Selasa, 04 April 2023

Bab IV Pura Gaduh, Tugu Akhir Raja-raja Bali-Kuno

 

Bab IV Pura Gaduh, Tugu Akhir  Raja-raja Bali-Kuno

K

eberadaan Pura Gaduh di Blahbatuh, Gianyar, dapat diketahui dari Piagem Dukuh Gamongan. Dari piagem tersebut bisa dilacak awal dan perkembangan pura yang menjadi tempat suci raja-raja Bali ini. Di tempat suci inilah Sri Karang Buncing memohon keturunan, yang kemudian berkembang menjadi treh Karang Buncing yang kita kenal sekarang ini.

Pura Gaduh terletak di Jalan Kebo Iwa, Banjar Tengah, Desa Pakraman Blahbatuh, atau perempatan pasar Blahbatuh ke timur, jalan menuju Desa Bona. Pura Gaduh awalnya merupakan satu kesatuan dengan beberapa pura yang lain atau satu paleban dengan Pura Batur Sari, Pura Puseh, Palinggih Pangulu, dan Pura Kuru Baya, tepatnya halaman barat Pura Puseh dan di timur Pura Kuru Baya. Arca Pangulu yang terletak di Pura Puseh, merupakan peninggalan dari Sri Jaya Katong maka lingganira hyang wawu dateng, sebagai simbol ajaran baru Sri Jaya Katong pada era itu atau dengan kata lain sebagai simbol suci Tuhan dan pusat konsentrasi di kala melakukan sembah bakti kepada Hyang Widhi/Tuhan.

Para sejarawan menyimpulkan Arca Pangulu merupakan pe ningg alan sekte Siwa Bhairawa yang ada di Bali pada zaman itu. Kadang-kadang oleh masyarakat sekitarnya Arca Pangulu disebut Palinggih Pangulu Ratu Gede Kebo Iwa. Arca batu Pangulu yang berdiameter sekitar 1 x 1 meter, berwujud kepala bermuka seram, mata melotot, kuping lebar, rambut ikal berperucut, hidung besar, gigi taring menyembul, mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi, karena bagian kepala inilah diharapkan mampu membawa kemajuan spiritual dan material bagi setiap manusia, untuk bisa dicapai karena semua kemampuan itu ada di kepala.

Disamping beberapa arca batu yang lain, seperti, patung Ganesa, patung para Resi, yang distanakan di Pura Batur Sari, juga terdapat tujuh arca perunggu yang bermotif primitif sebagai perwujudan bhatara sapta giri atau simbol tujuh gunung yang dipuja saat itu yang di stanakan di Pura Gaduh. Arca-arca bhatara sapta giri ini sangat disucikan oleh pangamong dan pangempon pura.

Karena saling keterkaitan dan saling kawin mengawini dua keluarga penguasa di Wadwasila (Blahbatuh) antara keturunan I Gusti Karang Buncing, treh akhir raja-raja  Bali-Kuno dengan keturunan Sri Paduka


Pura Gaduh Gagaduhan Prabhu Bali.

Agung Made Jambe yang disebut juga Raja Agung Tengah dari dinasti Dalem Kepakisan pada masa transisi pemerintahan Bali dengan Majapahit.

Peralihan kekuasaan tentu membawa dampak politik psikologis bagi masyarakat sekitar, sehingga Pura Gaduh yang sebelumnya berfungsi sebagai tempat suci bagi para raja Bali, berubah status dan fungsinya menjadi Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh. Disamping itu Pura Gaduh mempunyai beberapa sebutan lain, dalam Usana Bali disebut Pura Karang Gaduh. Dalam Prasasti Pura Maospahit disebut Pura Bedugul Gaduh. Dalam salinan purana Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh disebut Pura Puseh Gaduh, karena dalam satu leban ada Pura Puseh dan Pura Gaduh.

Pura Gaduh disamping sebagai momentum kebersamaan dua dinasti, juga sebagai tugu penyatuan Hindu Bali dan Hindu Jawa dari hampir kepunahan setelah jatuhnya kerajaan Majapahit oleh Sultan Demak yang beragama Islam. Pura Gaduh termasuk situs purbakala yang wajib dilindungi oleh Negara. Pura Gaduh sebagai gagaduhan prabhu Bali atau tugu akhir raja-raja  Bali-Kuno dimana keturunan Sri Karang Buncing sebagai treh akhir raja-raja Bali, mengisyaratkan agar kita tidak melupakan bhisama yang telah dikukuhkan oleh Danghyang Nirartha bersama para leluhur terdahulu. Juga agar selalu ingat dengan tiga kahyangan tersebut: Pura Kawitan Karang Buncing, Pura Gaduh (keduanya di Blahbatuh), dan Pura Lempuyang Gamongan, di Karangasem. Sri Karang Buncing setelah lama hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu memohon anak di Pura Gaduh. Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya istri Sri Karang Buncing ngidam. Setelah kehamilan cukup umur, lahirlah seorang putra bernama Sri Kebo Iwa.

