Bab V
Kebo Iwa yang
Tak Tertandingi
D |
alam sejarah Bali-Kuno, Kebo Iwa adalah seorang tokoh
sentral. Perannya menarik minat pemerhati tokoh-tokoh dan figur lokal, serta
menantang para pakar sejarah untuk terus menerus meneliti dan mengkajinya. Kebo
Iwa disegani banyak orang, sejak dulu, hingga kini. Ia ikon Bali, karena siapa
saja yang hendak mengkaji Bali zaman
dulu pasti bersua dengan nama Kebo Iwa.
Banyak versi kisah muncul tentang sosok ini. Dalam
perbincangan seharihari, ia disegani, ceritanya digemari, karena ia digambarkan
sebagai sosok yang tinggi besar, sangat kuat, pemberani, tetapi murah hati.
Kisah hidup Kebo Iwa semakin menjadi kajian menarik karena dihubungkan dengan
tipu muslihat mahapatih Majapahit, Gajah Mada, ketika menundukkan Bali, untuk
mempersatukan Nusantara. Bagi Gajah Mada, Bali hanya bisa ditaklukkan dengan
meruntuhkan bentengnya. Dan benteng itu adalah Kebo Iwa.
Jika orang-orang Bali masa kini memimpikan tokoh pahlawan,
sosok Kebo Iwa acap muncul, dan menjadi idola. Selain itu, sejarah Kebo Iwa
menarik perhatian seluruh kalangan, karena ia hidup melajang sampai akhir
hayat, hingga tewas di tanah Jawa. Hidupnya dilumuri pengabdian kepada tanah
tumpah darah dan leluhurnya.
Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini,
Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir Bali-Kuno. Ketangguhannya tak ada yang
menyamainya di daratan Bali pada era itu. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat
tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Kebo Iwa adalah putra
dari Sri Karang Buncing. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal juga
sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno sebagai hasil
karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi
Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan
Badhahulu.
Secara administratif dalam Prasasti Langgahan, Isaka
1259/1337 Masehi, dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, ada
beberapa senapati (mahapatih)
yang menyaksikan dikeluarkan aturan untuk Desa Hyang Putih dan sekitarnya,
yaitu: senapati kuturan
makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di kuturan bernama makakasir
mabasa sinom), sang
senapati sarbwa makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir
jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa
senapati lainnya.
Memakai acuan diatas, Kebo Iwa hanyalah seorang penjaga pos
keamanan untuk wilayah Blahbatuh, disamping Ki Tambyak penjaga pos di Jimbaran,
Ki Walungsingkal penjaga pos keamanan di Taro, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di
Sraya, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Kala Gemet di Tangkas, Ki Pasung Grigis
di Tengkulak, Si Tunjung Biru di Tianyar dan beberapa ksatrya Bali lainnya.
Yang banyak dikenang oleh masyarakat Bali yakni peristiwa
gugurnya Kebo Iwa di Jawa. Bermula dari niat Mahapatih Gajah Mada mempersatukan
Nusantara. Dimana Bali menjadi target pertama untuk ditaklukkan. Namun
penundukan Bali oleh Gajah Mada tidak terjadi dalam satu penyerangan total
besar-besaran. Justru Gajah Mada lebih dahulu menelisik bumi Bali,
mengusut-usut dimana letak kekuatan utama kerajaan ini.
Gajah Mada pun tahu kekuatan utama Bali pada patih-patihnya
yang mumpuni khususnya Kebo Iwa, maka Gajah Mada pun bersiasat untuk
menundukkan dulu Kebo Iwa. Gajah Mada berpura-pura kerajaan Majapahit yang kala
itu dipimpin Tribuwana Tunggadewi takluk kepada Bali dan ingin menjalin
persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, dimintalah Ki Kebo Iwa, patih Dalem
Badhahulu yang dikenal kuat untuk ikut ke Jawa, rencananya akan dikawinkan dengan
seorang putri cantik di Jawa.
Memang, sampai di Jawa Kebo Iwa dipertemukan dengan sang
putri cantik, namun sang putri cantik itu memberikan syarat agar Kebo Iwa
membuatkan dirinya sebuah sumur. Tanpa curiga, Kebo Iwa bersedia. Namun, tak
dinyana pasukan Majapahit menimbuni sang patih ulung itu dengan batu tatkala
menggali sumur di bawah tanah. Ki Kebo Iwa tak segera mati, memang, karena
saking kuatnya. Namun kejadian ini menyadarkannya, sebagai tanda pertanda
saat-saat berakhirnya.
Namun menurut petunjuk ‘niskala’ Kebo Iwa pun naik ke atas dari dalam sumur mencari
Gajah Mada sampai di Gunung Wilis, tepatnya di Dusun Wisata Besuki, Desa Jugo,
Kec. Mojo, Kediri, Jawa Timur. Karena suatu sumpah untuk menyatukan Nusantara
yang dianggap mulia oleh Ki Kebo Iwa, lalu sang mahapatih Bali menyerah (pamor putih, amoring
acintya) demi kejayaan bumi Nusantara ini. Pamor putih ini hanyalah
bahasa kiasan, lempar handuk putih atau angkat bendera putih dalam suatu
pertandingan pertanda menyerah. Dalam hal ini menyerah bukan berarti kalah
telah terjadi perkelahian kedua mahapatih ini. Atau kata pamor ini persesuaian dari bunyi amoring achintya (moksah)
tanpa ada yang mengetahui jazadnya.
Jadi menurut petunjuk niskala Kebo Iwa bukan gugur di dalam sumur setelah
ditaburi pamor putih seperti
yang diceritakan dalam teks babad. Secara akal sehat seseorang yang baru mengetahui
bahwa dirinya dipecundangi apakah tidak marah, lalu mencari Gajah Mada sampai
ketemu di Desa Besuki, Kediri. Sumur yang diperkirakan digali oleh Kebo Iwa terletak
di Desa Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Masa kini tempat gali sumur ini sudah
dibangun tempat suci bernama Candi Kedaton. Sedangkan situs batu tempat
pertemuan terletak di atas bukit yang disebut bukit batu tulis. Penduduk
sekitar Desa Besuki, situs batu itu disebut ‘Mahiso Truno Bali’ (Kebo Taruna Bali)
yakni berupa batu hitam tinggi sekitar 5 meter, beberapa langkah depan batu
itu, ditemukan batu hitam datar yang disangga dua batu, tinggi 1,5 meter.
