Sabtu, 30 Oktober 2010

Memuja Tuhan Melalui Animisme dan Dinamisme, Media Komunikasi Antara Alam, Manusia dan Dewa Tetinggi Sekitarnya

Lokasi : Desa Adat KUTA
Lokasi : Pura Sarin Bwana Jimbaran (Ribung)




Setelah masuknya agama Hindu di Bali, para penyebar (misionaris) agama Hindu sebegitu jauh hanya berhasil meng-Hindu-kan agama orang-orang Bali Aga (aga = gunung, orang Bali yang tinggal di pegunungan) dan Bali Mula (orang Bali yang hidup sebelum masuknya agama Hindu), namun belum secara tuntas merubah keyakinan penduduknya. Hal itu disebabkan sampai saat kini keyakinan masyarakat setempat lebih berdasarkan kepada kepercayaan lokal (local genius) yang telah diwariskan oleh para tetua mereka terdahulu, yaitu percaya dengan adanya roh/atma (butir ke 2 dari Panca Sradha) dan kekuatan alam sekitarnya, yang menjadikan mereka tunduk dan taat padanya.

            Dalam buku Panca Dhatu (Donder.2004:68), mengutip kitab Brhad Aranyaka Upanisad II.15 menjelaskan, “Sesungguhnya Roh itu menguasai semua benda, Roh adalah raja dari semua benda. Sebagaimana halnya semua jari-jari dari roda itu disatukan di dalam sumbu rodanya, demikian juga halnya semua Roh dari semua benda, semua dewa, seluruh alam, semua makhluk hidup, semuanya disatukan dalam satu kesatuan yang Maha Besar”.  
           Dalam filsafat ketuhanan disebut Animisme dan Dinamisme, adalah suatu keyakinan segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh (asal kata rauh) yang berbeda-beda. Dan mempunyai kekuatan alami dari masing-masing benda itu, baik roh para dewa, roh leluhur, roh hewan, dan roh seluruh benda yang bergerak dan tidak bergerak, bahkan dengan perkataan lain, semua benda berjiwa. Kita hidup karena mengorbankan jiwa mahluk lain sebagai penyambung hidup ini, begitupun sebaliknya, mahluk lain dengan kekuatan yang dimiliki akan ‘memangsa’ jiwa mahluk lain dan seterusnya, sesuai dengan sifat dan fungsi dari mahluk tersebut.
           Karena manusia mempunyai; akal, pikiran, dan kelebihan lain yang tidak didapat pada hewan, sehingga manusia menjadi media komunikasi ke alam kosmis. Seperti diketahui, fenomena kerauhan (kedatangan roh), yang sering terjadi baik di sekolah, di pesantren, di tempat kerja, di pura, juga dalam pementasan tari Barong dan Rangda dalam upacara keagamaan yang ada di Bali Selatan khususnya, sebagai bukti bahwa telah terjadi hubungan yang harmonis antara, manusia, alam, dan dewa sekitar/Tuhan. Dengan adanya kekuatan lain (kedatangan roh) ke tubuh manusia, bisa kerauhan dewa, kerauhan resi, kerauhan pitra, kerauhan manusa, dan kerauhan bhuta. Yang sangat sulit dimengerti, bagaimana roh hewan bisa merasuki tubuh manusia, sedangkan roh manusia tidak bisa merasuki tubuh hewan dan bisa berbahasa manusia pula. Bukankah ini aneh, seseorang bisa kebal seketika disaat akhir acara puja wali, pepatih (orang kerasukan roh lain) akan menyebut diri lebih dahulu pararencang (kelompok bhuta) mana yang ngaturan ngayah, misalnya:

ngayah macan gading, ngayah pongpong mal, ngayah gregek tunggek, ngayah pancung segara, ngayah leak barak, ngayah leak poleng, ngayah buta siu, ngayah batu kitik, ngayah gagak ghora, ngayah bluncat, ngayah blego, ngayah putih jimbaran, dalem petak, ngayah kobar api, ngayah grobag besi, ngayah kupu-kupu harum, ngayah bojog putih, ngayah blatuk tanah, ngayah dalem kahyangan, ngayah cerucuk kuning, ngayah jangkrik gading, ngayah penyu, ngayah titiran, ngayah kelelawar, ngayah waduk brerong . . .

