Sabtu, 30 Oktober 2010

VERSI LAIN TENTANG RAJA SRI TAPA ULUNG

 Versi Lain Kehidupan Raja Sri Tapa Ulung, oleh Mandala Wisata Samuan Tiga, Bedahulu, Gianyar, Bali 1981.

           Syahdan setelah para Dewa, khususnya Bhatara Indra berhasil menewaskan Raja Mayadenawa, Pulau Bali menjadi aman, tentram dan teratur disegala bidang tidak terkecuali dibidang keagamaan. Meskipun para Dewa telah mengalahkan Raja Mayadenawa tersebut, namun para Dewa tidak pernah melupakan kegagahan keberanian Raja tersebut, sebagai seorang kesatria dimedan laga yang sangat dahsyat. Terkesan dengan hal-hal tersebut diatas, maka para Dewa mengadakan perundingan dimana diputuskan bahwa roh Raja Mayadenawa hendaknya dihargai dan dimuliakan.

           Berdasarkan kebijaksanaan tersebut maka abu jenazah Raja Mayadenawa diupacarakan di Pura Besakih. Pada hari yang dianggap baik oleh para Dewa, abu jenazah Raja Mayadenawa yang ditempatkan di buah kelapa gading diusung ke Besakih. Setiba di Besakih dimana upacara besar-besaran dilakukan, tepat upacara selesai, terjadilah suatu kejadian yang penuh mukjisat dan mengagumkan. Buah kelapa gading dimana abu jenazah raja Mayadenawa ditempatkan, Pecah !. Dari dalamnya muncullah dua anak: 1 laki-laki dan 1 perempuan, kedua anak tersebut kemudian diberi nama Masula-Masuli. Bertahun-tahun kemudian kedua anak tersebut telah dewasa, dan disaat itu keadaan Pulau Bali sedang luang, dimana tidak ada seorang Raja pun yang bertahta, oleh karena itu atas persetujuan para Dewa, Masula – Masuli dinobatkan menjadi Raja di pulau Bali.

             Sebetulnya keputusan para Dewa untuk menobatkan Massula-masuli sebagai Raja itu bertentangan dengan keinginan hati keduanya, karena Masula-Masuli berminat untuk hidup di sorga. Akan tetapi Sanghyang Pasupati tidak mengijinkan, maka Masula-Masuli menduduki singasananya di Batahanyar. Setelah keduanya menjabat sebagai Raja, keadaan Pulau Bali sangat tentram dan damai, karena kebijaksanaan beliau dalam memerintah, Kesuburan dan kemakmuran mereka dimana-mana, rakyat benar-benar menikmati kehidupan yang tenang, lebih-lebih dalam hal-hal keagamaan, beliau sangat taat. Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sangat kuat. Demikian juga ke Pura Besakih beliau sangat rajin beribadat. Kebiasaan-kebiasaan yang baik dari Raja ini juga berpengaruh terhadap rakyatnya sehingga seluruh rakyat Bali pada waktu itu juga sangat taat menjalankan perintah keagamaan.

            Setelah beberapa lama memangku jabatan, beliau kemudian menikah. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putra yang bernama Sri Tapa Ulung, setelah beliau meningkat dewasa, Sri Tapa Ulung dinobatkan sebagai Raja menggantikan ayahnya dengan nama Sri Asta Asura Ratna Bumi Banten, yang artinya keturunan ke 8 dari leluhur Sri Mayadenawa. Dibawah pemerintahan beliau yang tak banyak berbeda dengan pemerintahan ayahnya, segala sesuatunya berjalan lancar tanpa kurang suatu apa, lebih-lebih dengan didampingi oleh seorang mahapatih yang gagah perkasa bernama Ki Pasung Gerigis tinggal di Tengkulak dan seorang pembantunya Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di desa Blahbatuh. Selain itu banyak lagi bawahan-bawahan beliau yang semuanya bijaksana dan pemberani dalam melaksanakan roda pemerintahan.

             Pada suatu hari bertahun-tahun kemudian beliau mengambil suatu keputusan untuk melakukan yoga semadi di Pucak Penulisan di Sukawana, Kintamani. Beliau berangkat dengan diiringi oleh  Patih Ki Pasung Gerigis, karena ketekunan beliau dalam melakukan semadi tersebut, maka para Dewa mengabulkan keinginan beliau agar menjadi seorang yang sakti, menguasai kekuatan gaib, tidak mempan dengan senjata apapun. Diantara kesaktian anugrah dari para Dewa itu ialah Raja Tapa Ulung bisa menghilangkan kepala beliau sewaktu-waktu bila ingin pergi ke sorga. Pada suatu saat yang tak terduga, ketika kepala beliau tak kembali lagi sebagai mana biasanya, maka sang patih Ki Pasung Gerigis menjadi sangat kaget dan cemas tak tahu apa yang mesti dilakukan. Namun Ki Pasung Gerigis masih mencoba menunggu dengan tenang, tapi malang kepala sang raja tetap tidak muncul kembali sebagai biasanya.

