Selasa, 04 April 2023

Bab V Kebo Iwa yang Tak Tertandingi

Bab V

Kebo Iwa yang  Tak Tertandingi

D

alam sejarah Bali-Kuno, Kebo Iwa adalah seorang tokoh sentral. Perannya menarik minat pemerhati tokoh-tokoh dan figur lokal, serta menantang para pakar sejarah untuk terus menerus meneliti dan mengkajinya. Kebo Iwa disegani banyak orang, sejak dulu, hingga kini. Ia ikon Bali, karena siapa saja yang hendak  mengkaji Bali zaman dulu pasti bersua dengan nama Kebo Iwa.

Banyak versi kisah muncul tentang sosok ini. Dalam perbincangan seharihari, ia disegani, ceritanya digemari, karena ia digambarkan sebagai sosok yang tinggi besar, sangat kuat, pemberani, tetapi murah hati. Kisah hidup Kebo Iwa semakin menjadi kajian menarik karena dihubungkan dengan tipu muslihat mahapatih Majapahit, Gajah Mada, ketika menundukkan Bali, untuk mempersatukan Nusantara. Bagi Gajah Mada, Bali hanya bisa ditaklukkan dengan meruntuhkan bentengnya. Dan benteng itu adalah Kebo Iwa.

Jika orang-orang Bali masa kini memimpikan tokoh pahlawan, sosok Kebo Iwa acap muncul, dan menjadi idola. Selain itu, sejarah Kebo Iwa menarik perhatian seluruh kalangan, karena ia hidup melajang sampai akhir hayat, hingga tewas di tanah Jawa. Hidupnya dilumuri pengabdian kepada tanah tumpah darah dan leluhurnya.

Dalam mitologi yang dikenal masyarakat Bali hingga kini, Kebo Iwa adalah seorang patih sakti pada masa akhir  Bali-Kuno. Ketangguhannya tak ada yang menyamainya di daratan Bali pada era itu. Kebo Iwa disebut-sebut bertempat tinggal di Blahbatuh, sebelah baratdaya kota Gianyar. Kebo Iwa adalah putra dari Sri Karang Buncing. Selain sebagai patih sakti, Kebo Iwa dikenal juga sebagai seorang arsitek (undagi). Banyak bangunan-bangunan kuno sebagai hasil karyanya. Tetapi dalam prasasti yang dikeluarkan Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, satu pun tidak muncul nama Kebo Iwa sebagai mahapatih kerajaan Badhahulu.

Secara administratif dalam Prasasti Langgahan, Isaka 1259/1337 Masehi, dikeluarkan oleh Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, ada beberapa senapati (mahapatih) yang menyaksikan dikeluarkan aturan untuk Desa Hyang Putih dan sekitarnya, yaitu: senapati kuturan makakasir mabasa sinom (sang mahapatih di kuturan bernama makakasir mabasa sinom), sang senapati sarbwa makakasir candri lengis, sang senapati wrasanten makakasir jagatrang, sang senapati dinganga makakasir gagak lpas, dan beberapa senapati lainnya.

Memakai acuan diatas, Kebo Iwa hanyalah seorang penjaga pos keamanan untuk wilayah Blahbatuh, disamping Ki Tambyak penjaga pos di Jimbaran, Ki Walungsingkal penjaga pos keamanan di Taro, Ki Bwahan di Batur, Ki Kopang di Sraya, Si Tunjung Tutur di Tenganan, Si Kala Gemet di Tangkas, Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Si Tunjung Biru di Tianyar dan beberapa ksatrya Bali lainnya.

Yang banyak dikenang oleh masyarakat Bali yakni peristiwa gugurnya Kebo Iwa di Jawa. Bermula dari niat Mahapatih Gajah Mada mempersatukan Nusantara. Dimana Bali menjadi target pertama untuk ditaklukkan. Namun penundukan Bali oleh Gajah Mada tidak terjadi dalam satu penyerangan total besar-besaran. Justru Gajah Mada lebih dahulu menelisik bumi Bali, mengusut-usut dimana letak kekuatan utama kerajaan ini.

Gajah Mada pun tahu kekuatan utama Bali pada patih-patihnya yang mumpuni khususnya Kebo Iwa, maka Gajah Mada pun bersiasat untuk menundukkan dulu Kebo Iwa. Gajah Mada berpura-pura kerajaan Majapahit yang kala itu dipimpin Tribuwana Tunggadewi takluk kepada Bali dan ingin menjalin persahabatan. Sebagai tanda persahabatan, dimintalah Ki Kebo Iwa, patih Dalem Badhahulu yang dikenal kuat untuk ikut ke Jawa, rencananya akan dikawinkan dengan seorang putri cantik di Jawa.

Memang, sampai di Jawa Kebo Iwa dipertemukan dengan sang putri cantik, namun sang putri cantik itu memberikan syarat agar Kebo Iwa membuatkan dirinya sebuah sumur. Tanpa curiga, Kebo Iwa bersedia. Namun, tak dinyana pasukan Majapahit menimbuni sang patih ulung itu dengan batu tatkala menggali sumur di bawah tanah. Ki Kebo Iwa tak segera mati, memang, karena saking kuatnya. Namun kejadian ini menyadarkannya, sebagai tanda pertanda saat-saat berakhirnya.

Namun menurut petunjuk ‘niskala’ Kebo Iwa pun naik ke atas dari dalam sumur mencari Gajah Mada sampai di Gunung Wilis, tepatnya di Dusun Wisata Besuki, Desa Jugo, Kec. Mojo, Kediri, Jawa Timur. Karena suatu sumpah untuk menyatukan Nusantara yang dianggap mulia oleh Ki Kebo Iwa, lalu sang mahapatih Bali menyerah (pamor putih, amoring acintya) demi kejayaan bumi Nusantara ini. Pamor putih ini hanyalah bahasa kiasan, lempar handuk putih atau angkat bendera putih dalam suatu pertandingan pertanda menyerah. Dalam hal ini menyerah bukan berarti kalah telah terjadi perkelahian kedua mahapatih ini. Atau kata pamor ini persesuaian dari bunyi amoring achintya (moksah) tanpa ada yang mengetahui jazadnya.

