Selasa, 04 April 2023

Bab XII Kebo Iwa Masa Kini

 

Bab XII Kebo Iwa Masa Kini

B

anyak tokoh menggali keteladanan kisah hidup perjalanan Kebo Iwa, mulai dari aspek spiritual, ideologi, budaya, politik, sosial bahkan mitos mengupas sisi kehidupannya. Kebo Iwa termasuk tokoh Bali yang paling banyak dimitoskan. Selain mitos sebagai seorang raksasa bertubuh besar berasal dari hasil hubungan seorang pertapa dengan makhluk halus yang hidup di lereng Gunung Agung, lalu di asuh oleh Si Karang Buncing. Setelah besar membuat susah masyarakat Blahbatuh dalam menyiapkan makanan begitu banyak setiap hari. Akhirnya Desa Blahbatuh menjadi kekeringan karena semua hasil pertanian masyarakatnya habis dihaturkan kepada Kebo Iwa. Kebo Iwa lalu di bunuh oleh masyarakatnya sendiri.

Ada juga mitos, Kebo Iwa berawal dari Begawan Aji Nuk bersama permaisurinya yang berparas cantik berasal dari Rum (Romawi) Dewi Sucinek. Begawan Nuk mempunyai seorang putra Bagawan Sutasik yang kemudian bergelar Abra Sinuhun Pasir yang posturnya tinggi besar. Perilakunya seperti ikan besar dan santapannya pun ikan, yang diambil dari laut setiap tiga bulan sekali. Suatu saat Abra Sinuhun jatuh cinta dengan ulam (ikan) Dewi Kekasih yang berprilaku seperti manusia. Dewi Kekasih lantas hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Sri Mraja Kebo Iwa.

Serta mitos candi Gunung Kawi dibangun oleh Kebo Iwa dengan mempergunakan kuku mengukir tebing batu keras itu, serta mitos-mitos yang lain yang semuanya sudah dijelaskan pada halaman diatas.

Kebo Iwa di Pasraman Yogadhiparamaguhya

Para pemimpin kini sulit memiliki jiwa senasionalis Kebo Iwa, seorang panglima Bali pada masa pemerintahan Sri Astasura Ratna Bumi Banten pada awal abad ke 14. Kebo Iwa merelakan nyawanya pada Gajah Mada demi persatuan dan kesatuan nusantara. Hal itu terungkap dalam seminar Menggali Solidaritas Tokoh Kebo Iwa di Pasraman Yogadhiparamaguhya, Blahbatuh, Gianyar, Selasa, 24 Februari 2009. Seminar menghadirkan tiga pemakalah yakni peneliti wawasan kebangsaan dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gede Parimarta, Ketua Listibya Gianyar AA Rai, dan Ketua Umum Pasemetonan Sri Karang Buncing Dr. (Hc) Jro Karang T Suarshana MBA.

AA Rai mengatakan kini semangat wawasan kebangsaan warga Negara


Seminar tentang Kebo Iwa di Pasraman Yogadhiparamaguhya, Blahbatuh, Gianyar.

makin melemah, salah satunya akibat kelupaan sejarah negeri ini. Keluhuran nilai sejarah terabaikan oleh generasi muda karena perkembangan budaya egoistik. “Napas nasionalisme seperti dianut Kebo Iwa pantas menjadi inspirasi untuk meningkatkan wawasan kebangsaan ini” katanya. Rai menyatakan salut kepada Kebo Iwa yang rela mati demi cita-cita Gajah Mada mempersatukan nusantara. Bagi Kebo Iwa, betapa tak berarti jiwanya sendiri dibandingkan kepentingan bangsa yang lebih besar.

Parimarta menyatakan kekagumannya pada sikap bijak Kebo Iwa. Baginya Kebo Iwa adalah sosok inspirator di nusantara ini agar masyarakat memahami pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa.

Bupati Gianyar Dr. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati usai membuka seminar mengatakan, masyarakat Gianyar patut bangga memiliki pahlawan seperti Kebo Iwa. Namun yang paling penting kebanggaan itu dapat diimplimentasikan dengan langkah nyata, antara lain mempertahankan keutuhan NKRI, melestarikan keteladanan Kebo Iwa serta mengutamakan sikap menyama braya.

Ketua Umum Pasemetonan Sri Karang Buncing, Dr. Jro Karang T Suarshana memandang sikap Kebo Iwa menunjukkan keteladanan dan pengorbanan yang luar biasa dalam integrasi Bali ke dalam negara nasional. Karena itu, salah seorang tokoh Karang Buncing Kuta, I Made Supatra Karang, mengajak untuk meneladani sikap Kebo Iwa, ini bukan hanya untuk di Pasemetonan Sri Karang Buncing, tetapi juga untuk seluruh pemimpin dan masyarakat saat kini. “Sikap rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar kini menjadi hal yang langka,” tandas Suparta.