            Patih Ki Pasung Gerigis menjadi kehilangan akal, tidak selang berapa lama ada orang membawa seekor babi lewat dihadapanya, tanpa berpikir panjang, babi itu kemudian diminta olehnya dan kepalanya dipotong. Segera kepala babi tersebut dipasang dileher Sri Tapa Ulung. Syukurlah beliau hidup kembali, tapi berkepala babi. Beliau kemudian berkemas-kemas dengan patihnya untuk kembali pulang ke Bataanyar. Sesampai di pinggir danau Batur, tanpa sengaja beliau melihat bayangannya di air danau itu. Betapa kecewanya setelah tahu bahwa kepala beliau adalah kepala seekor babi. Perasaan putus asa dan menyesal menyebabkan beliau enggan kembali ke Bataanyar. Tetapi sang patih Pasung Gerigis tak henti-hentinya membujuk dan menghibur beliau agar mau kembali ke Istana di Bataanyar. Dan di Istana nanti akan dibuatkan suatu tempat yang tinggi, dimana manusia tidak akan bisa memandangnya. Atas bujukan tersebut, akhirnya beliau bersedia kembali ke Bataanyar dengan diiringi oleh patih Ki Pasung Gerigis. (Besar perkiraan bahwa sejak saat itu desa Bataanyar diberi julukan desa Bedaulu, sebab Rajanya berbeda kepala). Disanalah di tempat yang tinggi itu beliau bertempat tinggal tanpa seorang manusiapun yang bisa memandangnya.Selain itu disebarkan pula suatu pengumuman keseluruh Bali, bahwa barang siapa yang berani memandang wajah sang raja Sri Tapa Ulung, pasti akan dibunuh. Demikianlah beliau bertahta di Istana Bedaulu.

            Oleh karena beliau merasa mendapat anugrah kesaktian yang tidak ada seorangpun yang menandinginya dan juga melihat kenyataan bahwa seluruh rakyat Bali begitu patuh dan taat selama ini, maka timbulah sifat-sifat keangkaramurkaan dan sifat takabur beliau. Rakyat dilarang melakukan ibadah keagamaan, dan beliau tidak mau patuh lagi pada perintah Majapahit. Baginda ingin terlepas dari kekuasaan Majapahit. Lama kelamaan Majapahit merasa bahwa sikap Sri Tapa Ulung telah berubah. Akhirnya sikap Sri Tapa Ulung yang membangkang itu sampai ke telinga Raja Majapahit yang lalu itu diperintah oleh Raja Sri Kala Gemet. Karena itu di Majapahit diadakan rapat yang dihadiri oleh mentri-mentri, hulubalang-hulubalang, dan pemuka-pemuka rakyat. Dalam rapat itu diputuskan “perang” dengan Raja Sri Tapa Ulung. Pada waktu itu Majapahit mempunyai seorang patih yang terkenal yaitu Patih Gajah Mada. Dibawah pimpinan Patih Gajah Mada diaturlah siasat untuk dapat menaklukkan Pulau Bali dan membunuh Raja Sri Tapa Ulung yang berkhianat tersebut. Siasat perang ini harus betul-betul cermat, karena disamping Raja Sri Tapa Ulung adalah raja yang terkenal kesaktiannya, juga Raja Sri Tapa Ulung mempunyai patih yang sakti dan gagah berani, yaitu Kebo Iwa. Disebutkan kemudian bahwa Patih Gajah Mada menghadap Sri Tapa Ulung, untuk memohon Ki Kebo Iwa yang hendak dikawinkan dengan seorang putri.