Jadi menurut petunjuk niskala Kebo Iwa bukan gugur di dalam sumur setelah ditaburi pamor putih seperti yang diceritakan dalam teks babad. Secara akal sehat seseorang yang baru mengetahui bahwa dirinya dipecundangi apakah tidak marah, lalu mencari Gajah Mada sampai ketemu di Desa Besuki, Kediri. Sumur yang diperkirakan digali oleh Kebo Iwa terletak di Desa Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Masa kini tempat gali sumur ini sudah dibangun tempat suci bernama Candi Kedaton. Sedangkan situs batu tempat pertemuan terletak di atas bukit yang disebut bukit batu tulis. Penduduk sekitar Desa Besuki, situs batu itu disebut ‘Mahiso Truno Bali’ (Kebo Taruna Bali) yakni berupa batu hitam tinggi sekitar 5 meter, beberapa langkah depan batu itu, ditemukan batu hitam datar yang disangga dua batu, tinggi 1,5 meter. Tampak situs batu itu saja, tidak ada batu hitam lain sekitarnya, tanah tempat batu tulis itu adalah tanah gembur yang dilindungi oleh pemerintah setempat.

Tentu, akan semakin menarik menelusuri riwayat Kebo Iwa jika kita simak prasasti-prasasti dan piagem yang mengungkap keberadaan dan kebesarannya.

PIAGEM DUKUH GAMONGAN

Sri Jaya Katong Menurunkan 3 Putra dan Putri, Sri Rigis  dan Sri Karang Buncing (Kembar Laki dan Perempuan)

..... sira Sri Jaya Katong awerdhi putra rwang siki, kang wayah, apuspa ta sira Sri Rigis, arinira apanengeran ira Sri Karang Buncing, apan pametwanira Lanang Stri pwa sira, risampun mendraguna pwa sira, Sri Rigis kadama putra pwa sira, dening sira Pasung Grigis, apan sira, anyukla Brahmacaryya, tan adwe Santana, sira Sri Rigis amuja palikrama maring Kahyangan nira Hyang Gnijaya, anisyanin, sasukuning gunung Lempuyang, sira Sri Karang Buncing, amupu maring Batahanyar, sasareng lawan yayahnira, Sri Jaya Katong, risampun Sri Taruna Jaya, angraksa rajya, sira Sri Jaya Katong, neher kagunung Hyang, nincap wanaprasta, ngastiti Hyang Widhi, nyujur patapan aguron-guron, lawan hyang hyang nira, sedaya . .

(Piagem Dukuh Gamongan, 8b-9b)

[..... Sri Jaya Katong, menurunkan dua orang putra, yang sulung diberi nama Sri Rigis dan adiknya diberi nama Sri Karang Buncing, karena beliau kelahiran laki dan perempuan (kembar buncing), setelah beliau cukup dewasa, Sri Rigis diangkat menjadi anak oleh beliau Sri Pasung Grigis, karena beliau menjalani hidup nyukla brahmcaryya (tidak kawin selamanya), tidak mempunyai keturunan, beliau Sri Rigis yang memuja dan menghaturkan persembahan umatnya ditempat suci Hyang Gnijaya, menjalani hidup suci dan mendoakan seluruh kehidupan yang ada di Gunung Lempuyang, beliau Sri Karang Buncing, yang tinggal di Batahanyar, bersama ayahnda Sri Jaya Katong, setelah Sri Taruna Jaya menjadi Raja, beliau Sri Jaya Katong pergi ke Gunung Hyang, menjalani kehidupan wanaprasta (hidup suci), memuji kebesaran Hyang Widhi, mengikuti jejak perjalanan suci dari para leluhur mereka dahulu, seterusnya.....]

PIAGEM DUKUH GAMONGAN

Sri Karang Buncing Menurunkan 3 Putra dan Putri, Sri Kebo Iwa  dan Sri Karang Buncing (Kembar Laki dan Perempuan)

..... sira Sri Karang Buncing, nyakraweti, byuh bala, mwang kasung dening wong sarat maring Bangsul, ring yusaning bumi, Retu Sagara Ngaksi Ulan, risampun makudang kudang warsa nira Sri Karang Buncing, angamong karesmin lawan arinira, nora hana adwe putra, neher sira angastiti Hyang, maring Pura Gaduh, Kahyangan gagaduhan prabhu Bali, asung kerta nugraha Hyang Sapta Giri, mabwaya ta stri nira Sri Karang Buncing, ri sampun tugtug kasmalanira, metu putra Agung apanjang, tan sasameng wong, iningu inupakaranen, dening bagawanira, sira Pasung Grigis, wetning agung apanjang pangadeg ira, ika marmanyan kasambrat, Walungsingkal, wetning teguh Katong pawakanira, dening kakyang nira, maweha puspata pwa sira Sri Jaya Katong, ri sedeng mengpeng jajaka, nira pinaka dmakdada nira prabhu Bali, sira abhiseka Sri Kbo Taruna, wetning tanana adwe stri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, makweh nama nira wetning yasa nira, sira Sri Kebo Iwa, widagda wijaksana, kukuh angadegaken sastra dresti, hasta kosala kosali, pinagehaken, mwang tan tumamah dening sarwa astra, ika marmanya sira byuh bala, rinatwaken dening sarat, apan akweh yasanira angwangunaken pura pura, mwang empelan empelan, maring desa paradesa, angapti kakertaning jagat Bangsul, arinira Sri Kebo Iwa, apasadnya sira Sri Karang Buncing, apan nira metu lakibi, sewosan ring sang kalih, Sri Karang Buncing makweh mangaji putra, wetning Bibi Jenggi, ika marmanya Sri Karang Buncing, akweh maputra hana mapalarasan maring, Seraya, Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamlang, apan Sri Karang Buncing, ambawarupa, tulya Sanghyang Semara nyalantara, sakeng Bibi papadan wang, treh nira Sri Karang Buncing hana maring desa para desa, maka hulu hulu Bandadesa sajagat

Bangsul,

(Piagem Dukuh Gamongan, hal. 9b-11b)

[..... Sri Karang Buncing yang memerintah, banyak kekuasaan, juga terhadap rakyat yang gugur di Bali, ialah pada umur bumi, Saka 1246/1324 Masehi. Setelah beberapa tahun Sri Karang Buncing hidup bersuami istri dengan adiknya, dan belum mempunyai putra, lalu beliau memohon kepada batara yang ada di Pura Gaduh, tempat Suci pemerintahan Raja Bali.