Pembicara berdiri Dewa Mardiana, Langit Kresna, Nyoman Wijaya, Nyoman Baskara (dari kiri ke kanan).

Kebo Iwa Putra dari Pertapa dengan Makhluk Halus

Forum studi Majapahit mengadakan sarasehan bertajuk “Gajah Mada dan Kebo Iwa dalam Perspektif Historis dan Spiritual Menuju Peneguhan NKRI.” Kegiatan ini diselenggarakan di Hotel Puri Saron, Seminyak pada 10 November 2010. Tampil sebagai pembicara, Langit Kresna Hariadi dari Yogyakarta, Dr. Nyoman Wijaya (Unud), dan Ida I Dewa Mardiana (penekun spiritual).

Kemudian Langit menceritakan tentang silsilah perjalanan Gajah Mada yang sampai bertapa di Desa Sapih, dimana di tempat tersebut dijelaskan terdapat tujuh mata air terjun. Akibat tragedi yang terjadi di lapangan Bubat, kemudian terjadi disintegrasi yang memaksa Gajah Mada harus dipanggil kembali dari tempat pertapaan. Akan tetapi Gajah Mada tidak berkenan kembali dan akhirnya meninggal dunia karena penyakit diabetes. Gajah Mada meninggalkan banyak pertanyaan tanpa diketahui siapa Gajah Mada tersebut, dari mana asal usulnya dan siapa orang tuanya.

“Kita diajak untuk berada dalam sebuah mimpi bersama untuk mewujudkan sebuah buku mengenang tokoh Gajah Mada dan Kebo Iwa sebagai peletak dasar persatuan nusantara” sebut Nyoman Wijaya.

Pemakalah selanjutnya Ida Idewa Ketut Mardiana mengatakan dalam sejarah Bali Kebo Iwa adalah manusia yang tak tertandingi, baik dari segi fisiknya seperti raksasa tinggi besar maupun kesaktiannya. Beliau juga seorang arsitek atau undagi yang banyak meninggalkan peninggalan seperti bangunan tempat suci dan bangunan lainnya.

Beliau sesungguhnya putra dari seorang pertapa di Gunung Tolangkir yang tergoda oleh kecantikan seorang lelembut, akhirnya melahirkan seorang anak yang sangat besar. Kemudian anak itu diserahkan kepada patih raja Bali yang bernama Arya Adikara atau Si Karang Buncing. Untuk menutup aib brahmana pertapa ini, maka dibuatlah kisah Kebo Iwa lahir dari api bara padipan di saat Sira Arya Adikara sembahyang. Setelah besar, Arya Adikara menyerahkannya kepada raja Astasura Ratna Bumi Banten

Tetua warga Sri Karang Buncing saat bersilaturami dengan Bupati Gianyar.

dan kemudian diangkat menjadi patih andalan kerajaan Bali. Adapun ilmu andalannya disebut kebo sengilan.

Kebo Iwa Ikon Gianyar

Kebo Iwa adalah putra Gianyar, seorang yang arif bijaksana, sakti, namun atas ketulusan dan kerelaannya mengorbankan diri untuk kepentingan yang lebih besar, yakni persatuan dan kesatuan Nusantara. Inilah yang mengilhami Bupati Gianyar untuk memilih Kebo Iwa sebagai maskot Daerah Gianyar. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) berharap Kebo Iwa bisa menjadi ikon Gianyar dan sikap ksatrianya bisa dijadikan tauladan oleh masyarakat.

Pembangunan monumen Kebo Iwa oleh Bupati Gianyar di pintu masuk Jalan Dharma Giri sebagai upaya untuk menghargai sikap ksatria mahapatih Bali. Dalam realisasinya banyak  mendapatkan hambatan, mulai ketidaktahuan bentuk tubuh, wajah, model rambut, busana, senjata yang digunakan dan karakter lainnya.

Minimnya data tertulis yang menjadi pedoman untuk mewujudkan idolanya Bupati waktu kecil atas tokoh Kebo Iwa, telah melakukan beberapa pertemuan untuk mencari titik temu dari para tokoh agama, seniman, Dinas Kebudayaan Gianyar, dan para akademisi. Pertemuan para tetua Pasemetonan Sri Karang Buncing dengan Ida Tjokorda Oka Ardhana di Bali Tourism Board (BTB), Denpasar, tanggal 13 Januari 2011 dihadiri sang undagi patung I Wayan Winten asal Banjar Teges, Ubud. Dalam sketsa sosok Kebo Iwa yang diajukan oleh Wayan Winten kepada penglingsir

Monumen Kebo Iwa ikon Gianyar diresmikan oleh Bupati Gianyar Dr. Ir. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si, terletak di Jalan Dharma Giri, Buruwan, Blahbatuh.