           Dan mungkin ribuan roh yang belum terwakili, sebelum menusuk-nusuk dirinya dengan sebilah keris (taji bahasa alam sana) bahkan lebih dari satu. Sebagai wujud ikhlas dan bukti utusan dari wilayah lain atas kehadirannya, tentunya ada hubungan historis dengan keberadaan suatu tempat (pura) tersebut.
           Disamping fungsi kerauhan untuk mengetahui bahwa upakara dan upacara telah diterima oleh Dewa/Bhatara yang berstana di suatu tempat. Juga dalam pengesahan perubahan status dan fungsi dari suatu kahyangan (pura), misalnya dalam perubahan status dan fungsi dari kahyangan desa menjadi kahyangan jagat, atau perubahan status dan fungsi dari pura Ibu menjadi pura Panti, dan dari pura Panti menjadi pura Dadya, dan sebagainya. Siapakah yang patut mengabsahkan perubahan status dan fungsi pura tersebut? Karena pura peruntukan bagi para dewa dan roh leluhur yang disucikan, yang tentunya tidak dilihat oleh kasat mata.
           Seseorang yang dipinjam badan raganya oleh kekuatan dewa adalah orang-orang khusus sesuai kriteria yang ditentukan oleh kekuatan alam/gaib, misalnya; seseorang yang ‘ditunjuk’ sebagai pengadegan (mediator) dari Dewa/Bhatara yang berstana di pura setempat, orang itu harus kerauhan berkali-kali di pura mana akan mengabdi. Disamping itu calon sadeg akan dipertemukan antara Guru Niskala (peminjam raga) dengan Bhatara Hyang Guru (Kawitan pemilik jiwa, rohani) atas ijin Bhatara Kawitan bahwa sentana (keturunannya) akan dipakai sebagai kekudan, sadeg, pedasar, baik melalui kasat mata, impian, atau ditunjuk oleh orang suci.  Pada saat pertemuan segitiga itu, kita akan mengenal wajah beliau, warna kulit beliau, busana yang dipakai dan karakter lainnya. Selanjutnya baru menerima petunjuk lewat pawisik dari guru pembimbing niskala. Serta pantangan-pantangan lain yang mesti dilakoni, melanggar dari aturan secara tiba-tiba akan kerauhan, kaku ditempat, kesakitan, dan keadaan yang tidak menyenangkan lainnya. Yang pada akhirnya mereka harus tunduk dan taat pada kekuatan gaib yang ada disekitarnya, itulah ajaran langsung yang mesti dilakoni oleh orang pencari pencerahan rohani. Disamping keriteria lain yaitu orang yang dipakai badan raganya tidak lepas dari garis keturunan (genetics) para leluhur yang ikut merintis sejak awal sejarah keberadaan suatu tempat atau pura tersebut.
           Orang yang kerauhan dewa adalah sangat di istimewakan oleh tetua desa setempat karena dalam meminta petunjuk yang ada keterkaitan dengan parahyangan, pawongan, palemahan, pada suatu tempat, atau untuk mencari pengganti jero mangku, sadeg, kekudan, juru-juru, dan lainnya. Orang yang karauhan dewa ini dihaturkan geni/api, pesucian, harum-harum, kekidung, busana, serta upakara lain, karena sadeg itu sebagai media komunikasi ke alam kosmis dan sebaliknya.  
           Kerauhan adalah tahap awal menuju pintu gerbang ke-sulinggih (pendeta), pada akhirnya seorang sulinggih yang akan mengantarkan seluruh yadnya yang dihaturkan oleh umatnya, melalui bahasa akan kita ketahui kemana arah yadnya tersebut dihaturkan, apakah memakai bahasa dewa, bahasa resi, bahasa manusa, bahasa pitra, bahasa bhuta, sesuai dengan panca yadnya (lima korban suci) yang ada di Bali saat kini yaitu: korban suci yang dihaturkan untuk para: dewa, resi, pitra, manusa, bhuta.
           Karena seluruh pertanggung-jawaban seorang sulinggih adalah ke alam niskala atau ke alam tak nyata. Siapakah sebenarnya yang mengabsahkannya? Disini akan kelihatan pada puncak dari resi yadnya padiksan adalah dalam acara seda raga (mati raga). Apakah mati raga karena kekuatan alam, atau mati raga karena kekuatan guru napak, atau mati raga hanya seremonial belaka untuk meneruskan siwapakarana leluhur yang telah ada sebelumnya di griya (rumah pendeta)