Atas rahmat Ida Bhatara Hyang Sapta Giri, akhirnya ngidam istri Sri Karang Buncing. Setelah cukup umur kandungannya, lahir putra, tinggi besar, tak ada orang menyamai, dirawat, diasuh dan diupacarai oleh kakek beliau Bagawan Sri Pasung Grigis. Oleh karena tinggi besar berotot badan beliau, itu makanya disebut Walungsingkal, karena tegap dan perkasa badannya, oleh kakek beliau dianugrahkan nama sama Sri Jaya Katong.

Selagi menginjak perjaka, beliau sebagai panglima perang raja Bali, beliau disebut Sri Kebo Taruna, sebab tidak beristri, Kbo Wayura, Kbo Tarung Dangkal, banyak nama lain beliau. Karena jasa-jasa beliau disebut Kebo Iwa, karena pandai dan bijaksana, taat menjalani aturan-aturan agama, ahli dalam ilmu pembangunan, juga tidak mempan dengan sembarang senjata, dengan demikian banyak lawan yang takut karena kekuatan beliau. Karena banyak jasa membangun kembali pura pura, juga bendungan-bendungan, yang ada di desa-desa, menjaga ketentraman jagat Bali.

Adik Sri Kebo Iwa, bernama Sri Karang Buncing, sebab lahir laki dan perempuan. Selain lahir mereka berdua, Sri Karang Buncing banyak mempunyai putra berasal dari istri orang biasa (selir), maka dari itu Sri Karang Buncing banyak putra-putranya bertebaran berada didaerah Seraya, Panataran, Cemeti, Lebah, Culik, Tejakula, Tamblang, sebab Sri Karang Buncing sangat tampan rupawan, bagaikan Dewa Asmara dan Dewi Ratih. Kenyataan, dari istri bangsawan, keturunan Sri Karang Buncing ada didesa-desa sebagai pucuk pimpinan di jagat Bali.]

Kebo Iwa dalam Purana, Prasasti dan Babad

Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa

Ketut Sudarsana dari Desa Bangli, Baturiti, Tabanan, menceritakan tentang Sanghyang Siwa Pasupati. Dikisahkan, setelah terbang di angkasa membawa bongkahan gunung yang diambil dari Gunung Mahameru. Selanjutnya ia berstana di Puncak Candi Purusada yang merupakan cikal bakal adanya Pulau Bali, dimana Tuhan Yang Maha Esa bagi orang-orang Bali juga diberi sebutan Bhagawan Mangga Puspa, yang dilukiskan dengan perawakan yang amat besar dan kekar dan juga disebut Bhatara Tengahing Segara.

Lama kelamaan beliau mempunyai seorang putra yang perawakanya juga tinggi kekar, yang diberi nama Dewa Gede Kebo Iwa Sinuhun Kidul. Selanjutnya Dewa Gede Kebo Iwa menjadi raja di Pulau Bali dengan gelar Raja Pajenengan/Sanghyang Sinuhun Kidul.

Sanghyang Sinuhun Kidul/Dewa Gede Kebo Iwa yang merupakan Awatara dari Sanghyang Brahma, mempunyai banyak sebutan bagi orang Bali seperti:

Tatkala masih perjaka disebut Ki Taruna Bali.

Pada saat menjadi raja bergelar Sanghyang Sinuhun Kidul.

Pada waktu membawa Tattwa Usadha dan Tattwa Kadyatmika bergelar Ida Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat.

Pada saat berstana di Gunung Gumang, bergelar Bhatara Gede Gunung

Gumang.

Tatkala bersatu dengan Bhatara Kala dan berstana di Bale Agung disebut Bhatara Gede Sakti.

Pada saat mendirikan parahyangan di Bali bergelar I Dewa Gede Kebo Iwa.

Tatkala membawa tempat tirta lengkap dengan busana seperti gelang kana serta salipet kiwa tengen disebut Ida Bhatara Guru.

Ia juga bergelar Bhatara Amurbeng Rat, manakala menciptakan tempat-tempat air seperti, Telaga Waja, Tirtha Bima, Tirtha Wahyu, Tirtha Sudhamala, Tirtha Erbang, Tirtha Mambar-mambur, Tirtha Sapuh Jagat, dan Tirtha Pasupati, yang letaknya tersebar di pulau Bali

Sekarang tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Buddha Berawa dengan mengubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini ditimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Durgha Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya menuju ke barat akhirnya tiba di Pucak Padang Dawa, dan akhirnya ia bersua dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra.

Ia merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat mengubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan dewanya taksu kesenian. Ia juga dewanya para dukun seperti Balian Engengan, Balian Katakson, Balian Usadha, Balian Konteng di wilayah Pulau Bali.

 

Prasasti Pura Maospahit, dirangkum sebagai berikut:

Entah berapa lama Ida Arya Karang Buncing hidup sebagai suami istri, belum juga dikarunia putra, hatinya sanagat sedih. Lalu pada hari yang baik, ia berkeinginan nunas ica memohon kemurahan hati Ida Sanghyang Widhi di Pura Bedugul Gaduh. Akhirnya ia mendapat seorang putra, yang lama kelamaan diberi nama Kebo Waruga, berperawakan tinggi besar, tidak ada orang menyamai di bumi Bali ini. Apalagi kesaktianya, teguh, tidak mempan oleh senjata buatan manusia, ahli dalam bidang pembangunan, beliau sidhi ucap.