Prasasti berbahan batu marmer terpahat pada pondasi monument Kebo Iwa

Jro Wayan Gede Oka yang awalnya membawa keris diganti dengan pecut (cambuk).

Patung berbahan beton berdiri kekar, tinggi dari tanah 14 meter, berbusana kebesaran seorang kesatria sedang memegang sebuah cambuk dan pada pondasi tertulis Prasasti yang diresmikan oleh Bupati Gianyar pada tanggal 28 Oktober 2011 serta dibukukan dengan Surat Keputusan Bupati Gianyar nomor 901/05-H/HK/2012 tertanggal 19 September 2012.

Jro Made Supatra Karang atas nama keluarga besar Pasemetonan Sri Karang Buncing menyampaikan puji syukur dan penghargaan yang setinggitingginya kepada Pemerintahan Kabupaten Gianyar khususnya kepada yang terhormat Bapak Bupati Cok Ace yang telah mewujudkan dan meresmikan monument Kebo Iwa tepat pada peringatan Hari Pahlawan Nasional 28 Oktober 2011, semoga spirit Kebo iwa bisa memberikan inspirasi dan dijadikan tauladan untuk membangun dan menjaga keutuhan Bangsa dan Negara RI.

Kebo Iwa ‘Spirit of Inspiration’

Sosok Kebo Iwa seorang mahapatih yang patut dibanggakan, yang dimiliki Bali ketika Kerajaan Badahulu berkuasa di Bali. Dibalik ketokohan sang patih yang dikenal tegas, berani dan memiliki talenta kepemimpinan, ternyata banyak filosofi dan teladan yang bisa diambil dari seorang patih.

Bupati BAdung AA. Gde Agung kiri) dengan Made Supatra Karang, dalam acara Bazar Pasemetonan Sri Karang Buncing.

“Kebo Iwa kita angkat sebagai spirit of Inspiration,” ujar I Made Supatra Karang, di tengah penggalangan amal pembangunan Wantilan Pura Kawitan yang kini berstana palinggih Kebo Iwa, minggu, 1 Februari 2009. Tidak saja nama besar, Kebo Iwa yang kini tengah diabadikan sebagai cagar budaya bernilai tinggi sebagai komoditi pariwisata Bali. Supatra Karang juga mengatakan Kebo Iwa adalah sosok yang memiliki spirit luar biasa, ia sosok pemimpin sarat membawa pesan untuk umat Hindu di Bali.

Kebo Iwa dan Gajah Mada di Pura Dalem Kretti Bhuana

Bali Post, Minggu, 24 April 2011, memberitakan bertepatan pada hari Sanghyang Aji Saraswati, Saniscara Umanis, Watugunung, Sabtu (23/4) kemarin di Pura Dalem Kretti Bhuana Kebo Iwa, kalinggihan tapel Kebo Iwa. Dengan berstananya tapel Kebo Iwa yang berlokasi di Jalan Kebo Iwa 63A Denpasar. Kini telah “bersanding” dua tapel tokoh besar sejarah nusantara di pura tersebut. Delapan tahun silam pada awal Bali TV mulai tayang, lebih dulu melinggih tapel Gajah Mada. Bersandingnya dua tapel yang disakralkan tersebut bertepatan pada piodalan yang di-puput Ida Peranda Gede Oka Karang, dari Geria Tegeh Karang, Lumintang, Denpasar.

Pimpinan KMB Satria Naradha menyatakan senang bisa menyandingkan kedua tapel  tokoh besar Nusantara itu di Pura Dalem Kretti Bhuana Kebo Iwa. Figur Kebo Iwa merupakan tokoh yang sangat arif bijaksana.

Bupati Gianyar Tjok Oka Artha Ardhana (kanan) menyerahkan tapel Kebo Iwa kepada pimpinan Kelompok Media Bali Post, Satria Naradha.

Keteladanannya dengan mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan lebih luas Nusantara tercinta, merupakan spirit yang mesti diteladani. Spirit itu adalah adanya komitmen berkorban dalam kerangka menjadikan Bali dan Nusantara ini tetap ajeg, dinamis dan tetap kokoh pada visi dan misi NKRI.

Pada halaman lain, tapel Kebo Iwa dibuat oleh AA Gede Rai alias Gung Aji Mangku dan di-urip oleh Bupati Gianyar. Gung Aji Mangku tak hanya piawai melukis juga hebat membuat tapel-tapel sakral. Terbukti di tengah kesibukannya, lelaki berusia 80 tahun mampu menyelesaikan 3 tapel Kebo Iwa hanya dalam rentang waktu sebulan. Namun yang nyaloning atau mengurip tapel Kebo Iwa itu adalah Bupati Gianyar sendiri, Dr. Tjok. Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si.