              Ini termasuk salah satu siasat perang dari Patih Gajah Mada. Dalam perjalanan ke Bali, Gajah Mada dan pasukannya sampai didesa Blahbatuh yang dipegang oleh Ki Pasung Gerigis. Disana diperkenalkan dengan Ki Karang Buncing dan Ki Kebo Iwa.Atas ikhtiar Ki Pasung Gerigis, maka Gajah Mada akhirnya diperkenankan untuk menghadap Sri Tapa Ulung, tapi dengan syarat agar Gajah Mada tidak melihat dan memandang wajah Raja Tapa Ulung. Dan Patih Gajah Mada juga mengajukan suatu permohonan yaitu agar diperkenankan menerima suguhan makanan berupa sayur paku liking, nasi sengauk (aron) dan minum air dengan kele. Semuanya ini akan diatur oleh Ki Pasung Gerigis. Sesampainya Gajah Mada di istana dengan segala hormat sebagai mana layaknya seorang bawahan yang menghadap Raja, begitu pulalah sikap sikap Patih Gajah Mada dalam menghadap Raja Sri Tapa Ulung. Dan didalam kesempatan itulah Gajah Mada menghaturkan niatnya untuk memohon Ki Kebo Iwa yang hendak dikawinkan dengan seorang puteri (Lemah Tulis yang sudah terkenal cantiknya). Dengan alasan agar hubungan Majapahit dengan Bali lebih erat lagi.

              Oleh Baginda Raja Sri Tapa Ulung sedikitpun tidak menduga bahwa itu hanya tipu muslihat belaka, karena itu segera beliau mengabulkan permohonan Gajah Mada dengan ikhlas. Setelah acara pokok selesai, Gajah Mada kemudian bersantap dengan suguhan yang telah dimintanya. Dengan sendirinya untuk bersantap hidangan tersebut, wajah harus ditengadahkan sehingga terlihat jelas wajah Sri Tapa Ulung oleh Gajah Mada. Betapa kecewanya, marah dan malu baginda raja Sri Tapa Ulung mengetahui bahwa dengan akalnya Gajah Mada telah berhasil memandang wajah beliau.

              Pada waktu itu sebetulnya Baginda ingin segera membunuh Gajah Mada, namun peraturan yang berlaku yaitu membunuh utusan suatu kerajaan adalah dilarang keras apalagi utusan itu sedang makan. Karena itulah Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa. Selanjutnya atas perkenan Baginda Raja, Patih Gajah Mada membawa serta Ki Kebo Iwa ke Jawa. Pada akhirnya tercapailah tujuan Patih Gajah Mada untuk mengurangi kekuatan kerajaan Bali (Bedaulu), karena sampai di Pulau Jawa Ki Kebo Iwa terbunuh. Betapa sedih dan duka Baginda Sri Tapa Ulung mendengar nasib yang menimpa patih kesayangannya, selain itu perasaan tertekan karena sangat malu sesudah Patih Gajah Mada berhasil memandang wajah Baginda. Segera beliau mengambil keputusan untuk melenyapkan diri dari muka bumi dengan jalan Moksa. Itulah riwayat Baginda Raja Sri Tapa Ulung yang bertahta di kerajaan Bedaulu, Bali. 

10 komentar:

sepertinya proses penggantian kepala raja ini kok mirip dengan yang dilalukan oleh Dewa Siwa untuk menggantikan kepala putranya yaitu Dea Ganesha?

mohon sumber otentiknya cerita ini mengingat seorang raja yang kami hormati rasanya aneh berkepala babi dan harus ada "pembenaran" bahwa beliau memang wajar untuk ditundukan (mojopahit)? mengingat nama gelar beliau tabik pekulun Sri Astasuraratnabumibanten (delapan dewa yang berkilau seperti permata yang menguasai bali)tidak mungkin beliau tidak menjalankan ajaran2 leluhurnya......

Swastyastu Jro Nengah Suryatha, nembe mampir ring warung niki ,, sareng Jro Amurwa Parama, "welkom" ,, tergantung sumber acuan yg dipakai untuk menguraikan perjalanan sejarah bali ,,apakah bersumber dari Prasasti, Purana, Piagem, Prakempa, Babad atau hasil penelitian akademisi dlm memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.,, Ironis memang jika para peneliti memakai sumber BABAD sebagai pembenar dlm menguraikan sejarah bali maka hasilnya menjadi sebatas awang2, tidak rasional dan jauh dari pakta lapangan ,, apakah mungkin seorang manusia berkepala babi?? sedangkan kelahiranya diceritakan berasal dari batu tukad unda klungkung, tatkala itu terjadi halilintar menyambar batu tsb maka lahir dalem selem alias sri astasura, sedangkan sang kakak dalem putih lahir dari buih2 air tukad unda ,, ??? Kami dapati sumber diatas dari Mandala Wisata Samuan Tiga sdh dlm bahasa Indonesia,,, harus sinergi antara prasasti dan purana sbg pegangan klompok pura dengan piagem, prakempa, babad pegangan klompok warga,,,, jika tidak maka terjadi pembelokan sejarah ,,

om suastiastu,
Mandala Wisata Samuan Tiga? apa yang dimaksudkan dengan hal tersebut? adalah perlu yang mengerti sejarah untuk meluruskan hal tersebut, jangan sampai pembelokan sejarah bertujuan untuk membenarkan agresi, biarlah sejarah bicara apa adanya, penyerang bali/ penundukan bali apa adanya tanpa dicari pembenar untuk penyerangan/ penundukan bukan bertujuan untuk dendam sejarah tetapi mencari sejarah yang benar dan apa adanya