Pada tahun Saka 1185/1263 Masehi, Kebo Waruga mendirikan pasukan Taruna Watu, yang jumlah anggotanya sebanyak 33 orang.  Lalu ia membangun Pura Dalem Maya pada tahun Saka 1197/1275 Masehi. Setelah selesai membangun pura, pada saat itu, tahun Saka 1198/1276 Masehi, Kebo Waruga bingung pikirannya, lalu ia menyelusup kedesa-desa seperti Bualu, Pecatu, Tunggaking Pering, Kali Jajuwan. Ia dijunjung di jagat Kali Jajuwan itu. Soal makanan ia sangat rakus, itu sebabnya badannya tinggi dan besar, sehingga kesengsaran dan bingung rakyat beliau. Kebo Iwa pun mengutuk tempat itu dan dinamakan Desa Serangan.

Kebo Iwa berjalan ke utara, ke jagat Badung menjadi tukang bangunan suci seperti membuat candi Raras Maospahit yang menghadap ke barat pada tahun Saka 1200/1278 Masehi.

Lagi diceritakan, yang menjadi pimpinan jagat Kapal, Bali, yang bergelar Dalem Rokaranti, tempat itu bernama Pastenganan yang letaknya arah tenggara Puri ne Kawit, disebut Dalem Pura Sada (Dalem Bringkit-Kebo Iwa). Di sana ia mendirikan Candi Raras yang sudah dipastu, yang ia katakan, “Bilamana ada seorang istri yang sedang mengandung masuk ke pura itu akan gugur kandungannya”.

Desa Kapal itu juga dikutuk tidak boleh membangun mamakai bahan dari batu bata sampai kini, karena ia yang patut memerintahkan kutukan bumi ini.

Ia bagaikan dewata yang dijunjung seperti Dewata Saking Kidul (Hyang Sinuhun Kidul). Karena Ida Kebo Iwa tidak punya tempat maka ia mendirikan bale panjang yang disebut Bale Agung, juga mendirikan dapur di Desa Sri Jong, Bale Panjang ada di desa Beda, serta semua rakyat tidak berani melawannya.

Lagi diceritakan, yang menjadi raja di jagat Bali saat itu adalah Ida Dalem Batu Ireng (Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Gajah Wahana, Sri Tapa Hulung, Dalem Bedahulu), mengutus para Demung yang bernama Arya Kalung Singkal di Desa Taro, Arya Tunjung Biru, Arya Tunjung Tutur juga patih Kopang di Batur, arya Pasung Grigis di Tengkulak, Ida Patih Giri Gemana di Jambirana, Patih Tambyak di Jimbaran membuat pondok prajurit mau menguji kesaktian I Kebo Iwa.

Tatkala di hari yang tepat diadakan pertarungan, Ida Sang Prabu Batu Ireng diiringi oleh Mantri Gudug Basur telah naik ke tempat yang telah disiapkan, lalu suara kentongan berbunyi bertalu-talu, suara gamelan, suara gemuruh rakyat tak henti-hentinya. Lalu Pasung Grigis memerintahkan patih semuanya untuk melawan I Kebo Iwa mengadu kewisesan (perang tanding). Semua patih dan rakyat kalah dalam mengadu tanding tersebut. Dengan demikian Prabu Batu Ireng kagum atas kekuatan I Kebo Iwa, lalu I Kebo Iwa diangkat menjadi patih andalan. Kekuatan Ida I Kebo Iwa sangat terkenal sampai di luar pulau Bali.

Babad Bara Batu, prasasti Pura Dalem Maya, Blahbatuh, Gia nyar

Isi babad ini hampir sama dengan Prasasti Pura Maospahit, hanya tambahan sebagai berikut:

Pada tahun Isaka 1185/1263 Masehi, Prajurit Taruna Batu, anggota sebanyak 33 orang, semuanya gagah berani berbusana serba putih, memakai destar merah api, bunga Waribang Dwikarna, bersenjata tamyang dan keris 10 orang pengawin samlong mapontang kuningan 10 dan membawa pratoda, dan tiga orang membawa air, pasepan, tirtha suci.

Diceritakan lagi tahun Isaka 1197/1275 Masehi pasukan Teruna Batu membangun Pura Dalem Maya. Dikisahkan lagi Patih Mada bermaksud membuat daya upaya jahat terhadap Sang Kebo Waruga bersama raja Bali karena tahu para patihnya tak ada menandingi kesaktiannya. Kemudian Patih Mada bersama para patih Wilwatikta mendarat di segara rupek di Gilimanuk, menuju ke Telukan Bawang, merambas tegalan di desa Garabong (Pulaki) serta desa Pangastulan, naik perahu menuju ujung gunung Tolangkir terus ke Tianyar dan Samprangan.

Ketika diketahui kedatangan para mantri Jawa oleh pasukan Taruna Batu, disambut dengan ramah dan bersalaman, karena sebelumnya sudah ada tanda persahabatan dengan mengibarkan bendera putih, dan perlengkapan upacara agama, lantas diajak ke rumah orang tuanya Karang Buncing di Blahbatuh, dan ditanya maksud atas kedatangannya, yaitu menjalankan perintah Sri Aji Wilwatikta melamar Kebo Iwa akan disandingkan dengan putri dari Jawa Madura.

Atas ijin sang raja lalu Kebo Iwa pamitan dengan para mantri semuanya, juga menghaturkan sembah bhakti di Pura Gaduh, lalu menuju ke Pura Luhur, Uluwatu, melakukan yoga semadhi seorang diri tanpa ada orang yang mengiringi.

Setelah beberapa lama di parahyangan lalu berjalan menuju pantai Pula Ayam (Bali Tegil), di Benoa, menaiki perahu layar ke tengah samudra, lalu ada tanda yang tidak baik, hujan ribut dan kilat bersahu-sahutan, perahu layar diterjang ombak, tahu dirinya akan kena bencana dan ingat akan kewajiban sebagai seorang ksatria yaitu kesetiaan, ia lalu turun berenang ke tengah lautan mengobok-obok air laut bagaikan lajunya perahu layar.