Tapel Kebo Iwa itu dari material kayu pule, kayu kesayangan ibu Mahakali, yang katunas di Pura Pengukur Ukur, Desa Pejeng, Gianyar. Gung Aji membuat tiga tapel dari kayu pule, Konon, ada hal aneh dan ciri berbeda pada tiga tapel tersebut. Tapel yang diserahkan Bupati Gianyar kepada Satria Naradha, usai pentas sendratari Kebo Iwa dan Gajah Mada di Lapangan Astina Gianyar beberpa waktu yang lalu, mengeluarkan air. Tapel yang kedua berat timbangannya melebihi berat yang lainnya, padahal komposisi dan ukurannya sama. Sedangkan tapel yang ketiga mengeluarkan minyak, rencananya akan diserahkan kepada warga Sri Karang Buncing

Keris Kebo Iwa

Dalam situs melajahngblog.blogspot.com, dikisahkan, menyambut Tahun Baru 2009 ada suatu kejadian 24 Nopember 2007. Kejadian ini sangat langka dan benar adanya. Dengan kejadian ini menjadikan kita lebih percaya dan lebih menghormati para leluhur atau pendahulu kita yang hebat dan satya dalam wacana, atau alam gaib atau juga kemahakuasaan Ida Hyang Widhi Wasa.

Suatu waktu Ida Dewa mendapat wangsit untuk mengambil keris pajenengan Ki Patih Kebo


Keris Pusaka Kebo Iwa


Iwa di Pantai Selatan yang disimpan oleh Ratu Kidul karena keris tersebut dibuang oleh Ki Patih Gajah Mada dengan maksud dapat mengalahkan Ki Patih Kebo Iwa. Ki Patih Kebo Iwa adalah keturunan Arya Karang Buncing di Blahbatuh, Gianyar yang lahir dari padipaan disaat sira Arya Karang Buncing memohon keturunan dihadapan Hyang Penguasa Alam Semesta, konon begitu lahir sudah mampu menyantap ketupat kelan (6 biji). Setelah dewasa Ki Kebo Iwa mempunyai tubuh yang sangat besar dan kekar diluar ukuran orang biasa (7 meter), dan memiliki kesaktian yang dimiliki dibawa dari lahir, kesaktian dan kekuatan tiada yang menyamai diseantero jagat.

Inilah yang menjadikan Maha Patih Gajah Mada memutar otak untuk mengatur siasat bagaimana cara memisahkan Ki Kebo Iwa dari Rajanya Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Kalau Ki Kebo Iwa dapat dipisahkan dari Rajanya sehingga mudah dapat mengalahkan Bali. Sampai saat itu Ki Kebo Iwa belum memiliki istri, tidak seorang pun putri di Bali yang menyamai bentuk tubuhnya. Hal inilah yang dipakai titik lemah Ki Kebo Iwa. Sang Ratu Raja Majapahit disuruh membuat sepucuk surat oleh Ki Patih Gajah Mada diperuntukkan Ki Kebo Iwa bahwa ada seorang putri yang cantik di tanah Jawa yang sepadan dengan Ki Kebo Iwa dan untuk dipersandingkan dengannya.

Ki Kebo Iwa sangat senang dan Kebo Iwa diharuskan menjem putnya ke Tanah Jawa. Ki Kebo Iwa mohon izin kepada Rajanya untuk pergi ke Jawa mengambil calon istri dan sang raja mengizinkannya. Sebelum menyeberang mengarungi lautan Ki Kebo Iwa semadi di Pura Luhur Uluwatu. Di Pura tersebut beliau sudah dilarang untuk pergi ke Jawa karena akan terjadi sesuatu, namun karena keinginan yang kuat mendapatkan istri, petunjuk itu tidak dihiraukan, bahkan ada batu besar yang menghadang, batu itu pun dibelahnya menjadi dua, satu ditaruh di Belah Batuh, satunya di bawa ke tanah Jawa (mungkin itu asal usul dari nama Desa Blah Batuh). Sampai di Jawa masyarakat takut dengan Ki Kebo Iwa karena tinggi besar membawa keris dan membawa batu. Muncul ide dari Ki Patih Gajah Mada untuk mengurangi kesaktian Ki Kebo Iwa. “Cening Kebo Iwa kenapa cening bawa keris dan batu ke sana sini, semua rakyatku jadi takut, mari kerisnya disimpan dulu.” Keris Ki Kebo Iwa diserahkan kepada Ki Patih Gajah Mada, bukannya disimpan, ternyata dibuang ke laut, dan diselamatkan serta disimpan oleh Ratu Kidul.