..... sira Sri Jaya Katong, amrajaya ring yusaning bumi, Isakawarsa, Asti Bhaskara Netraning Ulan, Sri Jaya Katong, amukti maring Batahanyar, angamong wadwa sira, amuter maring Batahanyar, kasung kasiwi denira Sri Jaya Katong, hanata Glungkori, ring mahameru, kapolo denira Sri Jaya Katong, maka tunggul ira, ring Barabatu, lingganira hyang wawu dateng, Meru tumpang 5, hana ta kori agung, agelung tumpang lima, maka tungguling Prabhu Bali, araning Pura Gaduh, Gagaduhan Prabhu Bali. maring Bhatahanar ..... (Piagem Dukuh Gamongan, 8a-8b)

[..... Sri Jaya Katong menjadi penguasa, umur bumi, tahun Isaka 1238/1316 Masehi. Sri Jaya Katong yang dimuliakan di Batahanyar, memerintahkan rakyat baginda pusatnya di Batahanyar, tempat persembahyangan baginda Sri Jaya Katong adalah Kori Agung, tempat suci sangat agung, dibangun oleh Sri Jaya Katong, sebagai bukti baginda ada di Blahbatuh, sebagai wujud atau simbol Dewa sesembahan yang baru, Meru tumpang lima, lambang kesatuan para raja Bali, namanya Pura Gaduh, tempat suci para raja Bali, terhadap Bhatahanyar .....

..... risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong kresmin, lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angasti hyang, maring Pura Gaduh, kahyangan gagaduhan Prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing...

(Piagem Dukuh Gamongan, 10a)

[ .....setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada Bhatara yang ada di Pura Gaduh, tempat suci para Raja Bali. Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri beliau Sri Karang Buncing .....

Dalam Prasasti Pura Maospahit keberadaan Pura Gaduh dije laskan:

Yan asapunapi suwen Ida Arya Karang Buncing merabian, nenten maduwe putra. Punika mawinan sedih pisan pakayunan idane. Rikala wenten dewasa sane becik raris Ida nunas ica ring ida Sanghyang Widhi ring Pura Bedugul Gaduh. Raris wenten suwecan Ida Sanghyang Widhi polih putra lanang asiki. Kasuwen-suwen sampun apongahan yusan ida raris ida mapesengan Kebo Waruga

(Prasasti Pura Maospahit)

[Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup bersuami istri, belum juga dikaruniai putra, hati beliau sangat sedih, lalu pada hari yang baik, beliau berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi, di Pura Bedugul Gaduh, lalu beliau mendapatkan seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga.]

Dalam lontar Usana Bali, bhisama setelah wafatnya Ki Kebo Iwa, dijelaskan:

Hana pitekenia Kawitan sira Karang Buncing, kita sentanan ingsun makabehan away kita tan eling ring kawitan anyungsung anyiwi ring Pura Karang Buncing, ring Pura Karang Gaduh, makadi ring Lempuyang, yan kita lali, wastu sira anadi jadma sudra jati, rered pabuktianta, mentik, mentik, punggel.

(Lontar Usana Bali)

[Ada kewajiban dari leluhur Sri Karang Buncing, kalian keturunanku semuanya, jangan kamu tidak ingat dengan Kawitan (leluhur) menjungjung dan memuja di Pura Karang Buncing, di Pura Karang Gaduh, juga di Pura Lempuyang, jika kamu melupakannya, dikutuk oleh beliau menjadi orang melarat sekali, surut kekayaanmu, bertumbuh, bertumbuh, terpotong.]

Hubungan Kekerabatan Blahbatuh dengan Gam ongan

Hubungan sosial spiritual antara Sri Karang Buncing yang bertempat tingal di Blahbatuh dengan para raja yang melakukan hidup suci menjadi pertapa di Gunung Lempuyang, Gamongan, adalah sama-sama berasal dari Sri Jayasakti/Sri Gnijaya Sakti. Hal ini terlihat jelas mulai dari Raja Sri Gnijaya Sakti menjadi raja Bali tahun Isaka 1041/1119 Masehi, yang merintis keberadaan Pura Lempuyang Gamongan serta dilanjutkan oleh putra kandung yang pertama bernama Sri Gnijaya, nama sama dengan ayah kandung tanpa ident ‘sakti’ di belakang namanya. Setelah Sri Gnijaya pedharman (pertapaan) dilanjutkan oleh adik kandung Sri Gnijaya bernama Sri Maha Sidhimantradewa, dilanjutkan oleh keturunannya yaitu Sri Indracakru, Sri Pasung Grigis, Sri Rigis, Sri Pasung Giri, Dukuh Sakti Gamongan dan keturunan dukuh lainnya yang ada di Desa Adat Gamongan.

Konsepsi Tri Hita Karana hubungan antara parahyangan, pawongan, palemahan sekiranya berawal dari sistem yang dibangun oleh Sri Gnijaya. Pura Lempuyang sebagai kiblat hubungan ma nus ia dengan Tuhan/dewa tertinggi jagat Bali, sedangkan Blahbatuh/ Batahanar bagian pawongan yang mengurus hubungan kepemerintahan dengan rakyatnya, dan jagat Bali sebagai palemahan, hubungan antar manusia dengan alam Bali. Hal ini tersurat dalam Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, dan Lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, Karangasem. Ke dua lontar itu saling menceritakan keterkaitan antara Pura Gaduh, Blahbatuh dengan Pura Lempuyang Gamongan.