Tampak situs batu itu saja, tidak ada batu hitam lain sekitarnya, tanah tempat
batu tulis itu adalah tanah gembur yang dilindungi oleh pemerintah setempat.
Tentu, akan semakin menarik menelusuri riwayat Kebo Iwa jika
kita simak prasasti-prasasti dan piagem yang mengungkap keberadaan dan
kebesarannya.
PIAGEM
DUKUH GAMONGAN
Sri Jaya Katong
Menurunkan 3 Putra dan Putri, Sri Rigis
dan Sri Karang Buncing (Kembar Laki dan Perempuan)
.....
sira Sri Jaya Katong awerdhi putra rwang siki, kang wayah, apuspa ta sira Sri
Rigis, arinira apanengeran ira Sri Karang Buncing, apan pametwanira Lanang Stri
pwa sira, risampun mendraguna pwa sira, Sri Rigis kadama putra pwa sira, dening
sira Pasung Grigis, apan sira, anyukla Brahmacaryya, tan adwe Santana, sira Sri
Rigis amuja palikrama maring Kahyangan nira Hyang Gnijaya, anisyanin,
sasukuning gunung Lempuyang, sira Sri Karang Buncing, amupu maring Batahanyar,
sasareng lawan yayahnira, Sri Jaya Katong, risampun Sri Taruna Jaya, angraksa
rajya, sira Sri Jaya Katong, neher kagunung Hyang, nincap wanaprasta, ngastiti
Hyang Widhi, nyujur patapan aguron-guron, lawan hyang hyang nira, sedaya . .
(Piagem Dukuh Gamongan, 8b-9b)
[..... Sri Jaya Katong, menurunkan dua orang putra, yang
sulung diberi nama Sri Rigis dan adiknya diberi nama Sri Karang Buncing, karena
beliau kelahiran laki dan perempuan (kembar buncing), setelah beliau cukup
dewasa, Sri Rigis diangkat menjadi anak oleh beliau Sri Pasung Grigis, karena
beliau menjalani hidup nyukla brahmcaryya (tidak kawin selamanya), tidak
mempunyai keturunan, beliau Sri Rigis yang memuja dan menghaturkan persembahan
umatnya ditempat suci Hyang Gnijaya, menjalani hidup suci dan mendoakan seluruh
kehidupan yang ada di Gunung Lempuyang, beliau Sri Karang Buncing, yang tinggal
di Batahanyar, bersama ayahnda Sri Jaya Katong, setelah Sri Taruna Jaya menjadi
Raja, beliau Sri Jaya Katong pergi ke Gunung Hyang, menjalani kehidupan
wanaprasta (hidup suci), memuji kebesaran Hyang Widhi, mengikuti jejak
perjalanan suci dari para leluhur mereka dahulu, seterusnya.....]
PIAGEM
DUKUH GAMONGAN
Sri Karang
Buncing Menurunkan 3 Putra dan Putri, Sri Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing (Kembar Laki dan
Perempuan)
.....
sira Sri Karang Buncing, nyakraweti, byuh bala, mwang kasung dening wong sarat
maring Bangsul, ring yusaning bumi, Retu Sagara Ngaksi Ulan, risampun makudang
kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong karesmin lawan arinira, nora
hana adwe putra, neher sira angastiti Hyang, maring Pura Gaduh, Kahyangan
gagaduhan prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri
nira Sri Karang Buncing, ri sampun tugtug kasmalanira, metu putra Agung
apanjang, tan sasameng wong, iningu inupakaranen, dening bagawanira, sira
Pasung Grigis, wetning agung apanjang pangadeg ira, ika marmanyan kasambrat,
Walungsingkal, wetning teguh Katong pawakanira, dening kakyang nira, maweha
puspata pwa sira Sri Jaya Katong, ri sedeng mengpeng jajaka, nira pinaka
dmakdada nira prabhu Bali, sira abhiseka Sri Kbo Taruna, wetning tanana adwe
stri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, makweh nama nira wetning yasa nira, sira Sri
Kebo Iwa, widagda wijaksana, kukuh angadegaken sastra dresti, hasta kosala
kosali, pinagehaken, mwang tan tumamah dening sarwa astra, ika marmanya sira
byuh bala, rinatwaken dening sarat, apan akweh yasanira angwangunaken pura
pura, mwang empelan empelan, maring desa paradesa, angapti kakertaning jagat
Bangsul, arinira Sri Kebo Iwa, apasadnya sira Sri Karang Buncing, apan nira
metu lakibi, sewosan ring sang kalih, Sri Karang Buncing makweh mangaji putra,
wetning Bibi Jenggi, ika marmanya Sri Karang Buncing, akweh maputra hana
mapalarasan maring, Seraya, Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamlang,
apan Sri Karang Buncing, ambawarupa, tulya Sanghyang Semara nyalantara, sakeng
Bibi papadan wang, treh nira Sri Karang Buncing hana maring desa para desa,
maka hulu hulu Bandadesa sajagat
Bangsul,
(Piagem Dukuh Gamongan, hal. 9b-11b)
[.....
Sri Karang Buncing yang memerintah, banyak kekuasaan, juga terhadap
rakyat yang gugur di Bali, ialah pada umur bumi, Saka 1246/1324 Masehi. Setelah
beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan
belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada batara yang ada di Pura
Gaduh, tempat Suci pemerintahan Raja Bali.
Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri Sri Karang Buncing.