Berikutnya Ki Kebo Iwa disuruh membuat sumur oleh Gajah Mada untuk mandi calon istrinya. Setelah sumurnya dalam Kebo Iwa diurug dengan batu rame rame oleh rakyat Majapahit. Dengan kesaktiannya, batu-batu yang mengurugnya semua terpental ke angkasa. Gajah Mada sudah habis akal untuk melenyapkan Ki Kebo Iwa dari muka bumi, di suruhlah Ki Kebo Iwa pulang ke Bali karena istri yang dijanjikan itu sebenarnya tidak ada, "Itu hanya kiasan," kata Gajah Mada. "Yang kami sebut Ni Gusti Lemah

Tulis itu adalah sebuah gunung cantik yang namanya Gunung Batu Tulis."

"Saya tidak mau pulang ke Bali karena kami janji pada raja kami bahwa kami ke Jawa untuk mengambil istri. Bila kami tak membawa istri, kami akan sangat malu sekali pada sang Raja. Kami merasa di tipu daya, namun kami tak akan bisa mati dengan cara ini, lebih baik kami mati dengan secara satria. Kami bisa mati oleh siraman pamor bubuk, bunuhlah kami dengan itu, kami akan mati."

Kebo Iwa mengeluarkan pamor bubuk diserahkan kepada Patih Gajah Mada, lalu ditaburkan pamor bubuk itu oleh Gajah Mada, seketika itu Ki Kebo Iwa lenyap tanpa bekas (moksa).

Ida I Dewa Mardiana mendapat tugas mengambil keris itu di pantai selatan (Malang) dan pusaka tersebut sudah diberikan oleh Ratu Kidul dan kini disimpan di Kedatuan Kawista Belatungan, Tabanan.

Keris “Tri Manunggal Sakti Ratu Gde Kebo Iwa”

Setahun lebih pedasar ratu gde kebo iwa Jero Mangku Sunarya dari Desa Sesetan Denpasar Selatan, pernah mengatakan kepada penulis di Pantai Saba, Gianyar, bahwa akan muncul pajenengan (pusaka) Ratu Gde Kebo Iwa berupa keris dengan panjang 33 cm, tetapi kala itu Jero Mangku tidak secara tegas menyebutkan kapan, dimana dan siapa yang akan

Jero Mangku Wayan Sunarya dan Jro Made Supatra Karang sedang memegang Keris Tri Manunggal Sakti Ratu Gede Kebo Iwa di kamar suci Jero Mangku.

mendapatkannya. “Keris tersebut sebagai simbol pemersatu Nusantara”, ujar Jero Mangku dikala itu.

Tiga hari sebelum kemunculan keris tersebut, Kadek Novi putra dari Jero Mangku Sunarya mengatakan bapak seperti orang bingung, gelisah, tidak tentu tujuan, dimana dan kapan jatuhnya keris itu. Pada hari sukra wage, tileming sasih ka dasa, tanggal 20 April 2012, sekitar pukul 9 malam, keris disambut (diterima) oleh Jero Mangku Sunarya. Sesuai petunjuk niskala, dengan duduk tepekur melakukan semadi menghadap ke barat di sisi timur patung catur muka lapangan Puputan Badung, Denpasar. Keris maprarai tiga (berpisau 3) berujung satu, warna hitam, panjang 33 cm, mengeluarkan minyak berbau cendana. Detik-detik jatuhnya keris, kening seperti ada yang menusuk-nusuk, kepala berat sekali, terasa ada sinar biru terang dari arah baratlaut berkelebat ke arah patung catur muka dan beberapa saat terasa ada suatu benda di telapak tangan kanan Jero Mangku.

Ditanya mengenai fenomena kemunculan keris tersebut kepada Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa selaku penasehat warga Sri Karang Buncing merupakan petanda sangat baik, karena kemunculan keris sudah sesuai dengan sastra, misalnya, jatuhnya keris di catus pata (perempatan jalan), atau jatuhnya keris di klebutan (mata air), di kandang sapi, di pura dan di hari suci. Menurut perkiraan akhli keris Bapak Suteja Neka, pemilik Museum Neka dari Ubud, ketika ditelpon oleh Ida Dukuh, keris bermata tiga termasuk langka sudah tidak muncul zaman Bali pertengahan dan kini. “Jika keris buatan manusia tertanam ratusan tahun biasanya pasti karatan. Apalagi tanda sinar biru berkelebat datangnya dari arah baratlaut, mengeluarkan rembesan minyak berbau cendana, panjang 33 cm mengandung makna sebagai simbol 33 dewa pelindung dunia”, tegas Ida Dukuh.