…. ki sira Arya Rigis, amukti ring Lempuyang maka miwah wenang amongmong batara ring Lempuyang, maka uloning bumi, maka siwaning bumi kasisya dening Hyang Gnijaya sanagareng Bali, unggwaning suka lawan duka, pati lawan urip, swarga lawan papa, sekala niskala, amerta lawan dagdi, sama lawan arine, sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu, sama wirasane, iki amongmong gelung agunge ring Bali, ki batara Gde ring Gaduh miwah ta kori agung, kamong mong denira Arya Karang Buncing, pangeka mukti, kawarahnugraha denira batara ring Lempuyang, maka miwah batara ring Gaduh, minaka Gagaduhan jagat kabeh, awanana Lempuyang maka siwan bumi, awanana Gaduh, maka tunggul i bumi, hana bwana rwa, agung mwah alit, bwana alit

Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh, halaman 4a-5a:

[....beliau arya Rigis bertempat di Lempuyang, lagi pula wajib dan berhak mengabdi pada batara di Lempuyang, sebagai kepalanya di bumi, sebagai Siwa/ Guru di bumi dijadikan sisya/ murid oleh Hyang Gnijaya, dan seluruh Bali, tempat pada saat senang atau sedih, mati atau hidup, sorga atau neraka, nyata atau gaib, berhasiat atau racun, sama dengan adiknya beliau Arya Karang Buncing bertempat di Blahbatuh, sama tanggung jawabnya, ini di pelihara pintu gerbang kebesaran di Bali, batara Gde di Gaduh dan pintu gerbang itu, di pelihara oleh beliau Arya Karang Buncing, yang bertanggung jawab, sebagai anugrah batara ring Lempuyang, dan juga oleh batara di Gaduh sebagai pemujaan seluruh jagat, makanya Lempuyang sebagai guru di bumi, dan Gaduh sebagai pelindung di bumi, ada dunia mendua, dunia diluar diri (makrokosmos) dan dunia dalam diri (mikrokosmos) ….

Dalam Purana Puseh Gaduh juga dijelaskan pengganti dari Sri Pasung Gerigis di Lempuyang, karena beliau hidup anyukla brahmacarya (tidak kawin seumur hidup) maka diangkatlah keponakannya yaitu Sri Rigis sebagai orang suci di Lempuyang. Sri Rigis adalah putra dari Sri Jaya Katong. Disamping itu dalam Purana Puseh Gaduh dijelaskan tentang bhisama bagi yang tidak mengindahkan aturan tersebut. Bagi warga yang saking lamanya berpisah karena nyineb wangsa (menutup asal usul) dan baru mengetahui tentang keberadaanya diwajibkan amungkah lori lawang agunge ring Gaduh tur kaupa saksiyang karamanya ring pura gaduh, wus ana ring Pura Gaduh raju denira ring karang buncing” arti bebas, membuka pintu gerbang kori agunge di Gaduh lagi pula disaksikan oleh warganya di

Pura Gaduh, setelah itu dilanjutkan di Pura Karang Buncing.]

Dalam Lontar Raja Purana Pura Lempuyang, Gamongan, juga dijelaskan:

Iki Raja Purana palugrane sira Hyang Gnijaya, maka tunggul sira Pasung Grigis amukti maring Lempuyang, anisyanin apan kasantana denikang Sanhyang Sidhimantra, sapuja palikrama, yogya anisyanin maring gunung Lempuyang, Sanghyang Sidhimantra, sareng ring sira Mpu Kuturan, asentana sira Pasung Grigis, sira Jaya Katong, sira Jaya Katong amukti ring Blahbatuh, angamong wadwa sira, panugrahane, bhatara Hyang bawu dateng, amuter ring Blahbatuh, kasiwi dening sira Jaya Katong, arine sira Pasung Grigis, arane sira Jaya Katong, amukti ring Blahbatuh, hana ta gelung korine ring mahameru, kapolo dening sira Jaya Katong .

[Ini Raja Purana pemberian Bhatara Hyang Gnijaya, sebagai bukti Pasung Grigis, bertempat tinggal digunung Lempuyang, mengamong karena keturunan Sanghyang Sidhimantra, menjalani hidup suci, memuja haturan umat yang datang, sekaligus mengempon di Gunung lempuyang, Sanghyang Sidhimantra, bersama beliau Mpu Kuturan, keturunan Pasung Grigis, beliau Jaya Katong, beliau Jaya Katong tinggal di Blahbatuh yang bertanggung jawab terhadap rakyatnya, pemberian yang baru datang, bertempat di Balabatuh, beliau Jaya Katong, dikuasai oleh beliau Jaya Katong, adiknya beliau Pasung Girigis, namanya beliau Jaya Katong, bertempat tinggal di Blahbatuh, ada sebuah pintu gerbang pura yang luas, dibentuk oleh beliau Jaya Katong]

Salinan Purana Pura Puseh Gaduh

Salinan purana Pura Puseh Gaduh, yang ada di Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh, Gianyar, menjelaskan hal-hal berikut:

.....Om awignamastu nama sidham, tumurun kipamastu iki. Awignamastu nama swaha, tumurun kinawa Pasupati duk sira Arya Pasung Giri, sira Jaya Katong, amurti kerti ring batara, hana mijil swalita, karsen ira sira Jaya Katong, minta sih Arya Pasung Giri, andika ta sira Pasung Giri, ring sira Jaya Katong, wali kang ari, aminta sih ring batara Hyang Gnijaya, ju.....

.....mujug batara ring parihyangan, parihyangan hana ring Gaduh, aminta sih sira malih Jaya Katong, tumurun ki batara Hyang Tugu, lumaris hana ring pariangan, angregep ta sira Jaya Katong, tumurun ki batara Wisnu, angeregepta sira malih, tumurun batara Hyang Watukaru, angeregep ta sira malih batara Mahadewa amanca resi unggwaning batara, tumurun ki batara.....

..... Dewi Danuh, batara Hyang Pasupati, anyapta buwana unggwaning batara, tinurun ring pasamuan, enak ta batara malinggih, angeregep angeka pada ki sira Pasung Giri, mwah ta sira Jaya Katong, pakulun wara nugraha, hana ta andika batara, makabehan, angeka ta Hyang Gnijaya maka hyang hyang bwana kabeh tumurun ki batara batara surya candra, bata .....

..... ri ulan lintang tranggana, agunem ring pasamuan, angeka ta sumende sira Pasung Giri, sumende sira Jaya Katong, wijil ta sira, sanak ta sira, ki araka rai, kang sa roro, aran eki sumende sira Pasung Giri sira Arya Rigis, arane ki sumende sira Jaya Katong sira Arya Karang Buncing, wijileng sira Jaya Katong sanak roro, warah kang nugraha denira batara Hyang Gnijaya, angeka kang sumende..... ..... denira batara sami, batara angeka kang sumende arane sira Arya Rigis sumende ki sira Pasung Giri, amukti ring Lempuyang, sumende Jaya Katong arane sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu, Iki panugrahan Batara Hyang Gnijaya, miwah ta batara kabeh, sagunung saptane Bali, awarahnugraha, Arya Pasung Giri,

Ar .....

..... ya Jaya Katong, Arya Rigis, Arya Karang Buncing, mwah yan hana kang sumende, amukti ring Lempuyang, ring Balahbatu, mwah yan hana ngentosin, santanane sira Arya Rigis, mwah sira AryaKarang Buncing, moga kapastu dening batara Gde malinggih ring Lempuyang, moga kapastu dening batara kabeh sajumeneng ring Gunung Saptaning Bali, maka mwah batara Surya Candra, Batari Ulan, Lintang Tranggana, mwah Batara Gde malinggih ring.....

..... Gaduh, mwah batara Gde malinggih ring Karang Buncing, wastu gring tan waras, pejah tan pejah, nginum tan nginum, sakolo putrakanya tan hana manggih rahayu, mwah ta sira Arya Rigis, mwah ta sira Arya Karang Buncing, iki ta sumende sira Pasung Giri sira Jaya Katong, ki sira Arya Rigis, amukti ring Lempuyang maka miwah wenang amongmong batara ring Lempuyang, maka uloning bumi, maka siwaning bumi kasisya dening Hyang .....

..... Gnijaya sanagareng Bali, unggwaning suka lawan duka, pati lawan urip, swarga lawan papa, sekala niskala, amerta lawan dagdi, sama lawan arine, sira Arya Karang Buncing, amukti ring Balahbatu, sama wirasane, iki amongmong gelung agunge ring Bali, ki batara Gde ring Gaduh miwah ta kori agung, kamong mong denira Arya Karang Buncing, pangeka mukti, kawarahnugraha denira batara ring Lempuyang, maka miwah batara ring Gaduh,.....

..... minaka Gagaduhan jagat kabeh, awanana Lempuyang maka siwan bumi, awanana Gaduh, maka tunggul i bumi, hana bwana rwa, agung mwah alit, bwana alit, hana ta sira Arya Rigis, hana ta sira Arya Karang Buncing, Arya Rigis, minaka kembang, catur jadma, Arya Karang Buncing, bungkahing catur jadma, saika panugrahan batara Hyang Gnijaya, batara Hyang warah kadi arep, batara warah nugraha kang sumende, roro, kna kahug katindih.....

..... sumende roro, sang catur katri wangsan, ala king ya mamopes angalapana laki, aywa ngalap kembanging bumi, amepes hana sawa, aywa kembang bumi, angalapana laki aywa bungkahing bumi, tan wenang genah, samudra anunggang ukir, nga, panten capala denira batara kang munggwing arep, tan wenang alaki ibu aranya, suratma panten capala, nga, sumungsang, de.....

..... nya, nga, kembang miwah pancer, maka panyeceg gumi, panugrahan iki tiwakana, ring Arya Rigis, ring Arya Karang Buncing, kang ping arep, denya amukti, masiwa, matunggul, denya pageh sira, mwah yan hana tan tindih sira mukti kamuktiang doning kadang warganya, tan anut palanya ring sang amukti roro, tan tindih sakadi ne kocap ring arep, moga kadanda dening batara Gde kocap ring arep, knaha saupadrawa,.....

..... dening batara kabeh, tan ana tindih palanya, mwah yan hana iki santana nya kahilya hilya tinggal ring karamannya amukti, iki sentanan sira Arya Rigis, Arya Karang Buncing, miwah salawase tinggal ring Lempuyang ring Balahbatu, kramanya wenang, sira kasinahang, de nira sang amukti ring Lempuyang ring Balahbatu, aywa ta sira tar mukti karura sinahang, wenang ta sira kahilya hilya tingkahing amuk.....

..... ti, ring Lempuyang ring Balahbatu, wenang sira anyinahang ring Pura Gaduh tur amungkah lori lawang kori agunge ring Gaduh tur kaupasaksiyang keramanya ring Pura Gaduh, wus ana ring Pura Gaduh raju denira ring Karang Buncing, sakrama pura wisesa denira Arya Karang Buncing, wenang sira anyinahang dewek mwah sasantananya, gunane tan atep, wenang kapayu denira denya kabeh kna atiwakna, dening tirta panyinahan, tiwak akna wenang saiki..... ..... kang kahilya hilya atinggal ring sang amukti sakolo putra putraka nya kabeh, tiwaking adnyanan batara panugrahan batara Hyang Gnijaya, awarah batara umungguh pamastu miwah batarane kocap ring arep, lugra pamastu, kagaduh denira Arya Rigis, Arya Karang Buncing, ka angga gagaduhan, denya sira mukti, katemu temu tkeng sentananya satenggek papayuk belahe sera mukti ring Lempuyang, ring Balahbatu .....

..... aniwakana pasaksi ring kahilya hilya tiwakana winjana pasupati ning pamastu iki. Iki tumurun Hyang Pasupati pramana Sanghyang Sidhi anurun adnyana dadya wetu kipamastu nawa sanga, ma, iki, ma pamastu sidhi, ma, Ang Ung Mang, Yang Mang Bang, Ong Ong Ong, Brahma Wisnu Iswara Mahadewa, Ong Ang Mang Yang, aricandana, winastu sidhi dening Hyang, kramun tuhu kita hilya hilya, aninggal mula wit santana ne sira .....

..... Arya Karang Buncing, sah ring Blahbatuh, sah ring Lempuyang, mangke tumurun batara alingga ring Gunung Saptane ring Bali, batara Surya Candra Batari Ulan Lintang Trenggana, dulur hana ring rahayu salampah lakunya, batara ring Pura Gaduh batara ring Pura Karang Buncing, mapaweh kasidya rahayu karaman tan tuhu mula wit santanan sira Arya Karang Buncing, saha sakeng Balahbatu, sah ring Lempuyang, tan tuhu mala wit santa .....

..... na sira Arya Karang Buncing, tan tuhu sah ring Balahbatu, sah ring Lempuyang, moga kapastu ring batara ring Saptane ring Bali, batara Surya Batari Ulan Lintang Trenggana, Batara Gde malinggih ring Karang Buncing, Batara Brahma, Batara Wisnu, Batara Iswara, amastu sidhi, moga agring gring tan waras, kneng pastu dening batara kabe, pejah tan pejah, urip tan urip, mangan tan mangan, nginum tan nginum .....

..... moga ta santana, kari ya urip katemu tekeng payuk belahnya, tan hana manggih sadya rahayu tan hana karwat dening Brahmana Buda Siwa Buda, pamastu sidhi, Ung Ang Ung Mang, sidhi rastu namaswaha, tlas, pamastu iki panugrahan Bhatara Hyang Gnijaya, manuting dina, tang, pang, sasi, rah, tenggek, isaka .....

(Purana Pura Puseh Gaduh, Blahbatuh)

[..... Semoga Tuhan menjauhkan dari rintangan serta berhasil, turunlah kutukan ini, turunlah yang mulia dewa pasupati ketika arya Pasung Giri, beiau Jaya Katong, memuja kepada batara, munculah sinar suci, dikabulkan beliau Jaya Katong, mohon dikasihi kepada arya Pasung Giri, bersabdalah beliau Pasung Giri kepada beliau Jaya Katong kembali adikku, mohon pada bhatara Hyang Gnijaya, ...

..... turunlah batara di tempat suci, tempat suci yang ada di Gaduh, memohon lagi beliau Jaya Katong, turunlah batara Hyang Tugu, kemudian turun di tempat suci, berdoalah beliau Jaya Katong turunlah batara Wisnu, berdoa beliau lagi, turun batara Hyang Watukaru, berdoa beliau lagi, turunlah Hyang Mahadewa, amanca resi keberadaan batara, turunlah batara Dewi Danuh ….