Kemudian ia tiba di Jawa dan disambut oleh orang-orang Surabaya, Madura, tak terbilang banyak menyambut kedatangannya. Ia, lalu disuruh membuat sumur di lereng gunung untuk tempat pemandian Sang Dyah di kala hari pernikahan nanti. Setelah Kebo Iwa menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan-bongkahan batu, lalu disangga batu itu dengan kedua belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu.

Lalu Kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap, “Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengharapkan aku mati, aku tak akan mati oleh batu, juga dengan segala senjata buatan manusia, malu aku kembali ke pulau Bali. Dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin mematikan aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua, semoga di kemudian hari di bumi ini akan dimasuki kebo putih, saat itu semuanya akan kesusahan,” demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal didalam sumur menuju kesunyian.

Ki Kebo Iwa versi Jawa

Riwayat Kebo Iwa disusun oleh Sukarto K. Atmojo biasa dikatakan sebagai cerita Kebo Iwa vesi Jawa. Versi kisah ini dikenal luas di JawaTimur. Dalam buku karangan R.J.L.Russendrager yang berjudul “Residentie Passaroeang” (maksudnya Pasuruan) dan dicetak dalam tahun 1840 M, diceritakan mengenai seorang putri Majapahit yang cantik bernama Putri Jajawi, dinamakan demikian karena ia bukannya minum susu ibunya, melainkan susu kerbau, domba, dan sapi. Ketika ia berumur 15 tahun secara diam-diam meninggalkan istana dan bertempat tinggal didekat Pandakan (Jawa Timur) serta membuat rumah didesa Jejawi. Tempat itulah sekarang terkenal dengan candinya bernama Candi Jawi. Kecantikannya terkenal dimana-mana, bahkan sampai juga terdengar di Bali. Seorang perajurit yang sangat sakti, Kebo Suwo Yuwo, datang ke Jawa melamarnya. Di dekat Jejawi ia mendirikan sebuah desa bernama Suwo Yuwo. Karena putri Jejawi takut menolak lamarannya, maka ia mencari akal dan minta kepada Kebo Suwo Yuwo supaya dibuatkan sebuah sumur yang dalam.

Mulailah Kebo Suwo Yuwo menggali sumur yang dalam memenuhi permintaan putri tersebut. Dan karena dalamnya maka suara ayam berkokok di luar pun tidak lagi terdengar. Setelah itu Putri Jejawi memanggil anak buahnya supaya menimbuni sumur tersebut dengan batu-batu besar.

Tapi, dari dalam sumur Kebo Suwo Yuwo mengatakan bahwa tidak akan mati kalau hanya ditimbun dengan batu, melainkan segera akan binasa apabila ditutup dengan ranting kayu-kayuan dan garam. Demikianlah, setelah sumur ditimbun dengan ranting dan garam matilah Kebo Suwo Yuwo di dalamnya.

Akhir ceritera mengungkapkan, itulah sebabnya di Candi Jawi terdapat

3 buah arca wanita yang menggambarkan Putri Jejawi, dan di Desa SuwoYuwo terdapat terdapat sebuah sumur kuno yang masih berair (th. 1840 M). Dapat ditambahkan menurut peta purbakala, Desa Suwo-Yuwo terletak di antara desa Purwosari-Pandakan.

Memburu Kuburan Kebo Iwa Hingga ke Gunung Wilis

Harian NusaBali, Sabtu, 26 Februari 2005, menurunkan tulisan tentang peninggalan benda-benda purbakala, legenda, dan mitos tentang Kebo Iwa yang membuat penasaran banyak orang. Mereka bahkan memburu “jejak”

Tahun 1990, penglisir Sri Karang Buncing Jero Wayan Gede Oka (berkacamata, kiri) di depan sumur Upas, yang diperkirakan digali oleh Sri Kebo Iwa, di Jawa

kemungkinan keberadaan kubur Kebo Iwa hingga ke Gunung Wilis, Kediri, Jawa Timur. Banyak orang yang penasaran, karena Kebo Iwa adalah tokoh besar di masa silam, Kebo Iwa adalah Patih dari kerajaan Bali pada masa pemerintahan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, sebelum ditaklukkan Majapahit tahun 1343 Masehi.

Kebo Iwa adalah seorang patih yang sakti mandraguna dan selama hajatnya membujang, sehingga disebut juga Kebo Taruna. “Hal itu (mencari jejak kubur Kebo Iwa hingga ke Gunung Wilis) berdasarkan petunjuk niskala”,  ujar I Wayan Gede Oka, salah seorang tokoh masyarakat Blahbatuh, Gianyar – yang menurut cerita merupakan tempat kelahiran Kebo Iwa. Wayan Gede Oka tidak ingat persis kapan petunjuk niskala lewat balian (paranormal) itu diterima, tapi dari ingatannya, sekitar 11 hari setelah digelarnya karya di Pura Karang Buncing – pura yang berkaitan dengan riwayat Kebo Iwa. Hal itu memang berkaitan dengan tradisi dan keyakinan untuk menanyakan secara niskala soal pelaksanaan yadnya yang telah digelar. Pada saat nunas bawos (minta petunjuk niskala) itulah, menurut Oka, terungkap kalau Gunung Wilis di Jawa Timur berkaitan dengan riwayat Kebo Iwa. “Mungkin tak masuk akal, namun nyata ada fakta,“ terang Oka.

Ditambahkan Oka, saat nunas bawos tersebut, terjadi peristiwa dimana balian kerawuhan seraya menyatakan di sekitar kaki Gunung Wilis, ada tanda-tanda seperti meja dan kursi dari batu. Di lokasi itulah Kebo Iwa

Sesuai petunjuk niskala batu tempat moksa Sri Kebo Iwa, terletak di Desa Besuki, Kediri, Jawa Timur

kembali ke alam sunya. Disamping itu, ada pula petunjuk lain, bahwa jika menginginkan lokasi berpulangnya Kebo Iwa, diminta mencari petunjuk pada seorang yang bernama Pangot, yang tinggal di lereng Gunung Wilis.

