PERANAN PANDITA BALI AGA
DALAM KEAGAMAAN HINDU DI KOTA DENPASAR
Konsep peranan dalam penelitian ini adalah seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa peranan pandita adalah tindakan yang harus dilakukan oleh pandita sesuai dengan norma-norma sosial dan harapan-harapan umat Hindu dalam kehidupan keagamaan di Bali. Norma sosial dalam hal ini dapat dipahami sebagai aturan-aturan moral dan kewajiban (swadharma) yang harus dipegang dan dilaksanakan oleh seorang pendeta, khususnya yang bersumber dari sastra-sastra agama Hindu. Sementara itu, harapan-harapan umat Hindu kepada sulinggih sebagaimana terwarisi dalam tradisi meliputi ngeloka palasraya dan pembinaan keagamaan Hindu.
Pendeta atau Sulinggih pada dasarnya adalah orang yang telah melaksanakan upacara diksa. Su artinya utama atau mulia dan linggih berarti kedudukan. Jadi, sulinggih berarti mendapat kedudukan yang mulia di masyarakat. Sulinggih sering pula di sebut dengan sadhaka yang artinya orang yang melakukan sadhana atau disiplin spiritual. Sadhaka berasal dari urat kata sansekerta ‘sadh’ yang berarti memuja, ‘sadh’ juga berarti berbuat untuk mencapai kesempurnaan. Sadhaka berarti orang yang tekun bergerak mencapai kesempurnaan rohani. Di India, para pendeta biasa diberi gelar Pandita, Sadhaka atau Sadhu. Dalam tradisi Hindu di Bali, sulinggih tergolong sebagai rohaniawan tingkat dwijati. Dwijati merupakan proses kelahiran untuk yang kedua kalinya dengan melaksanakan diksa. Diksa merupakan salah satu dari enam keyakinan yang menyangga dunia, sesuai dengan ajaran dalam Atharwa Weda (XII,1.1) dijelaskan sebagai berikut.
Satyam brhad rtam ugram diksa,
Tapo brahma yajña prthiwim dharayanti
Terjemahan :
Sesungguhnya satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajña yang menyangga dunia.
Diksa mempunyai peranan penting dalam proses kehidupan manusia yang akhirnya membedakan fungsinya dalam masyarakat, secara lebih jelas mengenai diksa dijelaskan dalam Yajur Weda (XIX.30) sebagai berikut.
Wratena diksam apnoti
Diksà yapnoti daksinam,
Daksinam sraddham apnoti
Sradhà ya satyam ayate
Terjemahan :
Dengan melakukan brata seseorang memperoleh diksa
Dengan melakukan diksa, seseorang memperoleh daksina,
Dengan daksina seseorang memperoleh sraddha, dan
Dengan sraddha seseorang memperoleh Satya.
Dari isi sloka Yajur Weda tersebut menjelaskan bahwa dengan melakukan brata maka seorang akan memperoleh diksa atau inisiasi dari gurunya, dan setelah mendapatkan diksa ia berhak memperoleh daksina dengan memimpin upacara-upacara keagamaan yang di Bali sering disebut dengan ngeloka palasraya. Menurut Pudja (1984:64) bahwa diksa merupakan cara untuk melewati dari satu fase kehidupan menuju fase kehidupan berikutnya, dari fase yang belum sempurna ke dalam dunia yang lebih sempurna. Dengan diksa itulah seseorang akan dapat lebih mendekatkan dirinya pada Tuhan.
Diksa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti suatu upacara penerimaan menjadi murid dalam hal kerohanian. Dari sini pula muncul kata diksita yang artinya diterima sebagai murid dalam hal kesucian. Dalam proses perkembangannya, kata diksa berarti ‘askara’, yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkat dwijati. Dwijati artinya lahir untuk yang kedua kalinya, lahir yang pertama dari kandungan ibu dan yang kedua kalinya dari Dang Guru Suci yang disebut nabe dengan nuhun pada atau matapak (Sudharta , 2000:6). Dalam kitab Manawa Dharmasastra (I:148) dijelaskan bahwa diksa ataupun upacara untuk kelahiran yang kedua kalinya inilah yang merupakan kelahiran yang sejati dari manusia. Sloka tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
Acaryastwasya yam jatim
Widhiwadwedaparagah,
Utpadayati sawitirya
Sa satya sajaramara
Terjemahan:
Tetapi kelahiran yang diberikan oleh seorang guru yang mengajarkan seluruh Weda sesuai denan peraturan dan mendapatkannya melalui Sawitri, adalah kelahiran yang sebenarnya terbebas dari umur tua dan kematian.
Melalui proses diksa inilah nantinya terlahir pemimpin-pemimpin spiritual atau sulinggih yang nantinya menjadi pengayom umat dalam melaksanakan dharma agama dan dharma negara. Mereka bertugas untuk mahaywangrat dan ngayasaang jagat ini berarti seorang wiku patut berbuat sesuatu untuk mencapai kesentosaan dan kesejahteraan hidup bersama di masyarakat (jagadhita), dengan memberikan tuntunan rohani, pembinaan moral dan prilaku serta ikut mencerdaskan kehidupan masyarakat. Namun demikian para sulinggih inipun mempunyai kualifikasi yang berbeda-beda, menurut Widnyana (2000:6) di klasifikasikan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
(1) Wiku acarya adalah wiku yang benar-benar dapat melaksanakan fungsinya sebagai wiku karena memiliki kemampuan yang sesuai dengan swadharma kawikon, yaitu wiku pradnyan, wiku wibhuh. Wiku ini utama di masyarakat, karena selain ngaloka palasraya, juga membimbing umat dalam keagamaan dan kerohanian.
(2) Wiku loka Palasraya adalah wiku ini hanya mempunyai kemampuan untuk muput upacara saja sehingga kurang kesempatan untuk melaksanakan dharma kawikon lainnya.
(3) Wiku ngaraga adalah wiku yang hanya menyucikan diri saja, yang sifatnya individual, tanpa melaksanakan fungsi ngaloka palasraya atau yang lainnya.
Dalam rangka mengadakan sulinggih-sulinggih yang berkualifikasi tinggi maka proses yang dilakoni seseorang untuk menjadi seorang sulinggih sangatlah panjang, baik persiapan fisik, mental, dan spiritual sebelum diadakan proses upacara padiksaan. Dalam teks-teks lontar dijelaskan proses tersebut merupakan perjalanan yang panjang dan ketat di antara calon orang yang di dwijati (diksita) dengan calon gurunya (nabe). Seorang calon diksita atau sisya harus berhati-hati mencari guru karena dapat mengakibatkan hal yang fatal dalam proses hidupnya, seperti yang tersirat dalam teks Siwasasana (4b), yaitu “Aywa sira maguru ring adhama sà dhaka durjana, basama kelu tibeng yama laya” (‘janganlah berguru pada sadaka yang dungu dan hina, karena akan terseret jatuh ke alam Yama loka’). Demikian pula sebaliknya, seorang nabe akan sangat berhati-hati dalam memilih calon muridnya, seperti yang tersirat dalam Siwasasana (8a), yaitu “ikang wwang masnà gawayen pudhgala, pilihen rumuhun aywa bhangbhang sisya” (‘orang yang hendak mediksa supaya dipilih terlebih dahulu, jangan asal sisya’).
Setelah seorang diksita melalui proses pendidikan nabe-sisya dan kemudian mereka diikat oleh empat aturan kesulinggihan yang disebut catur bhandana dharma, yaitu amari aran (mengganti gelar walaka dengan gelar abhiseka), amari wesa (mengganti cara berpakaian yang tidak lagi seperti walaka, misalnya maprucut), amari sasana (mengikuti aturan atau sasana kawikon), dan umulahaken kegurusususran, yaitu melaksanakan dengan ketat, taat, dan patuh serta berdisiplin sesuai ajaran Nabenya. Dalam keempat ikatan dharma inilah sang pendeta melaksanakan swadharma dan sasana kependetaan. Dalam Bhagawad Gita IV. 19 dinyatakan bahwa orang yang diberi gelar Pandita adalah orang yang tidak terikat oleh angan-angan akan hasilnya. Keyakinannya dikuatkan oleh Jnana Agni atau nyala api ilmu pengetahuan suci. Sejalan dengan Sloka Bhagawad Gita tersebut adalah Sarasamuscaya Sloka 500 yang menyatakan bahwa kalau ada orang yang sadar akan hakikat dirinya beliau disebut majnyana (berilmu pengetahuan suci). Beliau tidak dilekati rasa suka dan duka. Beliau itulah yang patut diberikan gelar Pandita. Jadi, orang yang bergelar Pandita adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan suci. Mampu mengamalkan pengetahuan suci dalam kehidupan individual dan sosial.
Orang yang demikian dalam Manawa Dharmasastra XII. 109 disebut Sista Brahmana. Brahmana yang benar-benar ahli Weda. Istilah Sista juga disebutkan dalam Sarasamuscaya yang sering digunakan untuk menyebutkan para Pandita. Seperti disebutkan dalam kitab Sarasamuccaya, 40, berikut ini.
Sista ngaran sang hyang satyavaadii,
sang aapta, sang patirthan, sang panadahan upadesa
Terjemahan :
Sista adalah orang yang selalu berbicara berdasarkan kebenaran (satya), sang aapta (orang yang selalu dapat dipercaya), sang patirthan yaitu orang yang jadi tempat penyucian diri dan orang selalu menyebarkan pendidikan kerokhanian (panadahan upadesa).