Atas pertimbangan tersebut, Jro Made Supatra Karang selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing (P3SKB) Bali memutuskan untuk melakukan upacara pemagpag keris “Tri Manunggal Sakti Ratu Gde Kebo Iwa” pada tanggal 1 Mei 2012. Upacara pemagpag keris atau upacara penyambutan keris diadakan di sebelah timur patung catur muka (tempat awal keris diterima) dipimpin oleh Ida Pandita Dukuh Acharya Dhaksa dari Padukuhan Samiaga, Penatih, Denpasar Utara, sekitar pukul 9 malam.

Puncak acara diwarnai fenomena kerauhan atau kemasukan roh alam lain, sebagai media komunikasi dari alam niskala pada tiga orang warga yaitu Jero Mangku Sunarya kemasukan roh Kebo Iwa, I Wayan Sudarta dari Sanur kemasukan roh Gajah Mada dan I Made Murjana adik Jero Mangku Sunarya dari Desa Sesetan kemasukan roh Sri Karang Buncing sebagai petanda tiga roh yang pernah hidup pada zamannya merestui keris tersebut. Sehabis memimpin upacara pemagpag keris, Ida Dukuh memberikan ketegasan kembali kepada warga Sri Karang Buncing yang hadir pada malam itu, untuk tidak ragu lagi dengan kemunculan keris Tri Manunggal Sakti Ratu Gde Kebo Iwa karena sudah sesuai kriteria kemunculan benda gaib. Kini, keris distanakan di kamar suci Jero Mangku Sunarya, Jalan Pulau Serangan No 35, Desa Pakraman Sesetan, Denpasar Selatan.

Bedah buku Kebo Iwa

Bedah buku berjudul “Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, dalam Dinasti Raja-raja Bali Kuno” karya I Made Bawa dilangsungkan di Wantilan Bali TV, Jalan Kebo Iwa 63, Denpasar, Minggu (13/11/2011) tahun yang lalu. Tiga akademisi mengurai buku yang dikategorikan sejarah itu, yaitu sebagai pembicara Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U. (Sejarawan Unud), Prof.

Dr. I Gde Semadi Astra (Arkeolog Unud) dan Dr. I Wayan Redig (dosen Fakultas Sastra Unud).

Moderator Drs. Made Nada Atmaja, M.Si. memberi kesempatan pertama kepada Bagus Wirawan untuk mengapresiasi buku tersebut. Guru besar ini menilai kepekaan dan kreativitas penulis muda Made Bawa dalam mengulas fenomena masa lalu pada buku setebal 246 halaman itu. Membedah atau lebih cocok memberi bahasan untuk kemudian lebih membuka ajang diskusi atau perdebatan guna meningkatkan pemahaman peserta sekalian. Bahasa yang diajukan meliputi dua kata kunci yang bisa diajukan yaitu: Rekontruksi dan Deskontruksi, serta, 2) Kontinuitas dan diskontinuitas. Menggambarkan kembali (rekontruksi) realitas kemanusiaan baik dalam kehadiran tokoh beserta asal usulnya yaitu Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing yang mengaitkannya pada dinasti raja-raja yang berkuasa secara kronologis pada periode Bali Kuno (abad ke-9 sampai abad ke-14) oleh I Made Bawa telah berhasil dan menambah khazanah produk karya sejarah (historiografi) di Bali.

Sepatutnya karya historiografis I Made Bawa diberi acungan jempol bukan isapan jempol, karena kemampuan dan kreativitasnya. Saya sebagai pemberi komentar dan bahasan bukan mencari-cari kesalahan kekurangan dari isi dan teknis penulisan. Memang harus diakui bahwa setiap karya tulis apalagi karya historiografis yang jarak waktu lampaunya cukup lama dari sang penulis hidup pasti terkandung kekurangan. Hal ini dapat diatasi jika penulis mau belajar terus untuk memperbaikinya. Sebab belajar tidak mengenal usia tua sesuai adagium “belajar sepanjang hayat”. Selain itu karya historiografis harus terbuka dan dibuka bagi debat dan perdebatan substantif. Berani masuk ke ranah sejarah yang menghasilkan historiografi harus siap didebat dan berdebat. Sejarah memang ilmu debat yang tak hentihentinya, karena setiap generasi berhak menulis sejarahnya. Namun ketika sejarah ditulis ada pesan kearifan dan perdamaian yang mesti ditangkap. Pesan moral arif dan adil dari sejarah yang ditulis adalah mengenal jati diri itu sendiri jati diri Bali, jati diri warga Bali, warga Negara, bangsa Indonesia yang “Bhineka Tunggal Ika”