Setelah cukup umur kandungannya, lahir putra, tinggi besar, tak ada orang
menyamai, dirawat, diasuh dan diupacarai oleh kakek beliau Bagawan Sri Pasung
Grigis. Oleh karena tinggi besar berotot badan beliau, itu makanya disebut
Walungsingkal, karena tegap dan perkasa badannya, oleh kakek beliau
dianugrahkan nama sama Sri Jaya Katong.
Selagi menginjak perjaka, beliau sebagai panglima
perang raja Bali, beliau disebut Sri Kebo Taruna, sebab tidak beristri, Kbo
Wayura, Kbo Tarung Dangkal, banyak nama lain beliau. Karena jasa-jasa beliau
disebut Kebo Iwa, karena pandai dan bijaksana, taat menjalani aturan-aturan
agama, ahli dalam ilmu pembangunan, juga tidak mempan dengan sembarang senjata,
dengan demikian banyak lawan yang takut karena kekuatan beliau. Karena banyak
jasa membangun kembali pura pura, juga bendungan-bendungan, yang ada di
desa-desa, menjaga ketentraman jagat Bali.
Adik Sri Kebo Iwa, bernama Sri Karang Buncing, sebab
lahir laki dan perempuan. Selain lahir mereka berdua, Sri Karang Buncing banyak
mempunyai putra berasal dari istri orang biasa (selir), maka dari itu Sri
Karang Buncing banyak putra-putranya bertebaran berada didaerah Seraya,
Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamblang, sebab Sri Karang Buncing
sangat tampan rupawan, bagaikan Dewa Asmara dan Dewi Ratih. Kenyataan, dari
istri bangsawan, keturunan Sri Karang Buncing ada didesa-desa sebagai pucuk
pimpinan di jagat Bali.]
Kebo Iwa dalam Purana, Prasasti dan Babad
Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa
Ketut Sudarsana dari Desa Bangli, Baturiti, Tabanan,
menceritakan tentang Sanghyang Siwa Pasupati. Dikisahkan, setelah terbang di
angkasa membawa bongkahan gunung yang diambil dari Gunung Mahameru. Selanjutnya
ia berstana di Puncak Candi Purusada yang merupakan cikal bakal adanya Pulau Bali,
dimana Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang Bali juga diberi sebutan Bhagawan
Mangga Puspa, yang dilukiskan dengan perawakan yang amat besar dan kekar dan
juga disebut Bhatara Tengahing Segara.
Lama kelamaan beliau mempunyai seorang putra yang perawakanya
juga tinggi kekar, yang diberi nama Dewa Gede Kebo Iwa Sinuhun Kidul.
Selanjutnya Dewa Gede Kebo Iwa menjadi raja di Pulau Bali dengan gelar Raja
Pajenengan/Sanghyang Sinuhun Kidul.
Sanghyang Sinuhun Kidul/Dewa Gede Kebo Iwa yang merupakan
Awatara dari Sanghyang Brahma, mempunyai banyak sebutan bagi orang Bali
seperti:
Tatkala masih perjaka disebut Ki Taruna Bali.
Pada saat menjadi raja bergelar Sanghyang Sinuhun Kidul.
Pada waktu membawa Tattwa Usadha dan Tattwa Kadyatmika
bergelar Ida Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat.
Pada saat berstana di Gunung Gumang, bergelar Bhatara Gede
Gunung
Gumang.
Tatkala bersatu dengan Bhatara Kala dan berstana di Bale
Agung disebut Bhatara Gede Sakti.
Pada saat mendirikan parahyangan di Bali bergelar I Dewa
Gede Kebo Iwa.
Tatkala membawa tempat tirta lengkap dengan busana seperti
gelang kana serta salipet kiwa tengen disebut Ida Bhatara Guru.
Ia juga bergelar Bhatara Amurbeng Rat, manakala menciptakan
tempat-tempat air seperti, Telaga Waja, Tirtha Bima, Tirtha Wahyu, Tirtha
Sudhamala, Tirtha Erbang, Tirtha Mambar-mambur, Tirtha Sapuh Jagat, dan Tirtha
Pasupati, yang letaknya tersebar di pulau Bali
Sekarang tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk
Buddha Berawa dengan mengubah wujudnya menjadi Barong,
karena pulau Bali ini ditimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan
magis dari Kala Durgha Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya menuju ke barat
akhirnya tiba di Pucak Padang Dawa, dan akhirnya ia bersua dengan Sanghyang
Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah,
dengan mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra.
Ia merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena
Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat mengubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai
sejak itu rencang
dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket,
Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan dewanya taksu kesenian. Ia juga dewanya para
dukun seperti Balian Engengan, Balian Katakson, Balian Usadha, Balian Konteng
di wilayah Pulau Bali.
Prasasti Pura Maospahit, dirangkum sebagai berikut:
Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup sebagai
suami istri, belum juga dikarunia putra, hatinya sanagat sedih. Lalu pada hari
yang baik, ia berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi di
Pura Bedugul Gaduh. Akhirnya ia mendapat seorang putra, yang lama kelamaan
diberi nama Kebo Waruga, berperawakan
tinggi besar, tidak ada orang menyamai di bumi Bali ini. Apalagi kesaktianya,
teguh, tidak mempan oleh senjata buatan manusia, ahli dalam bidang pembangunan,
beliau sidhi ucap.
Pada tahun Saka 1185/1263 Masehi, Kebo Waruga mendirikan
pasukan Taruna Watu, yang jumlah anggotanya sebanyak
33 orang. Lalu ia membangun Pura Dalem
Maya pada tahun Saka 1197/1275 Masehi. Setelah selesai
membangun pura, pada saat itu, tahun Saka 1198/1276 Masehi, Kebo Waruga bingung
pikirannya, lalu ia menyelusup kedesa-desa seperti Bualu, Pecatu, Tunggaking
Pering, Kali Jajuwan. Ia dijunjung di jagat Kali Jajuwan itu. Soal makanan ia
sangat rakus, itu sebabnya badannya tinggi dan besar, sehingga kesengsaran dan
bingung rakyat beliau. Kebo Iwa pun mengutuk tempat itu dan dinamakan Desa
Serangan.