Sista dalam bahasa Sansekerta yakni orang yang ahli Weda atau orang yang suci karena Weda. Pandita itu juga disebut Stotriya. Artinya, orang yang memiliki wewenang mengucapkan mantra-mantra Weda. Di Bali, Pandita memiliki kedudukan yang sangat utama dan mulia. Dalam kutipan Sarasamuscaya 40 di atas, wujud Dharma ada tiga, yaitu Weda Sruti, Weda Smrti dan Sang Sista atau Pandita. Sarasamuscaya 40 juga menyatakan, swadharma Sang Sista atau Pandita itu empat yaitu: Satyawaadii, Sang Apta, Sang Patirthan dan Sang Panadahan Upadesa. Keempat hal inilah yang dapat dijadikan rujukan untuk melihat peranan Pandita Baliaga dalam keagamaan Hindu, khususnya di Kota Denpasar. Hal ini dimaksudkan bahwa peranan seorang Pandita sebagai Adi Guru Loka harus tetap berada di rel dharma sesuai dengan sasana yang dianut.
5.1 Peranan Pandita Sebagai Sang Satyawadi
Satyawaadi artinya swadharma Pandita untuk selalu berbicara yang berdasarkan kebenaran Weda. Satya adalah kebenaran Weda yang tertinggi. Satya dalam Slokantara, Sloka 2 dinyatakan lebih utama dari seratus kali melakukan upacara yadnya. Sang Satyawadi juga berarti bahwa seorang Pandita senantiasa mewartakan kebenaran dengan cara yang baik dan benar. Satya artinya kebenaran yang tertinggi dan juga berarti jujur, sedangkan wadi artinya mengatakan. Berkenaan dengan hal tersebut Kakawin Nitisastra IV.2 menyatakan sebagai berikut.
“Tan hana sudharma manglewihane kasatyan usiren tekap parajana. Tanhana kawah manghlewehinerikan mresa tilarkenekang alenok. Hyang Anala Surya Chandra Yama Bayu satya sira sakyaning bhuwana. Mara ninamaskara hyang isanekang bhuwana matya satya wacana”.
Terjemahan :
Tiada kesanggupan yang lebih baik daripada cinta kepada kebenaran; wajiblah orang berusaha menepati kebenaran itu. Tidak ada kawah yang lebih mengerikan daripada kawah tempat menghukum seorang pembohong; maka dari itu janganlah berdusta. Dewa Agni, Surya, Chandra, Yama, dan Bayu menjadi saksi tiga jagat ini. Jika ingin tetap terpuji oleh seluruh dunia berkatalah yang benar, biarpun sampai mendatangkan ajal.
Pandita sebagai sang pewarta kebenaran (Satyawadi) merupakan peran yang signifikan dalam kehidupan umat Hindu, terutama di zaman modern dan global seperti ini. Zaman modern ditandai dengan semakin kaburnya batas antarbangsa, antaretnis, juga relativisme moral yang semakin akut. Pada zaman ini, semangat religiusitas harus berhadapan dengan berbagai paham baru yang dibawa oleh modernisasi seperti hedonisme, pragmatisme, dan sekularisme. Atas perubahan yang terjadi ini maka peranan Pandita dalam mewartakan kebenaran atau inti-inti ajaran agama semakin diperlukan dalam pembinaan umat Hindu, khususnya di Kota Denpasar yang pengaruh modernisasi dan globalisasinya begitu kuat.
Untuk menjadi sang pewarta kebenaran (satyawadi), seorang Pandita diharapkan dapat memahami hakikat kebenaran (satya) itu sendiri. Satya merupakan prinsip tertinggi dalam agama Hindu sebagaimana dijelaskan dalam kitab Atharva Veda, I.1, sebagai berikut “Satyam brhadrtam ugram diksa tapo brahma yajnah prthivim dharayanti” (‘sesungguhnya satya, rtam, diksa, tapa, brahma, dan yajna merupakan penyangga dari bumi ini’).
Ida Pandita Dukuh Sebagai Pewarta Kebenaran dalam acara Dharma wacana
dan Praktek Kepemangkuan.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa ada enam dharma utama yang menyangga dunia, yaitu satya (kebenaran), rtam (hukum universal), diksa (penyucian), tapa (pengendalian diri/disiplin rohani), brahma (doa), dan yajna (persembahan). Ini merupakan enam hakikat kebenaran yang mesti dipahami oleh seorang Pandita, baik dalam menjalani kehidupan rohani secara individu maupun dalam memberikan pencerahan kepada umat Hindu.
5.1.1 Satya
Satya adalah dharma yang tertinggi seperti dijelaskan dalam kitab Sarasamuccaya, sloka 130 “dharanam satyam uttamam” (satya adalah dharma yang utama). Dalam Rg Veda VIII.62.12 dijelaskan bahwa Satya disamakan dengan ketuhanan dengan mengatakan bahwa satya adalah sifat dari Tuhan (Pudja, 1984:10). Satya dalam maknanya sebagai kebenaran maupun sifat Tuhan sendiri dalam konteks Saiwa Sidhanta di Bali adalah Bhattara Siwa. Itulah sebabnya, seorang Pandita yang telah melalui proses diksa disebut “Ngalinggihang Siwa ring Sarira” atau “Meraga Siwa sekala”. Peranan Pandita sebagai Sang Meraga Siwa Sekala dijelaskan dalam Agastya Parwa (Sura, 2002:117) bahwa bagi yang sudah meraga Siwa memiliki kewajiban untuk mewartakan kebenaran “…tinut sang guru maweh tattwa I sang sisya” (‘…diteruskan kemudian, mengikuti jejak guru untuk mewartakan ajaran tattwa/kebenaran kepada para murid/sisya).
Ida Dukuh Samiaga saat Ngloka Pala Sraya ( Menjalankan Dharmaning Kawikon )
Berkaitan dengan peranan tersebut, baik Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma maupun Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa adalah Pandita yang telah melalui proses diksa sehingga keduanya berperan untuk meneruskan ajaran dari sang Guru Nabe, baik dalam memberikan pencerahan kepada umat maupun dalam hal ngeloka palasraya. Untuk melaksanakan peranannya ini, kedua Pandita Bali Aga tersebut juga tetap berpegangan kepada kitab-kitab dan sasana Siwa seperti Catur Veda, Catur Veda Sirah, Upanisad, Bhagavadgita, Bhuwana Kosa, Bhuwana Mabah, Wrespati Tattwa, Tattwa Jnana, Jnana Sidhanta, Sanghyang Mahajnana, Tutur Gong Besi, Siwa Sasana, Wratti Sasana, Sarasamuccaya, Silakrama, dan sebagainya. Bahkan, Ida Pandita menyatakan tidak berani menyampaikan ajaran yang lempas (bertentangan) dengan kitab-kitab tersebut. Ini menandakan bahwa dalam melaksanakan peranannya sebagai Sang Satyawadi, Pandita Bali Aga tetap menggunakan rujukan sastra suci Hindu yang otentik.
5.1.2 Rtam
Rtam atau rta berarti hukum alam dan hukum Tuhan yang murni, absolut, dan transenden. Rta merupakan tertib semesta yang mengatur kehidupan jagat raya ini. Alam semesta yang tetap berjalan sesuai dengan rta adalah penyangga dunia yang akan memberikan kesejahteraan (pamahayu bhuwana). Oleh karena itu sudah menjadi tugas seorang Pandita untuk menjaga tertibnya rta ini, baik melaui puja, mantra, dan upacara, maupun dengan cara memberikan pencerahan kepada umat Hindu agar tetap menjaga alam semesta agar tetap lestari.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa mantra Veda sebagai doa untuk mendapatkan keseimbangan semesta yang berujung pada kesejahteraan manusia, sebagai berikut.
“Wahai Marut, mohon datanglah pada setiap upacara untuk memberikan kesejahteraan dunia” (Rg Weda, I.168.1).
“Menyebarkan pengetahuan yajna dan melakukannya adalah untuk menyeimbangkan dunia, menghidupkan air, dan memberikan berbagai nafas bagi organisme” (Yajur Weda I.21).
“Agni Yang Maha Perkasa, dewa manusia dan tamu mereka, yang memimpin pikiran mereka, sehabat, pendeta yang setia, menghantar korban kami yang suci, Jata Weda, selalu diikuti manusia dengan doa untuk kesejahteraan mereka” (Rg Weda III.3.8).
“Apa yang dapat kami katakan tentang kesaktian Rudra? Juga tentang Bhaga yang menguasai harta benda? Semoga tetumbuhan, air, dan langit memelihara kami, juga hutan, gunung, serta pepohonan ibarat rambutnya” (Rg Weda V.40.11).
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa menyatakan bahwa menjaga tertib semesta merupakan kewajiban umat manusia demi kesejahteraan hidupnya. Lebih lanjut Ida Pandita menjelaskan bahwa untuk menjaga kerahayuan jagat dalam tradisi dan agama Hindu di Bali dikenal dengan istilah Pamahayu Bhuwana yang salah satunya dilaksanakan melalui berbagai ritual. Dari sekian ritual yang ada, Hindu mengajarkan mengenai Sad Kertih, yaitu manusa kertih (untuk keselamatan dan kemuliaan manusia yang masih hidup), atma kertih (untuk kemuliaan dan kebahagiaan atma atau arwah orang yang sudah meninggal), samudra kertih (untuk kelestarian samudra), danu kertih (untuk kelestarian danau), wana kertih (untuk kelestarian hutan), dan jagat kertih (untuk kelestarian bumi). Ini merupakan sumber-sumber kebahagiaan hidup manusia yang dalam praktik keagamaan umat Hindu dilaksanakan melalui upacara yajna. Dalam Lontar Kuntara Kanda Dewa Purana Bangsul 20.a, dijelaskan bahwa upacara yajna bertujuan untuk “maka sadharsanang sad krtti loka” (artinya: sarana untuk mengamalkan ajaran sad kertih). Ini menegaskan bahwa Pandita Bali Aga memiliki peranan dalam menjaga tertib semesta demi kebahagiaan seluruh umat manusia.