Petunjuk niskala itu kemudiaan oleh Oka dan rombongan lain yang punya tujuan sama, dengan napak tilas ke Gunung Wilis beberapa waktu lalu. Napak tilas jejak Kebo Iwa itu setelah ada kejadian aneh, yakni Sunarya, seorang karyawan hotel di kawasan Sanur, didatangi seseorang yang tak dikenal memakai jeans dan berkaca mata. Kepada Sunarya, orang yang tak dikenal tersebut menanyakan apa jadi ke Gunung Wilis? Kemudian orang itu membuat sketsa denah perjalanan. “Hanya itu, kemudian menghilang, Sunarya merasa ganjil dan menyampaikan hal ini,” kilah Oka.

Fakta menunjukkan, di lereng Gunung Wilis memang ada bendabenda seperti kursi batu dan meja besar. Meja batu besar itu berukuran 8 meter x 0,8 meter plus penutup yang juga sama panjangnya dan lebarnya. Sementara salah satu sandaran kursi batu yang ada, tingginya sekitar 3,5 meter. Di belakang kursi tersebut, agak basah.

Fakta di lereng Gunung Wilis itu relatif sama dengan ‘petunjuk niskala’ yang diterima sebelumnya. “Sepertinya tak mungkin, namun buktinya memang ada,” kenang Oka. Demikian juga kisah adanya seseorang bernama Pangot dalam petunjuk niskala. Rombongan napak tilas akhir riwayat Kebo Iwa dari Blahbatuh menemukan seseorang dengan ciri serupa. Walau tak ketemu orangnya, namun warga sekitar menyebutkan memang ada orang bernama Pangot hanya saja vokalnya beda. “Mereka menyebutkan sudah berubah nama menjadi Pengot,” ungkap Oka. Yang ditemui di Gunung Wilis, kata Oka, adalah orang tua Pangot atau Pengot – karena Pengot sudah transmigrasi ke Sumatera. Lantaran ada petunjuk-petunjuk dan fakta-fakta itulah diyakini Gunung Wilis berkaitan dengan riwayat akhir Kebo Iwa di Tanah Jawa.

Ada petunjuk sepertinya tidak nalar, tapi ada fakta yang ditemukan kemudian. Diantaranya ada rombongan dari Blahbatuh itu yang kerawuhan dan tanpa sadar menceritakan bagaimana Kebo Iwa mengakhiri hidupnya di Gunung Wilis. Yang aneh, pada saat kerauhan itu, dia menunjuk Kepala RT dari kampung itu. Disebutkan, bahwa ayah dari Ketua RT tersebut bernama Sumardi. Kepala RT itupun heran, karena memang benar almarhum ayahnya bernama Sumardi.

Wangsit Bahaya di Pura Kurubaya

Sebelum berangkat ke Majapahit, Kebo Iwa diyakini mendapat sipta atau firasat buruk tentang kemungkinan bahaya kepergiannya ke Jawa. Tempat wangsit itu kemudian diabadikan menjadi Pura Kuru Baya, yang bermakna peringatan akan adanya bahaya atau isyarat bahaya.

Lokasi Pura Kuru Baya ini agak tersembunyi, karena terletak di sisi

Pura Kuru Baya tempat Kebo Iwa mendapat wangsit bahaya.

barat Pura Gaduh. Dari luar tidak tampak karena dikelilingi tembok yang tingginya sekitar 1,70 meter. Posisi pura menghadap ke arah barat, dengan pintu masuk seukuran orang dengan kedua tangan berkacak pinggang. “Inilah palinggih yang diyakini sebagai lokasi Kebo Iwa mendapat wangsit negatif prihal undangan Gajah Mada ke Majapahit untuk dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari Lemah Tulis,” ungkap Jro Wayan Gede Oka, panglingsir warga Sri Karang Buncing. Namun, karena terikat perintah Raja, meski mendapat wangsit dan firasat buruk, Kebo Iwa berangkat juga ke Majapahit. Hal ini juga sebagai wujud dan loyalitas Patih Kebo Iwa kepada Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten, penguasa Bali saat itu.

Ternyata benar, Kebo Iwa terbunuh karena siasat dari Gajah Mada. Jero Wayan Gede Oka tidak bercerita bagaimana riwayat dibangunnya Pura Kuru Baya tersebut. Namun demikian dari cerita leluhur dan panglingsir dan cerita rakyat sekitarnya, Pura Kuru Baya merupakan lokasi dimana patih Kebo Taruna mendapatkan wangsit akan bahaya perihal undangan Gajah Mada ke Majapahit.

Pura Budha Manis Desa Darmasaba

Tinggalan Kebo Iwa di dalam monografi desa Darmasaba tahun 1980 secara tersirat dijelaskan, Setelah Ida Pandita Manuaba dan Ida Pandita Budha kembali melanjutkan perjalanan dan bertemu dengan seorang

Sumur Kebo Iwa di kiri Gedong, Pura Buda Manis, Br. Cabe, Darmasaba

bendesa, tempat itu kini dinamai Menesa, sekarang menjadi nama banjar. Melalui Bendesa ini diadakan pendekatan untuk datang ke sebuah pura yang saat Ida Pandita bertapa semedi di Pura Sarin Buana di Jimbaran keliatan Sinar api yang sangat terang dan begitu besar serta agungnya. Tempat pura yang terdapat sinar tersebut kini disebut Pura Hyang Api yang terletak di wilayah Banjar Menesa.

Kedua Pandita dan Ki Bendesa kemudian mengadakan pertemuan di Pura Budha Manis, sebuah pura yang dibangun oleh Kebo Iwa, untuk mengingatkan bahwa tempat itu pernah dilaksanakan pertemuan penting untuk membicarakan ke dharmaan (kesucian) kemudian tempat itu diberi nama Darmasaba (Dharma = kesucian dan Sabha = pertemuan), usai pertemuan itu, Bendesa Aban mohon pamit pulang, karena hari sudah sore Ki Bendesa Aban mempercepat perjalanan, dalam Bahasa Bali mempercepat jalan itu disebut “Cabe” dan selanjutnya dipakai nama Banjar Cabe sampai kini. Dalam penelusuran penulis tanggal 8 Desember 2018 ke Pura Budha Manis di Banjar Cabe berdiri sebuah Gedong, sekitar 5 meter dari Gedong terdapat sebuah sumur  dengan diameter sekitar 50 cm dan kedalaman 1 meter yang tidak pernah kering walaupun sekitar pura sawah kering bertahunan, informasi dari pangemong Pura Buda Manis Wayan Suparta.

Semer Kebo Desa Bangkah, Tejakula

Menurut Penyarikan Desa Bangkah Jro Nyoman Renes (disini penyarikan di desa lain disebut Bendesa), mengatakan bahwa sumur itu merupakan hasil tinggalan Kebo Iwa, hal ini diketahui secara lisan diceritakan dari

Di batu bibir sumur terdapat telapak kaki kiri Kebo Iwa

ayahnya Jro Mangku Teka yang pernah menjabat sebagai penyarikan desa selama puluhan tahun. Sebuah sumur yang letaknya sekitar seratus meter dari bibir pantai dengan lebar satu meter dan kedalaman satu setengah meter oleh masyarakat desa disebut semer kebo karena dulunya dijadikan sumber air minum untuk ternak sapi, disamping untuk dikonsumsi oleh warga sekitar, sebelum air pipa masuk ke masing-masing rumah warga.

Pernah terjadi seorang warga desa yang mengidap penyakit menahun yang telah berobat puluhan kali ke medis disamping pengobatan alternatif belum juga menemukan kesembuhan, kemudian warga desa itu menanyakan dirinya ke orang pintar dan disuruh nunas air sumur yang ada di Bangkah. Selesai menghaturkan banten, pemangku sumur mau memerciki air sumur itu kepadanya untuk diminum namun warga itu tidak mau, karena jijik melihat keadaan disekitar sumur yang kumuh apalagi banyak kotoran sapi. Akhirnya di malam hari antara sadar dan tidak sadar didalam kamar tidurnya didatangi oleh seseorang berbadan gede tinggi mengatakan kenapa tidak mau minum air sumur itu, mau sembuh apa tidak, kemudian orang gede itu menyentuh kepalanya dengan jari dan esok hari memang berbekas di kepala yang disentuhnya. Kemudian warga desa itu mendatangi sumur diantar oleh pemangku yang sehari-hari bertugas di sumur itu. Setelah nunas air semer kebo tersebut, dia sehat sampai kini. Juga beberapa orang dari luar desa Bangkah yang membayar kaul ke sumur kebo sebagai pertanda menemukan kesembuhan setelah datang nunas tirta tersebut.

Hanya ada sebuah palinggih Padmasari kecil berdiri di samping sumur pada aliran sungai kecil yang sudah mengering dibawahnya, tanpa batas penyengker dan palinggih penunjang lainnya. Air sumur ini juga digunakan jika ada upacara piodalan di pura kahyangan desa maupun di tempat suci warga desa Bangkah. Di atas sumur terdapat sebuah telapak kaki kiri Kebo

Sumur Kebo Iwa, Subak Abian Semer, Pura Taman, Banjar Bingin, Depeha

Iwa yang menurut mediator penulis telusuri tanggal 28 Juli 2019 yang lalu. Warga desa menghaturkan pujawali di Pura Sumur ini pada hari Purnama katiga.

Semer Kebo Iwa Pura Taman, Banjar Bingin, Depeha

Desa Depeha termasuk desa kuna era kerajaan awal sejarah Bali, sebuah desa berada sekitar 500 meter di atas permukaan laut wilayah Kecamatan Kubu Tambahan, Kabupaten Buleleng. Banyak cerita yang penulis dapati dari warga setempat terutama informasi dari Guru Gede Kojeran bertempat tinggal tidak jauh dari sumber air didalam penelusuran tanggal 28 Juli 2019 lalu. Setahunya dahulu seluruh warga yang ada di Depeha mengantre mencari air dari sumur ini. Pagi hari membawa ember kecil sampai sore belum tentu didapat karena saking seret air nya keluar. Karena letaknya di atas bukit tentu sulit untuk menggali sumur pada kedalaman ratusan meter di atas permukaan laut. Berbeda dengan sumur sekitar pesisir pantai yang jelas rembesan airnya pasti ke sekitarnya.

Sumur dengan diameter sekitar satu meter dengan kedalaman tiga meter memang dahulu di musim kemarau warga berbondong-bondong mengantre untuk mencari air minum. Saking banyaknya warga mengantre sampai kehabisan dan kelihatan dasar sumur sehingga warga menunggu berjamjam demi satu sekop air untuk dikonsumsi. Begitu pun dengan sumur ini menurut warga sekitar merupakan sumur yang dibuat oleh Kebo Iwa. Lewat mediator penulis menelusuri bahwasannya di tempat ini dahulu mengalami kekeringan dan Beliau diminta oleh sang ngawawa rat untuk memohon dengan tapa yoga semadi memuja kepada Hyang Widhi agar tersedia sumber air. Konon dengan kaki kiri Beliau mengadakannya. Air sumur ini sangat baik untuk bajang colong, melukat bagi yang baru melahirkan dan untuk tirta yadnya lainnya hanya dengan sarana kelapa muda gading dicampur dengan air sumur dan menyebut nama Bliau agar dianugrahi.

Sumur ini menjadi amongan Subak Abian Semer karena saking keramatnya dan tidak sembarang orang boleh turun mengambilnya sehingga dibangun tower bak penampungan agar lebih mudah warga mengambilnya. Setelah bangunan bak penampungan selesai dan air sumber tidak mau naik ke atas dan kini bak air penampungan itu terbengkelai.