Om Swastyastu pak Nengah Suryatha, jika saja sang penulis sejarah sama pemikiran dgn jrone tidak akan terjadi pengambil-alihan tempat suci, pembelokan sejarah dan budaya bali. Karena sang penulis tidak hidup dan tidak meyaksikan pristiwa sejarah zaman lampau, akhirnya hasil perenungan dan utak atik data awal mengakibatkan kontroversi dgn catatan prasasti yg keluar pada zamannya. Apalagi jika sang penulis adalah guru besar suatu perguruan tinggi terkenal, sudah pasti masyarakat percaya akan hasil yg ditulis dan dianggap sbg pembenar. Buku Mandala Wisata ttyg dapati di Pura Penataran Sasih, Pejeng, jika masuk pura dan bayar tiket akan diberikan panduan buku kecil niki ,,,

Cerita Sri Tapaulung berkepala Babi jelas sebuah mitos yang punya tujuan politik kerajaan,atau dengan tujuan pendidikan keagamaan melalui dongeng seperti yang sering disampaikan lewat satua satua bahkan Babad juga menyampaikan dalam bentuk ceritra yg penuh misteri mungkin perlu dikupas dikupas lagi Bandingkan dengan bunyi babad .....Hyang Haribawana sangat mudahnya menggoyangkan Nusa Bali dan Selaparang (Lombok) Setelah bencana alam tsb di atas dibali hanya masih ada 4 gunung Catur Lokapala yaitu G Lempuyang, G Watukaru, G Andakasa Krn demikian rusaknya P Bali maka Hyang Pasupati yg berkedudukan di Semerusangat prihatin melihatnya dan berkenan membongkar bagian barat G Semeru untuk di pindahkan ke Bali dan Selaparang..... Kembali ke zaman Sri Astasura Ratna Bumi Banten yg memerintah saka 1259 sd 1265 itu sama dengan 1337 masehi sd 1343 Peradaban manusia sudah maju Sebagai contoh misionaris Agama Kristen sudah masuk ke Indonesia (Batak/Sumatra Utara) pada permulaan abad ke 7 645 M di desa Barus Sibolga (see google)

patut pisan sekadi bawos Anonim, babad ditulis perseorangan dan hanya milik pribadi tentu mempunyai kepentingan di balik cerita, akan beda dgn purana menjadi pegangan pura sebagai pedoman bagi pangemong dan pangempon pura. Pangemong beda arti dgn Pengempon// panga-MONG = yg melahirkan sejarah pura, yg bertanggung jawab // pang-EMPON = yg ngempu, pemelihara masyarakat sekitar // ,,, kembali ke Babad, contoh lain, duk gumi kumelencok sanghyang pasupati terbang ke india memenggal gunung mahameru, lalu bongkahan gunung mahameru dibawa ke indonesia berjatuhan di jawa, bali dan lombok menjadi gunung2 yg ada, lalu jagat bali menjadi "deg-deg" (diam),, apakah seperti itu, sang pe-NGAWI menyaksikan pristiwa sanghyang pasupati memenggal gunung mahameru india?? dari sisi sejarah artinya setelah masuknya paham/ agama dari india menyebar di jawa, bali dan lombok maka kehidupan masyarakatnya menjadi tentrem ,, babad penuh kiasan ,, contoh lain, sanghyang pasupati berputra dewa putra jaya berstana di gunung agung, dewi danuh di batur dan gnijaya di gn, lempuyang ,, lalu betara putra jaya mempunyai seorang putri bernama manik geni dikawinkan oleh mpu gnijaya yang menurunkan warga MGPSSR ,, apakah seperti itu ??? ,, memeh kacauuuu ,,