5.1.3 Diksa
Seorang sulinggih adalah dwijati yang kesuciannya diperoleh melalui proses diksa. Diksa berarti penyucian. Upacara diksa adalah upacara penyucian bagi seseorang yang akan menjadi pendeta sehingga mereka yang telah melalui upacara ini disebut “Sang Wiku Huwus Kertha Diksita”. Dalam tradisi Hindu di Bali, diksa dilakukan melalui proses aguron-guron, yakni berguru kepada Guru Nabe, Guru Saksi, dan Guru Waktra. Kemudian, dalam lontar Siwa Sasana dijelaskan bahwa dalam proses aguron-guron diperlukan kejelian dari seorang calon diksita untuk memilih seorang guru, sebagai berikut.
“….ndan Iwir nira sang sadhaka dhang acaryya sang yogya pinaka pagurwan, mwang tan yukti pinaka guru, ya ta cinaritan kramanira rumuhun, nihan lwir nira: sajjanah, wrddha wehaso, sastrajnah, wedaparagah, dharmajjah, sila sampanah, jitendriyah, drdha bratah…”.
Terjemahan :
Adapun sang sadhaka, dang acarya yang patut dijadikan guru, dan yang tidak baik dijadikan guru, itulah yang akan dijelaskan terlebih dahulu yaitu Sajjanah (manusia sejati), Wredaha wehasa (senior dalam umur), Sastrajnah (pandai tentang sastra), Wedaparagah (ahli Weda), Dharmajnah (pandai tentang dharma), Sila sampanah (berbudi baik), Jitendriyah (menguasai hawa nafsu), dan Drda bratah (taat melaksanakan brata).
Ida Dukuh Tek-Tek Saat Muput Tawur kesanga Di Puputan Badung.
Ada beberapa persyaratan Pandita yang layak dijadikan guru dalam lontar tersebut, yaitu Sajjanah (manusia sejati), Wredaha wehasa (senior dalam umur), Sastrajnah (pandai tentang sastra), Wedaparagah (ahli Weda), Dharmajnah (pandai tentang dharma), Sila sampanah (berbudi baik), Jitendriyah (menguasai hawa nafsu), dan Drda bratah (taat melaksanakan brata). Proses ini juga sudah dilaksanakan, baik oleh Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma maupun Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa.
Selain diksa sebagai proses penyucian untuk menjadi seorang sulinggih, kata diksa juga bekaitan dengan penyucian dalam makna yang lebih luas. Berhubungan dengan hal tersebut, sebagaimana dinyatakan dalam Yajur Veda XIX.36 sebagai berikut:
“Vratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksinam, daksinam sraddham apnoti, sraddhaya satyam apyate”
Terjemahan:
Dengan melaksanakan brata (disiplin diri) seorang mendapatkan diksa (penyucian diri), dengan diksa seseorang memperoleh daksina (penghormatan), dengan daksina seseorang memperoleh sraddha (keyakinan yang teguh), dan melalui sraddha seseorang mencapai satya (kebenaran) (Titib, 2001:43).
Dari sloka tersebut dapat dipahami bahwa ada empat tahapan penyucian diri yang harus dilaksanakan oleh seorang Pandita dalam mewujudkan satya, yaitu brata, diksa, daksina, dan sraddha. Brata atau disiplin diri yang menurut Silakrama (Punyatmaja, 1976:27) dapat dirinci menjadi Panca Yama, yaitu Ahimsa (tidak membunuh/menyakiti), Brahmacari (tidak berhubungan badan), Satya (selalu berkata jujur dan benar), Awyawaharika (hidup sederhana), dan Astenya (tidak mencuri) dan Nyama Brata, yaitu Akrodha (tidak marah), Guru Sususra (mempelajari ajaran-ajaran suci dari guru), Sauca (suci lahir batin), Aharalagawa (tidak berfoya-foya), dan Apramada (tidak mabuk-mabukan). Panca Yama dan Nyama Brata merupakan pengendalian hidup jasmani maupun rohani yang wajib dilaksanakan oleh seorang Pandita. Menurut Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa bahwa brata-brata ini merupakan landasan ideal hidup susila yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan sasana kapanditan.( wawancara 10 Desember 2010 )
Di samping melaksanakan Panca Yama dan Nyama Brata sebagai landasan etis penyucian jasmani dan rohani, seorang Pandita juga wajib menumbuhkembangkan kesucian diri atau asuci laksana. Mengenai asuci laksana atau penyucian diri ini, Manawadharmasasastra V.109, menyatakan:
“Abdhigatrani suddhayanti, manah satyena suddhyanti, vidyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena suddhyati”
Terjemahan:
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar (Pudja, 1995:311).
Sementara itu, dalam Wrhaspati Tattwa, 61 dijelaskan Sauca ngaranya nitya majapa maradina sarira yang artinya sauca namanya senantiasa berdoa atau melakukan japa dan membersihkan tubuh. Hal ini kemudian juga dijelaskan dalam kitab Panca Siksa 3-4, sebagai berikut “ Sauca sucyalaksana ta kita agelem adyus mayasa, abhasma, we waseh, sivambha, mantra : Om Sa, Ba, Ta, A, I” (‘Sauca hendaknya anda melakukan pembersihan, senantiasa mandi, berhias, memakai bhasma, dan air pembasuh Sivambha dengan mengucapkan doa: Om Sa, Ba, Ta, A, I (Titib, 2000:23). Masih terkait dengan penyucian ini dijelaskan dalam Slokantara 41, terdapat kata suddha yang maknanya sama dengan diksa atau sauca yang dijelaskan dengan kalimat sebagai berikut “Suddha ngaranya enjing-enjing madhyus, asuddha sarira masurya sewana, mamuja, majapa, mahoma” (‘Bersihlah namanya jika setiap pagi hari mandi, membersihkan diri, sembahyang kepada Hyang Surya (Surya Sewana), melakukan pemujaan, berjapa, dan melaksanakan homa atau agnihotra’) (Oka, 1994:89).
Peranan ini juga dilaksanakan oleh Pandita Bali Aga, seperti disampaikan oleh Ida Jro Dukuh Udhalaka Dharma (wawancara 10 Desember 2010) bahwa Jro Dukuh melaksanakan proses penyucian asuci laksana dan surya sewana ini setiap pagi, yakni sebelum matahari terbit (Bali: endag surya atau brahma muhurta). Lain daripada itu, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa menyampaikan bahwa proses Surya Sewana dilaksanakan secara rutin dengan puja seperti aturan biasanya. Namun demikian setelah selesai Surya Sewana, Ida Pandita melanjutkan dengan ber-japam mahamantra “Om Namah Siwaya” sebanyak 108 kali dengan sarana genitri. Sementara itu, menyalakan api homa diwujudkan dalam bentuk lain yaitu menyalakan dipam atau jyotir yang menjadi bagian dari Siwopakarana. Di samping itu, tidak jarang juga bahwa setelah melaksanakan Surya Sewana sudah ada sisya yang memohon panglukatan atau pawintenan sehingga Ida Pandita langsung melaksanakan tugas tersebut.
Ida dukuh saat melakukan Penglukatan.
Tahapan berikutnya adalah mewujudkan dan menerima daksina. Dalam Kamus Bahasa Sansekerta, Daksina berarti mampu, cakap, tangkas, kanan, bagian selatan (Astra, 1986:187). Secara maknawi kata itu dapat berarti kemuliaan, penghormatan, upah, atau semacam simbol penghormatan sebagai sthana Sang Hyang Widhi Wasa dalam upacara yang juga mempunyai fungsi sebagai Yajna Patni, yaitu sebagai sakti atau kekuatan suatu upacara, sebagai terungkap dalam sastra Parimbon Banten. Makna yang terkandung dalam mewujudkan dan menerima Daksina adalah seorang Pandita sebagai brahmana wajib mengembangkan kemampuan Jnanagni sebagai sarana untuk membakar sifat-sifat buruk (sad ripu dan sad atatayi) yang dimiliki manusia. Dalam masyarakat, Daksina seringkali dimaknai sebagai sesari yang diberikan kepada Pandita setelah selesai melaksanakan loka palasraya. Hal ini juga dijelaskan dalam Agastya Parwa bahwa memberikan Daksina adalah bagian dari Rsi Yajna, sebagai berikut “Rsi yajna ngaranya kapujan sang Pandita mwang sang wruh ri kalingan dadi wwang” (‘Rsi Yajna adalah penghormatan kepada para Pandita dan orang yang mengetahui hakikat kelahiran menjadi manusia’). Dalam praktiknya, Rsi Yajna ini diwujudkan dengan mempersembahkan Santun Gede (penghormatan utama) atau Banten Daksina Gede setelah muput Yajna atau ngerayunin.
Pandita Bali Aga juga telah melaksanakan tahap menerima dan mewujudkan daksina. Daksina ini diperoleh dari umat setelah Ida Pandita melaksanakan loka palasraya. Adapun jumlah daksina yang diberikan adalah sesuai pemberian umat menurut keikhlasannya. Ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari brata dan sasana seorang Pandita yang tidak lagi berhubungan dengan keduniawaian, apalagi mendapatkan upah dari pekerjaan. Intinya, seorang Pandita kehidupannya telah diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan rohani, sedangkan kepentingan duniawinya ditentukan oleh persembahan yang diberikan oleh para sisya yang disebut daksina. Ini juga menjadi bagian dari sikap hidup sederhana (Awyawaharika) dan tidak berfoya-foya (Aharalagawa) sehingga dengan daksina yang diperoleh kehidupan duniawai Pandita dipenuhi.