Sementara Semadi Astra tak banyak menyinggung sosok Kebo Iwa sebagai tokoh sejarah dan tokoh mitologi, tidak ingin menjangkau halhal yang bersifat substantif yang tertuang dalam buku tersebut. Keduanya lebih banyak menyampaikan rasa salut dan penghargaan atas keuletan dan ketekunan sang penulis menelusuri data-data yang menjadi sebuah buku yang relatif lengkap. Lazimnya, kendati tidak selalu, yang mempunyai minat besar untuk mengetahui serta menyusun lelintihan kulawarga adalah tokoh-tokoh yang pada umumnya sudah berumur relatif cukup lanjut, mungkin dapat dikatakan yang telah berumur 60 tahun ke atas. Dalam hal ini, pengarang buku yang sedang dibicarakan I Made Bawa, boleh

Panitia bedah buku poto bersama tiga narasumber Bagus Wirawan, Semadi Astra, dan Wayan Redig (3,4,5 dari kiri) sebelum acara dimulai di Wantilan Bali TV, Gedung Pers Bali K. Nadha.

dikatakan merupakan “tokoh istimewa yang langka”, Dikatakan demikian, karena ketika hasil karyanya terbit, tokoh tersebut belum genap berumur 50 tahun (lahir tanggal 7 Oktober 1961).

Lebih mengagumkan lagi apabila penghitungan waktunya dimulai sejak “tokoh kita ini mendapat inspirasi” untuk menyusun lelintihan kulawarga- nya, yakni pada waktu upacara perubahan status Pura Ibu menjadi Pura Panti di Kuta, sekitar bulan April 1984. Ini berarti, pada tahun 1984 “sang tokoh I Made Bawa” kurang lebih baru berumur 23 tahun, sebuah umur yang sangat muda. Tentu mudah dibayangkan dan dipahami bahwa sejak tahun 1984 itu “sang pengarang” dengan ketekunan luar biasa, tidak kenal lelah berburu berbagai sumber atau sandaran bagi buku yang ingin disusunnya. Oleh karena itu, kiranya tidak salah jika dikatakan bahwa tokoh yang bernama I Made Bawa ini merupakan tokoh muda yang berwawasan panglingsir dengan pandangan visioner serta dedikasi tinggi. Sudah tentu sangat pantas pula bahwa kulawarga yang memiliki tokoh tersebut merasa sangat beruntung dan bangga.

Sementara Dr. Redig selain memberi pujian kepada pengarang bukunya juga menguraikan tokoh Kebo Iwa yang menjadi ikon pada buku itu. Dia memaparkan kebesaran dan kehebatan Kebo Iwa yang mampu berjalan sangat cepat sudah merupakan mitos yang sangat kuat di masyarakat. Secara psikis, Kebo Iwa tidak bisa ditaklukan, baik dengan cara tipu muslihat Gajah Mada. Kebo Iwa bisa keluar dengan sempurna ketika secara curang ditimbun dalam sumur. Namun karena

Kebo Iwa berjiwa besar, jujur, dan baik hati, dia menyetujui keinginan luhur Gajah Mada hendak menyatukan Nusantara. Akhirnya Kebo Iwa membuka rahasia kelemahannya sendiri kepada Gajah Mada dengan cara menyiramkan bubuk kapur ke tubuhnya.

Ketua umum Pasemetonan Sri

Karang Buncing, I Made Supatra Karang mengungkapkan sarasehan dan bedah buku tidak semata untuk mengagungagungkan sosok Kebo Iwa dan mengistimewakan soroh (klan) Sri Karang Buncing. Sarasehan lebih dimaksudkan untuk mengungkap kabut misteri di balik sosok Kebo Iwa yang dibanggakan masyarakat Bali, yang kebetulan tokoh Kebo Iwa berasal dari garis keturunan Sri Karang Buncing. Disamping hasil sarasehan dan masukan para pembicara dan peserta akan digunakan untuk menyempurnakan buku yang disusun oleh Made Bawa

Kebo Iwa Award

Kebo Iwa Award adalah anugrah tertinggi yang diberikan oleh Pasemetonan Sri Karang Buncing dan Yayasan Garbha Nusantara kepada warga secara individu dan atau kelompok serta lembaga yang mempunyai perhatian yang besar terhadap kebesaran jasa Mahapatih Kebo Iwa, serta perkembangan

kebudayaan dan spirit kemanusiaan dari ajaran-ajaran Kebo Iwa. 