Kebo Iwa berjalan ke utara, ke jagat Badung menjadi tukang
bangunan suci seperti membuat candi Raras Maospahit yang menghadap ke barat
pada tahun Saka 1200/1278 Masehi.
Lagi diceritakan, yang menjadi pimpinan jagat Kapal, Bali,
yang bergelar Dalem Rokaranti, tempat itu bernama Pastenganan yang letaknya
arah tenggara Puri ne Kawit, disebut Dalem Pura Sada (Dalem
Bringkit-Kebo Iwa). Di sana ia mendirikan Candi Raras yang sudah dipastu, yang
ia katakan, “Bilamana ada seorang istri yang sedang mengandung masuk ke pura
itu akan gugur kandungannya”.
Desa Kapal itu juga dikutuk tidak boleh membangun mamakai
bahan dari batu bata sampai kini, karena ia yang patut memerintahkan kutukan
bumi ini.
Ia bagaikan dewata yang dijunjung seperti Dewata Saking
Kidul (Hyang Sinuhun Kidul). Karena Ida Kebo Iwa tidak punya tempat maka ia
mendirikan bale panjang yang disebut Bale Agung, juga mendirikan dapur di Desa
Sri Jong, Bale Panjang ada di desa Beda, serta semua rakyat tidak berani
melawannya.
Lagi diceritakan, yang menjadi raja di jagat Bali saat itu
adalah Ida Dalem Batu Ireng (Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana, Sri
Tapa Hulung, Dalem Bedahulu), mengutus para Demung yang bernama Arya Kalung
Singkal di Desa Taro, Arya Tunjung Biru, Arya Tunjung Tutur juga patih Kopang
di Batur, arya Pasung Grigis di Tengkulak, Ida Patih Giri Gemana di Jambirana,
Patih Tambyak di Jimbaran membuat pondok prajurit mau menguji kesaktian I Kebo
Iwa.
Tatkala di hari yang tepat diadakan pertarungan, Ida Sang
Prabu Batu Ireng diiringi oleh Mantri Gudug Basur telah naik ke tempat yang
telah disiapkan, lalu suara kentongan berbunyi bertalu-talu, suara gamelan,
suara gemuruh rakyat tak henti-hentinya. Lalu Pasung Grigis memerintahkan patih
semuanya untuk melawan I Kebo Iwa mengadu kewisesan (perang tanding). Semua patih dan rakyat kalah
dalam mengadu tanding tersebut. Dengan demikian Prabu Batu Ireng kagum atas
kekuatan I Kebo Iwa, lalu I Kebo Iwa diangkat menjadi patih andalan. Kekuatan
Ida I Kebo Iwa sangat terkenal sampai di luar pulau Bali.
Babad Bara Batu, prasasti Pura Dalem Maya, Blahbatuh, Gia nyar
Isi
babad ini hampir sama dengan Prasasti Pura Maospahit, hanya tambahan sebagai
berikut:
Pada tahun Isaka 1185/1263 Masehi, Prajurit Taruna Batu,
anggota sebanyak 33 orang, semuanya gagah berani berbusana serba putih, memakai
destar merah api, bunga Waribang Dwikarna, bersenjata tamyang dan keris 10 orang pengawin
samlong mapontang kuningan 10 dan membawa pratoda, dan tiga orang membawa air,
pasepan, tirtha suci.
Diceritakan lagi tahun Isaka 1197/1275 Masehi pasukan Teruna
Batu membangun Pura Dalem Maya. Dikisahkan lagi Patih Mada bermaksud membuat
daya upaya jahat terhadap Sang Kebo Waruga bersama raja Bali karena tahu para
patihnya tak ada menandingi kesaktiannya. Kemudian Patih Mada bersama para
patih Wilwatikta mendarat di segara rupek di Gilimanuk, menuju ke Telukan
Bawang, merambas tegalan di desa Garabong (Pulaki) serta desa Pangastulan, naik
perahu menuju ujung gunung Tolangkir terus ke Tianyar dan Samprangan.
Ketika diketahui kedatangan para mantri Jawa oleh pasukan
Taruna Batu, disambut dengan ramah dan bersalaman, karena sebelumnya sudah ada
tanda persahabatan dengan mengibarkan bendera putih, dan perlengkapan upacara
agama, lantas diajak ke rumah orang tuanya Karang Buncing di Blahbatuh, dan
ditanya maksud atas kedatangannya, yaitu menjalankan perintah Sri Aji
Wilwatikta melamar Kebo Iwa akan disandingkan dengan putri dari Jawa Madura.
Atas ijin sang raja lalu Kebo Iwa pamitan dengan para mantri
semuanya, juga menghaturkan sembah bhakti di Pura Gaduh, lalu menuju ke Pura
Luhur, Uluwatu, melakukan yoga semadhi seorang diri tanpa ada orang yang
mengiringi.
Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju
pantai Pula Ayam (Bali Tegil), di Benoa, menaiki perahu layar ke tengah
samudra, lalu ada tanda yang tidak baik, hujan ribut dan kilat bersahu-sahutan,
perahu layar diterjang ombak, tahu dirinya akan kena bencana dan ingat akan
kewajiban sebagai seorang ksatria yaitu kesetiaan, ia lalu turun berenang ke
tengah lautan mengobok-obok air laut bagaikan lajunya perahu layar.
Kemudian ia tiba di Jawa dan disambut oleh orang-orang
Surabaya, Madura, tak terbilang banyak menyambut kedatangannya. Ia, lalu
disuruh membuat sumur di lereng gunung untuk tempat pemandian Sang Dyah di kala
hari pernikahan nanti. Setelah Kebo Iwa menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan-bongkahan
batu, lalu disangga batu itu dengan kedua belahan tangan dan dihempaskan
kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang
menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu.