Tahap kesucian berikutnya untuk mencapai Satya dalam peranannya sebagai Sang Satyawadi adalah menumbuhkembangkan sraddha atau keyakinan umat terhadap ajaran agamanya. Bagi seorang Pandita menumbuhkan dan mememperkuat sraddha umat merupakan tugas utama karena Sraddha adalah jalan menuju Satya/Tuhan (Sraddham Satye Prajapatih). Kata Sraddha mengandung makna yang sangat luas, yaitu keyakinan atau keimanan. Dengan mengutip Practical Sanskrit-English Dictionary karya V.S Apte, Titib (1996:166) mengartikan kata Sraddha sebagai berikut: (1) kepercayaan, ketaatan, keyakinan; (2) kepercayaan kepada sabda Tuhan Yang Maha Esa, keimanan agama; (3) ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran; (4) akrab, intim, kekeluargaan; (5) kuat penuh semangat; (6) kandungan ibu yang berumur lama. Dari beberapa pengertian di atas, konsep sraddha lebih dekat dengan pengertian pertama dan kedua, yaitu keyakinan atau kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Jadi, sudah menjadi peranan seorang sulinggih adalah membina umat Hindu agar tetap teguh dalam sraddha dan bhakti-nya.
Menyimak arti dari konsep sradha di atas ternyata memiliki pengaruh yang begitu penting dalam kehidupan manusia. Tanpa sradha manusia tidak akan bisa mendekatkan diri dengan Tuhan. Pandita yang memiliki fungsi sebagai mediator atau pemandu umat untuk mendekat dengan Tuhan, wajib menumbuh kembangkan Sradha dalam dirinya sebelum ia meyakinkan orang lain. Sradha yang tumbuh subur dalam diri akan mengantarkan seseorang mewujudkan hidup bahagia. Banyaknya terjadi masalah dewasa ini, hal itu semua disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan konsep-konsep sradha, akibatnya hidup menjadi gelisah,tidak percaya diri, tidak memiliki tujuan pasti.
Dalam Veda dikatakan bahwa jika seseorang hanya hafal mantra dan artinya, namun tidak mempunyai sradha, maka bagi orang tersebut, mantra itu tidak akan berfaedah atau berguna. Akan tetapi jika semua mantra yang diucapkan dilandasi oleh sradha sebagai landasannya maka niscaya orang tersebut akan berhasil berhubungan dengan Tuhan. Demikian pula halnya dalam berbagai tataran kehidupan seperti: hubungan suami istri yang hidup tanpa dilandasi sradha, maka rasa curiga senantiasa tumbuh subur, suami tidak akan percaya kepada istri begitu juga sebaliknya.Guru tidak percaya pada murid. Presiden tidak percaya kepada menteri-menterinya, dan lain sebagainya. Ini menandakan hubungan duniawi tidak harmonis pertanda kehancuran segera akan tiba. Untuk itu, Veda dengan tegas menyarankan agar setiap orang menghadirkan sradha agar dapat hidup bahagia dan hubungan duniawi dan rohani dapat berjalan dengan baik.
Dalam fungsinya sebagai Wiku Pala Sraya, yakni sebagai pemuput upacara Yajna dengan doa sebagai instrumennya maka sradha yang mantap sangat dibutuhkan bagi para Pandita. Sebab tanpa sradha yang mantap semua kegiatan itu akan sia-sia. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Sarasamusccaya 211, yang berbunyi sebagai berikut :
“Upalaksasa tika, ring ahuti,weweh,tapa,salwiring ulah dharma,yan tan padulur sraddhaning manah, kanista ngaranika, tan phala ring ihatra paratra “
Terjemahan :
Syarat pada kurban kebhaktian , sedekah, pelaksanaan tapa, segala macam perbuatan mengenai dharma, jika tidak disertai keikhlasan hati berdasarkan keyakinan yang mantap, maka perbuatan itu disebut hina tingkatannya,tidak berpahala,baik di dunia maupun di akhirat (Kajeng, 1999:162).
Senada dengan pernyataan sloka di atas, pustaka suci Bhagavad Gita, XVII menyatakan pula sebagai berikut :
“ Asraddhaya hutam dattam,tapas taptam kritam cha yat asad ity uchyate partha,na cha tat pretya no iha “
Terjemahan :
Apapun yang dipersembahkan, disedekahkan, dan disiplin apapun yang dilaksanakan, tanpa kepercayaan disebut ‘Asat‘ Oh Partha, ini tidak ada artinya, di sini maupun di dunia sana (Pendit,1994:418).
Sesungguhnya keyakinan yang ada pada diri tiap-tiap orang yang dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari dengan perbuatan dan pola-pola sikap hidupnya sesuatu yang bersifat subyektif dan abstraktif. Dan keyakinan yang dimaksud itu, adalah suatu kekuatan yang dapat memberikan kepastian, rasa aman, serta mendorong manusia mengarah ke hal-hal yang lebih baik dalam menapaki perjalanan hidupnya di dunia ini, menuju kebenaran yang dicita-citakan. Walaupun atas nama spiritual, betapapun subyektifnya dan abstraktifnya keyakinan hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, maka keyakinan itu masih diragukan. Maka dari itu, peran Pandita Dukuh dalam melaksanakan disiplin/tapa secara teratur, menjalankan brata atau sesananya akan memberikan penguatan keyakinannya itu.
Menyangkut keyakinan ini pustaka Suci Bhagavad Gita XVII.2, membagi karakter keimanan tersebut berdasarkan kadar kandungan Triguna yang ada pada diri manusia. Keyakinan ini dapat dibagi menjadi tiga macam berdasarkan kandungan Trigunanya, yaitu Pandita Sattvika, Rajasika, dan Manasika. Hal tersebut dipertegas oleh sloka 3 dalam bab itu yang menyatakan bahwa “ Keyakinan tiap-tiap individu tergantung pada sifat wataknya: manusia terbentuk oleh keyakinannya, apa keyakinannya begitu pulalah dia “. Oleh sebab itu, secara ideal hendaknya seorang Pandita mampu mengembangkan guna sattwamnya secara maksimal untuk mengendalikan atau mengatasi guna rajas dan tamasnya. Terkait dengan hal tersebut, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa membenarkan bahwa tugas seorang Pandita adalah menjaga agar kualitas guna sattwam yang ada dalam dirinya selalu meningkat. Hal ini salah satunya dilakukan dengan mengembangkan sifat-sifat baik dalam diri, pengendalian diri, disiplin, dan contoh yang paling nyata dari ini semua adalah dengan menjaga jenis makanan yang dikonsumsi.
Uraian di atas menegaskan bahwa seorang Pandita atau Sulinggih menurut sastra-sastra suci Hindu mempunyai peran yang cukup penting dan mulia. Peranan utama yang diharapkan oleh sastra-sastra suci Hindu terutama berkaitan dengan individu atau pribadi Pandita itu sendiri yang memiliki kemampuan rohani dan kesucian. Selain itu juga, peranannya dalam memberikan pelayanan kepada umat beragama. Untuk dapat melaksanakan ini semua maka seorang Pandita memiliki kewajiban untuk menjaga sasana kapanditaan-nya.
5.1.4 Tapa
Tapa berarti pengendalian diri yang pelaksanaannya seringkali dibarengi dengan brata, yaitu janji diri untuk tidak mengumbar nafsu indria. Oleh karena itu kedua istilah ini sering dikemas dalam satu konsep, yakni tapa brata. Dalam lontar Siwa Sasana dijelaskan bahwa seorang Pandita hendaknya tidak pernah meninggalkan tapa brata, sesuai dengan sasananya, sebagai berikut.
“yatika kapwa kumayatnakna mrihakmitana sanghyang agama siwa sasana, maka don karaksaning kabhujangganira, mwang kawinayanira, pagehaning karmmanira, sela nira, mwang kasudharmanira, nguniweh teguhaning tapa brata nira, ritan hananing wimarga hamanasara sakeng sanghyang kabhujanggan, nahan hetu sanghyang agama siwa sasana winakta de sang purwwacaryya wrddha pinandita”.
Terjemahan:
Mereka semua hendaknya dengan seksama mengusahakan mempertahankan hukum-hukum Siwa Sasana dengan tujuan menegakan kependetaannya, tertib hidupnya, kelangsungan usaha-usahanya, perilakunya yang baik, dan dharmanya yang mulia, lebih-lebih pula tetap berlangsungnya tapa bratanya agar jangan menyimpang dan menyasar dari hukum kependetaan. Itulah sebabnya hukum Siwasasana diajarkan oleh sang pendeta guru agung pada jaman dahulu.
Berkaitan dengan Tapa Brata tersebut, dalam ajaran Hindu khususnya dalam Silakrama dan Sarasamuccaya dikenal beberapa konsep pengendalian diri seperti, Panca Yama dan Nyama Braya dan Dasa Yama dan Nyama Brata. Namun demikian, masih banyak lagi konsep-konsep pengendalian diri yang menjadi kewajiban bagi seorang Pandita untuk melaksanakannya. Kemudian, mengenai sifat dan perilaku yang dikembangkan oleh seorang Pandita, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa menjelaskan dengan mengutip sloka yang tertuang dalam kitab Mahabharata III.CLXXX.21 dan Bhagavadgita XVIII.42 yang berbunyi sebagai berikut :
"Satyam danam ksama silam anrsamsya tapo ghrna
drsyante yatra nagendra sa brahmana iti smrtah"
"Samo damas tapah saucam ksantyarjavam evaca
jnanam vijnanam astikyam brahma karma svabbavajam"
Terjemahan :
Dia yang selalu jujur (dalam kebenaran), dermawan, bersikap sabar, bersifat baik/sopan, tidak mengutamakan diri, suka melakukan pantangan agama, murah hati, mereka bendaknya dipandang (hai Nagendra) sebagai Brahmana, ingatlah ini !"