..... batara Hyang Pasupati, tujuh penjuru kedudukan batara, turun di persidangan, bahagialah berada di pura, mendoa dengan sikap satu kaki beliau Pasung Giri, dan juga beliau Jaya Katong, yang di hormati menganugrahkan, ada sabda batara semua, hadirilah Hyang Gnijaya sebagai yang di puja semua umat turunlah batara Surya,

..... Bhatari Ulan Lintang Tranggana, bermusyawarah di tempat pertemuan, menyepakati sebagai pengganti beliau Pasung Giri, menggantikan beliau Jaya Katong, munculah beliau, anaknya beliau itu, sebagai kakak dan adik, keduanya, namanya ini pengganti Pasung

Giri,

..... beliau arya Rigis namanya yang menggantikan beliau Jaya Katong beliau arya Karang Buncing, lahir dari Jaya Katong anaknya dua, di anugrahi oleh beliau Hyang Gnijaya membuat pengganti,

..... oleh beliau batara sami, batara membuat, yang mengganti namanya beliau arya Rigis menggantikan beliau Pasung Giri, bertempat di Lempuyang, pengganti Jaya Katong namanya beliau arya Karang Buncing, tinggal di Blahbatuh, Ini anugrah batara Hyang Gnijaya, dan batara semuanya, yang ada di tujuh gunung di Bali, menganugrahi arya Pasung Giri,

..... arya Jaya Katong, arya Rigis, arya Karang Buncing, dan bila ada yang mengganti, tinggal di Lempuyang, di Blahbatuh, dan jika ada mengganti keturunannya beliau arya Rigis, beliau arya Karang Buncing, supaya di kutuk oleh batara Gde yang ada di Lempuyang, supaya di kutuk oleh batara semuanya yang ada pada tujuh gunung di Bali termasuk juga batara Surya Candra, batari Ulan Bintang Tranggana, dan batara gede bertempat di .....

..... Gaduh, dan batara Gde bertempat di Karang Buncing, di kutuk supaya sakit tidak wajar, mati tidak mati, minum tidak minum, seluruh keturunannya tidak ada yang selamat, lagi pula beliau arya Rigis, beliau arya Karang Buncing, inilah pengganti beliau Pasung Giri, beliau Jaya Katong, beliau arya Rigis bertempat di Lempuyang, lagi pula wajib dan berhak mengabdi pada batara di Lempuyang, sebagai kepalanya di bumi, sebagai Siwa di bumi dijadikan sisya oleh Hyang ..... ..... Gnijaya, seluruh Bali, tempat pada saat senang atau sedih, mati atau hidup, sorga atau neraka, nyata atau gaib, berhasiat atau racun, sama dengan adiknya beliau Karang Buncing bertempat di Blahbatuh, sama tanggung jawabnya, ini di pelihara pintu gerbang kebesaran di Bali, batara Gde di Gaduh dan pintu gerbang itu, di pelihara oleh beliau arya Karang Buncing, yang bertanggung jawab, sebagai anugrah oleh batara ring Lempuyang, dan juga oleh batara di Gaduh .....

..... sebagai pemujaan seluruh jagat, makanya Lempuyang sebagai guru di bumi, makanya Gaduh, sebab pelindung di bumi, ada dunia mendua, besar dan kecil, ada beliau arya Rigis, ada beliau arya Karang Buncing, arya Rigis sebagai kembang catur jadma, arya Karang Buncing mengawali catur jadma, demikian di anugrahkan oleh batara Hyang Gnijaya, batara yang mulia bersabda seperti di depan, batara menganugrahi .....

..... yang mengganti, keduanya, dalam kerusakan saling membantu keduanya, golongan catur katri wangsan, bersuami beliau, sering mencari laki, jangan mengambil kembang di bumi, sering ada paruman, jangan kembangi bumi, mengambil laki laki bungkahing bumi, tidak pada tempatnya, samudra menaiki gunung, namanya, ternoda dan di kutuk oleh batara yang ada di depan, tidak boleh ibu mencari lelaki, namanya, suratma panten capala, namanya, terbalik .....

..... olehnya, namanya kembang dan pancer, sebagai pedoman di masyarakat, anugrah ini ditujukan, kepada arya Rigis, kepada arya Karang Buncing, yang pertama oleh beliau menerima, berguru, berlindung, oleh kesungguhan beliau, dan bila ada tidak mematuhi beliau menerima kemudian diserahkan oleh karena berkeluarga tidak sesuai hasilnyadengan kedua yang menerima, tidak sesuai yang dikatakan di depan, semuanya dihukum oleh batara gde tersebut di muka, kena kutukan .....

..... oleh batara semua, tidak ada yang mematuhi hasilnya, dan bila ada begini keturunannya tidak pasti keberadaanya, tinggal dalam masyarakat, ini keturunan beliau arya Rigis, arya Karang Buncing, dan, selamanya berada di Lempuyang, di Blahbatuh, pelaksaannya harus beliau dinyatakan, oleh beliau yang tinggal di Lempuyang, di Blahbatuh, janganlah kamu tidak menerima kehebatan dalam membuktikan, pantaslah mereka tak menentu yang dilakukan sampai ada .....