Sumur Kebo Iwa di Pura Tirta Maji, Depeha

Menurut sumber dokumentasi desa setempat, nama lama Desa Depeha berasal dari kata Indrapura diambil dari nama sebuah pura yang didirikan atas ijin Raja Sri Kesari Warmadewa, dari kata Indrapura berubah menjadi Drapura dan sesudahnya menjadi Depeha. Juga ada sumber lain menyebutkan Depeha berasal dari bahasa Bali terdiri dari kata Da dan Paha artinya, Da = jangan dan Paha = pisahkan, dibagi. Jadi Depeha artinya jangan dipisahkan atau jangan dibagi. Desa Depeha dengan luas 8,95 Km/ persegi dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut.

Sumur Kebo Iwa di Pura Tirta Maji berada sekitar limaratus meter dari pusat desa dan sekitar lima kilometer dari Subak Abian Semer. Terdapat dua informasi yang penulis dapati tentang keberadaan sejarah Tirta Maji ini. Menurut informan Putu Ary seorang tetua warga setempat dari tutur secara lisan disebutkan bahwa sumber air ini dibangun oleh Kebo Iwa. Sedangkan sumber lain dalam Eka Likita yang ditulis oleh Bpk. Gede Sekar tahun 1999, disebutkan, suatu ketika Desa Banua diserang wabah penyakit sehingga banyak masyarakatnya meninggal, bahkan tersisa hanya 22 kepala keluarga, akhirnya Ida Pedanda Sinuhun memerintahkan pindah ke arah baratdaya. Sebelum pindah jumlah kepala keluarga sebanyak 22 itu dibagi menjadi dua, sebelas ke kanan dan 11 ke kiri sebagai Dwi Lingga simbul purusa pradana yang kemudian disebut Desa Kalih Likur.

Selesai membentuk desa Kalih Likur Ida Pedanda Sinuhun memberi genta bersimbul lembu nandini diserahkan ke Jero Kubayan desa, karena desa kalih likur tidak bisa memantra apalagi menyuarakan bajra dan sangkunya di semayamkan pada sebuah sumur yang sekarang berada di Pura Tirta Maji. Apabila kelak masyarakat mengadakan upacara wenamg memohon tirta disini dengan suara bajra yang diberikan oleh Ida Pedanda akan muput secara niskala.

Disebut Maji karena air sumur tersebut sangat berguna sekali dalam arti dikeramatkan oleh warga sekitarnya. Ada kejadian warga desa mengambil air lalu dibawa ke rumah dimasak untuk menyeduh kopi setelah di minum seluruh yang meminum kopi itu muntah mencret, juga ada warga mengambil air dengan sena (timba dibuat dari daun lontar) setelah penuh

Sumur di Pura Tirta Maji, desa Depeha, Kubu Tambahan, Buleleng

tetapi tidak bisa di angkat ke atas. Pantangan yang tidak boleh dilanggar adalah jika warga mau menghaturkan upakara dan sembahyang pantang menggunakan bunga warna merah, menghaturkan olahan daging sapi, pantang mengeluh dengan keadaan sekitar. Hari pujawali di Pura Tirta Maji pada hari Purnama Kawulu di emong oleh Banjar Bingin, Banjar Dangin Pura, Banjar Dauh Pura, Banjar Pengubungan, Banjar Sangglung dan Banjar Seganti.

Sumur Kebo Iwa, Desa Julah, Kubu Tambahan

Pulau Bali sejak jaman dahulu sudah dikenal oleh para pedagang dan para pendeta dari Tiongkok Cina, kala itu para pedagang berlabuh di pesisir pantai utara pulau Bali membentang dari pesisir barat Celukan Bawang (Teluk Terima), Pemuteran, Sungai Raja (Singaraja), Sangsit, Kubu Tambahan dan Julah. Para syahbandar atau pedagang biasanya berlabuh di pantai Julah dengan bukti karena banyak ditemukan benda peninggalan seperti tembikar, jangkar dari kayu di kedalaman 10 meter didasar laut demikian dikatakan oleh Bapak I Wayan Suastika yang saat penulis telusuri jejak Kebo Iwa sedang mencalonkan diri sebagai Perbekel Desa Julah yang biasa disebut Bapa Prajurit oleh warga desa setempat.

Sebelum disebut Julah namanya Sari Waringin, karena terjadi pembrontakan sehingga banyak warga Sari Waringin yang mengungsi ke hutan sekitar Pura Bukit, setelah aman ada beberapa warga yang berani kembali ke desa asalnya dan ada sebagian warga mengungsi ke Desa Sembiran. Sehingga warga yang kembali ke desa asalnya seolah-olah ka

Tampak dari atas Semer Suci, Desa Julah, Tejakula

Ulah atau di usir dalam Bahasa Melayu.

Sumur yang berada sekitar seratus meter dari bibir pantai terdapat beberapa lobang sumur yang diberi nama Semer Kayehan Sampi, Semer Kayehan Istri, Semer Kayehan Lanang dan Semer Suci. Saat penulis berada di areal sumur, terlihat beberapa warga datang silih berganti menimba air di Semer Suci untuk keperluan air minum. Canang yang dihaturkan bukan seperti biasa yang dijumpai sehari-hari di tempat lain, Canang ala Julah terdiri dari tiga lembar daun sirih, tiga lembar bunga intaran dan buah pinang. Begitu pun saat memerciki tirta memakai segempok daun menori bersama bunganya dalam arti tangan tidak boleh nyentuh tirta. Dikala sembahyang tempat duduk laki dan tempat duduk perempuan terpisah, yang laki berada di sisi kanan sedangkan yang perempuan berada disisi kiri dan keunikan khusus lainnya. Hanya di Semer Suci terdapat sebuah Bale Piyasan tampak beberapa bekas sesajen di atasnya, di Kayehan Lanang tempat mandi untuk pria, Kayehan Istri tempat mandi untuk perempuan dan Kayehan Sampi air disediakan untuk ternak sapi maupun kuda dan hewan lainnya.


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More