Lalu Kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap, “Hai
kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tak akan mati oleh
batu, juga dengan segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke pulau
Bali. Dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin mematikan aku, dengan kapur bubuk
timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa,
buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua, semoga di kemudian hari di bumi
ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semuanya akan kesusahan,” demikian
akhirnya Kebo Iwa meninggal didalam sumur menuju kesunyian.
Ki Kebo Iwa versi Jawa
Riwayat Kebo Iwa disusun oleh Sukarto K. Atmojo biasa
dikatakan sebagai cerita Kebo Iwa vesi Jawa. Versi kisah ini dikenal luas di
JawaTimur. Dalam buku karangan R.J.L.Russendrager yang berjudul “Residentie
Passaroeang” (maksudnya Pasuruan) dan dicetak dalam tahun 1840 M, diceritakan
mengenai seorang putri Majapahit yang cantik bernama Putri Jajawi, dinamakan
demikian karena ia bukannya minum susu ibunya, melainkan susu kerbau, domba,
dan sapi. Ketika ia berumur 15 tahun secara diam-diam meninggalkan istana dan
bertempat tinggal didekat Pandakan (Jawa Timur) serta membuat rumah didesa
Jejawi. Tempat itulah sekarang terkenal dengan candinya bernama Candi Jawi.
Kecantikannya terkenal dimana-mana, bahkan sampai juga terdengar di Bali.
Seorang perajurit yang sangat sakti, Kebo Suwo Yuwo, datang
ke Jawa melamarnya. Di dekat Jejawi ia mendirikan sebuah desa bernama Suwo
Yuwo. Karena putri Jejawi takut menolak lamarannya, maka ia mencari akal dan
minta kepada Kebo Suwo Yuwo supaya dibuatkan sebuah sumur yang dalam.
Mulailah Kebo Suwo Yuwo menggali sumur yang dalam memenuhi
permintaan putri tersebut. Dan karena dalamnya maka suara ayam berkokok di luar
pun tidak lagi terdengar. Setelah itu Putri Jejawi memanggil anak buahnya
supaya menimbuni sumur tersebut dengan batu-batu besar.
Tapi, dari dalam sumur Kebo Suwo Yuwo mengatakan bahwa tidak
akan mati kalau hanya ditimbun dengan batu, melainkan segera akan binasa
apabila ditutup dengan ranting kayu-kayuan dan garam. Demikianlah, setelah
sumur ditimbun dengan ranting dan garam matilah Kebo Suwo Yuwo di dalamnya.
Akhir
ceritera mengungkapkan, itulah sebabnya di Candi Jawi terdapat
3 buah arca wanita yang menggambarkan Putri Jejawi, dan di
Desa SuwoYuwo terdapat terdapat sebuah sumur kuno yang masih berair (th. 1840
M). Dapat ditambahkan menurut peta purbakala, Desa Suwo-Yuwo terletak di antara
desa Purwosari-Pandakan.
Memburu Kuburan Kebo Iwa Hingga ke Gunung
Wilis
Harian
NusaBali, Sabtu, 26 Februari 2005, menurunkan tulisan tentang
peninggalan benda-benda purbakala, legenda, dan mitos tentang Kebo Iwa yang
membuat penasaran banyak orang. Mereka bahkan memburu “jejak”
Tahun 1990, penglisir Sri Karang Buncing Jero
Wayan Gede Oka (berkacamata, kiri) di depan sumur Upas, yang diperkirakan
digali oleh Sri Kebo Iwa, di Jawa
kemungkinan keberadaan kubur Kebo Iwa hingga ke Gunung
Wilis, Kediri, Jawa Timur. Banyak orang yang penasaran, karena Kebo Iwa adalah
tokoh besar di masa silam, Kebo Iwa adalah Patih dari kerajaan Bali pada masa
pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, sebelum ditaklukkan
Majapahit tahun 1343 Masehi.
Kebo Iwa adalah seorang patih yang sakti mandraguna dan
selama hajatnya membujang, sehingga disebut juga Kebo Taruna. “Hal itu (mencari
jejak kubur Kebo Iwa hingga ke Gunung Wilis) berdasarkan petunjuk niskala”, ujar I Wayan Gede Oka, salah seorang tokoh
masyarakat Blahbatuh, Gianyar – yang menurut cerita merupakan tempat kelahiran
Kebo Iwa. Wayan Gede Oka tidak ingat persis kapan petunjuk niskala lewat balian
(paranormal) itu diterima, tapi dari ingatannya, sekitar 11 hari setelah
digelarnya karya di Pura Karang Buncing – pura yang berkaitan dengan riwayat
Kebo Iwa. Hal itu memang berkaitan dengan tradisi dan keyakinan untuk
menanyakan secara niskala soal pelaksanaan yadnya yang telah digelar. Pada saat nunas bawos (minta petunjuk niskala)
itulah, menurut Oka, terungkap kalau Gunung Wilis di Jawa Timur berkaitan
dengan riwayat Kebo Iwa. “Mungkin tak masuk akal, namun nyata ada fakta,“
terang Oka.
Ditambahkan Oka, saat nunas bawos tersebut, terjadi peristiwa dimana balian
kerawuhan
seraya menyatakan di sekitar kaki Gunung Wilis, ada tanda-tanda seperti meja
dan kursi dari batu. Di lokasi itulah Kebo Iwa
Sesuai petunjuk niskala batu tempat moksa Sri Kebo Iwa, terletak di Desa Besuki,
Kediri, Jawa Timur
kembali ke alam sunya. Disamping itu, ada pula petunjuk lain, bahwa jika
menginginkan lokasi berpulangnya Kebo Iwa, diminta mencari petunjuk pada
seorang yang bernama Pangot, yang tinggal di lereng Gunung Wilis.
Petunjuk niskala itu kemudiaan oleh Oka dan rombongan lain
yang punya tujuan sama, dengan napak tilas ke Gunung Wilis beberapa waktu lalu.
