu di Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh, Gianyar (2014 : 4) adalah bekas pertapaan Sri Jaya Katong dikala menjadi Rajapatih (Raja Muda) Kerajaan Batahanar disebut Kebo Parud (C1206/1284M) dan setelah hidup suci disebut Sri Jaya Katong dan Sri Jaya Katong adalah kakek kandung Sri Kebo Iwa yang diilustrasikan penganut Siwa Bhairawa.dengan ciri-ciri roman muka menyeramkan, mata terbuka lebar, gigi taring menyembul dari mulut, tengkorak manusia tergantung di telinga, kepercayaannya mempergunakan magik, mistis dan selalu berbentuk menakutkan. Dalam Purana Pura Pucak Padang Dawa tersebutlah Kebo Iwa yang disebut juga Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat penganut Budha Bhairawa dengan mengubah wujudnya menjadi barong dari asal kata Bhairawa.
• Dalam buku Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu oleh Titib (2001 : 72) disebutkan, simbol-simbol pada umumnya berfungsi sebagai sarana untuk memuja kebesaran atau keagungan-Nya. Simbol-simbol tersebut dapat juga berfungsi untuk memantapkan sradha (keimanan) dan bhakti (ketaqwaan) umat kepada-Nya. Bentuk arca, pratima atau simbolsimbol ketuhanan dalam agama Hindu, tidak terlepas dengan konsepsi penggambaran Tuhan Yang Maha Esa menurut kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya, Para Maha Rsi Hindu zaman dahulu bersifat konsisten melakoni kehidupan wanaprasta, yaitu menjalani kehidupan dengan melepaskan keterikatan pemuasan jasmani dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan. Sehingga hasil perenungan para resi zaman dahulu, diwujud-nyatakan ke dalam bentuk seni dan di aplikasikan sifat dan fungsi Tuhan dalam bentuk; arca, gambar, pratima, upakara, bahasa, tari wali.Yang mempunyai nilai estetis, nilai simbolis, dan nilai spiritual. Seperti apa yang telah diwariskan oleh para leluhur terdahulu, misalnya; sifat dan fungsi Tuhan sebagai pembasmi kejahatan tampak tangan arca disimbolkan membawa kapak, fungsi Tuhan sebagai asal ilmu pengetahuan tampak tangan arca disimbolkan membawa lontar, sifat Tuhan sebagai penyejuk tampak tangan arca membawa sibuh (tempat tirta), serta diwujudkan dan digambarkan dengan banyak tangan sesuai fungsi dan kebesaran-Nya.Demikian pula simbol-simbol yang terdapat dalam upakara bebantenan misalnya; daksina lambang stana Ida Hyang Widhi/Tuhan. Sedangkan banten guru piduka adalah mengandung nilai permohonan maaf umatnya.Banten porosan yang terdiri dari pinang yang berwarna merah simbol Dewa Brahma, daun sirih yang berwarna hijau simbol Dewa Wisnu, dan kapur yang berwarna putih simbol Dewa Siwa.
KONSEP
Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu dipahami di dalam suatu penulisan. Landasan konsep adalah teori baku yang digunakan sebagai landasan dasar di dalam menjawab semua permasalahan yang diajukan. Sehubungan dengan uraian tersebut diatas, landasan konsep yang dimaksud dalam penulisan ini sebenarnya adalah pustaka untuk memecahkan masalah penulisan. Penulis mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-veriabel yang menjadi topik penulisan ini, sehingga diperoleh pemahaman yang konprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-turut yaitu tentang: (1) Purana (2) Pura (3) Dalem (4) Sarin Bwana.
PURANA
Di Bali terdapat 6 (enam) data skunder yang menjadi acuan dalam penulisan sejarah pura atau tempat yaitu prasasti, purana, piagem prakempa, babad dan kajian akademik, masing-masing mempunyai nilai tersendiri. 1) Prasasti adalah aturan resmi pemerintahan yang dikeluarkan oleh raja pada zamannya sendiri dan tertulis strukturisasi pemerintahanya, nama tetua desa, isi prasasti tentang pajak, perluasan desa, batas-batas desa, perabasan hutan menjadi tempat tinggal atau menjadi tempat suci. Teks prasasti jarang menjelaskan tentang asal usul keturunan para raja itu.Prasasti umumnya ditulis di atas tembaga, batu, perunggu, tahan ribuan tahun sangat disucikan dan distanakan di pura. 2) Purana, isinya menceritakan kejadian yang telah lewat tentang kisah para raja serta keturunannya dan dikaitkan dengan mitos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya. Umumnya dalam purana kelihatan nama keluarga dan nama abhiseka setelah menjadi raja yang diberikan oleh kerajaan. Begitu pun nama raja akan ditinggal setelah hidup suci. Purana ditulis di atas daun lontar menjadi pedoman untuk kelanjutan dari pangemong dan pangempon pura itu. Dalam purana tercatat nama leluhur warga yang merintis keberadaan sejarah pura. Purana pun disimpan di pura. 3) Piagem adalah pegangan dari kelompok warga (klen) yang isinya menceritakan kisah leluhur mereka terdahulu dan berkaitan dengan keberadaan purana dan prasasti dari pura tertentu. 4) Prakempa, adalah pegangan dari klompok warga (klen) yang isinya menceritakan sekelumit jejak leluhur mereka yang hanya ada di desa setempat. 5) Babad adalah cerita yang didengar, dari mulut ke mulut, bisa bersumber dari nak kerauhan (trance) atau hasil perenungan seseorang lalu ditulis dan dikait-kaitkan dengan nama tertentu, tanpa sumber sejarah yang jelas, menjadi milik pribadi. Babad ditulis belakangan menceritakan kisah ratusan bahkan ribuan tahun berlalu yang biasanya mengandung arti kiasan dibalik penulisan. 6) Hasil deskripsi seseorang dalam persyaratan memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.Ironisnya jika para akademisi memakai acuan babad dalam penulisan suatu karya ilmiah lalu dijadikan pedoman oleh umat kebanyakan maka hasilnya bertentangan dengan apa yang tercantum dalam prasasti dan purana.
Walaupun mempunyai data awal berupa piagem, prakempa, babad sebagai pedoman kelompok warga tetapi tidak tercantum kisah leluhurnya dalam purana dan prasasti yang ada di pura, maka isi naskah itu diragukan kebenarannya alias mengambang. Begitupun sebaliknya bila prasasti tembaga dan prasasti batu yang dikeluarkan olehraja pada zamannya, dan menjadi pedoman pura tetapi tidak tertulis namanya dalam purana dan piagem maka teks itu perlu dianalisis keberadaannya. Dan yang terakhir bila mempunyai purana sebagai data awal keberadaan sejarah pura dan mengisahkan nama-nama raja dan turunannya, tetapi tidak muncul namanya dalam prasasti yang dikeluarkan sebagaimana raja-raja yang lain, serta tidak tercantum nama leluhur warga dalam purana, mengakibatkan kebingungan dalam menguraikan tinggalan naskah itu. Dengan demikian naskah satu dengan naskah yang lain mesti sinkron antara teks prasasti dan purana milik pura tertentu dengan piagem, prakempa, babad pedoman suatu kelompok warga. Bila tidak terdapat saling keterkaitan dan berdiri sendiri atau saling tumpang tindih isi naskah satu dengan naskah lain maka dapat menimbulkan pembelokan sejarah, disamping menjadi acuan munculnya palinggih atau pura baru.
Menurut Matsya Purana bab 53 ayat 65 setiap Purana unsur sargah, pratisarga,wamsa, wamsanucarita, manvantara, adalah sangat jelas. Sargah adalah penciptaan,dalam konteks ini bukan hanya penciptaan dunia ini, namun juga cikal bakal berdirinya pura tersebut. Pratisarga akan menuntun kita pada kelanjutan pura ini setelah ada, sebagai kahyangan apa. Setelah itu diikuti Wamsa dari garis keturunan siapa dan pendeta siapa yang menjadi pemrakarsa. Kemudian Wamsanucarita, kelak pura ini dipuja oleh keturunan siapa atau garis keturunan yang mana. Yang terakhir adalah Manvantara atau periode waktu, siapa yang di puja serta upakara dan hari piodalan pura tersebut.
PURA
Istilah Pura muncul belakangan setelah kekuasaan Dalem Waturenggong dari Kerajaan Gelgel, di mana sebelumnya tempat suci pada awal sejarah Bali disebut satra, padmak, katyagan, panglumbyagan, sala, sma, vihara, kaklungan, salunglung yang kemungkinan satra menjadi Setra atau tempat suci kuburan, padmak menjadi Padma, katyagan menjadi Kahyangan, Sma artinya Semadi, Karangasem asal kata Karang Sma (tempat semadi), Salunglung menjadi sanggah selumbung, vihara tempat suci umat Budha, sala patung kecil yang menjadi objek sesembahan.
Beberapa Prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Bali kuno tertulis supata atau dipasupati dihadapan Hyang Danawa (Dewa Danau), Hyang Gunung (Dewa Gunung), Hyang Api (Dewa Api), Hyang Tegeh (Pura Penulisan) dan Hyang-hyang lainnya. Ini artinya awal sejarah Bali belum muncul bentuk palinggih dan nama pura, begitu pun nama dewa yang berstana seperti sekarang ini. Di Bali di mana kaki dipijak di sana ada dewa, bila penduduk yang berada di pinggir danau misalnya, umat Hindu akan membuat asagan (bale upakara sementara) di pinggir danau dan seluruh sembah, puja 10 Purana Pura Dalem Sarin Bwana puji dan haturan langsung ditujukan ke Air Danau, karena danau itu adalah linggih atau wujud Hyang Danawa (Dewa Danau), jadi tidak perlu dibuatkan tempat suci lagi. Begitu pun yang tinggal di pinggir laut akan memuja langsung ke air laut sebagai perwujudan Hyang Segara (Dewa Laut) dan yang tinggal di gunung membuat bale upakara ke arah gunung sebagai stana Hyang Gunung (Dewa Gunung), begitu pun yang tinggal di Desa ada Pura Desa yang dipuja Hyang Kemulan Desa di tegalan, sawah dan lainnya. Setelah masuknya para Arya Majapahit dibangun bentuk tempat suci dan nama dewa sebagai lambang penyatuan Bali dan Majapahit yaitu adanya palinggih Gunung Agung, Gunung Lebah, Uluwatu dan lainnya adalah konsep teologi Bali dan palinggih maospahit, palinggih menjang sluwang, parerepan, palinggih prasanak dan sebagainya yang di analogikan seperti kehidupan manusia.