"Yang batinnya tentram, mampu menasehati diri, mengendalikan hawa nafsu, hidup suci. suka mengampuni, lurus hati, berpengetahuan, bijaksana, meyakini ajaran Veda adalah kewajiban brahmana menurut bakatnya".
5.1.5 Brahma
Kata Brahma dalam konteks ini berarti persembahan, upacara, upakara, doa, mantra, dan sejenisnya. Pengertian Brahma sebagai persembahan salah satunya dapat dirujuk dalam Bhagavadgita. IV, sloka 24, sebagai berikut.
“Brahmarpanam Brahmahavir,
Brahmagnau Barhamanahutam,
Brahmaiva tena gantavyam,
Brahma karma samadina”
Terjemahan :
Dalam upaya melihat Brahma yang memenuhi alam semesta sebagai sebuah bentuk pengorbanan, Brahma adalah sedekah (dengan mana persembahan dituangkan ke dalam api, dan sebagainya). Brahma adalah persembahan tersebut, Brahma adalah api. Brahma itu sendiri adalah korban. Jadi, Brahma sendiri membangun perilaku menuangkan persembahan ke dalam api, dan akhirnya Brahma adalah tujuan yang harus dicapai oleh ia yang telah terserap oleh Brahma sebagai perilaku korban tersebut (Rangarajan, dalam Suamba (penj.), 1996:81).
Melakukan persembahan, pembacaan doa atau mantra merupakan brahma yang harus dilaksanakan oleh seorang sulinggih. Berkenaan dengan hal tersebut, Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma menyatakan kalau ini menjadi tugas utama seorang sulinggih sebagai wujud siwa sakala. Menghantarkan persembahan umat Hindu melalui pemujaan dengan puja, mantra, stuti, dan stawa, baik yang dikemas dalam sebuah pelaksanaan upacara yajna maupun dalam doa sehari-hari menjadi swadharma yang tidak bisa ditinggalkan (wawancara 6 Desember 2010). Hal ini juga ditegaskan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa bahwa api suci (brahma) merupakan persembahan yang utama dan menjadi puncak dari semua upacara yajna yang disebut Agni Hotra atau Homa. Dengan demikian sudah menjadi tugas sulinggih untuk melaksanakan hal tersebut bersama-sama dengan umat Hindu demi terwujudnya kesejahteraan hidup lahir dan batin (jagadhita dan moksa). Ini menandakan bahwa peranan dalam melaksanakan brahma telah dilakukan oleh Pandita Bali Aga.
5.1.6 Yajna
Yajna berarti persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Swami Mukhyananda (dalam Suamba 1996:1) menjelaskan kata “Yajna” adalah sebuah kata dalam Bahasa Sansekerta. Terbentuk dari akar kata “yuj” yang berarti memuja, menyembah, atau berdoa. Pemujaan atau penyembahan ini ditujukan kepada makhluk-makhluk yang lebih tinggi derajatnya, yakni para dewa, bhatara, dan para pitara. Selain itu, juga ada persembahan kepada spirit-spirit yang memiliki sifat-sifat baik, bahkan juga buruk melalui materi-materi tertentu, seperti dupa, jagung, biji-bijian, kue-kue dan juga korban binatang. Persembahan (sacrificial) telah menjadi kegiatan ritual yang lumrah pada berbagai tipe masyarakat, sejak masa yang paling purba di seluruh dunia.
Mukhyananda (dalam Suamba, 1996: 25) menjelaskan bahwa Yajna adalah Rna-rna (hutang atau kewajiban) yang wajib dibayar oleh siapapun. Hutang-hutang tersebut ialah: (1) Dewa Rna (hutang kepada makhluk-makhluk Illahi), 2) Pitra Rna (hutang kepada leluhur), 3) Rhsi Rna (hutang kapada orang-orang suci atau guru-guru spiritual), 4) Manusha Rna (hutang kepada sesama manusia), 5) Bhuta Rna (hutang kepada binatang dan dunia tumbuhan). Rna-rna ini harus dibayar melalui tindakan-tindakan pelayanan berkorban kepada semuanya dalam suatu spirit pemujaan atau Yajna. Sejalan dengan hal tersebut setiap rumah tangga wajib melaksanakan Panca Yajna (lima jenis Yajna) dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kemampuannya, yaitu:
(1) Deva Yajna: ungkapan terimakasih dan hormat kepada pribadi tertinggi dan semua deva-deva (Vishvne Deva) yang menggerakkan alam semesta beserta isinya sehingga dapat berfungsi sebagai mana mestinya melalui pemujaan dan persembahan yang ikhlas.
(2) Pitra Yajna : ungkapan terimakasih dan hormat kepada leluhur yang telah memberi tubuh dan menstransmisikan pengetahuan dan kebudayaan masysrakat kepada kita dengan persembahan kehadapan Pitri (roh leluhur) dalam Shrada-Karma serta dengan melanjutkan tradisi; mengerjakan kewajiban dengan menambahkan ilmu pengetahuan.
(3) Rhsi Yajna : ungkapan terimakasih dan hormat yang dipersembahkan kepada orang-orang suci, pendeta, dengan cara mempelajari kitab-kitab suci dan kesusastraan (svadhayaya) dengan Shraddha (keyakinan) dan menata kehidupan sesuai dengan ajaran-ajarannya dan menyebarluaskan ajaran-ajaran tersebut di Masyarakat. Yajna ini juga disebut Brahma Yajna karena Brahma adalah asal mula nama Veda-Veda. Diantara Yajna-yajna, Brahma Yajna diberikan tempat tertinggi. Melalui Yajna ini seseorang harus mencapai Brahma, Realitas Tertinggi.
(4) Nri atau Manusa Yajna : pelayanan kepada sesama manusia dengan cara memberi makna Atithi (orang-orang yang tak diundang datang kerumah sebelum jam makan atau bahkan mengundang seseorang yang diperlukan tanpa persiapan), dan dalam cara-cara benar lain untuk kesejahteraan orang-orang melalui kerja-kerja dermawan.
(5) Bhuta Yajna : pelayanan kepada makhluk-makhluk yang lebih rendah tingkatnya dari pada manusia dengan cara menyuguhkan makanan dan minuman, sebelum makan dengan mengingat sifat-sifat Illahi ada padanya. Ini disebut Bali-harana. Seseorang sebaiknya tidak makan sebelum melakukan lima Yajna ini setiap hari sesuai dengan kemampuannya. Kelima Yajna ini disebut Maha Yajna karena mereka berlaku secara universal dan wajib dilakukan oleh semua umat manusia.
K. Balasubrahmaniam Iyer (dalam Suamba, 1996: 55) mengungkapkan bahwa salah satu bagian terpenting kitab suci Weda adalah “Upanishad”. Dikatakan, pada pokoknya kitab Upanishad berhubungan dengan pengetahuan spiritual, yaitu hubungan Atman dengan Paramaatman. Amal bhakti, derma, kerendahan hati dan cinta kasih sesama umat benar-benar telah dianjurkan sebagai bagian dari disiplin spiritual untuk mencapai kesadaran pengetahuan spiritual. Dalam Brahadaranyaka Upanishad (Bab 5, bagian II) dapat ditemukan wacana terkenal dimana Prajapati, raja semua makhluk hidup, dikatakan telah memberikan suatu pesan kepada umat manusia. Wacana ini telah dijelaskan dalam bentuk sebuah cerita. Pesan tersebut disampaikan dalam tiga kata, yaitu Dana, Daya, dan Dama yang berarti amal baik, cinta kasih, dan pengendalian diri.
Dengan demikian Yajna yang diterjemahkan sebagai “korban” memiliki dua makna utama, yaitu religius-filosofis dan sosial. Secara filosofis, Yajna dimaksudkan untuk secara konstan mengingatkan setiap individu bahwa seluruh kehidupannya harus diarahkan menjadi sebuah korban dimana spirit Yajna harus melandasi setiap perbuatannya. Yajna menyimbolkan suatu penjelajahan dan pendakian spiritual untuk menyatukan potensi atau kekuatan Sattvik dalam diri sesuai kodratnya. Kemudian, secara sosial bahwa Yajna mewujudkan diri sebagai aktivitas bersama sehingga Yajna menciptakan suasana keharmonisan sosial. Jadi pada tahap sosial, Yajna merupakan sebuah ritualisasi kehidupan masyarakat.
Dalam ajaran maupun tradisi Hindu di Bali, konsep yajna ini merupakan aspek keagamaan yang sangat dominan dibandingkan aspek yang lain. Hal ini dikemukakan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa bahwa hampir setiap aktivitas umat Hindu di Bali mewujudkan pelaksanaan yajna. Dalam konteks pelaksanaan yajna, peranan Pandita tercakup dalam konsep tri manggalaning yajna, yaitu sang anukangi, sang yajamana, dan sang sadhaka. Pandita adalah sang sadhaka yang mempunyai swadharma atau peranan untuk menyelesaikan (muput) upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
Berdasarkan uraian di atas, secara ideal bahwa peranan seorang Pandita Bali Aga mencakup hal yang sangat ideal dan mulia dalam ajaran agama Hindu, yakni menjadi sang Satyawadi (pewarta kebenaran). Peranan ini diwujudkan secara praktis melalui pelaksanaan dharma sebagai prinsip tertinggi dalam ajaran agama Hindu yang dapat dirinci dalam enam hal utama, yaitu satya, rta, diksa, tapa, brahma, dan yajna. Pandita Bali Aga sesungguhnya telah melaksanakan peran-peran mulia tersebut yang melekat sebagai swadharma yang ideal dan utama dari seorang sulinggih sebagai Sang Hyang Siwa Sakala atau Sang Adi Guru Loka.
5.2 Peranan Pandita Sebagai Sang Aapta
Peranan kedua dari seorang Pandita atau Sulinggih adalah Sang Aapta. Sang Aapta berarti orang yang dapat dipercaya. Oleh karena itu tugas seorang sulinggih atau Pandita adalah menjaga agar beliau selalu dapat dipercaya. Karena itu, seorang Pandita harusnya sangat hati-hati menjaga kesucian diri, baik dalam hal berbicara maupun berprilaku. Untuk itulah kitab suci menetapkan Pandita hendaknya selalu berbicara berdasarkan kitab suci. Ini juga perlu dilakukan agar sang pandita tidak terkena ujar ala dari orang lain. Ujar ala berarti kata-kata kasar (Wiana, 2001:95).
Untuk menjadi Sang Aapta ini, Miartha (2007:186) menyatakan bahwa seorang sulinggih minimal harus memiliki tiga kompetensi, yaitu (1) moralitas dan kepribadian yang baik; (2) konsekuen dalam menjaga swadharma, dan (3) menghindari perilaku yang menyebabkan patita.
5.2.1 Moralitas dan Kepribadian yang Baik
Sulinggih adalah panutan bagi masyarakat sehingga dirinya sendiri harus mendapatkan simpati dan kepercayaan dari masyarakat. Dalam kitab Siwa Sasana, kompetensi ini berhubungan erat dengan menjaga sasana kependetaan, serta memperhatikan akan adanya “guna” (sifat-sifat baik) dan dosa pada dirinya, serta mengusahakan dengan sungguh-sungguh perkembangan semua sifat-sifat baik dan biarkan supaya menjadi suci, seperti dijelaskan berikut ini.
“Tinggalkanlah segala macam dosa, tegakkan kependetaan itu, ingatlah awal, tengah dan akhir dari padanya. Tugas sang sadhaka selesaikanlah. Buatlah mudah isinya dan penggunaanya. Buatlah lebih baik kelangsungan akan tugas-tugas dan budi pekertinya, terlebih-lebih tentang keluhuran budi, kecerdasan akal dan kesudarmannya. Adapun sarana untuk mempertahankan itu ialah apa yang disebut trikaya paramartha, pegangan sang sadhaka. Rinciannya ialah: ‘Kayika vacikasceva, Manasikas tratiyaka, Subhakarmaniyovyantu, Trikayam iti kavyate’. (Trikaya ialah kaya, wak dan manah. Kaya adalah perbuatan, wak adalah kata-kata, manah ialah pikiran. Ketiga-tiganya itu hendaknya ditempatkan sesuai dengan usaha-usaha yang berdasarkan dharma oleh sang pandita. Semuanya supaya berdasarkan subhakarma (perbuatan yan baik). Sebenarnya dharma kaya disebut kayika, dharmanya wak disebut wacika dan dharmanya manah disebut manacika. Semuanya itu supaya diusahakan sampai berhasil berbuat yang baik berdasrkan atas pelaksanaan ajaran dharma. Itulah kayika, wacika, manacika)” (Siwasasana).
Agar menjadi Sang Aapta, kitab Siwasasana mengemukakan pentingnya pengendalian diri dalam pikiran, perkataan, dan perilaku (tri kaya). Keselarasan antara pikiran (manah), perkataan (wak), dan perbuatan (kaya) adalah kunci moralitas Hindu yang harus dijadikan pegangan oleh sulinggih dalam melaksanakan swadharma-nya. Selain itu, dalam Bhagavadgita XII, sloka 13 dan 18 juga dijelaskan tentang perilaku Pandita yang dapat dijadikan panutan, yaitu:
Advestham sarva bhutanam, maitrah karuna eva ca,
Nirmano nirahamkarah, sama duhka sukhah ksami.
Terjemahan :
Dia yang tidak membenci semua makhluk, memiliki sikap bersahabat, dan memiliki cinta kasih, bebas dari keakuan, sama dalam suka dan duka, serta rela memaafkan kesalahan orang lain.
Samah satrau cha mitre ca, tatha manapamanayah,
Sitosna sukaduhkesu, samah sangavivarjitah.
Terjemahan :
Sama terhadap kawan dan lawan, sama dalam kehormatan dan kecemaran, sama dalam panas dan dingin, suka dan duka, serta bebas dari belenggu keterikatan.
Apa yang dikemukakan dalam sloka di atas pada dasarnya menjadi landasan keutamaan moralitas yang puncaknya adalah bebas dari keterikatan. Sifat pemaaf, sama dalam suka dan duka, merupakan sifat-sifat kedewaan (daiwi sampad) yang mesti dikembangkan dalam diri seorang pandita.Hal ini mengingat Pandita sendiri adalah wakil dewa di bumi sehingga sifat-sifat kedewaan juga harus tertanam dalam dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa menjelaskan bahwa menjaga perilaku susila ini dapat diwujudkan sebagai keseluruhan dari pengendalian diri itu sendiri. Oleh sebab itu, sebagai seorang Pandita lebih baik melakukan perkataan dan perbuatan yang seperlunya saja. Bagi Ida Pandita, ini merupakan bentuk pengendalian diri paling sederhana yang dapat dilakukan. Selain itu, ketakterikatan kaum Pandita dalam dunia sosial secara praktis sesungguhnya juga menjadi keuntungan tersendiri karena dapat terhindar dari terjadinya perselisihan, salah paham, dan kejadian buruk yang bisa melemahkan sifat-sifat kedewaan (daiwi sampat) dalam diri.
5.2.2 Konsekuen Melaksanakan Swadharma
Peranan selanjutnya yang mesti dilaksanakan oleh Pandita sebagai Sang Aapta adalah melaksanakan swadharma kasulinggihan secara konsekuen. Seorang Pandita memiliki swadharma utama untuk mempelajari Veda (Vedadhyayana) dan memeliharan Veda (Vedharakshanam). Oleh sebab itu, seorang Pandita juga bebas dari pekerjaan duniawai sehingga bisa fokus dalam melaksanakan swadharma kependetaannya. Jadi, tugas utama seorang Pandita adalah melaksanakan segala hal yang dipandang perlu demi kemajuan spiritual masyarakat.
Pandita sebagai golongan fungsional (warna) brahmana, adalah orang suci yang mempunyai keahlian dalam Veda serta kepadanya diberikan kewajiban untuk menyelesaikan seluruh upacara yajna. Hal ini sebagaimana tersurat dalam kitab Manawadharmasastra I.88, sebagai berikut.
Adhyapanam Adhyayanam, yajanam yajanam tatha,
Danam pratigraham caiwa, brahmananam akalpayat
Terjemahan :
Kewajiban-kewajiban seperti mempelajari dan mengajarkan Veda, melaksanakan upacara yajna, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat, memberi maupun menerima dama ditentukan sebagai swadharma seorang brahmana (Pudja, 1995:50).
Pustaka suci Bhagavadgita, XVIII.42 menyatakan bahwa kewajiban seorang Brahmana atau Pandita adalah sebagai berikut:
samo damas tapah saucah, ksantir sarvajam eva ca,
jnanam vijnanam astikam, brahmakarma svabhavayam
Terjemahan :
Khusuk, menguasai indria, suci, tapa brata, tawakal, benar, luhur budi, berpengetahuan, dan percaya kepada agama, merupakan kewajiban kaum brahmana yang terlahir dari sifat-sifat mereka (Pendit, 1994:444).
Hal senada juga ditegaskan dalam Slokantara, sloka 1 yang berbunyi sebagai berikut.
Kalingannya, nihan dharma rengon de sang mahyun wruheng kawisesan ing janma. Yan manusya tan hana luwih kadi brahmana, brahmana ngarannya sang kamawasaken kabrahmacaryan…”
Terjemahan :
Inilah dharma yang patut diperhatikan oleh mereka yang ingin mengetahui hakikat sebagai manusia. Di antara manusia tidak ada yang melebihi Pandita, artinya orang yang telah menguasai segala ajaran brahmacarin (Putra, 1995:1).
Kemudian, lebih jelas lagi dinyatakan dalam kitab Sarasamuccaya sloka 56 sebagai landasan moral yang patut diperhatikan agar senantiasa memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Adapun bunyi sloka tersebut adalah.
Nyang dharma sang brahmana, mangajya, mayajna, maweha danapunya, manglema, atirtha, amarahana, wikwaning yajna, mananggapa dana.
Terjemahan :
Berikut ini dharma sang Brahmana (Pandita), mempelajari Veda, mengadakan upacara kebaktian dan pemujaan, memberikan amal sosial, berkunjung ke tempat-tempat suci, memberikan pencerahan tentang ajaran-ajaran agama, memimpin upacara, dan dibenarkan menerima derma.
Berdasarkan sloka-sloka tersebut di atas, pada dasarnya Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan swadharmanya secara konsekuen. Seperti dijelaskan oleh Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa (wawancara 10 Desember 2010) bahwa swadharma sulinggih pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu swadharma bagi diri sendiri maupun swadharma bagi pelayanan kepada umat. Swadharma diri sendiri cenderung bersifat peningkatan kualitas rohani pribadi, utamanya dengan mendalami ajaran-ajaran Veda dan sastra-sastra suci Hindu lainnya, pengendalian diri (tapa brata), serta menjaga kesucian diri (asuci laksana). Inti dari pelaksanaan swadharma ini menjadi bagian dari pelaksanaan sasana kependetaan. Sementara itu, swadharma yang sifatnya kepada umat terutama berkaitan dengan loka palasraya, serta pencerahan.
5.2.3 Menghindari Perilaku Penyebab Patita
Patita artinya jatuh. Jatuh yang dimaksudkan di sini adalah kehilangan status diksa karena gagal dalam menjaga diri dan sasana. Adapun hal-hal yang dapat menyebabkan patita adalah karena pikirannya masih dilekati oleh klesa (Panca Klesa), sebagai berikut.
(1) Avidya berarti kebodohan atau ketidaktahuan;
(2) Asmita berarti kesombongan atau keangkuhan;
(3) Raga berarti keterikatan dan kesukaan terhadap hal-hal duniawai;
(4) Dwesa berarti kemarahan, dendam, dan antipati;
(5) Abhiniwesa berarti ketakutan yang berlebihan terhadap kematian.
Kelima klesa ini adalah sumber dari sifat keraksaan (asuri sampad) yang bertentangan dengan sifat-sifat kedewaan (daiwi sampad). Sifat-sifat inilah yang
akan menyebabkan patita atau kejatuhan. Adapun penyebab kejatuhan lainnya adalah tindakan yang memalukan (duryasa) dan kejahatan (dursila), sebagaimana tersurat dalam naskah Siwa Sasana lembar 3b, yang berbunyi sebagai berikut.
“…Acaryya duryyasa, nga, adharma, crol nicca prakrtinya, ambeknya mada moha karana durtta murkka madulur katungka, irsya matsara kimbhuru, marta wada mitya sing wuwusnya, sinahajaring kadusilan, durniti durwinaya, nawimukha ringayu, melik ring kagawayaning yasa, manasir sakeng agama rasa, ninda ring hyang lawan ring brahmana, drohiri mitranya, talpaka ring gurunya, masampaying yayah mwang bibinya, yaapwan hana sira sadhaka kumwa kramanya, yeka sadhaka duryyasa, banda tan yukti gawayen guru desang pudghala”
Terjemahan :
Acarya duryasa ialah acarya yang tidak melaksanakan dharma, curang, berbudi hina, congkak, mabuk yang menyebabkan ia bersifat lirih, angkara murka serta jahat, iri hati, tampak cemburu. Mrsawada yaitu segala kata-katanya tidak apat dipercaya. Serta pula dengan berbudi buruk, tidak memperhatikan tuntunan berbuat sesuatu, memalingkan muka dari yang baik benci pada pekerjaanyang berbentuk yasa, menyimpang dari ajaran agama, menghina Tuhan dan Brahmana, bersikap bermusuhan terhadap teman, menentang guru, menghina ibu dan bapaknya. Bila ada sadhaka
yang demikian perilakunya, itulah sadhaka duryasa, Tawan. Tidak benar untuk dijadikan guru oleh seorang pengikut Saiwapaksa. Apakah lagi dosanya wiku yang dungu, duryasa yang tidak benar dijadikan guru oleh orang banyak.
Uraian dalam lontar Siwa Sasana di atas menunjukkan bahwa penyebab kejatuhan (patita) adalah acarya yang tidak melaksanakan dharma, curang, berbudi hina, congkak, mabuk yang menyebabkan ia bersifat lirih, angkara murka serta jahat, iri hati, tampak cemburu. Demikian juga dengan Mrsawada, yaitu segala kata-katanya tidak apat dipercaya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan peran Pandita sebagai Sang Aapta yang berarti dapat dipercaya. Demikianlah hendaknya Pandita tidak melanggar aturan-aturan kesusilaan yang dapat menyebabkan dirinya jatuh ke dalam jurang kenistaan sehingga tidak layak disebut Pandita lagi.
Terkait dengan peran tersebut, Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa (wawancara 10 Desember 2010) menjelaskan pentingnya peran nabe dalam hal ini. Mengingat dalam aturan Siwa Sasana, yang berhak dan berwenang melakukan patita kepada seorang Pandita adalah Guru Nabe. Oleh karena itu, Ida Pandita melaksanakan peranan ini dengan cara tetap membina hubungan aguron-guron dengan Guru Nabe, termasuk mengkonsultasikan dan mendiskusikan berbagai aspek ajaran agama Hindu dengan Guru Nabe. Dengan demikian, Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan peranannya sebagai Sang Aapta ini.
5.3 Peranan Pandita Sebagai Sang Patirthan
Swadharma yang ketiga adalah menjadi tempat bagi umat untuk mendapat penyucian diri. Dalam hal inilah Pandita disebut Sang Patirthan. Tirtha artinya suci. Dengan Tirtha itulah Pandita menuntun umatnya menapak kehidupan yang makin suci. Tirtha dengan sarana air suci hanya simbolis sebagai media untuk mendorong umat agar senantiasa berusaha secara sadar melakukan transformasi diri dan sosial ke arah yang makin suci. Inilah yang paling berat namun mulia dari seorang Pandita. Apalagi di zaman Kali ini dimana intelektualitas umat lebih kuat daripada kesucian moral dan mentalnya, sehingga menjaga kesucian umat sungguh tidak mudah.
Dalam konteks yang lebih praktis Sang Patirthan juga berarti bahwa seorang Pandita adalah tempat bagi umat untuk memohon tirtha. Mengingat, Pandita memiliki kewenangan untuk membuat (ngarga) tirta suci untuk berbagai keperluan umat. Namun demikian, untuk melaksanakan peranan ini seorang Pandita diharapkan memiliki beberapa kompetensi yang menurut Miarta (2007:174) terdiri dari beberapa hal sebagai berikut.
5.3.1 Mewujudkan Siddhi Dalam Diri
Dalam fungsi dan perannya sebagai Pandita, seorang Pandita hendaknya memiliki siddhi dalam dirinya. Siddhi berarti kekuatan supranatural. Melalui siddhi ini, tirtha yang diberikan kepada umat adalah tirtha yang hidup (urip) sehingga memberikan vibrasi spiritual dan supranatural yang benar-benar memberikan kesucian kepada umat. Berkenaan dengan siddhi tersebut, kitab Mahanirwana Tantra mengajarkan pentingnya sadhana, sebagai berikut.
”Sadhana adalah segala usaha yang dilakukan untuk menghasilkan siddhi. Usaha itu berbentuk cara dan juga latihan-latihan, dengan mana tujuan yang cita-citakan dapat dicapai, dan itu terdiri atas latihan dan pelajaran yang melibatkan jasmani dan rohani, dan dengan penyempurnaan-penyempurnaannya itu, diikuti oleh siddhi: sifat dan kadarnya tergantung dari kemajuan-kemajuan yang dicapai menuju kesadaran atau aktualisasi kesadaran atman yang diselubungi oleh lapisan-lapisan jiwa dan raga itu. Cara-cara yang digunakan dalam sadhana itu sungguh bermacam-macam ragamnya, seperti misalnya melalui puja, baik keluar maupun ke dalam (mental); mempelajari teori-teori dan prinsip-prinsip sebagai tercantum dalam Shastra; melalui tahap: panca tattwa, mantra, yantra, tapa, yoga, dan sebagainya”.
Berkenaan dengan hal tersebut, pentingnya siddhi bagi seorang Pandita didasari oleh pertimbangan bahwa tirtha dalam agama Hindu dan tradisi di Bali memiliki makna penting dalam aktivitas yajna. Malahan, tirtha menjadi pamuput dari segala jenis yajna. Sebab, tidak jarang ditemukan bahwa untuk menyelesaikan sebuah yajna, umat tidak perlu langsung nuur Pandita, melainkan cukup dengan nunas tirtha di griya. Sementara itu, dalam proses muput upacara, seorang Pandita mengawali dengan ngarga tirtha, yakni pembuatan air suci yang terlebih dahulu diawali dengan Dagdi Karana (sakralisasi diri), Siwi Karana (menyemayamkan Siwa dalam diri), dan Amrti Karana (pembuatan amertha). Ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari ajaran Jnana Sidhanta tentang Atma Lingga, yang mengandung makna sang jiwa tetap menyatu dengan Siwa. Setelah menjadi Siwa di bhuwana alit maka Siwa yang ada di Bhuwana Agung disthanakan dalam Siwambha. Proses ini disebut Siwa Lingga. Demikianlah tirtha dibuat dengan proses yang benar sehingga memiliki kesiddhian atau keampuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Jro Dukuh Udalaka Dharma (wawancara 6 Desember 2010) menjelaskan bahwa siddhi memang penting dalam pembuatan tirtha karena tirtha dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti malukat, ngentas, dan sebagainya. Apabila ada sisya yang membutuhkan panglukatan karena mendapatkan sesuatu yang buruk dalam dirinya maka dengan tirtha panglukatan inilah Ida Dukuh diharapkan dapat menghilangkan kemalangan tersebut. Demikian juga dengan tirtha pangentas yang diperlukan dalam upacara pitra yajna. Tirtha ini sangat penting untuk mengentaskan atma sehingga berwujud sebagai Siwa Pitara. Tanpa ke-siddhi-an, tentu saja tirtha tersebut tidak akan memberikan vibrasi spiritual yang berarti bagi yajna yang dibutuhkan umat.
5.3.2 Menguasai Mantra, Yantra dan Mudra
Mantra, Yantra dan Mudra merupakan konsep penting dalam kependetaan Hindu di Bali khususnya. Terutama dalam kegiatan loka palasraya, ketiga hal ini harus dikuasai oleh seorang Pandita. Dalam Bhuwana Kosa, terdapat lima hal penting dalam pelaksanaan yajna, yaitu arcana, mudra, mantra, kuta mantra, dan pranawa. Hal ini wajib dikuasai dan dipahami oleh Pandita.
Arcana adalah berbagai bentuk simbol-simbol keagamaan seperti, upakara (banten) dan juga yantra. Yantra umumnya berarti alat untuk melakukan pemusatan pikiran, baik berbentuk pratima atau mandala. Yantra secara simbolik adalah tempat mensthanakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mudra berasal dari kata mud yang berarti membuat senang. Mudra diyakini dapat membuat senang dewata yang dipuja. Mudra diwujudkan dengan sikap-sikap tangan dan jari-jari tertentu. Mudra sangat poenting bagi para sulinggih di Bali dalam pelaksanaan yajna. Mantra disusun dengan aksara-aksara tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah bentuk bunyi, sedangkan aksara-aksara itu sebagai perlambang dari bunyi tersebut. Untuk mendapatkan kekuatan seperti yang dikehendaki, mantra disuarakan sesuai dengan swara (ritme) dan warna (bunyi). Wija Mantra atau Kuta Mantra memang tidak mempunyai arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang telah mendapatkan inisiasi mantra mengetahui bahwa arti yang terkandung dalam kuta mantra adalah perwujudan dewata yang dipuja itu sendiri. Sementara itu, Pranawa adalah Om yang menjadi intisari dari semua mantra (Agastia, 2001:4-6).
Mantra, Yantra, dan Mudra adalah keterampilan yang wajib dikuasi dan didalami maknanya oleh seorang sulinggih. Mengingat inilah yang dilakukan Pandita dalam melaksanakan loka pala sraya. Menurut Ida Pandita Dukuh Acarya Daksa seluruh kemampuan dan keterampilan dalam Mantra, Yantra, dan Mudra diperoleh selama proses berguru (aguron-guron). Namun demikian untuk meningkatkan kemampuan di bidang ini, maka diperlukan pembelajaran terus menerus, baik melalui Guru Nabe maupun secara otodidak melalui buku-buku. Ini menegaskan bahwa Pandita Bali Aga di Kota Denpasar telah melaksanakan peranan sebagai Sang Patirthan, yakni tempat umat untuk menyucikan diri, serta dalam konteks yang lebih praktis adalah tempat untuk memohon tirtha suci.
5.4 Peranan Pandita Sebagai Sang Penadahan Upadesa
Swadharma yang keempat adalah Sang Penadahan Upadesa. Artinya, Pandita itu harus terus-menerus menyebarkan pendidikan rohani menguatkan karakter umat. Pendidikan sekarang lebih banyak memberikan Guna Widya (pendidikan keterampilan) untuk mencari nafkah. Pesatnya pendidikan keterampilan dan keahlian itu hendaknya diimbangi pendidikan yang membangun karakter (Tattwa Adyatmika) agar peserta didik memiliki kemampuan mengelola hidupnya di dunia ini secara seimbang. Mengembangkan pendidikan Tattwa Adyatmika ini adalah swadharma yang juga sangat mulia bagi seorang Pandita. Ini sejalan dengan peranan Pandita sebagai Sang Adi Guru Loka.
Terkait dengan fungsi dan peranannya sebagai Sang Penadahan Upadesa seorang Pandita adalah pendidik, guru atau narasumber sehingga dapat menjadi tempat umat untuk mohon tuntunan atau perlindungan (mesayuban). Untuk itu seorang Pandita di samping teguh pada satya (kebenaran), melaksanakan swadharma dan sasana, tentu diharapkan juga adalah seorang yang wikan (cerdas, pandai) dan pradnya (bijaksana) (Miartha, 2007:179). Untuk melaksanakan peranan ini, seorang Pandita diharapkan memiliki kompetensi antara lain sebagai berikut:
5.4.1 Menguasai Sumber Hukum Hindu
Dalam Manawa Dharmasastra Bab II, sloka 6 dijelaskan bahwa agama Hindu mengacu kepada hukum-hukum agama dengan hirarki sebagai berikut.
”Idanim dharma pramanamyaha
wedo khilo dharma mulam,
smrti sile ca tadvidam,
Acara’s ca iwa sadhunam, atmanastutirewa”.
Terjemahan :
Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smerti) merupakan sumber pertama dari Dharma, kemudian adat istiadat, setelah itu tingkah laku yang terpuji dari orang-orang bijak yang mendalami ajaran suci Veda; juga tata cara kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan pribadi.
Catur Veda atau Veda Sruti adalah sumber hukum tertinggi dalam agama Hindu. Namun demikian untuk memahami dan menghayati ajaran Veda, diperlukan pemahaman terhadap kitab-kitab pendukung lainnya, yaitu Smerti. Dalam smerti terkandung Wedangga dan Upa Weda. Demikian juga dengan Itihasa dan Purana. Selanjutnya adalah tingkah laku atau perbuatan (sila) dari orang-orang suci, termasuk di dalamnya adalah ajaran-ajaran guru suci yang tertuang dalam sastra-sastra suci Hindu. Kemudian juga adalah acara, yaitu kebiasaan-kebiasaan bajik yang tumbuh dalam tradisi religius yang layak dilestarikan. Dan akhirnya adalah atmanastuti, yakni kepuasan pribadi. Ini merupakan sumber-sumber dharma yang harus dikuasai oleh seorang Sulinggih atau Pandita sehingga bisa memberikan penjelasan dan pencerahan kepada umat.
5.4.2 Memahami Perkembangan Zaman
Zaman atau yuga merupakan prinsip yang mesti juga dipahami oleh seorang Pandita. Mengingat setiap zaman memiliki karakter dan cirinya sendiri yang didalamnya kebutuhan umat mengalami perubahan atau perkembangan. Hal ini berimplikasi pada terjadinya perubahan atau pergeseran dari tradisi yang diwarisi secara turun-temurun. Hal ini diperlukan agar agama Hindu yang merupakan sanatana dharma atau kebenaran abadi tetap dapat diterima dan dilaksanakan oleh umat Hindu tanpa menimbulkan keraguan, atau bahkan ketidakcocokan. Oleh karena itu, penting sekali memahami perubahan zaman sehingga pembinaan dan pencerahan yang diberikan sanggup diterima masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ida Pandita Acarya Daksa yang juga seorang “Pendharma wacana” mengatakan pentingnya mengajarkan agama Hindu yang fleksibel terhadap perubahan zaman sehingga tetap up to date untuk dilaksanakan dalam konteks kekinian. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang seimbang antara teks agama dengan konteks keagamaan. Setiap fenomena keagamaan yang berkembang di masyarakat hendaknya tidak serta-merta dipersalahkan, tetapi justru diberikan pencerahan sesuai dengan sastra agama yang ada. Untuk melaksanakan peranan ini, seorang Sulinggih harus mampu mengembangkan tafsir-tafsir keagamaan yang sesuai dan sejalan dengan konteks zaman sehingga agama Hindu tidak dipandang dapat memberatkan masyarakat.
5.4.3 Memiliki Kemampuan Dialog
Dalam menjalankan fungsinya sebagai Sang Penadahan Upadesa, maka komunikasi merupakan hal yang terpenting. Seorang Pandita diharapkan menjadi seorang humanis yang memiliki kesediaan untuk melakukan dialog dengan umat dalam mengkaji aspek-aspek ajaran agama Hindu. Oleh karena itu, seorang Pandita selayaknya memiliki tiga kemampuan komunikasi, yaitu kemampuan dialogis, kemampuan intelektual, dan kemampuan apologetik (pemaaf).
Kemampuan dialogis berarti kemampuan untuk menjabarkan ajaran agama Hindu agar dapat diterima oleh umat tanpa menimbulkan kesan dan makna yang ambigu (mendua) dan kerancuan. Oleh karena itu, seorang Pandita juga harus membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup dan memadai sehingga apa yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Hal ini harus ditunjang dengan kemampuan menjadi seorang pemaaf, dalam artian tidak tersinggung dengan pertanyaan umat yang mungkin memojokkan atau dapat menyebabkan ketersinggungan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peranan Pandita Bali Aga sebagai Sang Penadahan Upadesa merupakan perluasan peran dari hanya sebagai pamuput karya, tetapi juga menjadi tempat umat untuk bersandar dan meminta pencerahan atas segala keraguan dalam melaksanakan ajaran agama Hindu dengan baik dan benar.
Ida Dukuh aktif dalam Paruman Sulinggih guna menyamakan persepsi
pendalaman ajaran agama Hindu.
Dari pemaparan sub bab-sub bab di atas, dapat disimpulkan bahwa peranan Pandita Bali Aga dalam keagamaan Hindu di Kota Denpasar dapat dirangkum dalam empat konsep penting, yaitu Pandita Bali Aga berperan sebagai pewarta kebenaran (Sang Satyawadi), sebagai sumber yang terpercaya dan dapat dipercaya (Sang Aapta), sebagai sumber umat untuk memohon kesucian (Sang Patirthan), dan sebagai sumber pencerahan keagamaan (Sang Penadahan Upadesa). Ini merupakan peranan ideal sebagai sastra suci Hindu dan sasana kependetaan yang dalam praktiknya diwujudkan dalam dua peranan penting, yaitu sebagai Wiku Loka Pala Sraya dan sebagai Sang Adi Guru Loka.
3 komentar:
trim ksih infonya, ini sangat bagus sekali
apakah saya boleh meminta tulisan bapak sebagai bahan skripsi saya ? terima kasih (wiyadnya.gene@yahoo.com)
becik pisan
Posting Komentar