Dalam teks ini memang bercampur antara mitos, legenda dan sejarah yang kadang tidak singkron dengan versi sejarah umum. Saat Sri Tapa Ulung berkuasa di Bali, tahun 1337, di Majapahit yang berkuasa adalah Ratu Tribhuwana Tunggadewi, bukan Sri Kalagemet atau Jayanegara yang sudah mati tahun 1328 dan saat itu Gajahmada masih menjabat patih Daha, belum menjadi patih utama atau Mahapatih.
Sedangkan sebutan Bedahulu itu konon bersifat politis karena itu sebagai sebutan bahwa raja Bali tidak mau tunduk kepada Majapahit sebagai kerajaan yang lebih besar. Namun ada juga yang menyebut kata yang benar itu bukan Bedahulu, melainkan Badhahulu sebagai nama kerajaan dengan bukota Batahanyar...

kata Badhahulu muncul dalam negara kertagama ,, karena sang penulis tidak tahu nama kerajaan bali saat itu dan sang penulis tidak pernah ke bali ,, kata desa bedulu muncul setelah transisi pemerintahan bali ke majapahit ,, Bedulu berasal dari kata badha dan hulu. Badha artinya tempat, istana, pemerintahan dan Hulu artinya kepala, raja, pusat. Jadi Badhahulu artinya pusat pemerintahan, istana raja. Kata ini muncul karena orang-orang Jawa tidak tahu nama tempat kerajaan Bali saat itu, sehingga mereka hanya menyebut “Pusat Pemerintahan” (Badhahulu) saja. Dalam naskah Babad, kata Badhahulu sengaja diplesetkan menjadi Bedaulu atau berbeda dengan pusat (Majapahit) atau Bedamuka raja berkepala babi. Sesungguhnya Bali dengan Majapahit era itu belum terjadi perselisihan.
Sedangkan Blahbatuh berasal dari bahasa Bali kuno dari urat kata belah dan batuh. Belah artinya pecah menjadi dua. Batuh artinya tempat suci. Kemungkinan sebelum diberi nama batuh berasal dari kata gaduh, tempat suci kerajaan. Perubahan lafal bunyi dari tahun ke tahun kata gaduh menjadi batuh. Setelah masuknya para Arya Majapahit, Pura Gaduh terbagi menjadi dua pura yaitu Pura Puseh dan Pura Gaduh atau menjadi nama desa blahbatuh. Jadi Blahbatuh artinya tempat suci (tanah Bali) pecah menjadi dua, baik dalam bidang agama, sosial, politik, bahasa dan kebudayaan. Kini terjadi dua terapan relegi yang dianut oleh masyarakat Bali yaitu adanya sebagian warga atau desa yang mengikuti relegi sejarah Bali Kuno, dan sebagian warga atau desa mengikuti relegi sejarah Majapahit, bahkan masyarakat bisa menjalani kedua konsep tersebut, mengikuti aturan para pimpinan yang berkuasa pada masa kini.
Adanya istilah wang jaba dan wang jero, Orang-orang Bali Mula disebut wang jaba dan keturunan Arya Majapahit disebut wang jero. Bahasa pun pecah jadi dua, bahasa Bali menjadi bahasa kasar, sedangkan bahasa Majapahit menjadi bahasa halus misalnya, ditu bahasa Bali Kuno menjadi irika (Majapahit), bapa menjadi ajik, meme menjadi biyang, nyumu menjadi ngawit, cicing menjadi asu, nyai untuk bahasa Jawa adalah bahasa halus sedangkan nyai untuk bahasa Bali adalah bahasa kasar dan lain sebagainya.
Adanya Sugiyan Jawa dan Sugiyan Bali, dalam Usana Jawa disebutkan, sisa tentara Majapahit yang masih hidup dan menetap di Bali, sudah mempunyai anak cucu, saling kawin mengawinkan berbaur, silih pinang meminang antara wanita Bali, namun ada tanda-tandanya.
Jika setiap hari raya Kamis Wage Sungsang yang disebut Sugiyan Jawa, rakyat Majapahit yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya. Jika setiap hari Jumat Kliwon Sungsang yang disebut Sugiyan Bali, rakyat Bali asli yang mempunyai bagian menyelenggarakan yadnya.

pertanyaanya kapankah para arya majapahit itu berganti nama menjadi anak agung gusti agung i dewa dlll ,,?? aneh ,, sing ado belanda mana mungkin arya itu ganti nama ,, saat itulah megaburan sejarah bali jauh panggang dari api semua dikaitkan ke majapahit ,, samakah budaya bali dgn majapahit?? apakah ada di jawa pura segara pura desa pura gunung, pura tegal suci, dll hari nyepi uma nyepi desa nyepi segara dlll aruuh ,, di bali di mana kaki dipijak disana ada dewa ,,adakah di jawa??

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More