          Mati Raga karena kekuatan alam, roh calon pendeta itu akan dijemput oleh guru niskala (guru pembimbing tak nyata) di daerah Pura Dalem diajak berjalan kearah kelod kauh (baratdaya) atau arah kematian, disana beliau akan melihat atma (roh) yang sedang menjalani hukuman akibat dosa yang telah diperbuat di dunia nyata, misalnya: Buta Mracu akan menghukum roh para ibu yang dengan sengaja tidak mau menyusui bayinya tampak sang ibu disusui oleh ulat, roh yang suka mengganggu istri orang lain yang telah bersuami akan mendapatkan hukuman pembakaran kelamin oleh Buta Jengitan dan sebagainya. Batas antara walaka (orang biasa) dengan sulinggih (pendeta) akan dibatasi oleh kawah mendidih dengan titi ugal-agilnya sesuai dengan gambar dilangit-langit Bale Kambang di Kertagosa, Klungkung (Warsika, 1986:17). Setelah roh calon pendeta itu kembali ke badan raga baru dinamakan dwi jati (lahir dua kali, tahu sekala niskala) Dengan perkataan lain roh calon pendeta mengalami pergi ke neraka dan melihat hasil perbuatan para atma (roh) setelah kematian. Hari wisuda alam niskala pada hari Siwa Ratri, tilem ka pitu dengan turunnya weda Bhatara Siwa (Pura Dalem) yang diucapkan oleh calon pendeta dan dibimbing guru niskala bliau. Pada saat itu puja-puji akan diucapkan secara otomatis, dimana sebelumnya beliau tidak pernah belajar pada seorang guru maupun menghafalkan mantram atau puja-puji.
            Sedangkan Mati Raga karena kekuatan guru napak (pendeta pembimbing nyata) adalah mati raga atas kekuatan atau kemauan dari guru napak disuruh menari pun misalnya calon pendeta itu akan menari, disuruh tidur calon pendeta itu akan tidur, sesuai keinginan dari guru napak. Semacam terhipnotis, adalah suatu tehnik yang digunakan untuk memasuki alam bawah sadar manusia secara cepat dengan kekuatan magis yang dapat membuat orang lain tunduk dan tertidur, dilakukan berbagai cara, misalnya; dengan pendulum, tatapan mata, tehnik nafas, verbal/mantram, atau sentuhan pada bagian tubuh tertentu.
           Kerauhan haruslah melalui beberapa proses berjenjang sebelum sampai pada kerauhan dewa. Konsep ini dianalogikan dengan proses belajar mengajar pada sebuah akademik, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai perguruan tinggi, dan selanjutnya. Seseorang yang memulai dengan pencaharian jati diri dengan keyakinan kedatangan roh (kekuatan lain), baik roh: batu, tumbuh-tumbuhan, bebai, bebutan, para rencang, para kanggo, manusa, pitra, dewa pitara, dewa, Hyang Widhi. Dalam penerapan kehidupan sehari-hari menjadi pedasar, matetamban, jero mangku, jero gede/ida bhawati, wiku ngeraga, wiku ngalokapalasrya, wiku acharya, dan selanjutnya Yang membedakan hanya pertanggung-jawabannya saja, kalau mengikuti jenjang akademik pertanggung-jawabannya ke dosen (manusia), sedangkan sulinggih (pendeta) pertanggung-jawabannya ke alam tak nyata/Tuhan. Hari kelulusan (wisuda) calon diksita di alam niskala adalah hari siwaratri, yaitu tilem ke tujuh dengan turunnya weda dewa Siwa (Bhatara Dalem).
           Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bagi seseorang yang tidak mendapat ‘perintah’ dari leluhur-Nya untuk menjadi seorang pendeta atau dengan perkataan lain atas kemauannya sendiri ingin menjadi sulinggih (pendeta). Calon pendeta (diksita) itu semestinya wajib di-wanaprasta-kan atau diungsikan ke enam tempat yang menunjang kehidupan dunia ini antara lain; laut, gunung, hutan, danau, sungai, dan tempat guru napak dalam proses menempa mental spiritual seseorang untuk melepaskan sedikit demi sedikit keterikatan nafsu duniawi (Perjalanan spiritual alm.Ida Pandita Dukuh Dhaksa Dharma Yoga, Padukuhan Karang Buncing, Carangsari).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More