Napak tilas jejak Kebo Iwa itu setelah ada kejadian aneh, yakni Sunarya,
seorang karyawan hotel di kawasan Sanur, didatangi seseorang yang tak dikenal
memakai jeans
dan berkaca mata. Kepada Sunarya, orang yang tak dikenal tersebut menanyakan
apa jadi ke Gunung Wilis? Kemudian orang itu membuat sketsa denah perjalanan.
“Hanya itu, kemudian menghilang, Sunarya merasa ganjil dan menyampaikan hal
ini,” kilah Oka.
Fakta menunjukkan, di lereng Gunung Wilis memang ada
bendabenda seperti kursi batu dan meja besar. Meja batu besar itu berukuran 8
meter x 0,8 meter plus penutup yang juga sama panjangnya dan lebarnya.
Sementara salah satu sandaran kursi batu yang ada, tingginya sekitar 3,5 meter.
Di belakang kursi tersebut, agak basah.
Fakta di lereng Gunung Wilis itu relatif sama dengan
‘petunjuk niskala’ yang diterima sebelumnya. “Sepertinya tak mungkin, namun
buktinya memang ada,” kenang Oka. Demikian juga kisah adanya seseorang bernama
Pangot dalam petunjuk niskala. Rombongan napak tilas akhir riwayat Kebo Iwa
dari Blahbatuh menemukan seseorang dengan ciri serupa. Walau tak ketemu
orangnya, namun warga sekitar menyebutkan memang ada orang bernama Pangot hanya
saja vokalnya beda. “Mereka menyebutkan sudah berubah nama menjadi Pengot,”
ungkap Oka. Yang ditemui di Gunung Wilis, kata Oka, adalah orang tua Pangot
atau Pengot – karena Pengot sudah transmigrasi ke Sumatera. Lantaran ada
petunjuk-petunjuk dan fakta-fakta itulah diyakini Gunung Wilis berkaitan dengan
riwayat akhir Kebo Iwa di Tanah Jawa.
Ada petunjuk sepertinya tidak nalar, tapi ada fakta yang
ditemukan kemudian. Diantaranya ada rombongan dari Blahbatuh itu yang kerawuhan
dan tanpa sadar menceritakan bagaimana Kebo Iwa mengakhiri hidupnya di Gunung
Wilis. Yang aneh, pada saat kerauhan itu, dia menunjuk Kepala RT dari kampung
itu. Disebutkan, bahwa ayah dari Ketua RT tersebut bernama Sumardi. Kepala RT
itupun heran, karena memang benar almarhum ayahnya bernama Sumardi.
Wangsit Bahaya di Pura Kurubaya
Sebelum berangkat ke Majapahit, Kebo Iwa diyakini mendapat sipta
atau firasat buruk tentang kemungkinan bahaya kepergiannya ke Jawa. Tempat
wangsit itu kemudian diabadikan menjadi Pura Kuru Baya, yang bermakna
peringatan akan adanya bahaya atau isyarat bahaya.
Lokasi
Pura Kuru Baya ini agak tersembunyi, karena terletak di sisi
Pura Kuru Baya tempat Kebo Iwa mendapat wangsit
bahaya.
barat Pura Gaduh. Dari luar tidak tampak karena dikelilingi
tembok yang tingginya sekitar 1,70 meter. Posisi pura menghadap ke arah barat,
dengan pintu masuk seukuran orang dengan kedua tangan berkacak pinggang.
“Inilah palinggih
yang diyakini sebagai lokasi Kebo Iwa mendapat wangsit negatif prihal undangan
Gajah Mada ke Majapahit untuk dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari Lemah
Tulis,” ungkap Jro Wayan Gede Oka, panglingsir warga Sri Karang Buncing. Namun,
karena terikat perintah Raja, meski mendapat wangsit dan firasat buruk, Kebo
Iwa berangkat juga ke Majapahit. Hal ini juga sebagai wujud dan loyalitas Patih
Kebo Iwa kepada Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, penguasa Bali saat itu.
Ternyata benar, Kebo Iwa terbunuh karena siasat dari Gajah
Mada. Jero Wayan Gede Oka tidak bercerita bagaimana riwayat dibangunnya Pura
Kuru Baya tersebut. Namun demikian dari cerita leluhur dan panglingsir dan cerita rakyat
sekitarnya, Pura Kuru Baya merupakan lokasi dimana patih Kebo Taruna
mendapatkan wangsit akan bahaya perihal undangan Gajah Mada ke Majapahit.
Pura Budha Manis Desa Darmasaba
Tinggalan Kebo
Iwa di dalam monografi desa Darmasaba tahun 1980 secara tersirat dijelaskan, Setelah Ida Pandita Manuaba dan Ida Pandita Budha kembali
melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang
Sumur Kebo Iwa di kiri Gedong, Pura Buda Manis,
Br. Cabe, Darmasaba
bendesa, tempat itu kini dinamai Menesa, sekarang menjadi
nama banjar. Melalui Bendesa ini diadakan pendekatan untuk datang ke sebuah
pura yang saat Ida Pandita bertapa semedi di Pura Sarin Buana di Jimbaran
keliatan Sinar api yang sangat terang dan begitu besar serta agungnya. Tempat
pura yang terdapat sinar tersebut kini disebut Pura Hyang Api yang terletak di
wilayah Banjar Menesa.
Kedua Pandita dan Ki Bendesa kemudian mengadakan pertemuan
di Pura Budha Manis, sebuah pura yang dibangun oleh Kebo Iwa, untuk
mengingatkan bahwa tempat itu pernah dilaksanakan pertemuan penting untuk
membicarakan ke dharmaan (kesucian) kemudian tempat itu diberi nama Darmasaba
(Dharma = kesucian dan Sabha = pertemuan), usai pertemuan itu, Bendesa Aban
mohon pamit pulang, karena hari sudah sore Ki Bendesa Aban mempercepat
perjalanan, dalam Bahasa Bali mempercepat jalan itu disebut “Cabe” dan
selanjutnya dipakai nama Banjar Cabe sampai kini. Dalam penelusuran penulis
tanggal 8 Desember 2018 ke Pura Budha Manis di Banjar Cabe berdiri sebuah
Gedong, sekitar 5 meter dari Gedong terdapat sebuah sumur dengan diameter sekitar 50 cm dan kedalaman 1
meter yang tidak pernah kering walaupun sekitar pura sawah kering bertahunan,
informasi dari pangemong Pura Buda Manis Wayan Suparta.