.....  di Lempuyang, di Blahbatuh, wajib mereka membuktikan di pura Gaduh dengan membuka pintu gerbang kori agungnya di Gaduh lagi pula di saksikan oleh pelaksana di pura Gaduh, setelah di pura Gaduh dilanjutkan olehnya di Karang Buncing, sesuai dengan kewajiban berlaku di pura oleh beliau Karang Buncing, harus beliau membuktikan dirinya sendiri dan semua keturunannya, apabila tidak mau, harus di sucikan beliau beliau semuanya diperciki dengan tirta pesaksian, percikan dengan begini .....

.....  yang tidak mengetahui meninggalkan yang memelihara sanak keluarganya semua diperciki tirta yang di anugrahi batara hyang gnijaya, sabda batara berisi kutukan juga betara yang disebut di muka, memberi kutukan, dipuja oleh beliau arya rigis, arya Karang Buncing, dipakai pemujaan pleh beliau yang menerima, diketahui sampai pada keturunannya selamanya masih ada, di Lempuyang, di Blahbatuh ..... ..... memerciki tirta pasaksi pada orang yang mengaku warga percikan tirta suci pemastu yang di pasupatikan ini, turun hyang Pasupati berwujudkan suatu keberhasilan menurunkan anugrah jadinya keluar kutukan para dewa, mantra, ini, mantra, kutukan yang berhasil, mantra, Ang Ung Mang, Yang Mang Bang, Ong Ong Ong, Brahma Wisnu Iswara Mahadewa, Ong Yang Mung Yang, aricandana, semoga berhasil oleh Hyang, apabila kamu bingung, pergi memang berasal dari keturunannya beliau ….

..... arya Karang Buncing, pergi dari Blahbatuh, pergi dari Lempuyang, sekarang turun batara yang berstana di tujuh gunung yang ada di Bali, batara Surya Candra, batari Ulan Lintang Tranggana, bersama dengan kesucian segala tindakannya, batara di Gaduh, batara di Karang Buncing, menganugrahkan keberhasilan yang gemilang apabila tidak benar memang berasal dari keturunan....

..... beliau arya Karang Buncing, berpisah dari Blahbatuh, berpisah dari Lempuyang, tidak benar berpisah dari Blahbatuh, berpisah dari Lempuyang, supaya di kutuk oleh batara di ketujuh gunung di Bali, batara Surya batari Ulan Lintang Trenggana, batara yang berstana di pura Gaduh, yang berstana di Karang Buncing, batara Brahma, batara Wisnu, batara Iswara, mengutuk dengan berhasil, supaya menderita kesakitan tak waras kena kutukan oleh batara semua mati tidak mati, hidup tidak hidup, makan tidak makan, minum tidak minum .... ..... semoga tidak selamat, masih dia hidup diwarisi seluruh keturunannya tidak menemui kesuksesan baik yang tidak terobati oleh mantra suci, tidak terhapuskan oleh brahmana Buda Siwa Buda, kutukan yang berhasil, Ung Ang Ung Mang, mudah-mudahan berhasil, habis kutukan ini panugrahan Bhatara Hyang Gnijaya, sesuai dengan hari, tanggal, bulan, tahun ....

Pura Gaduh termasuk situs cagar budaya nasional, kini menjadi Pura Puseh, Desa Pakraman Blahbatuh.

‘Aedan piodalan’ di Pura Gaduh

Pemangku Pura Gaduh, Jro Mangku I Made Sutardja dan Pangemong Pura Gaduh, I Wayan Karang, mengatakan hari Piodalan di Pura Gaduh jatuh pada hari Selasa Keliwon, wuku Medangsia (Anggara Kasih Medangsia), setiap enam bulan kalender Bali dengan runutan acara sebagai berikut:

Pada hari Kamis wuku Sungsang (Sugiyan Jawa) acara nyuciang pralingga Ida Bhatara Gaduh (Arca Sapta Giri), dimana air suci mesiram ini dipergunakan untuk persiapan tirtha piodalan di Pura Kawitan dan piodalan di Pura Gaduh serta untuk umat se-dharma lainnya.

Sepuluh hari sebelum piodalan tepatnya Sabtu Kliwon Kuningan (Hari Raya Kuningan) adalah acara nuasen odalan.

Sembilan hari sebelum hari piodalan para pemedek lan pangayah membuat sanganan (nyacal jajan).

Delapan hari sebelum piodalan membuat jajahitan.

Lima hari sebelum piodalan persiapan membuat tataring, penjor, masang ider-ider dan lain sebagainya.

Empat hari sebelum piodalan pamedek nampah bebek, membuat banten caru dan malam hari nanding caru.

Tiga hari sebelum piodalan adalah acara macaru, nanding sanganan tebasan agung, netegan sampai selesai.

Dua hari sebelum hari piodalan adalah acara ngingsah, netegan dan lainnya.

Sehari sebelum hari piodalan acara munggah bhatara katur ring penjor ring jaba pamedal agung.

Puncak piodalan hari Selasa wuku Medangsia atau Anggara Kasih Medangsia. Acara piodalan dimulai pada sore hari dengan mamendak Ida Bhatara ring Batur Sari, Ida Bhatara ring Puseh, Ida Bhatara Pangulu dan nyutri dilakukan sebelum Ida Bhatara katuran malinggih ring payogan. Acara piodalan selalu dipimpin oleh Jero Mangku Pura Gaduh bersama Pemangku Pura lainnya. Puncak piodalan diiring dengan wayang lemah, topeng, nyutri, mapaselang, maprani dan terakhir dilakukan pawintenan bagi pangayah dan pamedek yang ingin mawinten

Sehari setelah piodalan yang disebut umanis odalan atau hari Rabu Umanis Medangsia acara nganyarin yang diikuti nyutri, mapaselang, dan pawintenan.

Dua hari setelah piodalan yang disebut pahing odalan acara nganyarin, dengan runutan nyutri, mapaselang, dan pawintenan

Tiga hari setelah piodalan atau tepatnya hari Jumat Medangsia yang disebut hari panyineban acara nganyarin, nyutri, pendet, matajen taluh, ngaturan tebasan pamurna ring palinggih Taksu Agung, ngaturan pangeluaran ring pura, mudalang Ida Bhatara Puseh, Ida Bhatara Batur Sari lan Pangulu serta mudalang Bhatara Katuran ring Penjor Jaba, setelah itu katuran panyineban ring Gedong, selesai.

Arca Sapta Giri Simbol Pengikat Persaudaraan

Arca Sapta Giri distanakan di Pura Gaduh merupakan lambang para dewa yang bersemayam di tujuh gunung yang ada di Bali, yaitu Gunung Lempuyang, Agung, Batur, Pucak Mangu, Batukaru, Andakasa dan Gunung Tulukbyu. Disamping itu Arca Sapta Giri merupakan pusat konsentrasi keturunanya dikala melakukan persembahyangan dari luar pura, misalnya, dari kamar suci atau merajan (rumah tangga warga) atau dengan perkataan lain jika ngayat ida bhatara pura gaduh arca ini sebagai titik fokus dalam mendekatkan diri kepada-Nya.

Disamping itu juga, arca sapta giri merupakan lambang pengikat persaudaraan keturunan para raja Bali lainnya, hal ini dijelaskan dalam Piagem Dukuh Gamongan, hal, 18a-18b, berikut:

..... angamong paryangan ingaranan Pura Gaduh, apan nguni kala ri sapalarasan nira sakeng Batahanyar, ngawa batur kalawasan arupa lingga sila abebed maka rumaketang pasanakan, mwang maka pangiket kawangsanira sedaya maring Batahanyar, moga riastu sira tan kahili-hilya sawarihta maring kahyangan nira Pura Gaduh kayeng kawekas wekas .....

Arca-arca purbakala dari tembaga dengan motif primitif, sebagai simbol Bhatara Sapta Giri yang distanakan di Pura Gaduh, Blahbatuh.

[…. mempunyai kewajiban memelihara bangunan suci namanya Pura Gaduh, demikian dari dahulu sepenanggungan dengan yang ada di Batahanyar, mengurus peninggalan yang sudah tua berupa beberapa arca, sebagai pengikat persaudaraan, disamping sebagai simbul kesatuan kewangsaan kita semuanya, terhadap di Batahanyar, semoga dikemudian hari tidak sampai terpisahkan seketurunan terhadap pemujaan beliau di Pura Gaduh untuk selama-lamanya…]

Model dan bentuk Arca Sapta Giri sangat primitf seperti model mesopotania zaman mesir kuno, tetapi kenapa disebut arca sapta giri? Kemungkinan dari karakter masing-masing arca itu berbeda-beda, ada berwujud orang tua jenggotan entah kaitan ke gunung mana arca itu, ada bentuk seperti anak muda gelung janger, arca ini entah kaitannya ke gunung mana. Ada berupa dewi yang berperawakan tinggi sikap tangan menunjuk kedepan. Bentuk mahkota arca satu dengan yang lain berbeda. Begitupun sikap tangan berlainan arca satu dengan yang lain, kemungkinan sikap dan bentuk seperti itu semuanya mengandung makna tertentu. Bentuk mahkota kemungkinan menandakan jabatan masing-masing, ada mahkota menyerupai jukung (perahu), ada mahkota menyerupai gelung janger, ada menyerupai gelung raja, ada mahkota menyerupai udeng biasa, ada menyerupai arca catur muka, empat muka dengan empat tangan.

Setiap Sugiyan Jawa, hari Kamis Sungsang, Arca Sapta Giri masucian (masiram) dipimpin oleh Jro Mangku Pura Gaduh, disaksikan para pangamong dan pangempon Pura Gaduh, serta umat Hindu sekitarnya. Pujawali di Pura Gaduh jatuh pada hari Selasa Kliwon, wuku Medangsia, duapuluh enam hari setelah hari masucian dilaksanakan.

1 komentar:

Awighenam astu, sukseme salam Rahayu Semeton sumatera🙏🙏🙏

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More