Ketentuan dan proses pengajuan calon penerima yang diketuai oleh Prof.Dr.Ir.Gede Mahardika, M.Si. anggota sebanyak 15 orang terdiri dari berbagai profesi. Menurut ketua tim penilai Gede Mahardika, pemberian Kebo Iwa Award kepada Cok Ace bukan karena statusnya sebagai Bupati Gianyar, tetapi berdasarkan kriteria penilaian yang objektif dan telah

Kebo Iwa Award perdana diberikan kepada Tjokorda Oka Artha Adhana Sukawati (memegang trofi) di kiri Bupati tapel Kebo Iwa hasil pahatannya disaksikan para tetua Pasemetonan Sri Karang Buncing.

ditetapkan melalui keputusan setelah melihat hasil kerja Bupati Gianyar yang menjadikan Kebo Iwa sebagai Ikon Kota Gianyar, mendirikan Tugu Kebo Iwa dan karya seni tari Kebo Iwa sebagai tarian wajib Kabupaten Gianyar. 

Tujuan utama adanya Kebo Iwa Award oleh Jro Made Supatra Karang selaku Ketua Umum Pasemetonan Sri Karang Buncing berharap, terciptanya kesadaran akan pentingnya nilai sejarah sebagai suri tauladan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meningkatkan motivasi setiap warga Negara dalam berkarya bagi pemanfaatan pengembangan dan penguasaan nilai sejarah dan kebudayaan demi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat, disamping meningkatan rasa persaudaraan dan kerukunan.

Penyerahan Kebo Iwa Award perdana dianugrahkan kepada Bupati Gianyar Dr, Ir, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, M.Si. (Cok Ace), dihadiri oleh Wakil Bupati Gianyar Dewa Made Sutanaya, SH., Ketua DPRD Kab. Gianyar, Muspida Gianyar, Muspika Sukawati, Kepala Desa Batuan, Ketua LPM desa Batuan, Bendesa Adat Batuan serta Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing (P3SKB) provinsi Bali, Pengurus Pasemetonan Sri Karang Buncing (P2SKB) se-Kabupaten dan Kodya di Bali, Yowana Sri Karang Buncing, Ikatan Wanita Sri Karang Buncing dan

Prasasti Kebo Iwa di depan para sesepuh Desa Besuki, Kediri, Jatim (29/4/2019)

beberapa undangan Puri Batuan, selasa 19 Februari 2013, di Santi Mandala, Villa & Spa, Batuan, Gianyar.

Detik-detik puncak acara penyerahan tropi dipentaskan tari Topeng Kebo Iwa dan Gajah Mada, dimana tapel (topeng) Kebo Iwa yang dipentaskan hasil pahatan dari Bapak Bupati.

Bupati Cok Ace sangat mengapresiasikan perhargaan dari Pasemetonan Sri Karang Buncing sebagai motivasi baginya untuk berbuat lebih demi kesejahteraan rakyat. Sejak kecil Kebo Iwa merupakan idola bagi dirinya dan semakin dewasa mengagumi, kecintaan serta pemahaman akan tokoh Kebo Iwa semakin besar. Pemahaman akan pengorbanan jiwa raga dan jasa Kebo Iwa kepada Nusantara menjadikan motivasi dan spirit baginya untuk mengabdikan diri kepada masyarakat Gianyar.

Beberapa hari sebelum mengakhiri masa jabatannya sebagai Bupati, Cok Ace masih ada obsesi yang belum terlaksana dari kecintaannya terhadap sosok Kebo Iwa, yaitu mengubah nama Jalan Dharma Giri yang sekarang, menjadikan Jalan Kebo Iwa. Baginya tanpa sosok Kebo Iwa, Bali tidak mungkin seperti saat ini, jadi pantaslah jika jalan itu bernama Jalan Kebo Iwa.

Prasasti Kebo Iwa, Gunung Wilis, Jawi

Setelah penemuan tempat moksah Ratu Bhatara Kebo Iwa di Desa Besuki, Jugo, Kediri tahun 2005 oleh Penglingsir Jero Wayan Gede Oka (Alm) melalui mediator di depan Palinggih Pangulu Pura Puseh, Blahbatuh. Perjalanan napak tilas terus berlanjut dengan pemasangan Prasasti Kebo Iwa oleh Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing Jro Made Supatra Karang tanggal 20 September 2014, dikala itu disaksikan oleh Ketua PHDI Kediri Kadek Astawan, dan Polisi Hutan setempat karena tempat situs batu berada di area hutan lindung Kabupaten Kediri. Napak tilas dilakukan baik bersama-sama maupun perseorangan dengan mengadakan beberapa kegiatan sosial seperti penanaman pohon, pembanguan bale pesayuban, pembagian pakaian yang layak pakai dan kegiatan terakhir pengangkatan air dari sumber dan pembangunan toilet. Bunyi Prasasti, “Mewujudkan Sumpah Palapa Kanda Gajah Mada, Jiwa Dan Raga Ku Korbankan Demi Persatuan Dan Kesatuan Nusantara” KEBO IWA, Warih, 20 – 09 – 2014

Pengurus Pusat Pasemetonan Sri Karang Buncing, Ketua Umum Jro Made Supatra Karang”

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More