Semer Kebo
Desa Bangkah, Tejakula
Menurut Penyarikan Desa Bangkah Jro Nyoman Renes (disini penyarikan
di desa lain disebut Bendesa), mengatakan bahwa sumur itu merupakan hasil
tinggalan Kebo Iwa, hal ini diketahui secara lisan diceritakan dari
Di batu bibir sumur terdapat telapak kaki kiri
Kebo Iwa
ayahnya Jro Mangku Teka yang pernah menjabat sebagai
penyarikan desa selama puluhan tahun. Sebuah sumur yang letaknya sekitar
seratus meter dari bibir pantai dengan lebar satu meter dan kedalaman satu
setengah meter oleh masyarakat desa disebut semer kebo karena dulunya dijadikan sumber air minum untuk
ternak sapi, disamping untuk dikonsumsi oleh warga sekitar, sebelum air pipa
masuk ke masing-masing rumah warga.
Pernah terjadi seorang warga desa yang mengidap penyakit
menahun yang telah berobat puluhan kali ke medis disamping pengobatan
alternatif belum juga menemukan kesembuhan, kemudian warga desa itu menanyakan
dirinya ke orang pintar dan disuruh nunas air sumur yang ada di Bangkah. Selesai menghaturkan
banten, pemangku sumur mau memerciki air sumur itu kepadanya untuk diminum
namun warga itu tidak mau, karena jijik melihat keadaan disekitar sumur yang
kumuh apalagi banyak kotoran sapi. Akhirnya di malam hari antara sadar dan
tidak sadar didalam kamar tidurnya didatangi oleh seseorang berbadan gede
tinggi mengatakan kenapa tidak mau minum air sumur itu, mau sembuh apa tidak,
kemudian orang gede itu menyentuh kepalanya dengan jari dan esok hari memang
berbekas di kepala yang disentuhnya. Kemudian warga desa itu mendatangi sumur
diantar oleh pemangku yang sehari-hari bertugas di sumur itu. Setelah nunas air
semer
kebo tersebut, dia sehat sampai kini. Juga beberapa orang dari luar desa
Bangkah yang membayar kaul ke sumur kebo sebagai pertanda menemukan kesembuhan
setelah datang nunas tirta tersebut.
Hanya ada sebuah palinggih Padmasari kecil berdiri di
samping sumur pada aliran sungai kecil yang sudah mengering dibawahnya, tanpa
batas penyengker dan palinggih penunjang lainnya. Air sumur ini juga digunakan
jika ada upacara piodalan di pura kahyangan desa maupun di tempat suci warga
desa Bangkah. Di atas sumur terdapat sebuah telapak kaki kiri Kebo
Sumur Kebo Iwa, Subak Abian Semer, Pura Taman,
Banjar Bingin, Depeha
Iwa yang menurut mediator penulis telusuri tanggal 28 Juli
2019 yang lalu. Warga desa menghaturkan pujawali di Pura Sumur ini pada hari
Purnama katiga.
Semer Kebo Iwa Pura Taman, Banjar Bingin, Depeha
Desa Depeha termasuk desa kuna era kerajaan awal sejarah
Bali, sebuah desa berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut wilayah
Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng. Banyak cerita yang penulis dapati
dari warga setempat terutama informasi dari Guru Gede Kojeran bertempat tinggal
tidak jauh dari sumber air didalam penelusuran tanggal 28 Juli 2019 lalu.
Setahunya dahulu seluruh warga yang ada di Depeha mengantre mencari air dari
sumur ini. Pagi hari membawa ember kecil sampai sore belum tentu didapat karena
saking seret air nya keluar. Karena letaknya di atas bukit tentu sulit untuk
menggali sumur pada kedalaman ratusan meter di atas permukaan laut. Berbeda
dengan sumur sekitar pesisir pantai yang jelas rembesan airnya pasti ke
sekitarnya.
Sumur dengan diameter sekitar satu meter dengan kedalaman
tiga meter memang dahulu di musim kemarau warga berbondong-bondong mengantre
untuk mencari air minum. Saking banyaknya warga mengantre sampai kehabisan dan
kelihatan dasar sumur sehingga warga menunggu berjamjam demi satu sekop air
untuk dikonsumsi. Begitu pun dengan sumur ini menurut warga sekitar merupakan
sumur yang dibuat oleh Kebo Iwa. Lewat mediator penulis menelusuri bahwasannya
di tempat ini dahulu mengalami kekeringan dan Beliau diminta oleh sang ngawawa
rat
untuk memohon dengan tapa yoga semadi memuja kepada Hyang Widhi agar tersedia
sumber air. Konon dengan kaki kiri Beliau mengadakannya. Air sumur ini sangat
baik untuk bajang colong, melukat
bagi yang baru melahirkan dan untuk tirta yadnya lainnya hanya dengan sarana
kelapa muda gading dicampur dengan air sumur dan menyebut nama Bliau agar
dianugrahi.
Sumur ini menjadi amongan Subak Abian Semer karena saking
keramatnya dan tidak sembarang orang boleh turun mengambilnya sehingga dibangun
tower bak penampungan agar lebih mudah warga mengambilnya. Setelah bangunan bak
penampungan selesai dan air sumber tidak mau naik ke atas dan kini bak air
penampungan itu terbengkelai.