DALEM
Begitu pun istilah Dalem muncul belakangan setelah kekuasaan Raja Dalem Waturenggong, dalam hal ini kata Dalem artinya Raja atau keluarga raja, misalnya,Dalem Sagening, Dalem Bedaulu, Dalem Selem, Dalem Putih, Dalem Ketut Ngulesir,Dalem Klungkung dan sebagainya. Juga Dalem artinya Ida Bhatara misalnya Dalem Kahyangan, Dalem Puseh, Dalem Desa dan sebagainya. terakhir kata Dalem artinya tak terjangkau (achintya) artinya Hyang Widhi/ Tuhan sesuai alih aksara dan terjemahan lontar Gong Besi, oleh Dinas kebudayaan Propinsi Bali, mengatakan secara ringkas persembahan bakti yang utama, tidak lain kehadapan Bhatara Dalem.Beliulah yang seharusnya dipuja, namun harus engkau ketahui nama lain Bhatara Dalem, Ketika beliau berstana di Pura Puseh, Sanghyang Tri Yodadasa Sakti nama beliau, pergi dari puseh berstana di Pura Desa, Sanghyang Tri Upasedhana nama beliau, pergi beliau dari desa dan berstana di Bale Agung, Sanghyang Bhagawati nama beliau, pergi dari bale agung, berstana di perepatan jalan, Sanghyang Catur Bhuwana nama beliau, pergi beliau dari perepatan jalan, berstana beliau di pertigaan jalan, menjadilah beliau Sanghyang Sapuh Jagat, pergi beliau dari pertigaan, berstana beliau dikuburan, menjadilah beliau Bhatara Durga, dan seterusnya.
SARIN BWANA
Nama Sarin Bwana diberikan oleh Sri Batu Ireng (Dalem Ireng) di tempat beliau Sri Batu Putih ngastiti Hyang Pramawisesa, bernama Sarining Bwana, karena dari tempat beliau memohon muncul Sarin Bwana (isi dunia), begitu ujar beliau Sri Batu Ireng (Lontar Piagem Dukuh Gamongan).
TEORI
Karya penulisan akan lebih sempurna apabila disertai landasan teori. Landasan teori merupakan pijakan atau dasar teori yang dipakai didalam membedah masalah penelitian dan sekaligus sebagai tuntunan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga akan didapat suatu rumusan hipotesis atau pernyataan yang dikaji. Soekanto (2003 : 27) berpendapat bahwa teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh karena itu, dalam bentuk yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih, yang telah diuji kebenaranya. Jika teori diartikan sebagai hubungan kausal,logis dan sistematais antara dua atau lebih konsep, maka teori tiada lain merupakan penjelasan suatu gejala-gejala konsep atau variabel. Dari uraian tentang teori tersebut diatas, sudah jelas bahwa teori sangat berguna untuk membantu memecahkan segala permasalahan dalam penelitian ini. Adapun teori yang dipakai dalam penelitian ini diantaranya.
TEORI SIMBOL
Teori simbol merupakan suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran dan pemahaman terhadap objek. Simbol acapkali memiliki makna yang mendalam yaitu suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Kata simbol berasal dari bahasa Greek, sum-balloo yang mengandung arti saya bersatu bersamanya,penyatuan bersama, (Titib, 2001: 63). Simbol adalah penyatuan dua hal menjadi satu. Teori simbol ini dipergunakan untuk membahas simbol-simbol untuk memaknai dalam penulisan laporan penelitian ini. Menurut Eliade (Pals, 2001 : 84) bahwa simbol berakar pada perinsip-perinsip kesurupan, atau analogi. Hal-hal tertentu memiliki kwalitas, bentuk, karakter yang serupa dengan sesuatu yang lain. Dalam bidang pengalaman agama, beberapa hal dilihat serupa atau mengesankan yang sakral hal-hal itu memberi petunjuk pada supra natural.
TEORI MAKNA
Makna adalah suatu teori yang paling bernilai dalam kehidupan bermasyarakat. Ff Mudji Sutrisno (tt : 50) memaparkan tentang makna yaitu sebuah kata atau maksud yang terkandung dalam suatu hal. Dalam kehidupan sehari-hari dalam aktifitas kehidupan manusia terkandung sebuah makna begitu juga dalam pelaksanaan aktivitas keagamaan yang diwujudkan dalam pelaksanaan yadnya memakai sarana upacara dan setiap upacara tersebut memilki makna masing-masing sesuai dengan fungsinya. Teori ini untuk menganalisis naskah-naskah Bali Kuno yang ditinggalkan oleh pemerintahan masa lalu.
I Made Bawa
0 komentar:
Posting Komentar