Sumur Kebo Iwa di Pura Tirta Maji, Depeha
Menurut sumber dokumentasi desa setempat, nama lama Desa
Depeha berasal dari kata Indrapura diambil dari nama sebuah pura yang didirikan
atas ijin Raja Sri Kesari Warmadewa, dari kata Indrapura berubah menjadi
Drapura dan sesudahnya menjadi Depeha. Juga ada sumber lain menyebutkan Depeha
berasal dari bahasa Bali terdiri dari kata Da dan Paha artinya, Da = jangan dan
Paha = pisahkan, dibagi. Jadi Depeha artinya jangan dipisahkan atau jangan
dibagi. Desa Depeha dengan luas 8,95 Km/ persegi dengan ketinggian 500 meter di
atas permukaan laut.
Sumur Kebo Iwa di Pura Tirta Maji berada sekitar limaratus
meter dari pusat desa dan sekitar lima kilometer dari Subak Abian Semer.
Terdapat dua informasi yang penulis dapati tentang keberadaan sejarah Tirta
Maji ini. Menurut informan Putu Ary seorang tetua warga setempat dari tutur
secara lisan disebutkan bahwa sumber air ini dibangun oleh Kebo Iwa. Sedangkan
sumber lain dalam Eka Likita yang ditulis oleh Bpk. Gede Sekar tahun 1999,
disebutkan, suatu ketika Desa Banua diserang wabah penyakit sehingga banyak
masyarakatnya meninggal, bahkan tersisa hanya 22 kepala keluarga, akhirnya Ida
Pedanda Sinuhun memerintahkan pindah ke arah baratdaya. Sebelum pindah jumlah
kepala keluarga sebanyak 22 itu dibagi menjadi dua, sebelas ke kanan dan 11 ke
kiri sebagai Dwi Lingga simbul purusa pradana yang kemudian disebut Desa Kalih Likur.
Selesai membentuk desa Kalih Likur Ida Pedanda Sinuhun
memberi genta bersimbul lembu nandini diserahkan ke Jero Kubayan desa, karena desa kalih
likur tidak bisa memantra
apalagi menyuarakan bajra dan sangkunya di semayamkan pada sebuah sumur yang
sekarang berada di Pura Tirta Maji. Apabila kelak masyarakat mengadakan upacara
wenamg memohon tirta disini dengan suara bajra yang diberikan oleh Ida Pedanda
akan muput
secara niskala.
Disebut Maji karena air sumur tersebut sangat berguna sekali
dalam arti dikeramatkan oleh warga sekitarnya. Ada kejadian warga desa
mengambil air lalu dibawa ke rumah dimasak untuk menyeduh kopi setelah di minum
seluruh yang meminum kopi itu muntah mencret, juga ada warga mengambil air
dengan sena (timba
dibuat dari daun lontar) setelah penuh
Sumur di Pura Tirta Maji, desa Depeha, Kubu
Tambahan, Buleleng
tetapi tidak bisa di angkat ke atas. Pantangan yang tidak
boleh dilanggar adalah jika warga mau menghaturkan upakara dan sembahyang
pantang menggunakan bunga warna merah, menghaturkan olahan daging sapi, pantang
mengeluh dengan keadaan sekitar. Hari pujawali di Pura Tirta Maji pada hari
Purnama Kawulu di emong oleh Banjar Bingin, Banjar Dangin Pura, Banjar Dauh
Pura, Banjar Pengubungan, Banjar Sangglung dan Banjar Seganti.
Sumur Kebo Iwa, Desa Julah, Kubu Tambahan
Pulau Bali sejak jaman dahulu sudah dikenal oleh para
pedagang dan para pendeta dari Tiongkok Cina, kala itu para pedagang berlabuh
di pesisir pantai utara pulau Bali membentang dari pesisir barat Celukan Bawang
(Teluk Terima), Pemuteran, Sungai Raja (Singaraja), Sangsit, Kubu Tambahan dan
Julah. Para syahbandar atau pedagang biasanya berlabuh di pantai Julah dengan
bukti karena banyak ditemukan benda peninggalan seperti tembikar, jangkar dari
kayu di kedalaman 10 meter didasar laut demikian dikatakan oleh Bapak I Wayan
Suastika yang saat penulis telusuri jejak Kebo Iwa sedang mencalonkan diri
sebagai Perbekel Desa Julah yang biasa disebut Bapa Prajurit oleh warga desa
setempat.
Sebelum disebut Julah namanya Sari Waringin, karena terjadi
pembrontakan sehingga banyak warga Sari Waringin yang mengungsi ke hutan
sekitar Pura Bukit, setelah aman ada beberapa warga yang berani kembali ke desa
asalnya dan ada sebagian warga mengungsi ke Desa Sembiran. Sehingga warga yang
kembali ke desa asalnya seolah-olah ka
Tampak dari atas Semer Suci, Desa Julah, Tejakula
Ulah atau di usir dalam Bahasa Melayu.
Sumur yang berada sekitar seratus meter dari bibir pantai
terdapat beberapa lobang sumur yang diberi nama Semer Kayehan Sampi, Semer
Kayehan Istri, Semer Kayehan Lanang dan Semer Suci. Saat penulis berada di
areal sumur, terlihat beberapa warga datang silih berganti menimba air di Semer
Suci untuk keperluan air minum. Canang yang dihaturkan bukan seperti biasa yang
dijumpai sehari-hari di tempat lain, Canang ala Julah terdiri dari tiga lembar
daun sirih, tiga lembar bunga intaran dan buah pinang. Begitu pun saat
memerciki tirta memakai segempok daun menori bersama bunganya dalam arti tangan
tidak boleh nyentuh tirta. Dikala sembahyang tempat duduk laki dan tempat duduk
perempuan terpisah, yang laki berada di sisi kanan sedangkan yang perempuan
berada disisi kiri dan keunikan khusus lainnya. Hanya di Semer Suci terdapat
sebuah Bale Piyasan tampak beberapa bekas sesajen di atasnya, di Kayehan Lanang
tempat mandi untuk pria, Kayehan Istri tempat mandi untuk perempuan dan Kayehan
Sampi air disediakan untuk ternak sapi maupun kuda dan hewan lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar